Pria  tidak  hanya  bertanggungjawab  memberi  nafkah  batin,  tapi  juga bertanggung jawab mengurus masalah kehamilan istrinya. Pria tidak membiarkan
isrinya  memikul  beban  sendirian,  tetapi  juga  ikut  serta  memikul  sebagian bebannya dengan memperhatikan makanannya selama kehamilan dan membiayai
kelahiran, serta mengakui anak yang dilahirkan dan menghadirkannya ketengah- tengah  masyarakat  sebagai  buah  kasih  sayang.  Mustafa  El-
Siba’I  mengatakan laki-laki dapat menyalurkan dan memperkecil sahwatnya sampai tingkat tertentu
tetapi dia harus melipat gandakan dasar beban masalah dan tanggung jawabnya.
4
Tentunya aturan moril inilah  yang melindungi  moral  manusia dan inilah aturan manusiawi yang menjadikan manusia terhormat.
Betapa  bedanya  pandangan  seks  menurut  mereka    masyarakat  barat. Seorang  penulis  barat  bersikukuh  bahwa  seorang  yang  mati  di  tempat  tidur
mengaku  kiayi  kecuali  istrinya,  tetapi  setidaknya  dia  pernah  melakukan  satu kali  dalam  hidupnya.  Di  barat  tidak  ada  aturan  yang  mengatur  hubungan  seks
bebas ini, terlebih lagi hal ini terjadi walaupun ada aturan yang berlaku. Dimana pria tidak menjadikan wanita sebagai istri , melainkan hanya sebagai teman dan
kekasih yang tidak dibatas hanya empat orang saja bahkan lebih dari itu. Pelaku tidak  terikat  dengan  tanggung  jawab  financial  terhadap  wanita  yang  digauli,
cukup  baginya  menodai  kehormatan  mereka  dan  meninggalkan  mereka  dalam
4
Yusuf Qardhawi, Op.Cit, Hal.71
kesengsaraan  dan  kemiskinan,  serta  membiarkan  mereka  memikul  beban kehamilan dan melahirkan sendiri tanpa ada suami disampingnya.
Inilah  hubungan  seks  bebas  dan  illegal  tetapi  bukanlah  poligami. Hubungan  seks  ini  dikarenakan  mengikuti  hawa  nafsu  dan  keegoisan  untuk
melarikan diri dari tanggung jawab. Aturan poligami-lah yang lebih mendekati moralitas, lebih menenangkan
nafsu,  lebih  menghormati  wanita,  lebih  menandai  kemajuan,  dan  lebih manusiawi.  Sebagaimana  yang  dikatakan  oleh  Mustafa  El-
Siba’i  dapat mengendalikan penyaluran nafsu seksual seseorang pada batas tertentu.  Kendati
akhirnya beban hidup, kesulitan yang dirasakan dan tanggung jawab yang harus dipikul  semakin  membengkak.  Dengan  demikian  jelas  bahwa  poligami
merupakan sistem moralistik karena dapat mewujudkan akhlak yang merupakan system yang manusiawi sebab mampu mengangkat harkat dan martabat manusia.
C. Kedudukan Poligami dalam Islam
Pensyari’atan  poligami  sebagaimana  yang  termaktub  dalam  Al-Qur’an, seperti yang sudah dikemukakan, penulis coba membatasinya pada dua ayat yang
terdapat dalam surat An-Nisa ayat 3.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 ءاسنلا
:
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
hak-hak  perempuan  yang  yatim  bilamana  kamu  mengawininya,  Maka kawinilah  wanita-wanita  lain  yang  kamu  senangi  :  dua,  tiga  atau  empat.
Kemudian  jika  kamu  takut  tidak  akan  dapat  berlaku  adil.Maka  kawinilah seorang  saja  atau  budak-budak  yang  kamu  miliki,  yang  demikian  itu  adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
”Q.S An-Nisa : 3
Yang kedua terdapat dalam ayat 129 :
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 ءاسنلا
:
Artinya  : “Dan  kamu  sekali-kali  tidak  akan  dapat  berlaku  adil  di
antara  isteri-isterimu,  walaupun  kamu  sangat  ingin  berbuat  demikian, Karena  itu  janganlah  kamu  terlalu  cenderung  kepada  yang  kamu  cintai,
sehingga  kamu  biarkan  yang  lain  terkatung-katung.  dan  jika  kamu mengadakan  perbaikan  dan  memelihara  diri  dari  kecurangan,  Maka
Sesungguhnya  Allah  Mah
a  Pengampun  lagi  Maha  Penyayang.”  Q.S  An- Nisa : 129
Ayat kedua ini memberikan manfaat hukum sebagaimana  yang difahami oleh Rasulullah
saw, para sahabat, tabi’in dan mayoritas kaum muslimin sebagai berikut :
1. Bolehnya berpoligami hingga batas maksimal empat orang istri.
2. Poligami terikat oleh syarat berlaku adil kepada seluruh istri, dan barang siapa
tidak bisa memastikan kesanggupannya untuk merealisasikan prinsip keadilan kepada  seluruh  istri-istrinya,  maka  dia  tidak  boleh  beristri  lebih  dari  satu.
Seandainya  dia  tetap  menikah  lebih  dari  satu  sementara  dia  tahu  dia  tidak dapat berlaku adil maka nikahnya sah tetapi dia berdosa.
3. Keadilan  yang  dipersyaratkan  pada  ayat  pertama  An-Nisa  :  3  adalah
keadilan dalam distribusi materi yaitu adil dalam menyediakan tempat tinggal, makanan, minuman, pakaian, waktu bermalam, dan dalam bermuamalah.
4. Ayat  pertama  An-Nisa  :3    juga  mengandung  syarat  kesanggupan  untuk
menafkahi  seluruh  istri  beserta  anak-anaknya,  sebagaimana  yang  di  jelaskan pada  tafsir  “  janganlah  kamu  meperbanyak  keluarga  istrihingga  kamu
ahirnya tidak sanggup menafkahi mereka.” 5.
Ayat  kedua  menjelaskan  bahwa  keadilan  dalam  hal  cinta  kasih, kecenderungan  hati  kepada  para  istri  tidak  mungkin  dapat  terealisasi,
sesungguhnya  yang  wajib  atas  seorang  suami  di  sini  adalah  tidak  boleh berpaling  dari  seorang  istrinya  secara  berlebihan  sehingga  membuat  dia
terkatung-katung    tidak  memiliki  status  yang  jelas  apakah  dia  masih bersuami  atau  tertalak.  Yang  harus  dilakukan  adalah  mempergauli  istrinya
secara  baik  hingga  sang  istri  dapat  memperoleh  kebahagiaan.  Sesungguhnya Allah  swt  tidak  akan  menyiksa  seorang  suami  hanya  karena  sebagian