Dinamika Etnosentrisme pada Pria Etnis Tionghoa yang Menjalani Perkawinan Campur

(1)

DINAMIKA ETNOSENTRISME

PRIA ETNIS TIONGHOA YANG MENJALANI

PERKAWINAN CAMPUR

S K R I P S I

OLEH:

EMMA FAUZIAH SARAGIH

0 3 1 3 0 1 0 7 4

F A K U L T A S P S I K O L O G I

U N I V E R S I T A S S U M A T E R A U T A R A

M E D A N


(2)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Januari 2008

Emma Fauziah Saragih

Dinamika Etnosentrisme pada Pria Etnis Tionghoa yang Menjalani Perkawinan Campur

(ix + 165; 10 tabel, 6 gambar, 3 lampiran )

Etnosentrisme merupakan suatu sumber utama perbedaan budaya dalam bentuk sikap. Setiap individu atau kelompok individu cenderung memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan kriteria kelompok sendiri, memandang kelompok sendiri sebagai pusat alam semesta yang mempengaruhi interaksi interklutural. Di Indonesia, salah satu kelompok yang memiliki etnosentrisme yang tinggi adalah etnis Tionghoa, terutama Tionghoa di kota Medan. Akan tetapi, fakta lapangan menunjukkan ada beberapa pria etnis Tionghoa yang melakukan perkawinan campur.

Dalam penelitian ini ingin digambarkan alasan pria etnis Tionghoa melakukan perkawinan campur, serta dinamika etnosentrisme dalam dirinya sebagai akibat dari proses akulturasi selama menjalani perkawinan campur.

Untuk mendapat jawaban ini, digunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala tingkah laku individu menurut pengalaman subjektifnya, sebab variabel etnosentrisme ini dan pengalaman akulturasi dalam menjalani perkawinan campur bersidat sangat subjektif dan sangat tergantung pada pangalaman dan perasaan individu yang mengalaminya. Dalam pengumpulan data digunakan teknik wawancara mendalam yang tidak terstruktur da observasi yang sifatnya non-partisipan. Partisipan dalam penelitian ini adalah pria etnis Tionghoa yang menjalani perkawinan campur dengan karakteristik kedua orang tua berasal dari etnis Tionghoa serta beragama Khong Hu Cu atau Buddha.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan para partisipan melakukan perkawinan campur bervariasi, demikian juga dengan dinamika etosentrisme yang terjadi pada mereka. Variasi ini disebabkan karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses aklturasi selama menjalani perkawinan campur, seperti taraf pendidikan, lingkungan, tingkat persamaan kebudayaan dengan pasangan, taraf dominansi budaya pasangan, dan tingkat ekonomi. Walaupun strategi akulturasi yang dipilih partisipan bervariasi, namun etnosentrisme dalam dirinya tidak hilang. Etnosentrisme ini mengalami dinamika seiring dengan proses akulturasi selama menjalani perkawinan campur. Dengan kata lain, etnosentrisme ini lah yang menentukan strategi akulturasi mana yang digunakan dalam menjalani perkawinannya.


(3)

KATAPENGANTAR

Alhamdulillah…….Akhirnya tiba juga giliran untuk menuliskan bagian ini. Puji syukur kepada Engkau ya Allah, karena rahmat Mu lah skripsi ini dapat diselesaikan. Jujur saja, dari sekian banyak halaman dalam skripsi ini, bagian inilah yang paling ingin aku tulis. Setiap mahasiswa yang bernasib sama denganku pastinya mengakui bahwa pada halaman inilah semua suka duka selama proses penyelesaian penelitian dapat dituangkan secara legal. Istilah ilmiahnya halaman untuk `ajang katarsis` lah.

Tidak dapat disangkal selama proses penyelesaian penelitian ini dibutuhkan usaha keras dan kesabaran. Selain itu, semuanya tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, dukungan serta do`a orang-orang disekitarku.

Ucapan terima kasih yang setulusnya ku persembahkan kepada:

1. Ibu Dr. Irmawati, M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi USU dan penguji seminar (terima kasih atas masukan judulnya ya, Bu)

2. Ibu Rika Eliana, Psi. selaku dosen pembimbing penelitian, terima kasih banyak atas kesabaran serta waktu yang ibu berikan selama membimbing saya.

3. Ibu Arliza Juariani Lubis, M. Si. selaku pembimbing akademik, terima kasih atas dukungan dan masukannya ya, Bu.

4. Ibu Dra. Sri Mulyani, terima kasih atas masukan dan pinjaman bukunya ya, Bu. Terima kasih pada staf-staf pengajar dan Tata Usaha.


(4)

5. Kak Silvi `99 dan kak Ama `00, makasih banyak atas masukan dan pinjaman skripsinya ya, Kak. Kak Etenk `99, makasih banyak atas pinjaman printer nya ya, kak.

6. Nah, di bagian ini khusus untuk teman-teman seperjuangan

- Pertama, khusus buat teman-teman `GANG-DEAD-LINE` yang ngebet banget pengen masuk dalam daftar ucapan terima kasih, Veni alias Indun alias Zipo, makasih banget Po, udah menyediakan waktu jadi tukang ojek selama nyari sampel. Ntar ongkos bensin ku ganti pake chunky deh, hehe. Buat Devi alis upil alias Devil, thanks udah bersedia menampung diriku selama ambil data. Biaya makan, air, listrik, penginapan, dll, tagih ke Veni aja, ya. Buat Nina `bobok`, thanks atas do`a ente, moga ente jadi dokter yang berguna bagi nusa dan bangsa (ceile….). Buat Ade alias nyak Kunyil, thanks atas dukungannya, moga ente jadi istri dan ibu yang baik. Bertemu dan bersahabat dengan kalian membuat hidupku dipenuhi tantangan dan `kegilaan`. For the last, buat gang kita, And all for one, one for all, semoga ajang `dead-line`dan begadang tidak mendarah daging selamanya, Amiiiiiiiin!!!!!

- Buat teman-teman seangkatan, Frans, makasih sms, do`a dan

dukungannya. Corry dan Naomi (keep figthing friend!!!!), Rio (jangan kebanyaan baca komik! Ingat De-O, hehe), Bobby, Indra, Nina Ginting, Suryati, Inanda, dan yang lainnya yang tidak dapat kusebut satu persatu, terima kasih atas dukungan kalian semua, tanpa kalian halaman ini tidak akan lengkap dan bermakna.


(5)

- Untuk teman-teman di Persona, kak Lisa, Kak Isra, Ipul, Laras, Susi, Momo, Oni, Aci, makasih atas do`a dan dukungan kalian.

7. Buat kak Diana, makasih udah bersedia nyari sampel buat aku. Buat bang Ilal dan satpam-satpam Griya Marelan, makasih atas informasi tentang sampelnya.

8. Terima kasih banyak buat para partisipan dan pasangannya yang

meluangkan waktu untuk diwawancarai (maaf ya Pak, Bang, Kak, Bu, saya tidak berani mencantumkan nama, ntar melanggar kode etik lagi).

9. Buat teman-teman dan pelanggan di taman bacaan SPIRIT, tempat

nongkrong berbagi stress dan kegilaan, Bang Simon (Kurem), Bang Jimmy (Jimbo), Bang Richad (Bang-Chad), Bang Pavly, Bang Willy, Kak Lilis, Kak Ipah, Kak Lina, Kak Gina, Era, (thanks atas info tentang Tionghoanya), Putri, Bang Aswin, Nurul, atas `kick-kapan sidang Ma????` dan do`anya,

and hidup SPIRIT!!!!!.

10. Terima kasih buat doa dan sms teman-teman serta senior dan junior di SMUN-4 Pematang siantar, Kak Ika, Kak Noeq, Kak Rais, Radhiyatul (Atoel), Rudi (Gusdur), Didik, Fedrika, Ria Poel dan anak-anak Pramuka. 11. Buat keluarga besar di Gunting Saga, Opung, Tulang dan Nantulang , Bapak

dan Ibu, serta saudara-saudara sepupuku, trima kasih atas do`a dan dukungannya. Tulang Am, Nantulang Ita dan Nenek dan Bang Wiwid yang bersedia menemani dan mencari sampel penelitianku.

12. Buat Bang Karim dan Kak Elly, trima kasih atas do`a dan dukungannya. Bagiku kalian sudah seperti saudara kandungku sendiri. Terima kasih telah


(6)

menjaga dan menjadi sahabat keluargaku. Buat Eka, Rika (Icha), dan Jaka, makasih atas moment indah saat bermain dengan kalian yang lucu-lucu. Kenakalan dan kepolosan kalian telah mewarnai jalan hidupku Jadilah anak yang berbakti buat orang tua kalian.

13. Tiga belas bukanlah angka sial. Pada poin terkahir ini aku sengaja menempatkan orang-orang yang paling penting dan berarti dalam hidupku, yang membuatku merasa sebagai orang yang paling beruntung. Ayah dan Bunda, tidak ada benda apapun di dunia ini yang dapat membayar kasih dan do`a kalian pada ananda. Kak Juli, Bang Baby, dan adikku Indra, tak ada orang yang dapat menggantikan kalian sebagai saudara bagiku. Bertengkar dan bermain dengan kalian membuatku merasa hidup ini jauh lebih bemakna. Terima kasih atas suka dan duka yang kurasakan bersama kalian, aku tidak mampu membayangkan hidupku tanpa kalian sebagai keluargaku.

Akhir kata, terima kasih atas semua pihak yang membantu, tanpa kalian karya ini tidak akan bermakna. Dengan ikhlas penulis menerima saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan karya ini.

Medan, Januari 2008


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTARTABEL ... vii

DAFTARGAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN I. A. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1

I. B. PERUMUSAN MASALAH ... 15

I. C. TUJUAN PENELITIAN ... 16

I. D. MANFAAT PENELITIAN ... 16

I. E. SISTEMATIKA PENULISAN ... 17

BAB II LANDASAN TEORI II.A. ETNOSENTRISME ... 19

II. A. 1. Definisi Etosentrisme ... 19

II. A. 2. PembentukanEtnosentrisme ... 21

II. B. ETNIS TIONGHOA ... 25

II. B. 1. Etnis Tionghoa di Kota Medan ... 25

II. B. 2. AjaranyangDianutEtnisTionghoa ... 28

II. B. 3. Nilai-Nilai Kekeluargaan Etnis Tionghoa (Familiisme) 29 II. C. PERKAWINAN CAMPUR ... 32

II. C. 1. Definisi Perkawinan Campur ... 32


(8)

BAB III METODE PENELITIAN

III. A. PENDEKATAN KUALITATIF ... 39

III. B. METODE PENGUMPULAN DATA ... 40

III. C. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA ... 41

III. D. PARTISIPAN PENELITIAN ... 42

III. E. PROSEDUR PENELITIAN ... 43

III. F. PROSEDUR ANALISIS DATA ... 45

BAB IV ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI IV. A. DESKRIPSI DATA ... 48

IV. A. 1. Partisipan I ... 48

IV. A. 2. Partisipan II ... 51

IV. A. 3. Partisipan III ... 55

IV. B. REKONSTRUKSI DATA ... 57

IV. B. 1. Data Observasi ... 59

IV. B. 1. 1. Partisipan I ... 59

IV. B. 1. 2. Partisipan II ... 65

IV. B. 1. 3. Partisipan III ... 69

IV. B. 2. Data Wawancara ... 70

IV. B. 2. 1. Partisipan I ... 70

IV. B. 2. 2. Partisipan II ... 85

IV. B. 2. 3. Partisipan III ... 126

IV. C. PEMBAHASAN ... 136


(9)

V. C. 2. Gambaran Etnosentrisme Partisipan sebelum mnajalani Perkawinan campur ... 137 V. C. 3. Dinamika Etnosentrisme Partisipan selama menjalani Perkawinan Campur ... 145

BAB V KESIMPUILAN DISKUSI DAN SARAN

V. A. KESIMPULAN ... 130 V. B. DISKUSI ... 138 V. C. SARAN ... 141

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Gambaran Umum Partisipan I ... 48

