C. 2. Alasan Melakukan Perkawinan Campur A. PENDEKATAN KUALITATIF

37

II. C. 2. Alasan Melakukan Perkawinan Campur

Kartini Kartono 1992 menyebutkan beberapa motivasi dan alasan seseorang melakukan perkawinan: 1. Distimulir oleh dorongan-dorongan romantik 2. Keinginan untuk memperoleh kemewahan hidup 3. Ambisi untuk mencapai status sosial yang lebih baik 4. Keinginan untuk memperoleh kepuasan seks dari pasangan 5. Keinginan untuk lepas dari kungkungan orang tua 6. Keinginan untuk memiliki anak 7. Keinginan untuk mengabadikan nama leluhur Porterfield dalam Jeter dan Kris, 1982 menyebutkan ada enam alasan seseorang melakukan perkawinan campur: 1. Seseorang mungkin melakukan perkawinan campur dengan alasan idealisme 2. Seseorang bersifat kosmopolitan atau memilih teman secara personal bukan alasan budaya. 3. Seseorang melakukan perkawinan campur untuk menentang otoritas orang tua baik secara sadar ataupun tidak sadar. 4. Seseorang melakukan perkawinan campur karena tertarik secara psikoseksual Universitas Sumatera Utara 38 Hyt Sze dalam Martin Nakayama, 2000 menyatakan bahwa secara natural, perkawinan campur dilakukan atas dasar cinta. Profesor Char dalam Jeter dan Kris, 1982 menyatakan alasan atau motif seseorang melakukan perkawinan campur adalah: 1. Karena nilai cinta. Cinta adalah ikatan yang sehat antara dua orang walaupun berbeda secara kultural. 2. Jiwa petualang seseorang yang ingin tampil beda dan menyukai sesuatu yang baru seperti halnya kepribadian pada pasangan dalam perkawinan campur. Kebutuhan ini dapat disebabkan oleh narsistik atau tujuan untuk mendapat perhatian 3. Alasan praktis, seperti untuk meningkatkan status sosial atau kekayaan 4. Ekspresi kepuasan dan ketidakpuasan orang tua tentang perkawinan menjadi motif melakukan perkawinan dengan tujuan melakukan pemberontakan 5. Alasan idealisme untuk melakukan perkawinan campur Universitas Sumatera Utara 39 BAB III METODE PENELITIAN

III. A. PENDEKATAN KUALITATIF

Menurut Bogdan dan Taylor dalam Poerwandari, 2001, masalah-masalah dalam ilmu sosial dapat dijawab melalui dua pendekatan yaitu positivistik dan fenomenologis. Kedua pendekatan ini sebenarnya harus dipahami sebagai pendekatan yang saling melengkapi dan dihargai dengan karakteristik dan kekuatan masing-masing. Dalam pandangan fenomenologis, pengetahuan dan pemikiran awam berisikan arti atau makna yang diberikan individu terhadap pengalaman dan kehidupannya sehari-hari. Menurut Hogg 2003 etnosentrisme melibatkan atribusi secara internal dan eksternal terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ing group dan out group. Individu yang etnosentris cenderung menggunakan kebudayaannya untuk menilai kebudayaan lain. Kebudayaan sendiri dianggap sebagai yang paling benar, sementara kebudayaan lain dianggap sebagai sesuatu yang salah. Sikap seperti ini akan menjadi hambatan dalam proses interaksi dengan orang yang berasal dari kelompok lain. Berdasarkan beberapa literatur diperoleh informasi bahwa salah satu etnis di Indonesia yang memiliki etnosentrisme adalah etnis Tionghoa khususnya di kota Medan. Jika seseorang memiliki etnosentrisme yang tinggi, maka kecil kemungkinan baginya untuk menerima kebudayaan lain sebagai sesuatu yang Universitas Sumatera Utara 40 benar apalagi sampai melakukan perkawinan dengan individu yang berbeda latar belakang budayanya. Namun fakta dilapangan di kota Medan menunjukkan bahwa ada beberapa orang Tionghoa yang melakukan perkawinan campur. Bagaimana hal ini dapat terjadi dan bagaimana dinamika etnosentrisme yang dimiliki oleh etnis Tionghoa tersebut selama menjalani perkawinan campur tergantung pada pengalaman dan perasaan individu tersebut. Untuk menggali hal ini, cara yang dapat dilakukan adalah melakukan penelitian kualitatif. Lagipula, menurut Bogdan dan Taylor dalam Poerwandari, 2001, salah satu kekuatan pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.

III. B. METODE PENGUMPULAN DATA