B. 2. 3. Partisipan III Liang A. Gambaran Etnosentrisme sebelum Melakukan Perkawinan Campur

126

IV. B. 2. 3. Partisipan III Liang A. Gambaran Etnosentrisme sebelum Melakukan Perkawinan Campur

A. 1. Lingkungan Tempat Tinggal dan Interaksi Sosial

Liang dan tiga orang adiknya tumbuh dan dibesarkan di kota Medan, di kawasan jalan Asia. Menurut Liang semua orang yang tinggal di daerah ini berasal dari etnis Tionghoa. Bentuk rumah di daerah ini juga khas milik orang Tionghoa, yaitu ruko rumah toko bertingkat, dimana lantai satu digunakan sebagai tempat berdagang, dan lantai II digunakan sebagai tempat tinggal. “Di Medan di jalan Asia.” P3. V.3 L. 3 p.1 “ Semua orang tinggal di situ orang Cina punya. Jalan Asia, di dekat Thamrin sana, semua rata-rata orang Cina. Rata-rata rumah ruko-ruko di sana semua punya orang Cina. Biasa kan orang Cina yang tinggalnya di kota memang punya rumah itu model ruko, sama kayak saya, dulu pun tingalnya di sana ruko juga, jadi kalo mau buka usaha dia, gampang, dibawah itu dia bikin usaha apa, di atas bisa dia pake untuk rumah. Semua itu hampir semua itu orang di jalan Asia rata-rata itu rumahnya rumah ruko. ” P3. V.3 L. 6-17 p.1 Di rumah Lie terbiasa menggunakan bahasa Tionghoa dengan keluarganya. Demikian juga dengan tetangganya yang beretnis Tionghoa. “ Pake bahasa Cina. Karna kita kan udah terbiasa pake bahasa Cina sama keluarga ya pake bahasa Cina. ” P3. V.1 L. 244-246 p.9 Kondisi perekonomian keluarga Liang cukup baik sehingga Liang dapat mengenyam pendidikan sampai taraf perguruan tinggi. Ayah Lie membuka usaha penjualan barang-barang elektronik di rumahnya. Sebelum Lie, kuliah, ia dan juga ketiga adiknya membantu ayahnya menjalankan usaha mereka. Sekarang usaha itu dipegang oleh adiknya, karena Liang sudah memiliki pekerjaan sendiri. Universitas Sumatera Utara 127 Dari Sekolah Dasar hingga SMA, Liang bersekolah di sekolah khusus etnis Tionghoa. Di sekolahnya ini biasanya ia berkomunikasi dengan bahasa Tionghoa dengan teman-teman dan para gurunya. “ Kalo sekolah dulu, masa-masa sekolah, waktu SD sampai SMA saya biasa sama kawan sama guru-guru itu pake bahasa Cina kalo ngomong. Namanya juga sekolah di sekolah Cina. Di kuliah saya itu karna kuliahnya di Jawa, itu kawan-kawan saya yang Cina pun udah nggak bisa bahasa Cina, malah mereka bisa bahasa daerah, saya malah nggak tahu kalo mereka udah pake bahasa di sana, ya akhirnya pake bahasa Indonesia, karna mereka juga nggak bisa ngomong Cina ya sama-sama pake Indonesia” P3. V.3 L. 27-38 p.1-2 Berbeda situasinya ketika ia duduk di bangku kuliah. Liang kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di daerah pulau Jawa. Di sini walaupun banyak teman-temannya yang beretnis Tionghoa, namun kebanyakan dari mereka tidak berbeda dengan pribumi lainnya. Bahkan ciri-ciri fisik mereka tidak sekhas Liang. Mereka juga berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, bahkan bahasa daerah setempat. Ketika di tanya pendapatnya mengenai hal ini, Liang mengaku awalnya dia heran mengapa temannya yang beretnis Tionghoa ada yang tidak tahu berbahasa Tionghoa bahkan mampu berbahasa daerah. Walaupun demikian, Liang mencoba bersikap netral dengan tidak mempermasalahkan hal tersebut, sebab tujuannya berada di sana adalah untuk menuntut ilmu. Akhirnya Liang juga menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan teman-temannya yang lain. “...ya heranlah. Orang Cina kok nggak bisa ngomong Cina, malah ngomong sunda. Bingung loh. Pertama-tama bingung. Lama-lama biasa. Memang di sana beda jauh sama kita di sini. Di sana mukanya saja sudah lain sama yang disini, kulitnya, tidak sama. Beda loh. Memang sepertinya sudah dari sananya juga kan. Ya kita lama-lama biasa, ya pake Indonesialah. ” P3. V.3 L. 40-48 p.2 Universitas Sumatera Utara 128 Sewaktu masih kecil, Liang jarang bermain-main dengan anak-anak seusianya. Lagi pula menurutnya, di daerah perkotaan tidak ada tempat yang dapat digunakan untuk bermain. Karena itu biasanya jika memiliki waktu luang ia membaca buku atau menonton TV, selebihnya ia pakai untuk membantu di toko ayahnya.