Tabel 2: Gambaran Umum Partisipan II ... 52

Tabel 3: Gambaran Umum Partisipan III ... 55

Tabel 4: Gambaran Umum Partisipan ... 136

Tabel 5: Gambaran Etnosentrisme Partisipan I sebelum menjalani Perkawinan campur ... 138

Tabel 6: Gambaran Etnosentrisme Partisipan II sebelum menjalani Perkawinan campur ... 140

Tabel 7: Gambaran Etnosentrisme Partisipan III sebelum menjalani Perkawinan campur ... 143

Tabel 8: Dinamika Etnosentrisme Partisipan I selama menjalani Perkawinan campur ... 146

Tabel 9: Dinamika Etnosentrisme Partisipan II selama menjalani Perkawinan campur ... 148

Tabel 10: Dinamika Etnosentrisme Partisipan III selama menjalani Perkawinan campur ... 151


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Skema landasan teori penelitian ... 18

Gambar 2: Hubungansegitiga dalam ajaran Konfusianisme ... 30

Gambar 3: Skema proses akulturasi dalam perkawinan campur ... 35

Gambar 4: Faktor-faktor yang mempengaruhi proses akulturasi ... 36

Gambar 5: Skema Rekonstruksi Data ... 58

Gambar 6:Gambar benda-benda di rumah Partisipan I yang berciri budaya Tionghoa ... 125


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

I. A. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang dicirikan oleh adanya keragaman budaya. Keragaman tersebut terlihat dari perbedaan keyakinan agama, bahasa dan etnis (suku bangsa). Keragaman etnis memang indah dan menjadi kekayaan bangsa yang sangat berharga, namun dibaliknya terkandung pula potensi konflik yang besar. Hal ini terjadi karena masyarakat terbagi ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan identitas kultural mereka. Mereka melakukan identifikasi kultural (cultural dentification) yang akan memunculkan identitas etnis. Menurut Roger dan Steinfatt (dalam Turnomo, 2005) identitas etnis inilah yang akan menentukan individu-idividu yang termasuk ke dalam ingroup dan

outgroup.

Menurut Hariyono (1993), pada umumnya individu memiliki solidaritas yang tinggi terhadap ingroupnya, sebaliknya memiliki perasaan antagonisme dan antipati terhadap outgroup. Disadari atau tidak setiap individu atau kelompok individu sering menganggap kelompoknya sendiri (ingroup) sebagai yang terbaik dibandingkan kelompok lainnya (outgroup).

Menurut Sumner (dalam Lubis, 1999) adanya perbedaan sikap terhadap

ingroup dan outgroup ini disebabkan oleh sifat dasar dari individu sebagai makhluk individualistik yang cenderung mengikuti naluri biologis untuk mementingkan diri sendiri serta menganggap kelompoknya sebagai pusat


(13)

segalanya dan superior dibandingkan kelompok lain. Individu akan menilai budaya lain berdasarkan standar budayanya, khususnya dalam hal bahasa, perilaku, adat istiadat (customs), dan agama. Kecenderungan ini oleh Sumner disebut sebagai etnosentrisme.

Zastrow (dalam Lubis, 1999) menambahkan bahwa setiap kelompok etnis memiliki keterikatan etnis yang tinggi melalui etnosentrisme, yaitu suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai suatu yang mutlak dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain. Etnosentrisme ini akan membimbing para anggotanya untuk memandang kebudayaan mereka sebagai yang terbaik dan lebih unggul dibandingkan kebudayaan lainnya. Selain itu, etnosentrisme juga menyebabkan munculnya prasangka bahwa kelompok lain adalah orang barbar, kafir dan tidak mempunyai peradaban.

Hogg (2003) menambahkan bahwa di dalam etnosentrisme terdapat unsur stereotip. Stereotip inilah yang membuat individu atau kelompok individu melakukan generalisasi (biasanya bersifat negatif) pada kelompok lain dengan mengabaikan perbedaan individual.

Menurut Sutrisna (2005), di Indonesia, etnis yang dianggap memiliki etnosentrisme yang cukup kental adalah etnis Tionghoa. Dimanapun mereka berada, mereka cenderung menunjukkan etnosentrisme. Menurut Siswono Judo Husudo (dalam Tarmizi, 1997) etnosentrisme inilah yang menyebabkan sulitnya terjadi proses pembauran etnis Tionghoa. Etnosentrisme ini dapat dilihat dari beberapa hal berikut:


(14)

1. Masih banyak etnis Tionghoa yang tinggal secara eksklusif di wilayah tertentu.

2. Cenderung memprioritaskan etnis Tionghoa dalam merekrut tenaga kerja

3. Membeda-bedakan etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi dalam

masalah bisnis.

4. Tidak menunjukkan solidaritas dan kebersamaan sosial dengan penduduk pribumi dalam bertetangga

5. Sebagian dari etnis Tionghoa belum bersedia mengembangkan rasa identitas nasional secara utuh

6. Masih ada yang menggunakan bahasa Tionghoa dalam percakapan sehari-hari dan masih memegang adat istiadat serta tradisi nenek moyang, tidak berusaha untuk menguasai bahasa Indonesia dengan benar.

7. Masih ada di antara mereka yang merasa lebih unggul dibandingkan dengan kelompok etnis yang lain dalam masyarakat”

Mallory (dalam Lubis, 1999) menambahkan bahwa etnis Tionghoa juga cenderung hidup dalam komunitas yang segregatif (menyendiri dan terpisah) dalam area pemukiman sendiri. Menurut Pelly (dalam Lubis 1999), dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemukiman eksklusif kelompok etnis ini berfungsi sebagai kepompong yang dimanfaatkan sebagai benteng etnis. Adanya benteng etnis akan memperkuat kecenderungan untuk memisahkan diri dari kelompok lain sehingga sulit terjadi komunikasi dan interaksi sosial dengan kelompok lain.


(15)

Fakta lain yang menunjukkan keeksklusivan ini dapat dilihat pada beberapa iklan lowongan pekerjaan yang ada di beberapa media massa. Beberapa perusahaan mengajukan syarat mampu berbahasa Hokkien dalam iklannya. Secara tidak langsung syarat ini akan mengeleminir para pencari kerja yang tidak mampu berbahasa Hokkien atau dengan kata lain para pencari kerja yang bukan beretnis Tionghoa (Harian Analisa, Kamis, 14 Juni 2007). Sutrisna (2005) menatakan bahwa kondisi ini disebabkan adanya sistem bisnis etnis Tionghoa yang melibatkan ikatan personal yang berbasis kultural kekeluargaan daripada ikatan formal legal. Etnis Tionghoa terikat oleh jalinan kekeluargaan yang dinamakan

bamboo-network. Jaringan bisnis ini semakin kuat karena melibatkan sistem kekerabatan melalui transfer kecakapan dan rahasia dagang yang dimonopoli secara turun temurun. Hal ini juga didukung oleh pernyataan salah seorang partisipan dalam penelitian ini.

“Itu karna udah sifatnya kek gitu. Orang Cina ini kan biasanya kalo ada bisnis dia maunya sama yang Cina juga. Kek ibaratnyalah, kek pamanku, punya bengkel dia nanti kan, mau dia nanti yang neruskannya itu anak-anaknya juga, kalo nggak ada nanti di panggilnya anak-anak saudaranya.”

Selain itu, fakta lapangan menunjukkan bahwa pada beberapa perusahaan milik etnis Tionghoa terdapat sistem penggajian yang berbeda pada karyawan yang bukan berasal dari etnis Tionghoa. Adi (bukan nama sebenarnya), salah seorang karyawan di perusahaan swasta mengaku digaji lebih rendah dari pada rekannya yang beretnis Tionghoa walaupun memiliki jabatan yang sama.

“....ya bos kami kan orang Cina, nanti gajinya beda itu antara yang Cina sama yang nggak. Padahal jabatan awak sama sama dia. Kalo lembur pun sama-sama lembur juganya. Dulu pas awak nggak tahu ya nggak masalah. Rupanya nggak sengaja, dianya juga yang bocorkan. Gondok juga. Baru


(16)

tahulah awak kalo di kantor itu dibeda-bedakan juga. Padahal kerjanya sama ajanya....”

Eksklusivitas etnis Tionghoa ini menimbulkan pandangan negatif di kalangan masyarakat lainnya. Coppel (dalam Wibowo, 2000) mengidentifikasi beberapa karakter mengenai etnis Tionghoa yang berkembang dalam masyarakat pribumi:

1. Etnis Tionghoa dianggap sebagai sebuah bangsa (ras) yang terpisah, yaitu bangsa Cina

2. Posisi etnis Tionghoa yang diuntungkan dalam struktur sosial (pada masa pemerintaan Belanda) dianggap sebagai faktor yang membuat mereka menjadi kuat dalam bidang perekonomian menjadi sumber ketidaksenangan masyarakat

3. Struktur sosial diskriminatif selama penjajahan Belanda melahirkan persepsi bahwa etnis Tionghoa memiliki sikap arogan, memandang rendah masyarakat Indonesia asli, cenderung eksklusif dan mempertahankan nilai-nilai budayanya dimanapun mereka berada

4. Etnis Tionghoa dilihat sebagai kelompok yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri, khususnya kepentingan ekonomi

Taher (dalam Turnomo, 2005) menambahkan bahwa munculnya masalah yang berkaitan dengan etnis Tionghoa juga disebabkan oleh faktor kultural. Kebudayaan Cina merupakan kebudayaan tertua di dunia. Salah satu kebanggaan bagi orang Tionghoa adalah kemampuan mereka berkembang di suatu tempat, menyebar dan memberi pengaruh kebudayaannya di wilayah tersebut. Akibatnya,


(17)

orang Tionghoa cenderung chauvinistik, sering memandang rendah kebudayaan lain.

Namun, berdasarkan beberapa penelitian dan literatur diperoleh informasi bahwa tidak semua etnis Tionghoa memiliki etnosentrisme yang kental. Menurut Setiono (2007), masyarakat Tionghoa yang ada di Sumatera Utara, Jambi, Riau, Bangka-Belitung, dan Kalimantan Barat, memiliki karakteristik berbeda dibandingkan etnis Tionghoa di daerah lainnya. Walaupun dilahirkan di Indonesia, masyarakat Tionghoa di daerah-daerah ini masih kental memelihara budaya Tionghoa dan setiap hari menggunakan bahasa Tionghoa atau dialek asal kampungnya.

Pernyataan Setiono ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh M. Rajab Lubis (1995) pada etnis Tionghoa di kota Medan. Dari penelitian yang dilakukannya diperoleh hasil bahwa etnis Tionghoa di kota Medan memiliki motivasi yang rendah dalam hal berafiliasi terhadap etnis setempat. Mereka juga lebih sering berkomunikasi menggunakan bahasa Tionghoa baik di rumah maupun di tempat-tempat umum.

Penelitian yang dilakukan oleh Suwardi Lubis (1999) juga mendukung hal ini. Dari penelitiannya terhadap beberapa etnis di kota Medan (termasuk etnis Tionghoa) diperoleh hasil bahwa komunikasi intraetnis lebih efektif dari pada antar etnis. Didirikannya sekolah pembauran di kota Medan oleh Dr. Sofyan Tan juga di latarbelakangi oleh eksklusivisme etnis Tionghoa di kota ini. Berikut pendapat Dr. Sofyan Tan tentang etnis Tionghoa di Medan:

“Masyarakat pribumi Indonesia dan warga keturunan Cina tak pernah merasa nyaman satu sama lain. Kecurigaan antar kelompok sangat


(18)

dalam; Alasan ketegangan ini sangat kompleks. Seperti halnya kebanyakan Cina perantauan di Asia Tenggara, komunitas ini bekerja keras, berhasil, dan mendominasi bisnis di negara tersebut. Banyak yang merasa lebih tinggi dibandingkan dengan tetangganya, dan menolak untuk berasimilasi "ke bawah." Kendali etnik Cina terhadap ekonomi telah memicu kecemburuan dan kebencian dari pribumi Indonesia. Kenyataan lain yang tak membantu, kebanyakan suku Cina cenderung terpadu erat, walaupun keturunan dari kebanyakan warga Indonesia keturunan Cina ini datang beberapa generasi yang lampau. Bertahan dengan bahasa dan adatnya, komunitas ini memberikan kesan sombong dan tertutup. Misalnya, perusahaan swasta Cina sangat jarang sekali mempekerjakan buruh pribumi.”

