Gambaran Karakteristik Infeksi Menular Seksual (IMS) Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Pada Tahun 2012

(1)

KARYA TULIS ILMIAH

Gambaran Karakteristik Infeksi Menular Seksual (IMS)

Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Pada Tahun 2012

Karya Tulis Ilmiah ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

PRINS ISAAC BENEDICK

100100306

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

(3)

ABSTRAK

Setiap tahun diperkirakan terdapat 340 juta kasus baru infeksi menular seksual (IMS) yang dilaporkan setiap tahun di seluruh dunia pada laki-laki dan perempuan yang berusia 15-49 tahun. Tujuan pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran karakteristik Infeksi Menular Seksual (IMS) di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012.

Desain penelitian merupakan studi cross-sectional dengan menggunakan metode Total sampling, didapati sebanyak 70 penderita IMS di RSUD Dr. Pirngadi Medan dari Januari sampai Desember 2012.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandidiasis genitalis (34,3%) adalah IMS yang paling paling banyak dalam penelitian ini. Hal ini diikuti oleh gonore (28,6%) dan sifilis (17,1%). Selain itu didapati juga kondiloma akuminata (8,6%), Infeksi Genital Non-spesifik (IGNS) (5,7%), Herpes genitalis (4,3%) dan Ulkus Mole (1,4%). Daripada 70 orang penderita IMS 58,6% adalah laki-laki, 21,4 % berusia 20-24 tahun, (28,6%) adalah mahasiswa, (55,7%) penderita IMS telah menikah dan 67,1 % memiliki tingkat pendidikan SMA.

Dari penelitian ini, jumlah penderita IMS masih tinggi. Oleh itu, diharapkan pihak berwenang dapat memberikan penyuluhan, ceramah atau seminar tentang infeksi menular seksual pada masyarakat sehingga peningkatan jumlah kasus IMS dapat dicegah.

Kata Kunci: Kandidiasis, Gonore, sifilis, Kondiloma akuminata, Infeksi Menular Seksual,


(4)

ABSTRACT

Sexually transmitted infections (STIs) are extraordinarily commonplace, with an estimated 340 million new cases of infections occurring each year worldwide in men and women aged 15–49 years. The aim of this study is to describe the characteristics of STIs in RSUD Dr. Pirngadi Medan in 2012.

In a cross-sectional study, 70 STIs patients was reported in RSUD Dr. Pirngadi Medan January until December 2012, using total sampling method.

The study showed that genital candidiasis (34,3%) was the most STI among these patients. This was followed by gonorrhea (28,6%) and syphilis (17,1%). Others include condyloma acuminata (8,6%), Non-specific Genital Infection (5,7%), herpes genital (4,3%) and chancroid (1,4%). Of the 70 patients 58,6% were male, 21,4% were aged 20-24, (28,6%) were students, (67,1%) had secondary level of education and 55,7% were married.

From this study, the number of STI patients is still high. Thus, the ruling party is expected to provide counseling, lectures or seminars on sexually transmitted infections in the community so that an increasing number of cases of STIs can be prevented.

Keyword: Candidiasis, gonorrhea, syphilis, Condyloma acuminata, Sexually Transmitted Infections,


(5)

KATA PENGANTAR

Saya sangat bersyukur kepada Tuhan yang senantiasa memberikan nikmat, terutama nikmat kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah (KTI) dengan judul “Gambaran Karakteristik Infeksi Menular Seksual (IMS) Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Pada Tahun 2012.”, sebagai tahapan akhir pembelajaran dalam program studi Strata I Pendidikan Dokter Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih banyak kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Benedick dan Ibunda Angela atas dukungannya baik berupa dukungan moril, materil, kasih saying, dan doa, sehingga penulis dapat memperoleh pendidikan di FK USU dan boleh menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kedokteran.

Selain itu, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada pihak-pihak yang telah mendukung dan memberikan bantuan, antara lain:

1. Dr. Isma Aprita, Sp.KK selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya sehingga karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan.

2. Dosen penguji dr. M. Surya Husada dan dr. Dewi Saputri yang telah membantu mengkoreksi, menyempurnakan, menguji, dan menilai KTI ini. Tidak lupa juga dr. Rina Yunita yang telah membantu mengkoreksi, menguji, dan menilai ketika proposal KTI sebelumnya.

3. Seluruh pegawai dan staf bagian rekam medis RSUD dr. Pirngadi Medan yang telah membantu saya dalam pengumpulan data karya tulis ilmiah ini. 4. Staf-staf Poliklinik kulit dan kelamin di RSUD dr. Pirngadi Medan yang

telah membantu dalam pengumpulan data karya tulis ilmiah ini.

5. Benedick Oliver dan Angela Engkuan selaku orang tua penulis yang telah banyak memberikan semangat dan motivasi.


(6)

6. Teman – teman seperjuangan yang selalu mendukung dalam proses penulisan proposal ini.

Akhirnya, penulis mengharapkan masukan dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan penelitian ini, dan juga untuk menambah ilmu dan pengetahuan penulis untuk masa yang akan datang. Demikian ucapan terima kasih ini disampaikan.

