2. Andai adil tidak mungkin dapat dilakukan secara mutlak, tentu Rasulullah
saw, dan para sahabat adalah orang-orang zhalim. Tetapi tidak ada satupun dalil yang menyatakan mereka zhalim. Bahkan ayat dan hadist mewajibkan
kita mengikuti mereka.
ازحاا :
Artinya : “Sesungguhnya Telah ada pada diri Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
”Al- Ahzab : 21.
Abu Sa’id Al-Khudri r.a berkata “Suatu ketika kami duduk disisi Rasulullah saw, yang sedang membagi-bagi harta, tiba-tiba datang Dzul
Khuwaisirah, seorang laki- laki dari Bani Tamim, seraya berkata “Wahai
Rasulullah berlaku adillah” Rasulullah bersabda “Celakalah engkau, siapa yang dapat berlaku adil jika aku tidak berlaku adil?. Sungguh kamu celaka
dan merugi, jika aku tidak adil”. H.R. Bukhari dan Muslim.
3. Jika adil tidak mungkin dilakukan, maka berarti bertentangan dengan izin
melakukan ta’addud. Dan tidak mungkin Allah SWT, memberikan syariat yang tidak mungkin dapat dilakukan.
ا لا :
Artinya :“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya
”. Al- Baqarah : 286.
4. Bersikap adil juga diperintahkan oleh allah SWT terhadap anak-anak. Adil
secara sempurna dalam segala hal terhadap anak-anak mustahil. Jika demikian, tidak boleh mempunyai keturunan lebih dari satu. Sebab tidak
mungkin bisa berlaku adil terhadap mereka, dalam hal ketertarikan hati, kecintaan, dan perasaan hati.
Padahal Islam memerintahkan agar orang tua berlaku adil terhadap anak- anaknya.
Nu’man bin Basyir r.a. meriwayatkan “Ayahku, Basyir memberi hadiah kepadaku, lantas ibuku berkata, persaksikan pemberian itu pada
Rasulullah saw. Maka ayah memegang tanganku untuk membawaku menemui Rasulullah saw, kemudian ayah berkata, Wahai Rasulullah, ibunya anak ini
memintaku memberikan sesuatu padanya dan menyuruhku mempersaksikan pemberian itu pada anda, maka aku pun datang menemui anda untuk
mempersaksiakannya pada anda. Beliau bersabda,
’tunggu dulu,apakah engkau mempunyai anak selainnya.:
’Ayah menjawab,ya.’ Beliau bertanya,’apakah semua anakmu ,kamu beri seperti yang
engkau berikan kepadanya ? ’Ayah menjawab tidak..’
Beliau bersabda,kalau begitu jangan persaksikan kepadaku, sebab aku tidak memberi kesaksian pada kezhaliman. Anak-anakmu mempunyai hak
atas dirimu,yaitu kamu harus berlaku adil terhadap mereka.H.R. Abu Daud dan Ahmad.
18
Dengan demikian ,jelaslah bahwa adil yang dimaksud pada ayat tersebut bukan adil secara sempurna dalam segala hal.tetapi adil yang berada
dalam batas kemampuan manusia,yaitu adil dalam giliran bermalam dan nafkah. Juga berlaku adil terhadap anak-anak mereka.
F. Pembatasan Jumlah Istri Dalam Nikah Poligami
Poligami, sebagai pasangan seorang suami dengan beberapa orang istri, menujukan adanya jumlah angka pasti beberapa orang istri yang boleh di
poligami. Dalam menentukan jumlah ini yang penting di tekankan adalah jumlah maksimal, sebab hukum Islam menentukan poligami yang terbatas. Untuk
menentukanya harus dilihat dari dasar hukum mengenai jumlah poligami yang di perbolehkan itu. Pada surat an Nisa ayat 3 Allah berfirman:
ءاسنلا
:
Artinya :
“
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya,
Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
18
Khozin Abu Faqih, Op.Cit,Hal. 111
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
”QS An-Nisa :3
Ayat tersebut menyatakan bahwa batas maksimal poligami itu ialah hanya empat orang istri saja, tidak boleh lebih. Hal ini di ambil dari pengertian lafadz
“Mastna Watsulasa Wa Ruba”. Yang pengertianya ialah : Nikahilah oleh kamu dua orang istri” Fankihu Mastna”. dan nikahilah olehmu tiga orang istri.
”Wankihu Tsalasa”. Dan nikahilah olehmu empat orang istri.” Wankihu Arba’a”. tidak boleh lebih dari jumlah tersebut, karena sampai disitu Al-
Qur’an tidak menyebut jumlah lagi. Demikian pula huruf
“Wawu” yang ada pada antara sebutan angka-angka tersebut menunjukan athof yang mengulangi penyebutan
perintah nikah” Wankihu” pada setiap penyebutan angka-angka itu. Oleh karena itu batas maksimal poligami hanyalah empat orang istri saja.
19
Kesimpulan tersebut di kuatkan oleh hadits-hadits mengenai kasus poligami dengan jumlah yang melebihi empat orang istri. Misalnya Qais bin Al-
harits yang masuk Islam sedang ia mempunyai delapan orang istri, kemudian Rasulullah saw menyuruhnya untuk memilih empat orang istri saja dari delapan
orang istri tersebut. Demikian pula kasus Naufal bin Mu’awiyah yang masuk
19
Muhammad Musthafa Sahatan Al-Husaini, Al-Ahwal Al-Syakhsiyah, Al- Asy’ad,Cairo
1979 Hal 77
Islam sedang ia mempunyai lima orang istri, Rasulullah saw menyuruhnya untuk menetapkan empat orang istri saja dan yang lainya supaya di ceraikan.
20
لاق لمَ لا اعم نب لف ن نع :
َ نلا لأسف سن سمخ ح ملسأ لاقف مَلس ه لع هَللا َلص
: ًاعب أ كسمأ دحا اف
َن مدق أ لإ دمف ا ق ا ف ً نس ن ِس نم قاع دنع
21
Artinya : “Dari Naufal bin Muawiyah Al Daili, ia berkata, “Aku
masuk islam sedang aku beristri lima orang. Maka aku bertanya kepada nabi …beliau bersabda, Cerailah salah seorang dari mereka dan tahanlah empat
orang. Maka aku menuju yang paling awal, dia telah mandul sejak enam tahun,
maka aku mencerainya.” H.R.Syafi’i
Menurut sebagian riwayat seorang jurnalis yang bernama Abdul Wahab berpendapat bahwa dalam poligami itu tidak mengenal batas maksimal, sebab
An-Nisa ayat 3 itu tidak menunjukan batas-batas jumlah poligami,melainkan menunjukan akan kemutlakan ibadah boleh mutlak.
22
Pendapat ini ialah bahwa seorang pria boleh melakukan nikah poligami dengan jumlah istri berapapun
yang diinginkan. Adanya penyebutan bilangan pada ayat tersebut dua-dua,tiga- tiga,empat-empat hanya menunjukan contohvisualisasi berpoligami, sedangkan
poligaminya sendiri mubah. Jadi pernyataan”jumlah” dalam ayat tersebut sama sekali bukan menunjukan batasan yuang mengikat, bahkan jumlah tersebut masih
menunjukan keberlanjutan.
20
Ibid, Hal 77
21
K,H. Saiful Islam Mubarak,Lc. M.Ag, Poligami Yang Di Dambakan Wanita, Bandung : PT.Syamil Cipta Media, 2003, Hal. 2
22
Ibid