Selain hal di atas, ada beberapa pendapat dari etnis Tionghoa sendiri (etnis Tionghoa di luar kota Medan) mengenai etnis Tionghoa Medan yang diperoleh dari milis Tionghoa (tionghoa-net@yahoogroups.com). Pendapat tersebut antara lain:

“ Suka tidak suka, benar atau tidak, fakta yg tdk bisa disangkal adalah bahwa stereotip Tionghoa negatif turut disumbangkan oleh Tionghoa Medan secara signifikan. Di antara kalangan orang Tionghoa pun stereotip ini telah terbentuk. Sebutan "Cimed" atau "Cina Medan" adalah sebuah konotasi negatif yg sudah "terkenal" sampai di Papua. Ini karena apa? Banyak yg bilang karena perilaku orang2 Tionghoa asal Medan yg cenderung menghalalkan segala cara dlm berbisnis, termasuk bisnis judi gelap yg kebanyakan dilakukan oleh Tionghoa2 asal Medan. Pergaulan Tionghoa Medan dgn pribumi yg sering dipersepsi tdk harmonis karena Tionghoa Medan yg cenderung memandang rendah pribumi, sikap yg dibawa2 terus sampai ke daerah2 rantaunya, terutama di Jakarta dan kota2 besar lainnya memperkuat prasangka negatif terhadap Tionghoa secara keseluruhan. Suka tidak suka, benar atau tidak, di kalangan Tionghoa sendiri banyak yg tdk suka dgn sikap2 yg dipertontonkan oleh Tionghoa2 asal Medan.”

(Sumber: Daniel H.T., 2007)

“….gue pernah tinggal di medan 5 thn, emang orang chinese medan beda ama chinese jawa /sunda. chinese medan nggak mau bergaul---> kalaupun ada jaraaaaaang banget. Dan kalau ngomong pasti pakai bahasa mereka, walaupun ada teman2 lain yg non chinese disekitarnya. contohnya wkt gue kursus inggris di ppia, yg sama2 chinese ngomong mandarin (bukannya ngomong inggris di tempat kursus :hehe :P), gue yang ada di situ benar2 risih. Kenapa begitu? [dunno] nggak tau juga, mungkin karena chinese


(19)

medan rata2 memang kaya/sangat berada, jadi nggak mau mingle ama. Tapi kalau chinese jawa/sunda pasti pada pinter ngomong jawa/sunda.” (Sumber: ”Holy uncle ”, 2007)

“ Mungkin sejak kecil, saya mendapat image atau gambaran yang kurang positive tentang saudara2 kita warga keturunan tionghoa ini (tionghoa medan). Baik mungkin itu dari keluarga, lingkungan sekitar dan temen sepermainan. Kesannya mereka sombong dan tidak suka bergaul dengan anak2 lainnya. Image ini terus terbawa sampai saya berkelana ke Medan untuk melanjutkan es-em-a. Saat saya di Medan, jarang sekali ketemu saudara2 keturunan tionghoa ini yang bisa berbahasa Indonesia atau melayu dengan lancar. Kadang saya merasa tidak nyaman saat mendengar mereka berbicara dalam bahasa tionghoa atau apa pun di tempat2 umum. They speak loudly. Mungkin ini kesalahan saya juga, itu kan hak meraka. Even sampai sekarang, saya ada teman tionghoa yang satu lab yang berasal dari Medan, dia tidak lancar berbicara Indonesia. Dan akhirnya saya malah menggunakan inggris tiap kali berkomunikasi dengan dia. Satu lagi yang unik mengenai kebiasaan orang-orang tionghoa di Medan, kalo kita melihat rumah dengan banyak jeruji besi mulai dari pintu sampai jendela, bisa dipastikan bahwa itu adalah rumah orang tionghoa. Maaf, sekali,,rumahnya seperti penjara, semuanya dijeruji besi. Sekali lagi saya mohon maaf kalo ada pembaca Koki yang merupakan keturunan tionghoa dari Medan. Ini hanya pengalaman pribadi saya, dan mudah2an thing’s changed now.

Mengenai attitude saudara2 keturunan tionghoa dari Medan, belakangan saya tau dari sesama teman tionghoa sewaktu saya kuliah di Bandung. Entah karena alasan apa, temen2 tionghoa Medan kurang bisa diterima oleh temen2 tionghoa yang dari Jawa. Mungkin salah satunya karena temen2 tionghoa Jawa tidak bisa berbicara dalam bahasa mandarin, atau kanton apa pun itu.

Di sini saya mempunyai teman dekat yang juga keturunan tionghoa. Lucunya dari temen saya ini, orang tuanya bilang ke dia kalo dia diijinkan nikah dengan wanita mana saja, baik keturunan atau pribumi asal tidak dengan keturunan tionghoa dari Medan… hehehehe.. Keadaannya berbalik hampir 180 derajat dari semua image tentang orang tionghoa yang saya temui di Medan.

Di pulau Jawa, khususnya di Bandung, temen2 keturunan tionghoa sangat terbuka dalam bergaul, dan walau pun mereka sadar kadang didiskriminasi, tapi tetep saja mereka berusaha bergaul dan bersosialisasi dengan temen2 dari daerah lain. Dan yang membuat saya terkagum-kagum, mereka bisa berbahasa daerahnya dengan lancar. Yang dari jawa barat bisa ngomong sunda, yang dari jawa lain bisa ngomong jawa medok.”


(20)

“Keturunan Cina yang besar di Jawa pada zaman Soeharto udah gak bisa ngomong Chinese lagi. Dulu waktu saya kuliah di Michigan saya punya banyak teman CIMED (Cina Medan). Tapi susah kalau kumpul kumpul sama mereka, nggak ngerti mereka itu ngomong apa, soalnya mereka ngomong hokkien, lalu kalau kumpul-kumpul sama teman-teman yang dari Singkawang, Pontianak juga susah, mereka pada omong Tio Chiu (kalo nggak salah). Saya merasa asing di lingkungan mereka.”

(Sumber: Harry Lukman , 2007, pria keturunan Tionghoa yang besar di Jawa dan saat ini tinggal di Washington DC, dalam Harian Kompas, Cyber Media Community).

Gambaran di atas jelas menunjukkan adanya etnosentrisme pada etnis Tionghoa (khususnya di kota Medan). Etnosentrisme ini tentu saja tidak muncul dengan sendirinya. Sebagai suatu bentuk sikap, etnosentrisme pada diri individu dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, kebudayaan, orang yang dianggap penting, media massa, dan lain-lain (Azwar, 1995). Menurut Hariyono (1993), baik secara sadar maupun tidak sadar, etnosentrisme terbentuk melalui proses sosialisasi dan internalisasi yang diajarkan kepada anggota suatu kelompok sosial bersama dengan nilai-nilai kebudayaannya.

Kebudayaan dan kehidupan masyarakat Tionghoa dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang berasal dari ajaran Budhisme, Taoisme dan Konfusinisme. Ajaran yang paling berpengaruh dalam kehidupan dan kebudayaan etnis Tionghoa adalah ajaran Konfusius. Konfusius mengajarkan suatu tradisi yang baik, dimana orang-orang yang mengikuti ajaran ini akan hidup lebih baik. Orang ”liar” akan beradab bila mengikuti tradisi ini. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Konfusius mengarah pada pemupukan etnosentrisme, dimana orang-orang Tionghoa akan memandang dirinya lebih superior dan orang di luar kelompoknya inferior dan memiliki peradaban rendah yang akan menjadi beradab bila menganut ajarannya.


(21)

Ajaran Konfusius menitikberatkan pada etika dan moralitas dalam keluarga yang diharapkan mentradisi secara turun-temurun. Keluarga merupakan tempat anak bersosialisasi pertama kali. Di dalam keluarga anak akan menerima nilai-nilai yang diajarkan orang tuanya. Terlebih lagi ajaran tersebut menyangkut kedudukan setiap anggota keluarga, sehingga memungkinkan sosial kontrol yang kuat dalam menginternalisasi nilai budaya pada anak. Oleh karena itu ajaran Konfusius tentang nilai-nilai kekeluargaan dapat tertanam kuat dimanapun ia berada. Kuatnya nilai-nilai kekeluargaan ini dapat membentuk ingroupfeeling yang kuat, yang menyebabkan etnis Tionghoa tertutup dari pengaruh outgroup apalagi menerima anggota outgroup melalui perkawinan campur (dalam Hariyono, 1993), seperti yang dikemukakan oleh Lin, wanita etnis Tionghoa dari kota Medan yang pernah berpacaran dengan pria yang berbeda etnis dengannya:

“....putuslah. Nggak mungkinlah dikasih. Mama papa mana mungkin ngasih. Abangku pun kemaren pas tahu, ngamuklah, Ma, mana di kasih, awas kalo ku lihat ko jalan sama dia ya, makanya backstreet lah dulu. Sekarang sama yang chinese baru beranilah. Pernah juga kubawa ke rumah. Orang Cina memang kek gitu, Ma. Kalo apa sama yang nggak chinese mana boleh, kalo kawin harus sama yang chinese juga. Kalo nggak, kalo berani ya kawin lari. Dari pada dibilang nggak berbakti kan, durhaka, ya udah putuslah...”

Pendapat Lin di atas tidak jauh berbeda dengan pendapat kebanyakan orang Tionghoa tentang perkawinan campur. Biasanya mereka bersikap negatif terhadap perkawinan campur dan cenderung melakukan perkawinan dengan orang yang berasal dari etnis Tionghoa juga. Namun, berdasarkan fakta di lapangan (di kota Medan) ternyata ada beberapa orang etnis Tionghoa yang melakukan


(22)

perkawinan dengan orang yang berasal dari etnis lain. Bagaimana mungkin hal ini terjadi pada etnis Tionghoa yang dikatakan memiliki etnosentrisme yang kental?

Menurut Hogg (2003), tidak mungkin seorang individu atau suatu kelompok individu hidup dan berkembang dalam suatu isolasi. Setiap individu atau kelompok mau tidak mau harus melakukan kontak dengan individu atau kelompok lain. Tidak dapat dihindari, pasti ada moment ketika seseorang harus keluar dari kelompoknya untuk berinteraksi dengan pihak lain, sekalipun kelompok tersebut adalah kelompok yang eksklusif seperti halnya komunitas etnis Tionghoa.

Menurut Gerungan (1993), lambat laun seseorang akan keluar dari kelompok keluarga atau lingkungan tempat tinggalnya untuk belajar atau bekerja di suatu tempat. Di tempat yang baru ini, individu akan menemukan kelompok baru baik dengan latar belakang budaya yang sama ataupun tidak. Kelompok baru ini akan menjadi membership-group yang baru. Dalam kondisi ini, individu tidak mungkin menghindari kontak dan interaksi dengan anggota yang lain. Dapat dipastikan dari interaksi ini individu akan memperoleh pengalaman baru yang akan mempengaruhi pola pikirnya. Menurut Matsumoto dan Juang (2004), dari interaksi ini ada kemungkinan akan muncul rasa saling tertarik, jatuh cinta, bahkan perkawinan campur.