Medan, 9 Januari 2014 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan... i

Abstrak... ii

Abstract... iii

Kata Pengantar... iv

Daftar Isi... v

Daftar Tabel... xii

Daftar Lampiran... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Rumusan Masalah... 4

1.3. Tujuan Penelitian... 4

1.3.1. Tujuan Umum... 4

1.3.2. Tujuan Khusus... 4

1.4. Manfaat Penelitian... 4

1.4.1. Bagi Pemerintah dan Masyarakat... 4

1.4.2. Bagi RSUD Dr. Pirngadi Medan... 4

1.4.3. Bagi peneliti... 5

BAB 2 DAFTAR PUSTAKA... 6

2.1. Definisi Infeksi Menular Seksual... 6

2.2. Epidemiologi Infeksi Menular Seksual... 6

2.3. Penyebab Infeksi Menular Seksual... 7


(8)

2.5. Diagnosa Infeksi Menular Seksual... 9

2.6. Jenis-jenis Infeksi Menular Seksual... 11

2.6.1. Gonore... 11

2.6.1.1. Epidemiologi... 11

2.6.1.2. Etiologi... 12

2.6.1.3. Gambaran klinik... 12

2.6.1.4. Pemeriksaan penunjang... 13

2.6.1.5. Komplikasi... 13

2.6.2. Infeksi Genital Non-spesifik (IGNS)... 14

2.6.2.1. Epidemiologi... 14

2.6.2.2. Etiologi ... 15

2.6.2.3. Gambaran klinik... 15

2.6.2.4. Pemeriksaan penunjang... 15

2.6.2.5. Komplikasi... 16

2.6.3. Herpes Genitalis... 16

2.6.3.1. Epidemiologi... 16

2.6.3.2. Etiologi... 17

2.6.3.3. Gambaran klinik... 17

2.6.3.4. Pemeriksaan penunjang... 18

2.6.3.5. Komplikasi... 19

2.6.4. Sifilis... 19

2.6.4.1. Epidemiologi... 19

2.6.4.2. Etiologi... 20


(9)

2.6.4.4. Pemeriksaan penunjang... 22

2.6.4.5. Komplikasi... 23

2.6.5. Kondilomata akuminata... 23

2.6.5.1. Epidemiologi... 23

2.6.5.2. Etiologi... 23

2.6.5.3. Gambaran klinis... 24

2.6.5.4. Pemeriksaan penunjang... 24

2.6.5.5. Komplikasi ... 24

2.6.6. Ulkus mole... 25

2.6.6.1. Epidemiologi... 25

2.6.6.2. Etiologi... 25

2.6.6.3.Gambaran klinis... 25

2.6.6.4. Pemeriksaan penunjang... 26

2.6.6.5. Komplikasi... 26

2.6.7. Limfogranuloma Venereum... 26

2.6.7.1. Epidemiologi... 26

2.6.7.2. Etiologi... 27

2.6.7.3. Gambaran klinis... 27

2.6.7.4. Pemeriksaan penunjang... 27

2.6.7.5. Komplikasi... 27

2.6.8. Vaginosis Bakterial... 28

2.6.8.1. Epidemiologi... 28

2.6.8.2. Etiologi... 28


(10)

2.6.8.4. Pemeriksaan penunjang... 28

2.6.8.5. Komplikasi... 29

2.6.9. Granuloma Inguinale... 29

2.6.9.1. Epidemiologi... 29

2.6.9.2. Etiologi... 29

2.6.9.3. Gambaran klinis... 29

2.6.9.4. Pemeriksaan penunjang... 30

2.6.9.5. Komplikasi... 30

2.6.10. Kandidiasis genitalis... 30

2.6.10.1. Epidemiologi... 30

2.6.10.2. Etiologi... 31

2.6.10.3. Gambaran klinis... 31

2.6.10.4. Pemeriksaan penunjang... 31

2.6.10.5. Komplikasi... 31

2.6.11. Trikomoniasis... 31

2.6.11.1. Epidemiologi... 32

2.6.11.2. Etiologi... 32

2.6.11.3. Gambaran klinis... 32

2.6.11.4. Pemeriksaan penunjang... 32

2.6.11.5. Komplikasi... 32

2.7. Pencegahan Infeksi Menular Seksual... 33

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL.. 34

3.1. Kerangka Konsep... 34


(11)

BAB 4 METODE PENELITIAN... 37

4.1. Jenis Penelitian... 37

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 37

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian... 37

4.3.1. Populasi... 37

4.3.2. Sampel... 37

4.4. Metode Pengumpulan Data... 37

4.5. Metode Analisis Data... 38

BAB 5 PEMBAHASAN... 39

5.1. Hasil Penelitian... 39

5.1.2. Karakteristik Penderita ... 39

5.1.2.1 Jenis Infeksi Menular Seksual... 39

5.1.2.2 Usia... 40

5.1.2.3 Jenis Kelamin... 40

5.1.2.4 Pendidikan Terakhir... 41

5.1.2.5 Pekerjaan... 41

5.1.2.6 Status Perkawinan... 42

5.2. Pembahasan... 42

5.2.1. Kandidiasis genitalis... 46

5.2.2. Gonore... 46

5.2.3. Sifilis... 46

5.2.4. Kondiloma Akuminata... 47

5.2.5. IGNS (Infeksi Genital Non-Spesifik)... 47


(12)

5.2.7. Ulkus Mole... 48

BAB 6KESIMPULAN DAN SARAN... 49

6.1. Kesimpulan... 49

6.2. Saran... 49

DAFTAR PUSTAKA... 51


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 3.1 Table variabel ... 35 Tabel 5.1 Karakteristik Penderita IMS Menurut Jenis IMS Tahun

2012 ... 39 Tabel 5.2 Karakteristik Penderita IMS Menurut Usia Tahun 2012 ... 40 Tabel 5.3 Karakteristik Penderita IMS Menurut Jenis Kelamin

Tahun 2012 ... 40 Tabel 5.4 Karakteristik Penderita IMS Menurut Tingkat

Pendidikan Tahun 2012. ... 41 Tabel 5.5 Karakteristik Penderita IMS Menurut Pekerjaan Tahun