A. 2. Nilai-Nilai Kekeluargaan

Tumbuh dan dibesarkan oleh orang tua yang juga beretnis Tionghoa membuat Liang memiliki nilai-nilai kekeluargaan yang tertanam dalam dirinya. Dalam keluarganya orang yang paling dihormatinya adalah ayahnya. Sebab ayah adalah kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab dalam memimpin rumah tangga. Liang sangat menyayangi dan menghormati kedua orang tuanya karena mereka telah membesarkan dan mendidiknya sampai ia menjadi orang yang berhasil saat ini. Sementara itu ibunya adalah sosok wanita yang patuh pada ayahnya. “ Pasti. Yang namanya jadi anak itu memang harus hormat sama orang tua. Saya itu udah pasti loh, sama bapak. Saya juga lihat kayak mana dia dulu sama bapaknya, kakek saya, ya begitu juga saya sama dia. Dari kecil sampe sekarang itu kan bisa dilihat, kayak mana perilakunya…” P3. V.4 L. 40-48 p.2 Di rumah, perkataan ayahnya harus di dengar dan dilaksanakan. Walaupun demikian, biasanya ayahnya memberi kesempatan pada Liang dan adik-adiknya untuk mengeluarkan pendapat mereka sendiri dalam beberapa hal. Ayahnya juga tidak pernah menghukum mereka secara fisik jika melakukan kesalahan. Biasanya hukumannya hanya dipotong uang saku atau di larang menonton TV dan bermain. Hukuman yang paling parah menurut Liang adalah di kurung di kamar seharian dan tidak bisa melakukan apa-apa. Universitas Sumatera Utara 129 Sejak kecil Liang dan adik-adiknya dibiasakan kedua orang tua mereka untuk bersembahyang menghormati leluhur dan Dewa-dewa yang mereka anut. Mereka juga di wajibkan bersembahyang pada saat Imlek serta menjauhi pantangan-pantangan ketika Imlek. Mereka juga mengenakan pakaian berwarna merah untuk mengusir roh-roh jahat. Selain itu, Setiap tahunnya juga ia dan keluarganya melakukan Ceng Beng untuk menghormati leluhur mereka. “ Sembahyang lah wajib. Bakar-bakar hio, berdoa dari kecil sudah di suruh.” P3. V.4 L. 27-38 p.1 “ Pas Imlek ya sembahyang juga. Bakar-bakar hio juga, bakar kertas uang- uang kertas, sama ya tradisi udah adatnya juga memang nggak boleh nyapu nanti rejeki ikut tersapu juga. Tradisinya ya seperti itu loh. Kalo dulu ya begitu, sekarang sudah tidak lagi, tinggal bagi-bagi angpaw masih biasalah, tapi sembahyang sudah tidak, maksudnya sembahyangnya sudah beda sama yang sekarang. Sudah Islam ya, kan?” P3. V.4 L. 31-41 p.2 “ itu pake baju merah itu untuk ngusir roh-roh jahat. Menurut tradisinya seperti itulah, kalo Imlek datang, pake yang merah bajunya, nggak boleh nyapu, itulah tradisi Imleknya.” P3. V.4 L. 53-56 p3 “ Ceng Beng. Setiap tahun ya Ceng Beng. Sembahyang nanti di kuburan, bakar-bakar uang akhirat. P3. V.4 L. 62-65 p.3