Menurut Baron dan Byrne (2000), persamaan memang penting dalam memilih pasangan hidup, namun ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, mudah menemukan pasangan yang sama dengan diri kita, namun secara praktik tidak mungkin menemukan orang yang benar-benar sama dengan kita. Dengan


(23)

kata lain, selalu ada masalah perbedaan. Oleh karena itu, pasangan harus belajar menerima dan menyesuaikan diri dengan perbedaan yang ada di antara mereka. Kedua, banyaknya faktor yang mempengaruhi pemilihan pasangan selain karena persamaan. Menjadi hal umum bahwa sebuah hubungan dapat dimulai, walaupun ada perbedaan, namun karena ada faktor seperti daya tarik fisik, ketertarikan seksual, kekayaan dan lain-lain. Seperti pengakuan Ace, pria etnis Tionghoa yang berusia 52 tahun juga melakukan perkawinan campur dengan wanita beretnik Jawa setelah sebelumnya bercerai dengan istrinya yang beretnik Tionghoa. Berikut penuturan Ace mengenai alasannya melakukan perkawinan campur:

“...Sekarang ace sama orang Jawa. Ace punya istri sekarang nggak macem-macem kayak dulu. Ini perempuan Jawa lebih penurut, nggak banyak tingkah. Jauh kalo sama yang pertama dulu. Suka ribut, suka ngatur-ngatur. Nggak pulang tanyanya macam-macam. Bikin pusing. Jadi istri kok ngatur-ngatur. Apa kata orang kalo bini yang ngatur-ngatur suami. Ribut terus, cere. Anak-anak ikut dia, saya sendiri, cari lagi, dapat ini, perempuan orang Jawa punya. Saya lihat ini perempuan, orang Jawa, punya pribadi halus, nggak galak-galak loh. Mau nurut lah. Beda sama yang dulu. Payahlah kalo udah cerita dulu....”

Menurut Skinner, G. W. (dalam Sarwono, 2003), hasil penelitian yang dilakukannya menunjukkan bahwa kebanyakan pria Tionghoa yang melakukan perkawinan campur dengan wanita pribumi memiliki tujuan untuk meneruskan dan mempertahankan keturunan.

Muncul pertanyaan bagaimana caranya dua individu yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, menjalani rumah tangganya? Kadang-kadang, walaupun perbedaan antara pasangan terlihat jelas, masing-masing pihak percaya bahwa pasangannya akan berubah seiring dengan interaksi yang terjadi selama


(24)

perkawinan. Dalam interaksi akan terjadi proses saling mempengaruhi antara pihak-pihak yang berinteraksi (Baron, 1991).

Hogg (2003) juga mengatakan bahwa ketika seseorang memasuki suatu kelompok (dalam hal ini yang dimaksud ádalah pria Tionghoa yang melakukan perkawinan campur), tidak mungkin baginya untuk menghindari kontak dengan anggota kelompok tersebut (keluarga pasangan). Sebab perkawinan bukanlah semata-mata penyatuan antara dua individu, melainkan dua keluarga. Kontak dengan keluarga pasangan kemudian akan mempengaruhi pemikiran dan perilakunya. Proses kontak dan interaksi inilah yang disebut sebagai akulturasi.

Yang menjadi permasalahan sekarang ádalah sejauh mana akulturasi tersebut akan mempengaruhinya serta perubahan seperti apa yang akan terjadi. Menurut Warnaen (dalam Sarwono, 2003), kontak juga berpengaruh, baik terhadap dimensi stereotip maupun terhadap persepsi kesamaan. Semakin banyak terjadi kontak (dengan keluarga pasangan), isi stereotip semakin jelas dan beragam, tapi preferensi etnis tidak selalu menjadi semakin positif, bahkan bisa menjadi semakin negatif dan mungkin tidak berubah dengan adanya kontak yang lebih beragam. Keduanya (pasangan yang melakukan kawin campur) mungkin akan melihat satu sama lain sangat berbeda, melebihi perbedaan sebenarnya. Seperti yang dikemukakan oleh Yen berikut ini:

“Dulu ai ku (adik perempuan ibu) pernah, pernah kawin campur. Sekarang udah nggak sama lagi, udah cere sama suaminya, cere karna nggak cocok kan, beda gitu. Dulu pun sebelum nikah, ai udah dilarang juga sama keluarga nggak boleh kawin sama dia, akonglah itu sampe marah besar sama ai, cuma karna udah cinta katanya kawin juga. Pas cere itulah dibilang lagi lah sama ai, sama kami juga, jangan sampe ada lagi yang kawin sama orang Batak...”


(25)

Menurut Hogg (2003) selain menjadi pengalaman berharga dan mengkibatkan perubahan yang bermanfaat, akulturasi ini juga dapat menimbulkan ancaman bahkan kebencian yang mengarah kepada konflik atau disebut dengan istilah stress acculturation. Stress akulturasi ini merupakan suatu respon yang dialami individu selama proses akulturasi berlangsung. Untuk mengatasi hal ini individu perlu melakukan adaptasi secara psikologis dan sosiokultural. Berry (2006) juga menambahkan bahwa pada dasarnya dalam proses akulturasi ini ada empat strategi yang dapat dipilih oleh pihak yang berakulturasi. Pertama, asimilási yaitu kondisi dimana individu atau kelompok individu tidak mempertahankan identitas budayanya tetapi mengambil budaya lain. Kedua, integrasi yaitu kondisi dimana individu atau kelompok individu mempertahankan budayanya dan pada saat yang sama tetap menjalin hubungan dengan budaya lain Ketiga, separatis yaitu kondisi yang terjadi ketika individu mempertahankan budayanya dan menolak budaya lain. Keempat, marginalisasi yang terjadi ketika hanya sedikit kemungkinan untuk mempertahankan budaya sendiri dan gagal menjalin hubungan dengan budaya lain. Strategi mana yang dipilih akan menentukan seberapa besar perubahan yang terjadi individu. Hasil akhir dari adaptasi ini akan mempengaruhi aspek-aspek yang ada dalam diri individu termasuk etnosentrisme yang dimilikinya. Dalam penelitian ini, individu yang dimaksud adalah dimaksud adalah pria etnis Tionghoa yang melakukan perkawinan campur. Sebab, etnis Tionghoa menganut paham patrilineal, dimana prialah yang berperan sebagai pemimpin dalam rumah tangga serta mengatur dan menentukan jalannya rumah tangga. Apa yang menjadi latar belakang partisipan melakukan perkawinan


(26)

campur, bagaimana dia menilai dan beradaptasi dengan budaya pasangannya yang berbeda, serta bagaimana dinamika etnosentrisme yang terjadi sebagai dampak dari proses akulturasi yang terjadi selama menjalani perkawinan campur membuat peneliti tertarik untuk menelitinya.

I. B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan beberapa literatur diperoleh informasi bahwa salah satu etnis di Indonesia yang memiliki etnosentrisme tinggi adalah etnis Tionghoa, khususnya etnis Tionghooa yang berada di kota Medan. Jika seseorang memiliki etnosentrisme yang tinggi, maka kecil kemungkinan baginya untuk menerima kebudayaan lain sebagai sesuatu yang benar apalagi sampai melakukan perkawinan campur. Akan tetapi bedasarkan fakta di lapangan (kota Medan) ternyata ada beberapa orang Tionghoa yang melakukan perkawinan campur.

Bertitik tolak dari fenomena ini, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut dengan menggunakan partisipan pria etnis Tionghoa Medan yang melakukan perkawinan campur. Dengan demikan, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Alasan apa yang melatarbelakangi partisipan melakukan perkawinan campur. Apakah dengan melakukan perkawinan campur berarti partisipan tidak memiliki etnosentrisme?

2. Bagaimana dinamika etnosentrisme yang terjadi dalam diri partisipan yang melakukan perkawinan campur jika dikaitkan dengan proses akulturasi yang terjadi selama perkawinan campur.


(27)

I. C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pengalaman pria etnis Tionghoa yang menjalani perkawinan campur, apa alasannya melakukan perkawinan campur serta bagaimana dinamika etnosetrisme dalam dirinya selama berlangsungnya proses akulturasi sebagai dampak dari kontak dengan keluarga pasangan yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengannya.

I. D. MANFAAT PENELITIAN I. D. 1. Manfaat Teoritis

1. Menjadi masukan dan sumber informasi bagi ilmu Psikologi, khususnya di bidang sosial, mengenai dinamika etnosentrisme yang terjadi pada pria etnis Tionghoa yang melakukan perkawinan campur, konflik-konflik yang muncul selama proses terjadinya proses akulturasi dalam perkawinan tersebut.

2. Menjadi masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai perkawinan campur, etnosentrisme, akulturasi.

I. D. 2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang bagaimana individu yang berasal dari dua latar belakang budaya yang berbeda (pria etnis Tionghoa dan pasangannya) menegosiasikan identitas kultural mereka dalam sebuah ruang sosial (rumah tangga) yang memungkinkan mereka untuk selalu berinteraksi dan saling mempengaruhi.


(28)

I. E. SISTEMATIKA PENULISAN

Penelitian ini disusun berdasarkan suatu sistematika penulisan yang teratur sehingga lebih mudah untuk dipahami. Pada Bab I akan dikemukakan mengenai pendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

Pada Bab II akan di utarakan mengenai landasan teori yang terdiri dari teori-teori yang menjelaskan dan mendukung data penelitian. Diantaranya adalah teori mengenai etnosentrisme, etnis Tionghoa , perkawinan campur, dan akulturasi budaya.

Bab III membahas mengenai metode penelitian kualitatif yang digunakan, termasuk di dalamnya metode pengambilan data, partisipan penelitian, alat bantu yang digunakan, prosedur penelitian dan metode analisis data.

Bab IV membahas analisis data dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan. Bab V berisi kesimpulan, diskusi dan saran. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan dari penelitian, diskusi mengenai hasil penelitian, saran-saran yang berkaitan dengan penelitian.


(29)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Januari 2008

Emma Fauziah Saragih

Dinamika Etnosentrisme pada Pria Etnis Tionghoa yang Menjalani Perkawinan Campur

(ix + 165; 10 tabel, 6 gambar, 3 lampiran )

Etnosentrisme merupakan suatu sumber utama perbedaan budaya dalam bentuk sikap. Setiap individu atau kelompok individu cenderung memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan kriteria kelompok sendiri, memandang kelompok sendiri sebagai pusat alam semesta yang mempengaruhi interaksi interklutural. Di Indonesia, salah satu kelompok yang memiliki etnosentrisme yang tinggi adalah etnis Tionghoa, terutama Tionghoa di kota Medan. Akan tetapi, fakta lapangan menunjukkan ada beberapa pria etnis Tionghoa yang melakukan perkawinan campur.

Dalam penelitian ini ingin digambarkan alasan pria etnis Tionghoa melakukan perkawinan campur, serta dinamika etnosentrisme dalam dirinya sebagai akibat dari proses akulturasi selama menjalani perkawinan campur.

Untuk mendapat jawaban ini, digunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala tingkah laku individu menurut pengalaman subjektifnya, sebab variabel etnosentrisme ini dan pengalaman akulturasi dalam menjalani perkawinan campur bersidat sangat subjektif dan sangat tergantung pada pangalaman dan perasaan individu yang mengalaminya. Dalam pengumpulan data digunakan teknik wawancara mendalam yang tidak terstruktur da observasi yang sifatnya non-partisipan. Partisipan dalam penelitian ini adalah pria etnis Tionghoa yang menjalani perkawinan campur dengan karakteristik kedua orang tua berasal dari etnis Tionghoa serta beragama Khong Hu Cu atau Buddha.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan para partisipan melakukan perkawinan campur bervariasi, demikian juga dengan dinamika etosentrisme yang terjadi pada mereka. Variasi ini disebabkan karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses aklturasi selama menjalani perkawinan campur, seperti taraf pendidikan, lingkungan, tingkat persamaan kebudayaan dengan pasangan, taraf dominansi budaya pasangan, dan tingkat ekonomi. Walaupun strategi akulturasi yang dipilih partisipan bervariasi, namun etnosentrisme dalam dirinya tidak hilang. Etnosentrisme ini mengalami dinamika seiring dengan proses akulturasi selama menjalani perkawinan campur. Dengan kata lain, etnosentrisme ini lah yang menentukan strategi akulturasi mana yang digunakan dalam menjalani perkawinannya.


(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

Dalam Bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang menjelaskan dan mendukung data penelitian. Diantaranya adalah teori mengenai etnosentrisme, etnis Tionghoa, dan perkawinan campur. Secara skematis uraian dalam Bab ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.

