A. KESIMPULAN KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

153

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

V. A. KESIMPULAN

Berkaitan dengan pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan pada bab I sebelumnya mengenai alasan partisipan melakukan perkawinan campur serta bagaimana dinamika etnosentrisme yang terjadi selama proses akuturasi dalam perkawinan campur yang mereka jalani, maka dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan sebagai berikut: a. Alasan Melakukan Perkawinan campur. Tinjauan teoritis mengatakan bahwa individu yang memiliki etnosentrisme yang tinggi sulit untuk menerima budaya lain sebagai sesuatu yang benar apalagi sampai melakukan perkawinan campur. Namun, hal ini terbantahkan dengan adanya fakta bahwa ada beberapa orang etnis Tionghoa yang melakukan perkawinan campur. Seperti yang dialami oleh tiga partisipan dalam penelitian ini. Berikut hal-hal yang melatarbelakangi para partisipan melakukan perkawinan campur. - Partisipan I Feng Melakukan perkawinan campur atas dasar cinta. Selain itu perkawinan ini juga dilakukan karena partisipan terlanjur melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Universitas Sumatera Utara 154 - Partisipan II Lie Melakukan perkawinan campur karena ingin memiliki keturunan. Di dorong oleh faktor usia yang semakin tua, akhirnya ia memutuskan untuk menikah dengan wanita yang mendekatinya saat itu. - Partisipan III Liang Melakukan perkawinan campur atas dasar cinta dan usia. Liang sudah memasuki usia 38 tahun ketika ia bertemu dengan wanita yang dianggapnya sebagai jodohnya. Alasan yang dimiliki oleh ketiga partisipan ini sejalan dengan hal yang dikemukakan oleh Baron 2000 bahwa selain persamaan ada hal-hal lain yang dijadikan seseorang sebagai alasan melakukan perkawinan, seperti yang dialami oleh tiga partisipan dalam penelitian ini. Walaupun demikian, aspek etnosentrisme yang dimiliki oleh para partisipan tidak hilang secara keseluruhan. Para partisipan memang dapat bernegosiasi dengan perbedaan yang dimiliki pasangannya, Namun seperti pendapat Mulyana 2005, budaya seseorang tidak dapat hilang secara total walau seberapa besarpun usaha yang dilakukan atasnya. Akulturasi yang dialami participan memang memperngaruhi hidup mereka termasuk etnosentrisme yang mereka miliki, Namur etnosentrisme tersebut tidak hilang tapi mengalami suatu dinamika yang akan dijelaskan pada poin b. Universitas Sumatera Utara 155 b. Dinamika Etnosentrisme Pria etnis Tionghoa yang melakukan perkawinan campur. Masalah mengenai bagaimana seseorang yang memiliki etnosentrisme bisa melakukan perkawinan campur telah terjawab. Sekarang tinggal menjawab masalah berikutnya yaitu mengenai dinamika etnosentrisme para partisipan selama menjalani perkawinan campur. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan dinamika etnosentrisme pada masing-masing partisipan. Padahal ketiga partisipan memiliki karakteristik yang hampir sama. Berikut uraian dinamika etnosentrisme yang terjadi pada para partisipan: 1. Lingkungan tempat tinggal dan interaksi sosial Ketiga partisipan dalam penelitian ini berasal dari lingkungan yang memiliki karakteristik hampir sama. Ketiganya tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan orang-orang Tionghoa. Mereka juga cenderung berkomunikasi menggunakan bahasa Tionghoa dengan keluarga dan tetangganya. Bahasa Indonesia hanya dipakai pada orang yang tidak memahami bahasa Tionghoa. Setelah ketiganya melakukan perkawinan campur terjadi beberapa perubahan pada mereka. Feng kini tinggal dirumah mertuanya, di lingkungan yang mayoritas penduduknya beretnis Jawa dan Batak Karo. Di sini kemungkinan ia untuk bertemu dan berinteraksi dengan orang- orang yang berbeda latar belakang budayanya jauh lebih tinggi. Di sini Universitas Sumatera Utara 156 Feng sama sekali tidak pernah berbahasa Tionghoa sebab tidak ada satu orang pun yang