A. 3. Sikap Terhadap Etnis Lain

Sejak kecil, Liang jarang bergaul dengan etnis lain. Karena itu tidak banyak yang ia ketahui tentang etnis lain. Sambil tertawa Liang mengatakan bahwa satu-satunya stereotip yang pernah ia dengar adalah mengenai sifat orang Batak yang dianggap keras dan kasar. “ Saya kurang tahu, dulunya nggak banyak kenal. Ya kalo dengar-dengar pernah. Yang tabiat kasar itu pernah dengar-dengar juga. Waktu saya ke Universitas Sumatera Utara 130 Jogja dulu, sempat juga dengar dari kawan-kawan sana. Mereka bilang juga, kasar apa semacam kasarlah kalo boleh dibilang. Kalo yang di Medan saya pikir sama semua. Saya pun jarang bergaul, dulu itu kalo bergaul sama buku, jarang bergaul, Cuma selama kerja pas bantu di toko...” P3. V.3 L. 77-86 p.2-3 Namun, Liang mengaku hal tersebut hanya sebatas yang ia dengar saja, sebab ia tidak pernah mengalaminya langsung. B. Dinamika Etnosentrisme selama Menjalani Perkawinan Campur B. 1. Alasan Melakukan Perkawinan Campur Sebelumnya Liang tidak pernah berfikir kalau ia akan melakukan perkawinan campur, karena dikeluarganya tidak ada yang melakukannya. Menurutnya itu semua sudah menjadi takdir dan jodohnya kalau ia dipertemukan dan mencintai wanita yang berbeda etnis dengannya. “.....Karna kita udah sering jumpa, mulai sering cakap, udah mulai akrab, sering bercanda. Kawan saya bilang, katanya kami cocok. Saya pun mikir, mungkin betul kawan saya cakap, saya pun udah berumur, orang tua udah suruh saya kawin. Ya saya pikir, udah cocok, saya pun pingin berkeluarga, punya anak. Ya capek-capek cari uang untuk siapa kalo nggak untuk anak istri, ya kan.” P3. V.1 L. 37-46 p.12 Liang bukannya tidak pernah mencari wanita yang berasal dari etnis Tionghoa juga. Orang tua dan adik-adiknya pun sering mengenalkannya pwada wanita Tionghoa. Akan tetapi, dari semua wanita yang ia kenal baru Rita lah yang membuatnya jatuh cinta. Liang mengaku, rasa cinta membuatnya menomorduakan masalah perbedaannya dengan Rita. Universitas Sumatera Utara 131 B. 2. Lingkungan Tempat Tinggal dan Interaksi Sosial Setelah melakukan menikah, Liang dan istrinya sampai saat ini tinggal di sebuah rumah yang di belinya di daerah perumahan di kota Medan. Para tetangganya berasal dari etnis yang berbeda-beda. Di sini Liang menggunakan bahasa Indonesia dengan keluarga dan tetangganya. Ia jarang berinteraksi atau mengunjungi tetangganya karena terlalu sibuk bekerja. Sebisa mungkin ia akan menyapa dan tersenyum jika berpapasan dengan mereka. “ Setahu saya disini ee...campur semua. Kalo cinanya setahu saya disini banyak yang punya perumahan orang cina juga loh. Cuma bloknya lain- lain. Kalo di sini ada yang Jawa ada yang…..saya kurang tahu juga. Karna jarana di rumah, kenal wajah sama tetanggalah, kalo suku-sukunya nggak tahu, saya nggak pernah tanya-tanya juga. Kalo istri saya mungkin tahu, karna dia kan selalu di rumah..” P3. V.3 L. 111-122 p.4 “ Di sapa, basa-basi tanya dari mana, kita senyumi. Kalo di duluan ya kita balas loh. Cuma nggak lama-lama, papasan sebentar. Kita ya nggak mau di bilang sombong kan….” P3. V.3 L. 125-127 p.4 Liang tetap menjalin hubungan dengan keluarganya dan keluarga istrinya. Ketika Lebaran tiba ia menyempatkan diri bersama istri dan anak-anaknya untuk mengunjungi keluarga istrinya di Kabanjahe. Demikian halnya jika Imlek tiba, Liang juga mengajak mereka mengunjungi orang tuanya di jalan Asia. Pada saat ini dia masih tetap menggunakan bahasa Tionghoa dengan orang tua dan saudaranya. Universitas Sumatera Utara 132