Skema landasan teori penelitian

BAB II LANDASAN

TEORI

2.Ajaran yang Dianut Etnis Tionghoa B. ETNIS

TIONGHOA

2. Pembentukan Etnosetrisme A.ETNOSENTRISME

1. Definisi Etnosentrisme

2.Alasan Melakukan PerkawinanCampur C. PERKAWINAN

CAMPUR

1.Definisi Perkawinan Campur 3. Nilai-Nilai Familiisme 1. Etnis Tionghoa di kota


(31)

II. A. ETNOSENTRISME II. A. 1. Definisi Etnosentrisme

Menurut Sumner (dalam Lubis, 1999), manusia pada dasarnya adalah seorang individualistik yang cenderung mengikuti naluri biologi untuk mementingkan diri sendiri, sehingga menghasilkan hubungan di antara manusia yang bersifat antagonistik (pertentangan). Kerjasama antara individu dalam masyarakat umumnya bersifat antagonistic cooperation. Akibatnya manusia mementingkan diri dan kelompoknya sendiri karena menganggap folkways nya lebih baik dari pada orang atau kelompok lain. Lahirlah rasa in group atau we groups yang berlawanan dengan rasa out group yang bermuara pada etnosentrisme. Individu menilai kelompok lain berdasarkan pada budayanya, khususnya dalam hal bahasa, perilaku, adat, dan agama.

Sikap in group pada umumnya mempunyai faktor simpati dan solidaritas yang tinggi, serta selalu mempunyai perasaan dekat dengan anggota kelompoknya. Sedangkan sikap terhadap out group selalu ditandai dengan antagonisme dan antipati. Perasaan in group dan out group merupakan suatu dasar sikap yang oleh JBAF Mayor Polak disebut sebagai etnosentrisme (Hariyono, 1993).

Menurut Harris (1985), etnosentrisme merupakan kecenderungan bahwa individu menganggap kelompoknya lebih baik dibandingkan kelompok lain yang dianggap liar, inhuman, menjijikkan bakan tidak rasional.


(32)

Pandangan di atas walaupun dijelaskan secara antropologis tapi cukup menjelaskan adanya ingroup dan out group. Dari sudut pandang Psikologi Sosial, etnosentrisme dapat dijelaskan oleh beberapa ahli yang akan muncul berikut ini:

Menurut Coleman dan Cressey (1984) orang yang berasal dari suatu kelompok etnis cenderung melihat budaya mereka sebagai yang terbaik. Kecenderungan ini disebut sebagai etnosentrisme, yaitu kecenderungan untuk memandang norma dan nilai yang dianut seseorang sebagai hal yang mutlak dan digunakan sebagai standar untuk menilai dan mengukur budaya lain.

Zastrow (dalam Lubis, 1999) mengatakan bahwa setiap kelompok etnis memiliki keterikatan etnis yang tinggi melalui etnosentrisme. Etnosentrisme merupakan suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai suatu yang mutlak dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain. Etnosentrisme membimbing para anggota kelompok untuk memandang kebudayaan mereka sebagai yang terbaik, terunggul daripada kebudayaan lainnya. Etnosentrisme juga menyebabkan prasangka yang memandang kelompok lain sebagai orang barbar, kafir, dan tidak mempunyai peradaban.

Levine dan Campbell (dalam Scott, 1998) mendefinisikan etnosentrisme sebagai sikap atau pandangan dimana nilai-nilai yang berasal dari budaya sendiri digunakan untuk menilai budaya lain yang memiliki nilai-nilai yang berbeda. Individu menilai budayanya secara objektif dan secara otomatis menggunakannya untuk memandang budaya lain salah, inferior atau tidak bermoral.


(33)

Taylor, Peplau dan Sears (2000) menyatakan bahwa etnosentrisme mengacu pada suatu kepercayaan bahwa in group nya lebih baik atau superior dari pada out group. Hal ini dapat mempengaruhi evaluasi yang dilakukan anggota kelompok tersebut sebagai individu.

Hogg (2003) menambahkan bahwa etnosentrisme melibatkan atribusi internal dan eksternal. Individu yang etnosentris akan menilai hal-hal positif pada

in group dan hal-hal negatif pada out group secara internal. Sebaliknya, hal-hal negatif pada in group dan hal-hal positif pada out group akan diatribusi secara eksternal.

Dari beberapa definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa etnosentrisme adalah kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang terbaik dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan lain. Etnosentrisme ini melibatkan atribusi internal dan eksternal yang menciptakan jurang pemisah dengan kebudayaan lain, sehingga tidak memungkinkan terjadinya komunikasi dan kontak sosial yang harmonis.

II. A. 2. Pembentukan Etnosentrisme

Karena etnosentrisme merupakan salah satu bentuk sikap, maka

pembentukan etnosentrisme sama halnya dengan pembentukan sikap. Sikap terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih daripada sekedar kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai anggota kelompok sosial. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu yang satu dengan yang lain,


(34)

terjadi hubungan timbal balik yang turut mempengaruhi pola perilaku individu (Azwar, 1998).

Dalam interaksi sosial, individu membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut Azwar (1998) adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan agama, serta faktor emosi dalam diri individu. Menurut Gerungan (1991) faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perubahan sikap ini adalah faktor internal dan eksternal individu.

a. Faktor-faktor internal

Pengamatan dalam komunikasi melibatkan proses pilihan di antara seluruh rangsangan objektif yang ada di luar diri individu. Pilihan tersebut berkaitan erat dengan motif-motif yang ada dalam diri individu. Selektivitas pengamatan berlangsung karena individu tidak dapat mengamati semua stimulus yang ada.

b. Faktor-faktor eksternal

Sikap dapat dibentuk dan diubah berdasarkan dua hal, yaitu karena interaksi kelompok dan komunikasi

Gerungan juga menambahkan apabila sikap sudah terbentuk dalam diri manusia, maka hal tersebut menentukan pola tingkah lakunya terhadap objek-objek sikap. Pembentukan sikap ini tidak terjadi dengan sendirinya, namun berlangsung dalam interaksi manusia, yaitu interaksi di dalam kelompok dan di


(35)

luar kelompok. Pengaruh dari luar kelompok ini belum cukup untuk merubah sikap sehingga membentuk sikap baru.

Salter (2002) menyatakan bahwa seseorang yang tumbuh dalam suatu budaya dan menyerap nilai serta perilaku akan mengembangkan pemikiran berdasarkan budayanya. Individu kemudian akan menilai budaya lain berdasarkan budayanya. Individu yang etnosentris akan melihat budaya lain dari sisi perbedaannya saja. Perbedaan ini dinilai salah olehnya. Walaupun demikian, ada kemungkinan bagi orang yang etnosentris untuk mengadopsi budaya lain dan mengabaikan budayanya. Hal ini terjadi jika budaya lain itu lebih superior dari budayanya.

Salter juga menambahkan bahwa etnosentrisme terjadi bila masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya dan menolak untuk bercampur dengan budaya lain. Etnosentrisme juga terjadi bila kelompok etnis mempunyai ketakutan tertentu dalam hal inferioritas dan superioritas. Inferioritas tidak memungkinkan percampuran kebudayaan karena akan menghilangkan identitas budaya. Biasanya ini dialami oleh suku-suku minoritas, seperti Badui, Samin, dan Tionghoa.

Menurut Hariyono (1993) etnosentrisme terbentuk melalui proses sosialisasi dan internalisasi yang diajarkan pada anggota suatu kelompok sosial bersama dengan nilai-nilai kebudayaannya, baik sadar maupun tidak sadar. Keluarga merupakan tempat sosialisasi anak pertama kali yang akan memudahkan anak untuk menerima nilai-nilai yang diterima dari orang tuanya. Terlebih lagi kalau ajaran tersebut menyangkut tentang kedudukan setiap anggota keluarga, seperti ajaran Konfusius, sehingga memungkinkan social control yang kuat dalam


(36)

menginternalisasi nilai kepada anak. Pada tingkat kelompok, kuatnya nilai-nilai kekeluargaan pada etnis Tionghoa menyebabkan ia mempunyai identifikasi yang kuat untuk menyebut dirinya sebagai suatu kelompok sosial tertentu (in group). Sebagai bangsa yang dulu pernah mengalami masa peradaban yang tinggi, etnis Tionghoa akan mengukur dan membandingkan etnis lain dengan menggunakan perangkat nilai-nilai kebudayaannya sendiri. Adanya anggapan bahwa orang Tionghoa terkenal dengan sifatnya yang rajin, ulet, tekun dan terampil terutama dalam bidang industri dan perdagangan juga dapat menumbuhkan in groupfeeling yang kuat yang akan menimbulkan etnosentrisme. Etnosentrisme ini akan membuat jurang pemisah dengan bangsa (kelompok) lain, sehingga tidak memungkinkan terjadinya komunikasi dan kontak sosial yang harmonis. Dalam pergaulan mereka akan menampakkan diri dalam kehidupan yang eksklusif, antara lain hidup dan bertempat tinggal secara berkelompok dengan sesama etnis.

Keeksklusivan yang mengarah pada etnosentrisme tampak dalam berbagai aspek kehidupan. Menurut Siswono Judo Husudo (dalam Tarmizi, 1997) etnosentrisme pada etnis Tionghoa tampak dalam beberapa hal yaitu:

1. Banyak etnis Tionghoa yang masih tinggal secara eksklusif dalam suatu wilayah tertentu.

2. Cenderung memprioritaskan etnis Tionghoa dalam merekrut tenaga kerja

3. Membeda-bedakan etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi dalam


(37)

4. Tidak menunjukkan solidaritas dan kebersamaan sosial dengan penduduk pribumi dalam bertetangga

5. Sebagian dari etnis Tionghoa belum bersedia mengembangkan rasa identitas nasional secara utuh

6. Masih ada yang menggunakan bahasa Tionghoa dalam percakapan

sehari-hari dan masih memegang adat istiadat serta tradisi nenek moyang, tidak berusaha untuk menguasai bahasa Indonesia dengan benar.

7. Masih ada di antara mereka yang merasa lebih unggul dibandingkan dengan kelompok etnis yang lain dalam masyarakat

II. B. ETNIS TIONGHOA

II. B. 1. Etnis Tionghoa di Kota Medan

Etnis Tionghoa di Indonesia berperan penting dalam perjalanan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Sejak berdirinya Partai Tionghoa Indonesia, beberapa orang Tionghoa seperti Kho Sien Hoo bergabung dengan gerakan kemerdekaan. Setelah Negara Indonesia terbentuk, maka secara otomatis etnis Tonghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup Indonesia dan sejajar dengan suku-suku lain (dalam Liem, 2000).

Di kota Medan keberadaan etnis Tionghoa dimulai pada abad ke-15, ketika armada perdagangan Cina datang mengunjungi pelabuhan Sumatera Timur untuk melakukan hubungan dagang. Hubungan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sehingga sebagian pedagang tersebut ada yang menetap di Sumatera Timur. Anderson, sebagai utusan pemerintah kolonial Belanda (tahun 1823) di


(38)

wilayah ini melaporkan bahwa pada saat itu jumlah orang Tionghoa di Sumatera Timur sedikit sekali. Tetapi, pada tahun 1876 Resden Belanda melaporkan bahwa dalam waktu 53 tahun, seluruh perdagangan talah dikuasai mereka (Pelly, dalam Lubis, 1995)

Pelly juga menambahkan bahwa jumlah etnis ini kemudian bertambah ketika Belanda mendatangkan tenaga kerja dari negeri Cina karena merasa tidak cocok dengan pribumi. Tahun 1879, tercatat Belanda berhasil mendatangkan4.000 kuli dari Cina dan meningkat menjadi 18.352 orang pada tahun 1888. Setelah kontrak kerjanya habis, para buruh ini kemudian bermukim di kota-kota, dan akhirnya bekerja sebagai pedagang, pemilik toko, petani kecil, nelayan dan penjual barang bekas. Para etnis Tionghoa yang ada di kawasan pantai Timur Sumatera ini terdiri dari beberapa kelompok, yaitu:

1. Kelompok Puntis atau Kanton

Kelompok ini berasal dari propinsi Kwantung. Sebagian besar bekerja sebagai tukang besi, perabot (furniture), jahit dan tekstil.