2012 ... 41 Tabel 5.6 Karakteristik Penderita IMS Menurut Status


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Surat Persetujuan Komisi Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan

Lampiran 3 Surat Selesai Survey Dari RSUD Dr Pirngadi Lampiran 4 Surat Selesai Penelitian Dari RSUD Dr. Pirngadi Lampiran 5 Data Induk


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada zaman dahulu penyakit kelamin dikenali sebagai Venereal Disease (VD) yang berasal dari mitologi Romawi yaitu Venus (dewi cinta). Yang termasuk dalam Venereal Disease ini, yaitu sifilis, gonore, ulkus mole, limfogranuloma venereum, granuloma inguinale. Ternyata pada akhir-akhir ini ditemukan berbagai penyakit lain yang juga dapat timbul akibat hubungan seksual. Oleh karena itu istilah VD makin lama makin ditinggalkan dan diperkenalkan istilah Penyakit Menular Seksual (PMS). Sehubungan P.M.S ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi, maka kemudian istilah PMS telah diganti menjadi IMS (Infeksi Menular Seksual) (Daili,2013).

Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Terdapat lebih daripada 30 jenis mikroba (bakteri, virus, dan parasit) yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonore, klamidia, sifilis, trikomoniasis, chancroid, kutil kelamin, dan human immunodeficiency virus (HIV). Beberapa IMS khususnya HIV dan sifilis, dapat juga ditularkan dari ibu ke anaknya selama kehamilan dan melahirkan, dan melalui darah serta jaringan tubuh (WHO 2009).

Menurut WHO (2009), pada tahun 1999 diperkirakan prevalensi IMS sebanyak 340 juta kasus seperti C. trachomatis, N. gonorhoeae, T. pallidum dan T. Vaginalis. Wilayah Asia Selatan dan Tenggara mempunyai kasus IMS terbanyak yaitu 151 juta kasus dan wilayah Australia 1juta kasus .Pada tahun 2005 diperkirakan prevalensi IMS sebanyak 321,1 juta kasus seperti C. trachomatis, N. gonorhoeae, T. pallidum dan T. vaginalis. Wilayah Pasifik Barat merupakan wilayah yang mempunyai kasus IMS terbanyak yaitu 77,4 juta kasus dan wilayah yang paling sedikit kasus IMS adalah wilayah Mediterania Timur yaitu 17,1 kasus IMS. Disamping itu, negara Indonesia termasuk dalam wilayah Asia Tenggara dan jumlah kasus IMS pada wilayah tersebut adalah sebanyak 54,4 juta kasus.


(16)

Ternyata prevalensi IMS tahun 1999 dan tahun 2005 terjadi peningkatan, prevalensi pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.

Secara global pada tahun 2008, diperkirakan bahwa ada 498.9 juta kasus baru IMS seperti C. trachomatis, N. gonorhoeae, T. pallidum dan T. vaginalis pada orang dewasa berusia 15-49 tahun. Wilayah Pasifik Barat masih lagi mempunyai angka prevalensi yang tinggi yaitu 128,2 kasus dan wilayah Mediterania Timur masih terendah yaitu 26,4 juta kasus(WHO 2008). Sementara Di Indonesia sendiri, telah banyak laporan mengenai prevalensi infeksi menular seksual ini. Beberapa laporan yang ada dari beberapa lokasi antara tahun 1999 sampai 2001 menunjukkan prevalensi infeksi gonore dan klamidia yang tinggi, antara 20%-35%(Jazan, 2003). Disamping itu, di RS Dr. Pirngadi Medan pada tahun 1989 dilaporkan kasus gonore sebanyak 16% dari sebanyak 326 penderita IMS dan didapati prevalensi Uretritis Non Gonore (UNG) di RS Dr. Pirngadi Medan sebesar 54% pada tahun 1990-1991 (Hakim, 2011).

Hampir seperempat dari semua infeksi menular seksual (IMS) terjadi pada remaja aktif secara seksual. Berbagai faktor yang berkontribusi terhadap tingginya angka penderita IMS yaitu pertama, faktor biologis yaitu jenis kelamin, usia, hidup dikalangan penderita IMS. Kedua, faktor kognitif yaitu tingkat pengetahuan mengenai IMS dan dampaknya pada mereka. Ketiga, faktor psikologikal yaitu karena tertarik melihat fisik seseorang, untuk mengeratkan hubungan sesama pasangan, untuk kepuasan seksual seseorang, dan mengurangi rasa stres seseorang. Keempat, faktor perilaku yaitu bergantian pasangan seksual, anoseksual, narkoba dan alkohol. Kelima, faktor sosial yaitu sosial ekonomi, pergaulan bebas di kalangan dewasa muda dan sebagainya (Sanders, 2007). Tingkat penularan IMS yang spesifik seperti bakteri klamidia dan gonore lebih rentan pada remaja. Pada tahun 2003, tingkat penularan infeksi menular seksual klamidia tertinggi pada remaja perempuan berusia 15-19 tahun (Sanders, 2007).

Pada tahun 2011, Hasil penelitian STBP (Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku) di Indonesia menunjukkan karateristik penderita IMS menurut kelompok usia paling banyak adalah kelompok usia 20-29 tahun. Selain itu, didapati jumlah laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan dan majoritas


(17)

memiliki tingkat pendidikan terakhir adalah tingkat SMA serta lebih ramai penderita IMS yang belum nikah.

