B. ETNIS TIONGHOA B. 1. Etnis Tionghoa di Kota Medan
25 4.
Tidak menunjukkan solidaritas dan kebersamaan sosial dengan penduduk pribumi dalam bertetangga
5. Sebagian dari etnis Tionghoa belum bersedia mengembangkan rasa
identitas nasional secara utuh 6.
Masih ada yang menggunakan bahasa Tionghoa dalam percakapan sehari-hari dan masih memegang adat istiadat serta tradisi nenek moyang,
tidak berusaha untuk menguasai bahasa Indonesia dengan benar. 7.
Masih ada di antara mereka yang merasa lebih unggul dibandingkan dengan kelompok etnis yang lain dalam masyarakat
II. B. ETNIS TIONGHOA II. B. 1. Etnis Tionghoa di Kota Medan
Etnis Tionghoa di Indonesia berperan penting dalam perjalanan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Sejak
berdirinya Partai Tionghoa Indonesia, beberapa orang Tionghoa seperti Kho Sien Hoo bergabung dengan gerakan kemerdekaan. Setelah Negara Indonesia
terbentuk, maka secara otomatis etnis Tonghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup Indonesia
dan sejajar dengan suku-suku lain dalam Liem, 2000. Di kota Medan keberadaan etnis Tionghoa dimulai pada abad ke-15, ketika
armada perdagangan Cina datang mengunjungi pelabuhan Sumatera Timur untuk melakukan hubungan dagang. Hubungan ini berlangsung dalam waktu yang
cukup lama, sehingga sebagian pedagang tersebut ada yang menetap di Sumatera Timur. Anderson, sebagai utusan pemerintah kolonial Belanda tahun 1823 di
Universitas Sumatera Utara
26 wilayah ini melaporkan bahwa pada saat itu jumlah orang Tionghoa di Sumatera
Timur sedikit sekali. Tetapi, pada tahun 1876 Resden Belanda melaporkan bahwa dalam waktu 53 tahun, seluruh perdagangan talah dikuasai mereka Pelly, dalam
Lubis, 1995 Pelly juga menambahkan bahwa jumlah etnis ini kemudian bertambah
ketika Belanda mendatangkan tenaga kerja dari negeri Cina karena merasa tidak cocok dengan pribumi. Tahun 1879, tercatat Belanda berhasil mendatangkan4.000
kuli dari Cina dan meningkat menjadi 18.352 orang pada tahun 1888. Setelah kontrak kerjanya habis, para buruh ini kemudian bermukim di kota-kota, dan
akhirnya bekerja sebagai pedagang, pemilik toko, petani kecil, nelayan dan penjual barang bekas. Para etnis Tionghoa yang ada di kawasan pantai Timur
Sumatera ini terdiri dari beberapa kelompok, yaitu: 1.
Kelompok Puntis atau Kanton Kelompok ini berasal dari propinsi Kwantung. Sebagian besar bekerja
sebagai tukang besi, perabot furniture, jahit dan tekstil. 2.
Kelompok Hakka dan Khe Sebagian besar dari kelompok ini bekerja sebagai pengusaha toko,
pedagang rotan dan tukang kaleng. 3.
Kelompok Hoekloe Kelompok ini terdiri dari suku Teochinu dan Hailhokhong. Sebagian besar
bekerja sebagai kuli bangunan.
Universitas Sumatera Utara
27 4.
Kelompok Hailam Sebagian besar bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan tukang
masak. 5.
Kelompok Amoy dan Hokkian Di tanah Deli maupun Jawa kelompok ini terkenal sebagai pedagang.
6. Kelompok suku yang lebih kecil yang berasal dari propinsi Luitsiu dan
Koatsiu Biasanya mereka disebut sebagai orang Luichius dan Caochow serta Hock.
Sebagian besar mereka adalah orang-orang miskin di Belawan dan Bagan Siapi-api.
Lubis 1995 menyatakan bahwa banyak orang mengatakan bahwa etnis Tionghoa Medan memiliki karakteristik yang berbeda dengan etnis Tionghoa lain
yang ada di Indonesia. Misalnya saja dalam hal bahasa. Dari penelitian yang dilakukannya, Lubis menemukan bahwa etnis Tionghoa Medan cenderung lebih
sering menggunakan bahasa Tionghoa ketika berkomunikasi baik di dalam rumah maupun di luar rumah.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Chandra Sukma Dewi dalam Lubis, 1995 diperoleh hasil bahwa dominannya penggunaan bahasa Tionghoa
disebabkan karena kurangnya interaksi dengan pribumi, masih menganggap Indonesia sebagai tempat perantauan, dan masih kuatnya orientasi terhadap negeri
leluhur. Lubis menambahkan bahwa kecenderungan penggunaan bahasa Tionghoa oleh sesama etnis Tionghoa dimanapun mereka berada adalah untuk
memperlancar usaha bisnis mereka, karena hampir seluruh komunikasi bisnis
Universitas Sumatera Utara
28 diantara mereka menggunakan bahasa Tionghoa. Keadaan ini jauh berbeda
dengan etnis Tionghoa di kota lain di Indonesia, seperti Bandung, Yogyakarta, Padang, dan lain-lain yang pada umumnya telah menggunakan bahasa daerah
sebagai bahasa pengantar sehari-hari dalam berkomunikasi baik dengan sesama etnis Tionghoa maupun dengan etnis setempat.