2. Kelompok Hakka dan Khe

Sebagian besar dari kelompok ini bekerja sebagai pengusaha toko, pedagang rotan dan tukang kaleng.

3. Kelompok Hoekloe

Kelompok ini terdiri dari suku Teochinu dan Hailhokhong. Sebagian besar bekerja sebagai kuli bangunan.


(39)

4. Kelompok Hailam

Sebagian besar bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan tukang masak.

5. Kelompok Amoy dan Hokkian

Di tanah Deli maupun Jawa kelompok ini terkenal sebagai pedagang. 6. Kelompok suku yang lebih kecil yang berasal dari propinsi Luitsiu dan

Koatsiu

Biasanya mereka disebut sebagai orang Luichius dan Caochow serta Hock. Sebagian besar mereka adalah orang-orang miskin di Belawan dan Bagan Siapi-api.

Lubis (1995) menyatakan bahwa banyak orang mengatakan bahwa etnis Tionghoa Medan memiliki karakteristik yang berbeda dengan etnis Tionghoa lain yang ada di Indonesia. Misalnya saja dalam hal bahasa. Dari penelitian yang dilakukannya, Lubis menemukan bahwa etnis Tionghoa Medan cenderung lebih sering menggunakan bahasa Tionghoa ketika berkomunikasi baik di dalam rumah maupun di luar rumah.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Chandra Sukma Dewi (dalam Lubis, 1995) diperoleh hasil bahwa dominannya penggunaan bahasa Tionghoa disebabkan karena kurangnya interaksi dengan pribumi, masih menganggap Indonesia sebagai tempat perantauan, dan masih kuatnya orientasi terhadap negeri leluhur. Lubis menambahkan bahwa kecenderungan penggunaan bahasa Tionghoa oleh sesama etnis Tionghoa dimanapun mereka berada adalah untuk memperlancar usaha (bisnis) mereka, karena hampir seluruh komunikasi bisnis


(40)

diantara mereka menggunakan bahasa Tionghoa. Keadaan ini jauh berbeda dengan etnis Tionghoa di kota lain di Indonesia, seperti Bandung, Yogyakarta, Padang, dan lain-lain yang pada umumnya telah menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar sehari-hari dalam berkomunikasi baik dengan sesama etnis Tionghoa maupun dengan etnis setempat.

II. B. 2. Ajaran yang Dianut Etnis Tionghoa

Kebudayaan dan kehidupan suatu masyarakat banyak dipengaruhi oleh sistem kepercayaannya. Kepercayaan yang dianut etnis Tionghoa adalah Budha, Taoisme, dan Konfusionisme. Menurut Nio Joe Lan (dalam Lubis, 1999) ketiga kepercayaan ini biasanya dipuja bersama dalam perkumpulan Sam Kauw Hwee

(Perkumpulan Tiga Agama atau Budha Tri Dharma). Biasanya dalam kepercayaan itu ditambah pula dengan kepercayaan dan pemujaan kepada orang-orang suci yang dianggap Dewa atau Dewi.

Diantara tiga ajaran di atas, yang paling berpengaruh pada kehidupan etnis Tionghoa adalah ajaran Konfusianisme. Hal ini dapat dipahami karena di negeri asalnya (Tiongkok) ajaran ini telah dianut selama lebih dari dua abad atau dua ribu tahun lamanya dan telah menjadi tradisi yang sengaja dicipta dan dicita-citakan oleh Konfusius untuk membangun negerinya. Selama Dinasti Han (205 SM-220 SM) ajaran Konfusius telah menjadi ajaran agama negara. Pada dasarnya Konfusius mengajarkan tentang moralitas yang harus dimiliki oleh setiap orang. Kunci ini dipakai Konfusius untuk mengatur hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat. Konfusius ingin menciptakan suatu tradisi yang baik, sehingga orang yang mengikuti tradisi ini akan dapat hidup dengan lebih baik.


(41)

Dari sinilah Konfusius beranggapan bahwa orang yang ”liar” akan menjadi beradab apabila ia mengikuti tradisi yang diciptakannya. Bangsa yang ”liar” akan menjadi beradab apabila telah menganut ajarannya. Semua bangsa di luar Cina yang belum menganut ajarannya dianggap sebagai bangsa yang liar. Oleh karena itu, Cina yang sudah menganut ajarannya adalah bangsa yang beradab. Dari sinilah muncul anggapan bahwa sebagai bangsa yang beradab, melahirkan rasa

superior pada bangsa Cina. Sedangkan bangsa yang belum beradab adalah bangsa yang inferior. Anggapan ini muncul demikian ekstrim karena keyakinannya yang begitu kuat bahwa tradisi yang diciptakannya adalah sangat sempurna, sehingga orang yang mengkuti ajarannya akan sempurna pula (Hariyono, 1993; Lubis; 1999).

II. B. 3. Nilai-Nilai Kekeluargaan Etnis Tionghoa (Familiisme)

Menurut Hariyono (1993) nilai-nilai kekeluargaan dalam etnis Tionghoa sangat dipengaruhi oleh ajaran Konfusianisme. Konfusianisme mengajarkan agar segala sesuatu dilakukan dan ditujukan pada kepentingan keluarga baik nuclear family (keluarga inti) maupun extended family. Ada kalanya extended family

berperan sebagai socialcontrol terhadap nilai-nilai yang dijalankan oleh keluarga inti. Nilai-nilai ini berkaitan dengan nilai tentang rasa hormat, etos kerja, perkawinan, nilai-nilai pemujaan (kepada leluhur), sebutan kekeluargaan dan penggunaan nama keluarga. Secara umum, nilai-nilai ini terbagi atas:

1. Seorang anak harus berbakti kepada orang tua (Hao)

Dalam keluarga Tionghoa, ayah mempunyai peranan dan kekuasaan yang besar. Selain sebagai pemimpin keluarga, ia juga menjadi


(42)

pemimpin dalam upacara pemujaan pada leluhurnya. Semua anggota keluarga harus menghormatinya. Ayah berhak merendahkan bahkan mengusir bahkan mengucilkan anak yang tidak menghormatinya.

Konfusius mengajarkan bahwa setiap anak harus menunjukkan rasa baktinya kepada orang tua dengan berbagai macam cara. Apabila orang tuanya masih ada, ia harus dapat merawat dan menyenangkannya. Apabila mereka telah tiada, ia harus melakukan pemujaan sebagai rasa baktinya. Segala hal yang dilakukan untuk menyenangkan dan merawat mereka tentunya memerlukan banyak biaya. Untuk itu si anak diwajibkan untuk bekerja keras, seperti kutipan perkataan Konfusius berikut (dalam Hariyono, 2003):

”Meskipun ayah dan ibumu telah meninggal dunia, tetapi kalau kamu dapat bekerja dengan baik, hal ini akan mengharumkan nama baik kedua orang tuamu, dan segala cita-citamu dapat tercapai. Sebaliknya, bila kamu tidak bekerja dengan baik, maka akan memberi aib bagi kedua orang tuamu, dan kamu tidak akan mencapai cita-citamu.”

Oleh Konfusius ajaran ini disebut sebagai sebagai `hubungan segitiga`, yaitu hubungan antara Konfusianisme, keluarga, dan kerja. Hubungan ini mempunyai kaitan erat satu sama lainnya yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.

Hubungan segitiga dalam ajaran Konfusianisme

Keluarga

Konfusius


(43)

Secara umum ada lima cara yang menunjukkan rasa bakti anak kepada orang tuanya:

a. Harus menunjukkan rasa hormat pada orang tua b. Harus menyenangkan orang tua

c. Merasa cemas ketika orang tua sakit

d. Menunjukkan rasa duka cita mendalam ketika berkabung e. Penyelengarakan suatu upacara harus meriah.

2. Pemujaan kepada leluhur

Pemujaan terhadap leluhur merupakan tindak lanjut dari rasa hormat anak pada orang tua. Pemujaan ini dapat dilakukan dalam bentuk upacara tradisional dengan cara menyembahyangi abu leluhur yang biasanya diwariskan pada anak sulung laki-laki. Biasanya upacara ini dilaksanakan pada saat Imlek (tahun baru Cina), Ceng Beng (ziarah ke

makam leluhur), Cit Gwee (sembahyang arwah yang tidak

disembahyangkan keluarganya) dan hari-hari lainnya. 3. Nama keluarga

Penggunaan nama keluarga (marga) akan menimbulkan rasa in group feeling yang kuat antara sesama anggota keluarga, karena memberikan identitas tersendiri sebagai bagian dari suatu kelompok.

4. Sebutan kekeluargaan

Sebutan kekeluargaan pada etnis Tionghoa juga menimbulkan in group feeling yang kuat antara sesama anggota keluarga


(44)

II. C. PERKAWINAN CAMPUR II. C. 1. Definisi Perkawinan Campur

Kebudayaan merupakan sistem aturan-aturan yang dinamis, dibentuk oleh kelompok untuk menjamin keberlangsungan hidup, meliputi sikap, nilai, keyakinan, norma, dan perilaku. Kebudayaan dikomunikasikan antar generasi, relatif stabil, namun berpotensi untuk berubah (Matsumoto & Juang, 2004).

Koentjaraningrat (1983) menyatakan bahwa ada tujuh unsur yang terdapat dalam kebudayaan, yaitu:

1. Sistem religi dan upacara keagamaan 2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan 3. Sistem pengetahuan

4. Bahasa 5. Kesenian

6. Sistem mata pencarian hidup 7. Sistem teknologi dan peralatan

Menurut Hogg (2003) kebudayaan muncul dan dipertahankan melalui interaksi manusia. Kelompok budaya tidak hidup dalam suatu isolasi, namun melakukan kontak dengan orang lain. Ketika seseorang bertemu dengan budaya lain, tidak mungkin baginya untuk menghindari kontak. Dalam kontak terjadi proses pembelajaran mengenai budaya lain yang disebut dengan akulturasi. Kontak yang terjadi akan menghasilkan perubahan dalam pemikiran dan perilaku individu.


(45)

Menurut Redfield (dalam Berry, dkk., 2006) akulturasi merupakan suatu fenomena yang muncul ketika kelompok individu yang berbeda budaya melakukan kontak yang mengakibatkan perubahan pada budaya asal salah satu kelompok atau keduanya. Ada empat cara atau strategi yang dapat dilakukan individu dalam proses akulturasi (Berry 2006; Hogg, 2003), yaitu:

1. Asimilasi: ketika seseorang tidak mempertahankan identitas budayanya atau home culture (HC) tetapi mengambil budaya lain atau dominant culture (DC).

2. Integrasi: terjadi ketika individu mempertahankan budayanya (HC) dan pada saat yang sama tetap menjalin hubungan dengan budaya lain (DC).

3. Separatis: terjadi ketika individu mempertahankan budayanya (HC) dan menolak budaya lain (DC).

4. Marginal: terjadi ketika hanya sedikit kemungkinan untuk

mempertahankan budaya sendiri (HC) dan gagal menjalin hubungan dengan budaya lain (DC).

Menurut Hogg (2003) selain menjadi pengalaman berharga dan mengkibatkan perubahan yang bermanfaat, kontak interkultural juga dapat menimbulkan ancaman bahkan kebencian yang mengarah kepada konflik atau disebut dengan istilah stress acculturation. Berry (2006) mengatakan bawa stress acculturation menimbulkan kecemasan, depresi bahkan psikopatologi. Berry juga menambahkan bahwa dengan adaptasi secara psikologis dan sosiokultural maka hubungan antara golongan budaya yang berbeda dapat berlangsung dengan baik.


(46)

Dalam hal ini individu yang mengalami stress akulturasi dianggap memiliki potensi untuk menghadapi stressor dalam kehidupannya dan mampu beradaptasi.