Menurut hasil penelitian Silitonga (2010), gambaran IMS di RSUP.H.Adam Malik Medan tahun 2009 menunjukkan bahwa jenis Infeksi Menular Seksual (IMS) yang paling banyak adalah kondiloma akuminata dengan jumlah 20 orang (29,9%). Jenis Infeksi Menular Seksual (IMS) terbanyak kedua adalah gonore dengan jumlah responden sebanyak 19 orang (28,4%), yang diikuti oleh IMS jenis lainnya seperti moluscum contangiosum, kandidiasis genitalis dan lainnya sebanyak 18 orang (26,9%), sifilis sebanyak 5 orang (7,5 %), IGNS sebanyak 3 orang (4,5 %) dan herpes simpleks sebanyak 2 orang (3 %). Selain itu, kelompok usia yang paling sering menderita IMS adalah pada kelompok usia 30 – 34 tahun dengan jumlah 15 orang (22,4%) dan didapati jumlah perempuan lebih banyak menderita IMS daripada laki-laki yaitu terdapat 33 orang (49,3%) laki-laki dan 34 orang (50,7%) perempuan. Disamping itu, tingkat pendidikan terakhir pada penderita IMS yang paling banyak didapati adalah tingkat pendidikan sedang dengan jumlah 45 orang (67,2%). Pada gambaran IMS mengenai status pekerjaan, didapati lebih banyak penderita IMS yang bekerja daripada penderita IMS yang tidak bekerja yaitu sebanyak 36 orang (53,7%) serta lebih banyak penderita IMS yang sudah menikah dibandingkan dengan responden yang belum menikah yaitu yang sudah menikah adalah 40 orang (59,7%).

Sampai saat ini ternyata prevalensi penyakit IMS masih tinggi dan sukar ditanggulangi karena dalam penanggulangan penyakit kelamin ada beberapa segi yang perlu mendapat perhatian, yaitu dari segi medis, segi epidemiologik, segi sosial, ekonomi, dan budaya(Daili,2008). Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui karakteristik kejadian IMS di RSUD Dr. Pirngadi Medan dari 1 Januari sampai 31 Desember 2012, agar dapat memberi gambaran kepada pemerintah dan masyarakat tentang penyakit IMS sehingga nantinya dapat direncanakan usaha-usaha untuk mencegah terjadinya IMS yang pada akhirnya nanti dapat menurunkan prevalensi IMS serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat.


(18)

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran karakteristik infeksi menular seksual (IMS) di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran karakteristik infeksi menular seksual (IMS) di RSUD Dr. Pirngadi pada tahun 2012.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui proposi infeksi menular seksual berdasarkan jenis penyakit yang paling sering terjadi.

2. Untuk mengetahui proposi infeksi menular seksual berdasarkan usia. 3. Untuk mengetahui proposi infeksi menular seksual berdasarkan jenis

kelamin.

4. Untuk mengetahui proposi infeksi menular seksual berdasarkan tingkat pendidikan.

5. Untuk mengetahui proposi infeksi menular seksual berdasarkan pekerjaan. 6. Untuk mengetahui proposi infeksi menular seksual berdasarkan status

pernikahan.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Pemerintah dan Masyarakat:

1. Memberikan informasi kepada pemerintah akan gambaran infeksi menular seksual di RSUD Dr. Pirngadi Medan agar hal tersebut dapat ditindaklanjuti dengan membuat program tentang pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS) kepada masyarakat sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan. 1.4.2. Bagi RSUD Dr. Pirngadi Medan:

1. Memberikan informasi mengenai jenis IMS yang paling sering dijumpai di RSUD Dr. Pirngadi.


(19)

2. Menggunakan informasi yang di teliti sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tindakan pencegahan IMS.

1.4.3.Bagi peneliti:

1. Menambah pengetahuan bagi peneliti mengenai karakteristik IMS 2. Mendapat pengalaman untuk melakukan penelitian.


(20)

b. Pergerakan masyarakat yang bertambah, dengan berbagai alasan, misalnya: pekerjaan, liburan, pariwisata, rapat,kongres,seminar dan lain-lain

c. kemajuan sosial ekonomi, terutama dalam bidang industri menyebabkan lebih banyak kebebasan sosial dan lebih banyak waktu yang terluang.

2. Perubahan sikap dan tindakan akibat perubahan-perubahan demografik di atas, terutama dalam bidang budaya dan agama.

3. Kelalaian beberapa negara dalam pemberian pendidikan kesehatan dan pendidikan seks khususnya.

4. Perasaan aman pada penderita karena pemakaian obat antibiotik yang mudah diperoleh.

5. Akibat pemakaian obat antibiotik tanpa petunjuk yang sebenarnya, maka timbul resistensi kuman terhadap antibiotik tersebut.

6. Fasilitas kesehatan yang kurang memadai terutama fasilitas laboratorium dan klinik pengobatan.

7. Banyaknya kasus asimtomatik, merasa tidak sakit, tetapi dapat menulari orang lain.

2.3. Penyebab Infeksi Menular Seksual

Menurut Daili (2010) penyebab infeksi Menular Seksual ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Dari kelompok bakteri yaitu: 1. Neisseria gonorrhoeae 2. Chlamydia trachomatis 3. Mycoplasma hominis 4. Ureaplasma ureayticum 5. Treponema pallidum 6. Gardnerella vaginalis 7. Donovania granulomatis


(21)

b. Dari kelompok virus yaitu: 1. Herpes simplex virus 2. Hepatitis B virus 3. Human papiloma virus 4. Molluscum contagiosum 5. Human immunodeficiency virus c. Dari kelompok protozoa yaitu:

1. Trichomonas vaginalis d. Dari kelompok jamur

1. Candida albicans

e. Dari kelompok ektoparasit yaitu: 1. Phthirus pubis

2. Sacroples scabiei var. Hominis

2.4. Cara Penularan Infeksi Menular Seksual

Menurut MAYOCLINIC (2013), penularan IMS dapat terjadi melalui hubungan seks yang tidak aman seperti:

- Hubungan seks tanpa kondom.