B. 3. Nilai-Nilai Kekeluargaan

Bagi Liang, walaupun telah melakukan perkawinan campur, ia tidak akan melupakan keluarganya. Sampai saat ini ia tetap menghormati ayahnya serta menyayangi ibu dan saudara-saudaranya. Baginya tidak ada apapun di dunia ini yang dapat memisahkan hubungan persaudaraan bahkan kematian. Baginya kematian tidak akan menghapus kenangan yang dimiliki oleh orang-orang yang di tinggalkannya. Walaupun ia tidak lagi menjalankan beberapa tradisi ketika ia masih menganut agama Budha, baginya keluarga tetap menjadi prioritas dalam hidupnya, baik keluarga yang dibinanya sekarang, maupun keluarganya dulu. “....ya keluarga itu tetap nomor satu. Sampai sekarang saya masih tetap bagian dari keluarga saya. Saya tetap anak pertama, cucu pertama. Sesibuk apapun, semua itu harus apa namanya, semuanya tetap untuk keluarga loh. Kita kerja, cari nafkah itu juga udah pasti untuk keluarga, bukan Cuma untuk kita sendiri….” P3. V.4 L. 56-62 p.3 “ Nggak boleh loh. Sama keluarga kita nggak boleh lupa. Itu orang tua kita ngak bisa lupa, berdosa kan kalo kita nggak perduli sam orang tua. Wah gawat lah, bisa di sumpahi. Saya pikir, kalo menurut saya, pasti ada aja balasan kalo kita sampe ee....nggak care sama mereka, sekaa apapun kita nggak boleh lupa dari mana asal kita loh.... P3. V.4 L. 65-74 p.3

B. 4. Sikap Terhadap Budaya Pasangan dan Budaya Etnis Lain

Tinggal di lingkungan dengan pola interaksi yang baru mempengaruhi pola pikir Liang. Dia yang dulu sama sekali tidak mengenal tentang adat dan budaya lain secara kini mengenal budaya istrinya. Dimulai ketika ia menjalani perkawinan di rumah mertuanya. Ia berkenalan dan berinteraksi dengan orang- orang batak Karo, mendengar dan belajar bahasa Karo serta sedikit adat mereka. Bahkan ia sekarang memiliki marga Karo. Universitas Sumatera Utara 133 “ pake bahasa Karo, waktu saya ke sana, waktu melamar, rata-rata itu semua pake bahasa Karo. Waktu sama saya pake bahasa Indonesia... P3. V.4 L. 217-220 p.8 “ nggak tahu. Saya nggak pernah belajar. Nggak tahu mereka ngomong apa. P3. V.4 L. 222-224 p.8 “ karna saya ngak tahu, saya diam aja, saya dengar itu, kalo dari bahasa seperti ada nadanya, logatnya. Dari ada turun naik iramanya. Seperti dia itu ada polanya gitu...ad juga ya kedengarannya karna suara besar suaranya kerasa jadi terkesan agak kasar dia...” P3. V.4 L. 228-234 p.8 Liang mengakui adanya perbedaan adat dengan keluarga istrinya dalam hal budaya. Namun, rasa cinta membuatnya mencoba untuk mengatasi perbedaan tersebut dengan cara beradaptasi dengan perbedaan itu. Ia juga mengatakan kalau stereotip yang dulu ia dengar mengenai sifat kasar dan keras orang Batak ada benarnya. Saat berada di kampung istrinya, ia mendengar logat bicara orang-orang di sana agak keras dan kasar. Namun setelah tahu makna kalimat yang diucapkan ternyata bertolak belakang dengan cara pengucapannya. B. 5. Stress Akulturasi Ketika memutuskan untuk menikahi Rita, Liang menyadari bahwa jalan yang ia pilih tidak akan mudah. Ia mengalami dilema ketika harus memilih untuk menjadi muallaf. Untunglah kedua orang tuanya, walaupun sulit, akhirnya memberi restu padanya. Namun, masalah yang muncul tidak hanya masalah agama, orang tua Rita juga memberi syarat pada Liang agar membeli marga yang seimpal dengan putri mereka. Pada saat ini Liang benar-benar merasa bingung. Ia takut orang tuanya tidak akan setuju, sebab mendapat izin untuk menjadi muallaf saja sudah sangat sulit, apalagi kalau ia harus mengganti marganya. Universitas Sumatera Utara 134 “ Apa kata orang tua kalo misal marga pun saya juga rubah total. Bisa jadi mereka putus hubungan sama saya. Saya kan nggak mau kek gitu. Durhaka. Ya saya pun mikir perasaan orang tua, mereka udah besarin saya, sekolahkan saya, masak udah besar bikin susah. Sama orang Cina marga itu penting loh. Sama juga kayak orang Batak. Itu maka, dari dulunya, orang Cina itu kalo misal dia nggak punya anak laki-laki, dia boleh aja nikah lagi. Poligami lah sampe dapat anak laki-laki. Itu biar ada yang nerusin marga.” P3. V.2 L. 119-128 p.7 Namun, setelah diberitahu bahwa ia tidak akan kehilangan marganya, Liang akhirnya bersedia membeli marga yang seimpal dengan Rita. Ia dicarikan orang tua angkat, kemudian dilakukan upacara adat pemberian marga, setelah ia menjadi muallaf. Liang juga sempat mengalami masalah karena tidak memahami bahasa batak Karo. Apalagi ketika ia berada di kampung halaman Rita. Hampir semua orang berkomunikasi dengan bahasa batak Karo. Tidak satupun kata yang mereka ucapkan ia mengerti. “ pake bahasa Karo, waktu saya ke sana, waktu melamar, rata-rata itu semua pake bahasa Karo. Waktu sama saya pake bahasa Indonesia... P3. V.4 L. 217-21 p.8 “ Mereka bicara apa saya nggak paham. Orang tuanya ibu juga begitu, sama dia nanti juga pake bahasa Batak. Ya nggak ngga paham juga.” P3. V.4 L. 240-243 p.8

