28 diantara mereka menggunakan bahasa Tionghoa. Keadaan ini jauh berbeda
dengan etnis Tionghoa di kota lain di Indonesia, seperti Bandung, Yogyakarta, Padang, dan lain-lain yang pada umumnya telah menggunakan bahasa daerah
sebagai bahasa pengantar sehari-hari dalam berkomunikasi baik dengan sesama etnis Tionghoa maupun dengan etnis setempat.
II. B. 2. Ajaran yang Dianut Etnis Tionghoa
Kebudayaan dan kehidupan suatu masyarakat banyak dipengaruhi oleh sistem kepercayaannya. Kepercayaan yang dianut etnis Tionghoa adalah Budha,
Taoisme, dan Konfusionisme. Menurut Nio Joe Lan dalam Lubis, 1999 ketiga kepercayaan ini biasanya dipuja bersama dalam perkumpulan Sam Kauw Hwee
Perkumpulan Tiga Agama atau Budha Tri Dharma. Biasanya dalam kepercayaan itu ditambah pula dengan kepercayaan dan pemujaan kepada orang-orang suci
yang dianggap Dewa atau Dewi. Diantara tiga ajaran di atas, yang paling berpengaruh pada kehidupan etnis
Tionghoa adalah ajaran Konfusianisme. Hal ini dapat dipahami karena di negeri asalnya Tiongkok ajaran ini telah dianut selama lebih dari dua abad atau dua
ribu tahun lamanya dan telah menjadi tradisi yang sengaja dicipta dan dicita- citakan oleh Konfusius untuk membangun negerinya. Selama Dinasti Han 205
SM-220 SM ajaran Konfusius telah menjadi ajaran agama negara. Pada dasarnya Konfusius mengajarkan tentang moralitas yang harus dimiliki oleh setiap orang.
Kunci ini dipakai Konfusius untuk mengatur hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat. Konfusius ingin menciptakan suatu tradisi yang baik,
sehingga orang yang mengikuti tradisi ini akan dapat hidup dengan lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
29 Dari sinilah Konfusius beranggapan bahwa orang yang ”liar” akan menjadi
beradab apabila ia mengikuti tradisi yang diciptakannya. Bangsa yang ”liar” akan menjadi beradab apabila telah menganut ajarannya. Semua bangsa di luar Cina
yang belum menganut ajarannya dianggap sebagai bangsa yang liar. Oleh karena itu, Cina yang sudah menganut ajarannya adalah bangsa yang beradab. Dari
sinilah muncul anggapan bahwa sebagai bangsa yang beradab, melahirkan rasa superior pada bangsa Cina. Sedangkan bangsa yang belum beradab adalah bangsa
yang inferior. Anggapan ini muncul demikian ekstrim karena keyakinannya yang begitu kuat bahwa tradisi yang diciptakannya adalah sangat sempurna, sehingga
orang yang mengkuti ajarannya akan sempurna pula Hariyono, 1993; Lubis; 1999.
II. B. 3. Nilai-Nilai Kekeluargaan Etnis Tionghoa Familiisme