- Hubungan seks lewat dubur tanpa kondom. - Seks oral.

Penularan HIV dapat terjadi dengan cara, yaitu :

- Melalui transfusi darah dengan darah yang sudah terinfeksi HIV. - Saling bertukar jarum suntik pada pemakaian narkoba.

- Tertusuk jarum suntik yang tidak steril secara sengaja/tidak sengaja. - Menindik telinga atau tato dengan jarum yang tidak steril.

- Penggunaan alat pisau cukur secara bersama-sama (khususnya jika terluka dan menyisakan darah pada alat).


(22)

2.5. Diagnosis Infeksi Menular Seksual

Cara mendiagnosis IMS ini sama seperti menegakkan diagnosis penyakit lainnya, yaitu berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium (Daili, 2011). Anamnesis pada pasien dengan dugaan IMS meliputi:

- Keluhan dan riwayat penyakit saat ini. - Keadaan umum yang dirasakan.

- Pengobatan yang telah diberikan, baik topikal ataupun sistemik, dengan penekanan pada antibiotik.

- Riwayat seksual:

i. Kontak seksual, baik di dalam maupun di luar pernikahan (berganti-gantian pasangan atau banyak kontak seksual).

ii. Kontak seksual dengan pasangannya setelah mengalami gejala penyakit.

iii. Frekuensi dan jenis kontak seksual (homo- atau heteroseksual).

iv. Cara melakukan hubungan seksual (genito-genital, orogenital, anogenital).

v. Apakah pasangannya juga merasakan keluhan/gejala penyakit.

- Riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan IMS atau penyakit di daerah genital lainnya.

- Riwayat penyakit lainnya.

- Riwayat keluarga: pada dugaan IMS yang ditularkan lewat ibu kepada bayinya.

- Keluhan lain yang mungkin berkaitan dengan komplikasi IMS, nyeri perut bagian bawah, gangguan haid, kehamilan dan hasilnya.

- Riwayat alergi obat.

Menurut Murtiastutik (2008), dalam melalukan pemeriksaan pada pasien dengan gejala IMS, diharapkan agar tenaga kesehatan senantiasa berhati-hati. Pada pemeriksaan fisik terdapat perbedaan antara anatomi laki-laki dan perempuan, oleh karena itu pemeriksaan fisik pada pasien IMS dibagikan pada dua kategori yaitu:


(23)

i. Pemeriksaan pasien laki-laki dengan gejala IMS.

Pemerikasaan dilakukan dalam pemeriksaan khusus yang terjaga privasinya. Untuk melakukan pemeriksaan pasien dimintakan melepas celana dan menurunkannya hingga ke lutut. Pasien boleh dalam keadaan berdiri atau baring semasa melakukan pemeriksaan. Pertama inspeksi genitalia eksterna pasien, yang dilihat adalah:

- Ulkus; tukak atau luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir.

- Erosi; luka pada kulit yang sangat dangkal, hanya mengenai epidermis dan mengeluarkan serum

- Vesikel; lepuh kecil (kantong kecil berisi cairan) - Kondiloma; benjolan

- Duh tubuh uretra, bila tidak tampak adanya duh tubuh uretra dapat dilakukan pemijatan selanjutnya dilihat apakah tampak duh tubuh uretra yang purulen, mukopuluren, dan serous.

Selain itu, dilakukan palpasi apakah terdapat pembesaran kelenjar. Dilakukan palpasi pada skrotum, raba bagian-bagiannya seperti testis, epididimis dan saluran sperma.

ii. Pemeriksaan pasien perempuan dengan gejala IMS.

Sebelum dilakukan pemeriksaan, pasien diminta untuk membuka pakaian dari dada kebawah dan kemudian berbaring di tempat tidur. Jika bagian tubuh yang tidak diperiksa ditutup dengan kain khusus. Pemeriksaan lebih aman bila pasien dalam posisi litotomi, menekuk lutu dan membuka pahanya, selanjutnya melakukan inspeksi pada vagina, anus, dan daerah perineum. Seterusnya palpasi daerah inguinal untuk menentukan apakah ada pembengkakan kelenjar inguinal dan bubo. Ketika palpasi dinding perut dan daerah pelvis sebaiknya lembut dan secara hati-hati tanpa menyakiti pasien dan selanjutnya periksa ada atau tidaknya duh tubuh vagina, ulkus, bubo, kondiloma dan lain-lain (Murtiastutik, 2008).


(24)

Pemeriksaan laboratorium disesuaikan dengan anamnesis dan hasil pemeriksaan klinis serta dengan mempertimbangkan fasilitas yang ada pada lobarotorium tersebut misalnya:

- Dark field - Pewarnaan gram

- Kultur atau biakan mikroorganisme: untuk pemeriksaan gonore, infeksi Mycoplasma, tes sensitivitas.

- Enzyme-linked immunosorbent assay(ELISA), misalnya pemeriksaan infeksi C.trachomatis.

- Tes Penicilinase Producing Neisseria Gonorhea (PPNG) atau tes untuk mengetahui apakah ada resistensi obat.

- Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mengidentifikasi mikroorganisme penyebab infeksi secara pasti.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium, diharapkan dapat menegakkan diagnosis IMS sehingga dapat menentukan pengobatan secara tepat (Murtiastutik, 2008).

2.6. Jenis-jenis Infeksi Menular Seksual 2.6.1. Gonore

Gonore mencakup semua penyakit yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae (Daili, 2011).

