dan beras patah besar. Disamping dipengaruhi oleh kualitas gabah, rendemen giling juga dipengaruhi oleh varietas padi dan kinerja mesin-mesin yang dipakai dalam
proses penggilingan. Kadar air yang optimal untuk melakukan penggilingan adalah 13-15. Oleh
sebab itu gabah pada kadar air optimum ini disebut gabah kering giling GKG. Pada kadar air yang lebih tinggi gabah sulit dikupas, sedangkan pada kadar air yang
lebih rendah butiran gabah menjadi mudah patah. Gabah yang baru dipanen, yang biasanya disebut gabah kering panen GKP, biasanya memiliki kadar air antara 20-
27. Kemurnian gabah dipengaruhi oleh adanya butir yang tidak bernas seperti
butir hampa, muda, berkapur, benda asing atau kotoran yang tidak tergolong gabah, seperti debu, butir-butir tanah, batu-batu, kerikil, potongan kayu, potongan logam,
tangkai padi, biji-biji lain, bangkai serangga hama, serat karung, dan sebagainya, termasuk pula dalam kategori kotoran adalah butir-butir gabah yang telah
terkelupas beras pecah kulit dan gabah patah.
3.2.3 Karakteristik Fisik Beras
3.2.3.1 Beras Pecah Kulit Gabah yang telah dikupas disebut beras pecah kulit beras PK. Pada
struktur butiran gabah beras PK terdiri dari endosperm, lapisan aleuron, testa, dan pericarp atau secara ringkas berupa endosperm dan lapisan bekatul. Beras PK
sangat jarang langsung dikonsumsi karena rasanya yang kurang enak akibat masih adanya lapisan bekatul. Dengan demikian beras PK pada umumnya diolah lebih
lanjut menjadi beras sosoh. 3.2.3.2 Beras Sosoh
Beras sosoh atau beras slyp atau beras putih adalah butiran beras yang telah terbebas dari bekatul dan telah digosok untuk mendapatkan warna putih mengkilap.
Beras sosoh memiliki rasa yang lebih enak daripada beras PK serta memiliki warna yang menarik.
Beras sosoh dipisahkan menjadi beberapa ukuran yaitu beras kepala, beras patah, dan beras menir. Beras kepala dan beras patah dikonsumsi dalam bentuk
nasi. Menir memiliki bentuk yang kurang menarik jika dimasak dalam bentuk nasi karena ukurannya yang kecil.
3.2.3.3 Beras patah Pada proses penggilingan, beras patah tidak dikehendaki. Yang dikehendaki
adalah sebanyak mungkin beras kepala. Beras kepala adalah beras baik sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran lebih besar atau sama dengan 610 bagian
dari panjang rata-rata butir beras utuh. Terjadinya beras patah, disamping ditentukan oleh kinerja mesin penggiling, juga ditentukan oleh kualitas gabah
sebelum digiling baik pada proses panen yang belum cukup umur ataupun pada proses pengeringan yang tidak baik . Dengan penanganan yang kurang tepat gabah
dapat menjadi mudah patah atau retak, bahkan telah patah sebelum digiling. Berbagai literatur menyebutkan bahwa beberapa faktor yang menyebabkan
beras patah hasil pengilingan, yaitu gabah dipanen belum cukup masak, jenis padi, serta metode pengeringan, akibat dari gradien kadar air selama pengeringan juga
dapat mengakibatkan keretakan. Banazzi
et al
1994 melakukan penelitian tentang hubungan antara kualitas beras dengan kondisi pengeringan yang menunjukkan bahwa kualitas beras turun
secara cepat dengan naiknya temperatur pengeringan yang disertai kenaikkan laju pengeringan, sehingga berakibat terjadinya thermal shock kejutan termal pada
butiran. Ekstrom
et al
. 1996 yang melakukan pengujian pada biji jagung, menunjukkan bahwa tegangan retak tidak hanya disebabkan oleh adanya perbedaan
temperatur didalam butiran, tetapi juga oleh karena tegangan gradien kadar air atau gabungan tegangan kadar air dan tegangan termal.
Arora
et al.
1973 melakukan penelitian tentang pengaruh temperatur udara pengering terhadap sifat termal dan mekanis gabah selama pengeringan tipe bak
dengan udara panas. Hasilnya, apabila perbedaan temperatur antara udara pengering
dengan bahan lebih dari 43
o
C, akan berakibat retak pada bahan, dan menyarankan akan lebih baik apabila pengeringan dilakukan dengan temperatur udara pengering
di bawah temperatur transisi 53
o
C, sehingga tahanan termal butiran terhadap perbedaan temperatur dapat diminimalkan. Hal ini dikarenakan pada temperatur dan
kadar air di bawah garis transisi gelas, bahan dalam keadaan glassy, yang mempunyai sifat, koefisien ekspansi rendah, volume spesifik dan difusivitas juga
rendah. Ketika temperatur bahan telah melewati garis transisi gelas, keadaan bahan
berubah dari glassy menjadi rubbery. Sifat bahan di atas garis transisi gelas, di daerah rubbery adalah koefisien ekspansi yang tinggi, demikian pula volume
spesifik dan difusivitasnya juga tinggi Cnossen.A.G., Siebenmorgen.T.J 2000. Laju pengeringan juga menjadi faktor penyebab keretakan Kunze,O.R.,
1991, pengeringan yang cepat sangat merusak kualitas beras Ban.T, 1971, karena adanya gradien kadar air dalam butiran. Nagato et al dalam Kunze.,1991 dalam
penelitiannya mengamati bahwa terbentuknya keretakan gabah dalam pengeringan adalah konsekuensi dari terjadinya penyusutan yang tidak sama dalam edosperm
akibat dehidrasi yang tidak merata pada biji. Gabah dapat patah atau retak selama penanganan pascapanen sebagai akibat
dari adanya perubahan cuaca, terutama fluktuasi suhu dan kelembaban relatif udara. Ini bisa terjadi apabila perubahan hari panas dan hujan terjadi berkali-kali dalam
jangka waktu yang lama. Fluktuasi ini menyebabkan butiran gabah berkerut dan berkembang dengan interval tidak teratur sehingga terjadi keretakan. Keretakan
serupa juga dapat terjadi apabila dilakukan metode pengeringan yang tidak tepat. Sarker, Kunze dan Strouboulis 1996 menyatakan bahwa formasi keretakan
disebabkan oleh karena gradien kadar air selama pengeringan, keretakan gabah akan mengakibatkan patah selama penggilingan, dan penurunan rendemen beras
kepala.
3.2.4 Sifat Termofisik Bahan