mampu berbahasa Tionghoa. Lie, partisipan kedua dalam penelitian ini mengalami situasi yang berbeda dari Feng. Setelah melakukan perkawinan campur tinggal di rumah sendiri walaupun masih dalam status kontrakan. Lingkungan yang ditempatinya tampak sunyi sama seperti lingkungan tempat ia tinggal dulu. Para tetangganya yang juga beretnik Tionghoa sama sibuknya seperti dirinya sehingga tidak sempat bersilaturahmi. Di rumah, Lie berkomunikasi dengan istrinya menggunakan bahasa Indonesia. Namun ia juga membiasakan anaknya untuk berbahasa Tionghoa sejak kecil. Dengan keluarga istrinya ia juga menggunakan bahasa Tionghoa. Liang, partisipan III penelitian ini tinggal bersama istri dan anaknya disebuah lingkungan yang heterogen. Kesibukan Liang membuatnya tidak sempat bergaul dengan tetangganya. Liang berbahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan istri dan anaknya. Ketika partisipan ditanya mengenai lingkungan seperti apa yang mereka inginkan, ketiganya memberi jawaban yang hampir sama. Feng ingin memiliki rumah sendiri di lingkungan yang sama seperi sebelum ia menikah, sebab lingkungannya dulu jauh lebih nyaman dibandingkan sekarang. Lie, menyukai lingkungan tempat tinggalnya sekarang karena sesuai dengan keinginannya, walaupun istrinya tidak. Sementara itu, Liang memprioritaskan lingkungan yang nyaman bagi keluarganya. Tidak masalah jika tinggal di lingkungan campuran, jika aman dan tentram. Universitas Sumatera Utara 157 2. Nilai-nilai kekeluargaan Sudah menjadi rahasia umum bahwa ketika seseorang memutuskan untuk menikahi seseorang itu berarti dia juga menikahi keluarganya. Demikian halnya dengan para partisipan. Setelah menikah mau tidak mau mereka harus berinteraksi dan menjalin hubungan dengan keluarga pasangan yang memiliki sistem nilai yang berbeda. Lalu bagaimana para partisipan menjalin hubungan dengan keluarganya sendiri dan keluarga pasangan? Feng, mengaku sulit menyesuaikan diri dengan keluarga istrinya. Ia merindukan beberapa hal yang dulu ia lakukan sebelum menikah, seperti berkumpul bersama dan melakukan sesuatu bersama-sama dengan keluarganya ketika Imlek. Namun ia pasrah, menerimanya dan mencoba menjalani apa yang harus ia jalani sekarang. Lie, berusaha untuk tetap menjalin hubungan dengan keluarga istri dan keluarganya. Sampai saat ini dia masih menjalankan kebiasaan- kebiasaannya sebelum menikah seperti sembahyang pada arwah leluhur, mendo1akan arwah orang tuanya, merayakan Imlek bahkan mengajarkan dan menanamkan hal tersebut pada istri dan anak-anaknya. Perkawinan campur tidak membuatnya melupakan tradisi keluarga, justru membuatnya semakin teguh untuk mempertahankannya. Liang, juga tetap menjalin hubungan dengan keluarganya serta keluarga istrinya. Menjadi muallaf tidak menghalanginya untuk memeriahkan Imlek bersama kedua orang tuanya. Walaupun ritual-ritual yang dulu tidak lagi ia jalankan, baginya kebersamaan dengan keluarganya menjadi hal yang Universitas Sumatera Utara 158 penting. Ketiga partisipan masih tetap memegang nilai-nilai kekeluargaan mereka walaupun mereka berakulturasi dengan nilai-nilai baru dari keluarga pasangannya. 3. Sikap terhadap budaya pasanganetnis lain Ketika partisipan berinteraksi dan melakukan kontak secara langsung dengan budaya pasangannya melalui ruang sosial yaitu rumah tangga, mau tidak mau interaksi ini akan berpengaruh pada sikap dan perilakunya. Seperti pada para partisipan yang sebelumnya tidak mengenal budaya pasangannya, dan hanya sekedar mendengar dari orang-orang. Mereka dihadapkan pada suatu pengalaman tersendiri selama menjalani perkawinan campur. Melalui pengalaman ini mereka dapat mengetahui, menilai, atau meyakinkan penilaian-penilaian yang sebelumnya ia miliki. Dulu hanya mendengar, sekarang menyaksikan sendiri dan dapat mengemukakan pendapatnya sendiri. Feng berpendapat bahwa orang batak yang tinggal di tempat tinggalnya memiliki sifat yang kasar, dan orang-orang Jawa bersifat boros karena jarang menabung uang yang mereka miliki. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penilaian yang dimilikinya dulu. Lie, yang dulu tidak tahu apa-apa mengenai etnis india, kini mulai memiliki penilaian-penilaian terhadap beberapa hal yang ia alami sendiri, seperti: ia merasa anting yang dipakai oleh pria India adalah suatu hal yang tidak pantas. Universitas Sumatera Utara 159 Liang, yang dulu tidak mengenal budaya Karo, kini tahu bahwa ada istilah `impal` yang hampir sama konsepnya dengan istilah `she` marga dalam budaya Tionghoa. Ia juga mengetahui bahwa logat Batak yang kasar belum tentu memiliki makna yang kasar juga. 4. Stress akulturasi Terjun langsung dalam suatu peristiwa tidak sama penghayatannya dengan hanya mendengar atau menyaksikannya. Mudah mengatakan bahwa jatuh itu sakit, namun berbeda rasanya ketika kita mengalaminya sendiri. Perkawinan campur yang dijalani para partisipan memberikan dampak pada mereka bahkan sampai menimbulkan stress dalam kehidupan mereka. Berikut uraian masalah-masalah yang dihadapi para partisipan selama berakulturasi dalam perkawinan campur yang dijalaninya. - Partisipan I Feng -merasa terpaksa menjadi mualaf dan sampai saat ini belum menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim -merasa sedih karena dianggap durhaka oleh keluarganya -merasa sedih ketika tidak dapat melakukan upacara Tionghoa ketika menikah dan memberi nama pada anaknya. -merasa dianggap rendah oleh mertuanya -mertua mengambil alih fungsinya sebagai kepala keluarga -sulit menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru, seperti dalam hal bahasa -Merasa sendirian dan tidak ada tempat berbagi kesusahan Universitas Sumatera Utara 160 - Partisipan II Lie - Merasa marah ketika pertama kali dimaki dan dilempari senjata tajam mertuanya - tidak boleh melaksanakan pernikahan dengan adat Tionghoa harus dengan adat India - mertua berusaha turut campur dalam urusa rumah tangganya - Partisipan III Liang - mendapat larangan dari kedua pihak keluarga - harus meninggalkan budayanya dan menjadi muallaf -harus mempunyai marga etnis Batak Karo yang seimpal dengan pasangannya 5. Strategi akulturasi Dalam mengatasi stress akulturasi ada empat strategi yang dilakukan oleh para pertisipan, yaitu: Integrasi, Assimilasi, Separatisme, dan Marginalisasi. - Partisipan I Feng Dari data diperoleh hasil bahwa langkah yang dilakukan oleh Feng tergolong ke dalam marginalisasi. Feng mengalami kebingungan identitas. Ia masih merasa dirinya beretnis Tionghoa, namun ia sendiri mengatakan seseorang tidak dapat dikatakan beretnis Tionghoa jika tidak menjalankan tradisi orang Tionghoa. Ia tidak merasa dirinya sebagai bagian dari etnis Jawa ataupun sebagai seorang muslim, karena untuk kedua hal ini, ia juga Universitas Sumatera Utara 161 tidak menjalankan kewajibannya sebagai muallaf. Sampai saat ini Feng masih merasa terpaksa untuk menjadi seorang muallaf. - Partisipan II Lie Lie memilih jalan separatisme. Hal ini dapat dilihat dari ucapannya yang mengatakan bahwa adat yang dijalankan dalam rumah tangganya adalah adatnya. Ia juga mewajibkan istri dan keluarganya untuk melaksanakan tradisi keluarganya, seperti sembahyang, merayakan imlek, dan lain-lain. Sesekali ia memperbolehkan mertuanya untuk melakukan tradisi mereka selama hal tersebut tidak bertentangan dengan prinsipnya. Saat ini ia masih merasa dirinya etnis Tionghoa. - Partisipan III Liang Memilih jalan integrasi. Ia dapat menerima secara sukarela keputusan yang telah ia ambil ketika menikahi pasangannya. Ia dapat menerima marga etnis Batak yang diberikan padanya, dan tetap memiliki marga Tionghoanya. Menurutnya ini seperti memiliki dua warga kenegaraan. Karena jalan yang telah ia pilih tidak menghilangkan identitas etnisnya. Ia masih tetap merasa dirinya adalah etnis Tionghoa. Universitas Sumatera Utara 162

V. B. DISKUSI