2.6.1.1. Epidemiologi

Pada kasus gonore diduga setiap tahun terdapat lebih dari 150 juta kasus, walaupun beberapa negara cenderung menurun tetapi ada juga negara lain cenderung meningkat (Hakim, 2009). Pada tahun 2010, tingkat penularan gonore tinggi pada populasi wanita yaitu 106,5 kasus per 100.000 dan pada laki-laki adalah 94,1 per 100.000. Sepanjang 2009 hingga 2010, tingkat penularan gonore meningkat pada hampir semua umur. Peningkatan yang terbesar adalah pada usia 20-24 tahun (4,9%) dan 30-34 tahun (3,2%). Menurun pada yang berusia 35-39 tahun (1,5%), 55-64 tahun (1,6%), dan 65 tahun dan keatas (7,1%) (CDC 2010).


(25)

Sedangkan di Indonesia, dari data rumah sakit yang beragam seperti RSU Mataram pada tahun 1989 dilaporkan gonore yang sangat tinggi yaitu sebesar 52,87% dari seluruh penderita IMS. Sedangkan pada RS Dr.Pirngadi Medan ditemukan 16% dari sebanyak 326 penderita IMS (Hakim, 2009).

Dalam penelitian Silitonga (2011) di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009, karakteristik dari gonore ini adalah, penderita laki-laki lebih banyak daripada penderita wanita dan gonore paling banyak ditemukan pada penderita dengan kelompok usia 30-34 tahun. Selain itu, gonore paling banyak pada penderita dengan tingkat pendidikan terakhir sedang (hingga SMP atau SMA). Di samping itu, kelompok yang bekerja lebih banyak daripada yang tidak bekerja dan ternyata gonore paling banyak ditemukan pada penderita yang sudah menikah. 2.6.1.2. Etiologi

Gonore disebabkan oleh kuman gonokokus yang ditemukan oleh Neisser pada tahun 1879 dan diumumkan pada tahun 1882. Kuman tersebut dimasukkan dalam kelompok Neisseria, sebagai Neisseria gonorrhoeae beserta 3 spesies lain yaitu N. meningitidis, N. catarrhalis, dan N. pharyngis sicca.

Gonokok termasuk golongan diplokok berbentuk biji kopi dengan lebar 0,8 u, panjang 1.6 u, dan bersifat gram-negatif. Kuman ini tampak di luar dan di dalam leukosit. Selain itu, kuman ini tidak tahan lama di udara bebas, cepat mati pada keadaan kering, tidak tahan pada suhu di atas 39 derajat Celcius dan tidak tahan zat disinfektan (Daili, 2011)

2.6.1.3. Gambaran klinik

Masa tunas gonore sangat singkat pada laki-laki yaitu kira-kira 2-5 hari. Namun pada perempuan, masa tunas sulit untuk ditentukan karena pada umunya gejala bersifat asimtomatik. Gambaran klinis dan perjalanan penyakit pada laki-laki dan perempuan berbeda karena ada perbedaan pada anatomi dan fisiologi alat kelamin. Pada laki-laki, keluhan subjektif berupa rasa gatal, panas, di bagian distal uretra di sekitar orifisium uretra eksternum. Selain itu, laki-laki juga mengalami disuria, polakisuria, keluar duh tubuh mukopurulen dari ujung uretra yang kadang-kadang disertai darah, dan nyeri ketika sedang ereksi. Pada perempuan, gejala subjektif jarang ditemukan dan hampir tidak pernah didapati kelainan


(26)

objektif. Kalaupun ada gejala, keluhannya berupa nyeri pada panggul bawah dan pada pemeriksaan serviks didapati memerah dengan erosi dan sekret mukopuluren (Daili, 2011).

2.6.1.4. Pemeriksaan penunjang

Pada sediaan langsung dengan pewarnaan Gram akan ditemukan gonokok negatif-Gram, intraselular dan ekstraselular. Bahan duh tubuh pada laki-laki diambil dari daerah fosa navikularis, sedangkan pada wanita diambil dari uretra, muara kelenjar Bartholin dan endoserviks. Pemeriksaan Gram dari laki-laki memiliki sensitivitas tinggi (90-95%) dan spesifisitas 95-99%. Sedangkan pada perempuan sensitivitasnya hanya 45-65% dan spesifisitas 90-99%.

Pada pemeriksaan kultur, ada dua macam media yang dapat digunakan yaitu media transpor dan media pertumbuhan. Contoh media transpor ada dua yaitu Media Stuart dan Media Transgrow. Untuk media pertumbuhan, ada 3 macam media yaitu Media Thayer-Martin, Modifikasi Thayer-Martin, dan Agar Coklat McLeod. Selain itu, ada juga tes definitif yaitu tes oksidasi, tes fermentasi, tes beta-laktamase dan tes Thomson (Daili, 2013).

2.6.1.5. Komplikasi

Komplikasi gonore sangat erat hubungannya dengan susunan anatomi dan faal genitalia. Komplikasi lokal pada laki-laki boleh berupa tisonitis, parauretritis, littritis, dan cowperitis. Selain itu, dapat juga terjadi prostatitis, vesikulitis, funikulitis, epididimitis yang dapat menimbulkan infertilitas. Apabila terdapat infeksi pada uretra pars posterior dan mengenai trigonom kandung kemih, boleh terjadi trigonitis. Pada perempuan, dapat terjadi servisitis gonore yang menimbulkan komplikasi salpingitis ataupun penyakit radang panggul (PRP) yang nanti mengakibatkan jaringan parut pada tuba sehingga terjadinya infertilitas atau kehamilan ektopik. Komplikasi diseminata pada laki-laki dan perempuan dapat berupa artritis, miokarditis, endokarditis, perikarditis, meningitis, dan dermatitis (Daili, 2011)