Proses akulturasi di atas juga dapat terjadi dalam perkawinan campur (perkawinan antara dua individu yang berasal dari etnis yang berbeda). Menurut Cohen (dalam Hariyono, 1993) perkawinan campur merupakan perkawinan yang terjadi antara individu dari kelompok etnis yang berbeda yang dikenal dengan istilah amalgamation. Menurut Sunarto (2004) dalam hubungan perkawinan berlaku aturan eksogami dan endogami. Eksogami merupakan sistem yang melarang perkawinan dengan anggota kelompok, sedangkan endogami merupakan sistem yang mewajibkan perkawinan dengan anggota kelompok. Dengan demikian perkawinan campur yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda tergolong ke dalam perkawinan eksogami. Proses penyesuaian antara pasangan yang melakukan perkawinan campur dapat disebut sebagai proses akulturasi. Secara skematis proses ini dapat digambarkan sebagai berikut:


(47)

Gambar 3:

Skema proses akulturasi dalam perkawinan campur

Berry (2006) menyebutkan bahwa proses akulturasi ini sendiri juga di pengaruhi oleh faktor-faktor yang ada sebelum dan selama terjadinya akulturasi. Faktor-faktor ini adalah usia, jenis kelamin, lingkungan, religion, serta dukungan sosial. Dalam penelitian ini proses tersebut akan digambarkan dalam bentuk skema berikut:

Culture B

Cultural changes

(A & B)

Psychological Acculturation Individual in culture A & B

Behavioral Changes Acculturative

stress c

o n t a c t

Adaptation Psychological &

Sociocultural

Individual in culture A & B

-Integrasi - Separatis -Assimilasi -Marginal Culture A


(48)

Gambar 4.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses akulturasi dalam perkawinan campur

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan campur adalah bersatunya jiwa, kepribadian, sifat dan perilaku dua insan berlawanan jenis yang berbeda etnis/latar belakang budaya untuk disyahkan secara resmi sebagai pasangan suami istri. Dalam perkawinan campur ini terjadi proses akulturasi budaya antara pasangan yang mungkin menimbulkan konflik (stres akulturasi). Melalui adaptasi secara psikologis dan sosiokultural segala hal yang berkaitan dengan pasangannya serta latar belakang yang berbeda dapat diterima untuk menjalani rumah tangga bersama-sama.

E T N O S E N T R I S M E STRESSOR Ļ stress AKULTURASI SEBELUM AKULTURASI

Usia, religion, pendidikan, lingkungan

SELAMA AKULTURASI

Kontak, Lingkungan, religion, dukungan sosial - Integrasi - Assimilasi - Separatis - Marginal ADAPTASI Psikologikal & Sosiokultural


(49)

II. C. 2. Alasan Melakukan Perkawinan Campur

Kartini Kartono (1992) menyebutkan beberapa motivasi dan alasan seseorang melakukan perkawinan:

1. Distimulir oleh dorongan-dorongan romantik 2. Keinginan untuk memperoleh kemewahan hidup 3. Ambisi untuk mencapai status sosial yang lebih baik 4. Keinginan untuk memperoleh kepuasan seks dari pasangan 5. Keinginan untuk lepas dari kungkungan orang tua

6. Keinginan untuk memiliki anak

7. Keinginan untuk mengabadikan nama leluhur

Porterfield (dalam Jeter dan Kris, 1982) menyebutkan ada enam alasan seseorang melakukan perkawinan campur:

1. Seseorang mungkin melakukan perkawinan campur dengan alasan idealisme 2. Seseorang bersifat kosmopolitan atau memilih teman secara personal bukan

alasan budaya.

3. Seseorang melakukan perkawinan campur untuk menentang otoritas orang tua baik secara sadar ataupun tidak sadar.

4. Seseorang melakukan perkawinan campur karena tertarik secara


(50)

Hyt Sze (dalam Martin & Nakayama, 2000) menyatakan bahwa secara natural, perkawinan campur dilakukan atas dasar cinta. Profesor Char (dalam Jeter dan Kris, 1982) menyatakan alasan atau motif seseorang melakukan perkawinan campur adalah:

1. Karena nilai cinta. Cinta adalah ikatan yang sehat antara dua orang walaupun berbeda secara kultural.

2. Jiwa petualang seseorang yang ingin tampil beda dan menyukai sesuatu yang baru seperti halnya kepribadian pada pasangan dalam perkawinan campur. Kebutuhan ini dapat disebabkan oleh narsistik atau tujuan untuk mendapat perhatian

3. Alasan praktis, seperti untuk meningkatkan status sosial atau kekayaan 4. Ekspresi kepuasan dan ketidakpuasan orang tua tentang perkawinan menjadi

motif melakukan perkawinan dengan tujuan melakukan pemberontakan 5. Alasan idealisme untuk melakukan perkawinan campur


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

III. A. PENDEKATAN KUALITATIF

Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Poerwandari, 2001), masalah-masalah dalam ilmu sosial dapat dijawab melalui dua pendekatan yaitu positivistik dan fenomenologis. Kedua pendekatan ini sebenarnya harus dipahami sebagai pendekatan yang saling melengkapi dan dihargai dengan karakteristik dan kekuatan masing-masing. Dalam pandangan fenomenologis, pengetahuan dan pemikiran awam berisikan arti atau makna yang diberikan individu terhadap pengalaman dan kehidupannya sehari-hari.

Menurut Hogg (2003) etnosentrisme melibatkan atribusi secara internal dan eksternal terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ing group dan out group. Individu yang etnosentris cenderung menggunakan kebudayaannya untuk menilai kebudayaan lain. Kebudayaan sendiri dianggap sebagai yang paling benar, sementara kebudayaan lain dianggap sebagai sesuatu yang salah. Sikap seperti ini akan menjadi hambatan dalam proses interaksi dengan orang yang berasal dari kelompok lain.

Berdasarkan beberapa literatur diperoleh informasi bahwa salah satu etnis di Indonesia yang memiliki etnosentrisme adalah etnis Tionghoa (khususnya di kota Medan). Jika seseorang memiliki etnosentrisme yang tinggi, maka kecil kemungkinan baginya untuk menerima kebudayaan lain sebagai sesuatu yang


(52)

benar apalagi sampai melakukan perkawinan dengan individu yang berbeda latar belakang budayanya. Namun fakta dilapangan (di kota Medan) menunjukkan bahwa ada beberapa orang Tionghoa yang melakukan perkawinan campur. Bagaimana hal ini dapat terjadi dan bagaimana dinamika etnosentrisme yang dimiliki oleh etnis Tionghoa tersebut selama menjalani perkawinan campur tergantung pada pengalaman dan perasaan individu tersebut. Untuk menggali hal ini, cara yang dapat dilakukan adalah melakukan penelitian kualitatif.

Lagipula, menurut Bogdan dan Taylor (dalam Poerwandari, 2001), salah satu kekuatan pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.

III. B.METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data yang umum digunakan dalam pendekatan kualitatif adalah observasi dan wawancara, diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap karya (tulisan, film, karya seni lain), analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup (Poerwandari, 2001).

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan wawancara.

III. B. 1. Wawancara

Menurut Banister (dalam Poerwandari, 2001), wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.


(53)

Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subyektif yang dipahami individu yang berkenaan dengan topik-topik yang diteliti, dan bermaksud mengadakan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain. Dengan wawancara, kita dapat memasuki dunia pikiran dan perasaan partisipan (Nasution, 1996).

Metode yang dipilih untuk penelitian ini adalah fenomenologi. Metode ini digunakan karena dapat menggali dan memahami dengan lebih dalam pengalaman partisipan melalui wawancara yang non-direktif. Tujuan dari pendekatan fenomenologi adalah untuk memperlihatkan suatu fenomena berdasarkan sudut pandang orang yang mengalaminya (Valle & King, dalam Zakrzewski & Hector, 2004). Selain memperlihatkan pengalaman itu dari sudut pandang orang yang mengalaminya, pendekatan ini juga mampu menerima pengalaman individu tersebut dengan bahasa pelakunya, bukan justru menjelaskannya berdasarkan suatu teori tertentu (Monte, dalam Zakrzewski & Hector, 2004)

Oleh karena itu, dengan wawancara mendalam dan non-direktif dalam penelitian mengenai dinamika etnosentrisme pada etnis Tionghoa yang menjalani perkawinan campur ini akan diperoleh data yang lebih banyak dan mendalam karena subjek dapat mengemukakan pendapat, pandangan dan perasaannya dengan lebih bebas.


(54)

III. B. 2. Observasi

Patton (1990) menyatakan bahwa observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan pendekatan kualitatif.

Dalam penelitian ini akan digunakan observasi non-partisipan dimana peneliti yang juga adalah observer hanya bertindak sebagai peneliti total dan tidak terlibat dalam peristiwa tersebut. Observasi ini dilakukan seriring dengan dilakukannya wawancara juga pada beberapa aktivitas partisipan sehari-hari.

III. C. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Menurut Irmawati (2002), dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah peneliti sendiri. Untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu.

Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat perekam (tape recorder). Alat perekam digunakan agar peneliti mudah untuk mengulangi kembali hasil wawancara. Selain itu apabila ada kemungkinan data yang kurang jelas sehingga partisipan yang diwawancarai harus dihubungi kembali, dengan adanya hasil rekaman wawancara tersebut, peneliti akan mudah untuk melakukannya. Dengan adanya alat perekam ini, hasil wawancara yang direkam juga merupakan data yang utuh karena sesuai dengan apa yang disampaikan partisipan dalam wawancara. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seijin partisipan.


(55)

III. D. PARTISIPAN PENELITIAN

III. D. 1. Karakteristik Partisipan

Partisipan penelitian adalah pria etnis Tionghoa yang melakukan perkawinan campur, memiliki orang tua yang berasal dari etnis Tionghoa, beragama Budha atau Khong Hu Cu. Jika kedua orang tua partisipan berasal dari etnis Tionghoa, maka secara otomatis partisipan pasti memperoleh pola asuh yang membentuk karakteristik partisipan, terutama yang berkaitan dengan variable yang akan diteliti.

III. D. 2. Prosedur Pengambilan Partisipan

Sebelumnya peneliti telah menghubungi seorang teman yang mengenal pria etnis Tionghoa yang menikah campur. Peneliti menjelaskan tujuan penelitian kepada teman yang dimaksud dan memintanya untuk mengenalkan pada calon partisipan. Selanjutnya peneliti meminta informasi pada partisipan tentang calon partisipan lain atau nara sumber yang dapat dihubungi.

Berdasarkan penjelasan di atas, prosedur penentuan partisipan yang digununakan dalam penelitian ini adalah snowball sampling, dimana pengambilan partisipan dilakukan secara berantai dari partisipan sebelumnya (Poerwandari, 2001).


(56)

III. E. PROSEDUR PENELITIAN

III. E. 1. Tahapan Persiapan Penelitian

Tahapan persiapan penelitian (preliminary research) dilakukan untuk mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian. Pada tahap ini, peneliti mencoba mengumpulkan semua informasi mengenai etnosentrisme, perkawinan campur serta akulturasi budaya. Selanjutnya ditentukan partisipan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan melalui informasi dari seorang teman yang mengenal pria etnis Tionghoa yang melakukan perkawinan campur.

Untuk membangun rapport awal dengan partisipan, peneliti meminta bantuan kepada teman yang nantinya akan mengenalkan peneliti dengan partisipan. Peneliti meminta agar keberadaan peneliti disosialisasikan sebelumnya sehingga bila kemudian partisipan tersebut memang dapat diteruskan untuk menjadi partisipan penelitian, hubungan antara partisipan dan peneliti sudah cukup baik. Menurut Moeloeng (2002), rapport adalah hubungan antara peneliti dengan partisipan penelitian yang sudah melebur sehingga seolah-olah tidak ada lagi dinding pemisah di antara keduanya. Dengan demikian partisipan dengan sukarela dapat menjawab pertanyaan atau memberi informasi yang diberikan oleh peneliti.

III. E. 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahapan persiapan dilakukan, peneliti memasuki tahap pelaksanaan penelitian. Dalam tahap ini, peneliti mencoba memperoleh sebanyak mungkin informasi yang relevan dengan masalah penelitian yang diperoleh melalui wawancara dan observasi serta sumber data lainnya.