B. 4.Strategi Akulturasi

Berbagai masalah yang disebabkan perbedaan latar belakang budaya dengan Rita menuntut Liang untuk mencari solusi. Karena mencintai dan merasa bahwa Rita adalah jodohnya, Liang bersedia mengalah dan menjadi muallaf. Dan sekarang ia tidak menyesal telah memilih jalan tersebut. Universitas Sumatera Utara 135 “ Ya. Jujur saya muallaf itu supaya bisa nikah. Tapi setelah saya jalani, sampe sekarang, saya rasa tidak ada masalah dengan pilihan saya. ” P3. V.1 L. 145-147 p.12 Ia juga tidak menyesal telah membeli sebuah marga Karo yang menjadi syarat perkawinannya. Baginya sekarang ia seperti memiliki dua kewarganegaraan. Dan ia tahu bahwa tidak hanya dirinya yang mengalami hal tersebut. Ia bercerita bahwa salah seorang kliennya yang berasal dari Australia bahkan sengaja membeli marga Batak agar dapat berbaur dengan etnis Batak yang ada di kota Parapat. Hal-hal baru yang dialaminya sejak ia mengenal Rita dianggapnya sebagai pengalaman yang berharga. “ Ya nggak masalah. Itu kan sama kayak orang yang punya dua kewarganegaraan, Indo, ya nggak masalah. ” P3. V.2 L. 90-92 p.6 “ Ya saya pun awalnya bingung juga. Saya tanya sama Bapaknya, Kalo saya jadi Tarigan marga saya hilang juga nggak. Pas kata bapaknya nggak, saya pun ya lega juga. Ya saya juga pernah dengar orang-orang yang beli marga juga ada. Itu biasanya ya sama kayak saya kalo mau nikah. ” P3. V.2 L. 110-116 p.12 Di rumah, Liang juga tidak mengajarkan budaya Tionghoa pada anaknya. Ia akan mengajarkannya pada mereka jika mereka sendiri yang memintanya. Ia hanya mendaftarkan anaknya untuk les bahasa Mandarin karena menurutnya bahasa tersebut penting karena sering dituntut dalam dunia kerja. Liang juga tidak melarang anaknya untuk melakukan perkawinan campur seperti dirinya. Ia hanya berharap, anaknya menjadi manusia yang berguna kelak. Universitas Sumatera Utara 136

IV. C. PEMBAHASAN