(27)

2.6.2. Infeksi Genital Non-spesifik (IGNS)

Infeksi genital non spesifik (IGNS) merupakan infeksi traktus genital yang disebabkan oleh penyebab yang nonspesifik. Istilah ini mulai digunakan di inggris sejak tahun 1972, yang meliputi berbagai keadaan, yaitu uretritis non spesifik, proktitis nonspesifik pada pria homoseksual, infeksi nonspesifik pada wanita. Uretritis nonspesifik (UNS) ialah peradangan uretra yang penyebabnya dengan pemeriksaan laboratorium sederhana tidak dapat dipastikan atau diketahui. Uretritis non gonre (UNG) ialah peradangan uretra yang bukan disebabkan okeh kuman Neisseria gonorrhoea. Kedua istilah ini sering dianggap sama, tetapi bila semua UNS adalah non-gonore, tidak semua UNG adalah nonspesifik. IGNS pada wanita umumnya menunjukkan infeksi pada serviks, meskipun infeksi menular seksual nonspesifik pada wanita dapat menyerang uretra mauoun vagina. Istilah UNS dan UNG lebih sering digunakan untuk pasien laki-laki. (Lumintang, 2011) 2.6.2.1. Epidemiologi

Menurut Daili (2011), pada beberapa negera jelas bahwa insidens IGNS merupakan IMS yang paling tinggi dan angka perbandingan dengan uretritis gonore kira-kira 2:1. Selain itu, UNS ini banyak dijumpai pada dengan keadaan sosial ekonomi lebih tinggi, usia lebih tua, dan aktivitas seksual yang tinggi. Juga ternyata golongan laki-laki lebih banyak daripada wanita dan heteroseksual lebih banyak daripada golongan homoseksual.

Sedangkan di Indonesia, dari data yang diambil dari poliklinik IMS RS dr.Pirngadi Medan didapatkan prevalensi UNG sebesar 54% pada tahun 1990-1991. Di RSUP Denpasar prevalensi UNG/IGNS sebesar 13,8% pada tahun 1993-1994. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan terhadap kelompok pramuwaria di Jakarta mendapatkan data prevalensi klamidia sebesar 35,48% dari 62 orang yang diperiksa sedangkan pada pemeriksaan terhadap WTS di Medan menunjukkan prevalensi sebesar 45% (Hakim, 2009).

Dalam penelitian Silitonga (2011) di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009, ditemukan laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan paling banyak didapati pada kelompok usia 30-34 tahun. Selain itu, penderita memiliki tingkat


(28)

pendidikan terakhir sedang (hingga SMP atau SMA) dan lebih banyak penderita yang bekerja serta didapati lebih banyak penderita yang telah menikah.

2.6.2.2. Etiologi

Menurut Lumintang (2011), antara organisme penyebab uretritis nonspesifik ialah:

- Chlamydia trachomatis (30-50%) - Ureaplasma urealyticum (10-40%) Lain-lain (20-30%):

- Trichomonas vaginalis (jarang) - Ragi (jarang) - Virus herpes simplex (jarang) - Adenivirus (jarang) - Haemophilus sp (jarang) - Bacteroides ureolyticus

- Bakteri lain - Tak diketahui 2.6.2.3. Gambaran klinik

Oleh karena ada kelainan pada antomi laki-laki dan perempuan, terdapat perbedaan gambaran klinik laki-laki dan perempuan. Gejala timbul biasanya setelah 1 hingga 3 minggu kontak seksual dan umumnya tidak seberat gonore. Gejala yang dialami oleh laki-laki adalah disuria ringan, perasaan tidak enak di uretra, sering kencing, dan keluar duh tubuh seropurulen. Pada wanita pula, keluarnya duh tubuh vagina, disuria ringan, sering kencing, nyeri di daerah pelvis, dan disparenia ( Daili, 2011).

2.6.2.4. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang umum digunakan adalah pemeriksaan sediaan sitologi langsung dan biakan dari inokulum yang diambil dari spesimen urogenital serta pemeriksaan terhadap antigen dan asam nukleat C. Trachomatis (Daili, 2011).

Pada pemeriksaan sitologi langsung, dengan pewarnaan Gram ditemukan leukosit lebih dari 5 pada pemeriksaan mikroskop dengan pembesaran 1000 kali.


(29)

Pada pemeriksaan mikroskopik sekret serviks dengan perwarnaan Gram didapati lebih 30 leukosit per lapangan pandang dengan pembesaran 1000 kali. Tidak dijumpai diplokokus negatif-Gram, serta pada pemeriksaan sedian basah tidak didapatkan parasit Trichomonas vaginalis (Lumintang, 2011)

Menurut Murtiastutik (2008), kultur sel atau biakan bakteri adalah gold standard test untuk mendeteksi C.trachomatis selama beberapa tahun, dengan sensitivitas 40-85% pada spesimen genital (serviks, uretra). Tetapi tehnik, dan biaya pemeriksaan biakan ini tinggi serta perlu waktu 3-7 hari (Daili, 2011).

Untuk tehnik mendeteksi antigen ada beberapa cara yaitu Direct fluorescent antibody (DFA) dan Enzyme immuno assay/enzyme linked immuno sorbent assay (EIA, ELISA). Selain itu, ada metode terbaru untuk mendeteksi C. Trachomatis ini dengan cara mendeteksi asam nukleat yang terdapat pada C. Trachomatis yaitu Hibridisasi DNA Probe atau di kenali sebagai Gen Probe. Seterusnya, Amplikasi asam nukleat seperti tes Polimerse Chain Reaction (PCR) dan Ligase Chain Reaction (LCR) (Daili, 2011).