(57)

III. E. 3. Tahap Pencatatan Data

Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat perekam dengan persetujuan partisipan sebelumnya. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripkan secara verbatim untuk dianalisis.

III. F. PROSEDUR ANALISIS DATA

Data penelitian kualitatif tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak berupa narasi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis (gambar, foto) ataupun bentuk-bentuk non angka lainnya (Poerwandari, 2001).

Berdasarkan penjelasan Moeloeng (2002) prosedur analisis data dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut :

1. Mencatat data menjadi bentuk teks

2. Mengelompokkan data dalam kategori-kategori tertentu sesuai dengan pokok-pokok permasalahan yang ingin dijawab. Dalam tahap ini pertama-tama dilakukan sorting data untuk memilih data yang relevan dengan pokok permasalahan dan tahap kedua dilakukan coding atau pengelompokan data dalam berbagai kategori

3. Melakukan interpretasi awal terhadap setiap kategori data. Dari hasil interpretasi awal ini peneliti dapat kembali melakukan pengumpulan data, dan melakukan kembali proses 1 sampai 3. Hal ini merupakan keunikan lain dari penelitian kualitatif, dimana selalu terjadi proses “bolak balik” dari pengumpulan data dan proses interpretasi atau analisis.


(58)

4. Mengidentifikasikan tema utama atau kategori utama dari data yang terkumpul. Hal ini dilakukan untuk melihat gambaran apa yang paling utama tampil dan dirasakan oleh partisipan penelitian. Jika ditemukan tema utama, maka hasil interpretasi lainnya merupakan penunjang untuk menjelaskan dinamika tema tersebut.

5. Menulis hasil akhir.

Dengan mengacu pada tahap-tahap di atas, maka peneliti akan melakukan prosedur sebagai berikut :

1. Menuang hasil wawancara ke dalam transkrip hasil wawancara secara verbatim. Selain itu juga dituangkan hasil observasi terhadap partisipan.

2. Melakukan sorting data, dengan memilih data yang relevan dengan pokok permasalahan.

3. Data yang telah relevan dengan pokok permasalahan selanjutnya dikelompok-kelompokkan (coding).

4. Setelah data dikodekan atau dikategorisasikan, dilakukan interpretasi atau analisis terhadap data.


(59)

BAB IV

ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI

Bab ini akan menguraikan hasil penelitian berupa analisis data dan interpretasi yang terdiri atas tiga bagian, yaitu:

IV. A. Deskripsi data: Berisi gambaran umum tentang data penelitian Partisipan I, II, dan III

IV. B. Rekonstruksi data: Memasukan data hasil observasi dan wawancara sehingga diperoleh keterkaitan antara data yang satu dengan yang lain 1. Data Observasi

a. Observasi selama wawancara b. Observasi harian

2. Data Wawancara

a. Gambaran etnosentrisme sebelum melakukan perkawinan campur b. Dinamika etnosentrisme selama melakukan perkawinan campur. 3. Pembahasan


(60)

IV. A. DESKRIPSI DATA IV. A. 1. Partisipan I (Feng)

Wawancara dengan dilakukan selam lima kali di rumah tetangga partisipan dan dilakukan pada:

1. Jumat, 23 Februari 2007 2. Selasa 26 Februari, 2007 3. Sabtu, 7 April 2007 4. Sabtu, 14 Aril 2007 5. Jumat, 18 Mei 2007

Tabel 1

Gambaran Umum Partisipan I

No. Dimensi Partisipan Pasangan

1. Inisial Feng Wati

2. Pekerjaan Buruh bangunan

(tidak tetap)

Ibu rumah tangga

3. Usia ketika kawin campur 22 tahun 19 tahun

4. Etnis Tionghoa Jawa

5. Agama

-Sebelum kawin campur -Setelah kawin campur

Kong Hu Cu Islam

Islam Islam

6. Pendidikan SMA SMA

7. Urutan dalam keluarga Anak ke dua dari empat bersaudara

Anak pertama dari enam bersaudara

8. Usia perkawinan. Tujuh tahun

9. Masa pacaran satu tahun (setelah dua minggu

berkenalan)

10. Jumlah anak Dua orang

11. Kondisi lingkungan -Sebelum kawin campur -Selama kawin campur

Mayoritas beretnis Tionghoa Mayoritas beretnis Jawa dan Karo

12. Status tempat tinggal Tinggal bersama mertua


(1)

163

sedagkan Feng sampai saat ini belum berhasil mengatasi stress akulturasi yang dialaminya bahkan sampai mengalami kebingungan identitas.

2. Dominant culture yang mengakibatkan bentuk strategi akulturasi yang dipilih juga berbeda.

Jika keluarga pasangan lebih dominan pengaruhnya, maka strategi yang terjadi cenderung mengarah pada asimilasi. Dalam peneltian ini, partisipan yang mendapat pengaruh dominan dari keluarga pasangannya adalah Feng. Namun, strategi akulturasi yang diambil Feng adalah marginalisasi, bkan asimilasi.

3. Tempat tinggal/lingkungan

Lingkungan dan tempat tinggal yang berbeda akan menimbulkan pola penyesuaian yang berbeda. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini. Ketiga partisipan berada dalam lingkungan akulturasi yang berbeda sehingga pola strateginya juga berbeda.

4. Persamaan dan perbedaan budaya

Semakin mirip kebudayaan partisipan dengan kebudayaan pasangan akan semakin mudah bagi partisipan dalam beradaptasi. Sebaliknya semakin tidak mirip budaya mereka, semakin sulit partisipan melakukan adaptasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hariyono (2003) terhadap etnis Jawa dan Tionghoa, diperoleh hasil bahwa banyak kemiripan antara kedua budaya ini. Bila dibandingkan dengan partisipan lainnya, seharusnya Feng lebih mudah beradaptasi, apalagi sebelumnya ia juga pernah memiliki


(2)

164

tetangga beretnis Jawa. Namun yang terjadi justru sebaliknya, Feng malah yang paling sulit beradaptasi.

5. Faktor ekonomi

Semakin baik kondisi perekonomian seseorang semakin mudah ia beradaptasi dalam proses akulturasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian. Liang yang memiliki kondisi perekonomian lebih baik dari ketiganya memang lebih mudah beradaptasi, Lie kondisi yang perekonomiannya lebih rendah namun lebih tinggi dari Feng, beradaptasi lebih mudah dari Feng, namun masih lebih sulit jika dibandingkan dengan Liang. Feng yang kondisi perekonomiannya lebih rendah dibanding yang lain memang yang paling sulit beradaptasi.

V. C. SARAN

V. C. 1. Saran Metode Penelitian

Penelitian ini masih mengandung banyak kelemahan, untuk itu diharapkan dapat diatasi pada penelitian selanjutnya:

1. Peneliti masih memiliki kelemahan dalam wawancara dan observasi, sehingga masih ada data-data penting yang kurang tergali.

2. peneliti belum memahami dengan baik penulisan hasil analisis dan interpretasi sehingga mungkin membingungkan pembaca karena ada data-data yang berulang.


(3)

165 V. C. 2. Saran Penelitian Lanjutan

Dalam menjalani sebuah ikatan rumah tangga, ada dua pihak yang saling berinteraksi dalam mempertahankannya. Walaupun dalam hal ini, sebagai penganut paham patrilinial berarti pihak lai-laki yang paling besar berperan dalam menjalankan rumah tangga, namun kontribusi pasangan juga penting dalam langkah dan keputusan yang diambil partisipan. Ada beberapa saran yang dapat dilakukan bagi yang berminat, yaitu:

1. Melakukan penelitian pada pasangan partisipan 2. Menambah jumlah partisipan

3. Menggunakan alat ukur tambahan seperti angket atau skala yang akan menambah akurasi penelitian.

4. Melakukan penelitian pada anak dari pasangan yang melakukan perkawinan campur

5. Melakukan penelitian pada wanita etnis Tionghoa yang menjalani perkawinan campur.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (1998). Sikap Manusia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

(1997). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Baron, R. A. & Byrne, D. (1991). SocialPsychology. USA: Prentice Hall Coleman, J. & Cressey, D. (1984). SocialProblem. New York: Harper & Row Gerungan, W. A. (1991). PsikologiSosial. Bandung: PT Eresco

Hariyono, P. (1993). Kultur Cina dan Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar harapan

Harris, M. (1985) Culture, People, And Nature. An introduction to General Anthropology. New York: Harper & Row Publisher Inc.

Hogg, M. A., & Vaughan, G. M. (2003). Social Psychology. British: Prentice Hall Irmawati. (2002). Motivasi Berprestasi dan Pola Pengasuhan pada Suku Bangsa

Batak Toba dan Suku Bangsa Melayu (Thesis). Jakarta: Fakultas Pasca Sarjana UI

Jedlika , D., & Kephart, W. M. (1991). The Family, Society, and The Individual. New York: HarperCollins Publishers Inc.

Liem, Y. (2000). Prasangka Terhadap Etnis cina. Jakarta: Djambatan

Lubis, M. R. (1995). Pribumi di Mata Orang Cina. Medan: PT Pustaka Widyasarana

Lubis, S. (1999). Komunikasi Antar Budaya Kasus Etnik Batak Toba dan Cina. Medan: USU PRESS

Martin, J. N., & Nakayama, T. K. (2000). Intercultral Communicaton in Contexts. New York: McGraw Hill Companies

Moleong, L. J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Mulyana, D. & Rakhmat, J. (2005). Komunikasi Antar Budaya. Bandung: PT Rosdakarya


(5)

Nurhadiantomo. (2004). Konflik-Konflik Sosial Pri-Nonpri & Hukum Keadilan Sosial. Surakarta: Muhammadiyah University Press

Patton, M. Q. (1990). Qualitative Evaluation and Research Methods. USA: SAGE Publication

Peplau, Taylor & Sears. (2000). Social Psychology, 10th ed. USA: Prentice Hall International Inc.

Poerwandari, K. (2001). Pendekatan Kualiatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI

Poerwanto, H. (2005). Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Rahardjo, T. (2005). Menghargai Perbedaan Kultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas ekonomi UI

Suryadinata, L. Etnik Tionghoa, Pribumi, Indonesia dan Kemajemukan: Peran Negara, Sejarah, dan Budaya dalam Hubungan antar Etnis, dalam Jurnal Antropologi Indonesia, No. 71, Tahun 2003

Salter. (2002). Ethnocentrism. http://en.wikipedia.org/wiki/Ethnocentrism)

Sarwono, S. W. (2003). Nilai motivasi Tiga Etnik I Kalimantan Barat. Http:// neuman. Fzo. Org./sarlito/nilai_m. hmtl (tanggal akses 3 Desember 2006)

(2003). The Chinese Family in Indonesia. Http://neuman. Fzo. Org/sarlito/Chinese_fam.hmtl. (tanggal akses 3 Desember 2006)

Scott, T. J. (1998). Thai Exchange Students' Encounters with Ethnocentrism: Developing a Response for The Secondary Global Education Curriculum.Http://proquest.umi.com/pqdwebdid=32243818&sid=1&F mt=3&clientId=63928&RQT=309&VName=PQD. (tanggal akses 3 Desember 2006)

Setiono, B. G. (2007). Etnis Tionghoa adalah Bagian Integral Bangsa Indonesia. Http://LKSSsurabaya.Blogspot.com/200707/Cina-Tionghoa-dan-Tiongkok. html. (akses Agustus 2007)


(6)

Sutrisna, N. (2005). Agama Sebagai Antitesa Clash Of Civilization. http://www.jurnal-kopertis4.org/file/kopwil4-313.doc. (tanggal akses 3 September 2006)

Wibowo, I. (1999). Catatan Pencahuluan Retrospeksi dan Rekontekstualisasi masalah Cina. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Zakrzewski, R.F. & Hector, M.A. (2004). The Lived Experiences Of Alcohol Addiction: Men Of Alcoholics Anonymous. Department of Psychology, University of Tennessee: Tennessee