2.6.2.5. Komplikasi

Komplikasi IGNS antara laki-laki dan perempuan adalah berbeda disebabkan faktor anatomi dan fisiologis. Komplikasi yang terjadi oleh laki-laki berupa prostatitis, vesikulitis, epididimitis, dan striktur uretra. Pada perempuan, komplikasinya berupa Bartholinitis, proktitis, sapingitis, dan sistitis. Peritonitis dan peri-hepatitis juga pernah dilaporkan (Daili, 2011).

2.6.3. Herpes genitalis

Herpes genitalis adalah infeksi pada genital yang disebabkan oleh Herpes simplex virus (HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok dengan dasar eritme dan bersifat rekurens (Daili, 2011).

2.6.3.1. Epidemiologi

Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menginfeksi baik laki-laki atau perempuan dengan frekuensi yang tidak berbeda. Terdapat dua jenis tipe virus herpes ini yaitu virus herpes simpleks (VHS) tipe I yang biasanya dimulai pada


(30)

anak-anak dan VHS tipe II biasanya terjadi pada dekade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual (Handoko, 2010).

Data-data di beberapa RS di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi herpes genitalis rendah sekali. Pada tahun 1992 di RSUP Dr. Moewardi hanya terdapat 10 kasus dari 9983 penderita IMS. Namun, prevalensi herpes genitalis di RSUD Dr. Soetomo agak tinggi yaitu 64 kasus dari 653 kasus IMS dan lebih tinggi lagi di RSUP Denpasar yaitu 22 kasus dari 126 kasus IMS (Hakim, 2011).

Dalam penelitian Silitonga (2011) di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009, terdapat 2 kasus herpes simpleks yang terdiri dari 1 orang penderita laki-laki dan 1 orang penderita perempuan. selain itu, kedua penderita ini didapati memiliki tingkat pendidikan terakhir sedang (hingga SMP atau SMA) dan didapati 1 orang penderita VHS yang bekerja dan 1 orang penderita VSH yang tidak bekerja. Di samping itu, salah seorang penderita VHS termasuk dalam kelompok usia 25-29 tahun dan seorang penderita VHS lainnya termasuk dalam kelompok usia 30-34 tahun serta kedua responden pada penelitian ini didapati belum menikah.

2.6.3.2. Etiologi

Herpes genitalis disebabkan oleh Herpes simplex virus (HSV). UNNA (1883) yang pertama kali mengetahui bahwa penyakit ini dapat ditularkan melalui hubungan seksual, namun pada tahun 1940 SHARLITT membedakan antara HSV tipe I dan HSV tipe II (Daili, 2011).

Menurut Handoko (2010), HSV tipe I dan II merupakan virus DNA. Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada media kultur, antigenic marker, dan lokasi klinis.

2.6.3.3. Gambaran klinik

Masa inkubasi umumnya berkisar antara 3-7 hari, tetapi dapat lebih lama. Gejala yang timbul dapat berat, tetapi dapat juga asimtomatik terutama bila lesi ditemukan pada daerah serviks. Pada penelitian retrospektif (Daili, 2011) 50-70% bersifat asimtomatik. Menurut Handoko (2010), infeksi HSV ini berlangsung dalam tiga tingkat yaitu yang pertama adalah infeksi primer, kedua adalah fase


(31)

laten, dan ketiga adalah infeksi rekurens. Setiap tingkat tersebut mempunyai gambaran klinis yang berbeda.

i. Infeksi primer

- Lokasi klinis HSV tipe I biasanya terdapat pada daerah pinggang keatas, yaitu daerah mulut dan hidung. Pada HSV tipe II, lokasi klinisnya di daerah pinggang ke bawah terutama pada daerah genitalial, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi neonatus. Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering disertai gejala sistemik seperti demam, malaise, anoreksia, dan dapat juga menyebabkan pembengkakan kelenjar getah bening reigonal.

- Selain itu, gejala klinis infeksi primer yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih kemudian dapat menjadi seropurulen serta dapat menjadi krusta dan kadang-kadang mengalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatrik.

ii. Infeksi laten

- Pada fase ini penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV dapat dijumpai dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.

iii. Infeksi rekurens

- Fase ini merupakan fase lanjutan dari fase laten yaitu HSV yang dijumpai dalam keadaan tidak aktif, dipacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis yang lebih ringan daripada infeksi primer, yaitu prodomal lokal sebelum timbul vesikel, berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Faktor pencetus dapat berupa trauma fisik, demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual, dan makanan dan minuman yang merangsang.

2.6.3.4. Pemeriksaan penunjang

Pemerikasaan lobaratorium yang paling sederhana adalah Tes Tzank diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wringht, akan terlihat sel raksasa beriniti banyak, tetapi sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan ini umumnya rendah. Cara pemeriksaan laboratorium yang lain adalah pemeriksaan serologis


(32)

(ELISA dan Tes POCK). Pemeriksaan ELISA dapat mendeteksi adanya antibodi HSV tipe I dan II. Tes POCK, digunakan untuk mendeteksi HSV tipe II karena mempunyai sensitivitas yang tinggi. Kultur virus merupakan gold standard pada pemeriksaan HSV ini karena mempunyai sensitivitas dan spesifik yang paling tinggi, tetapi cara ini memerlukan waktu yang lama dan mahal. (Daili, 2011) 2.6.4.5. Komplikasi

Herpes genitalis pada kehamilan awal dapat menyebabkan abortus/malformasi kongenital seperti mikroensefali. Pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita herpes genitalis dapat dijumpai berbagai kelainan seperti hepatitis, infeksi berat, ensefalitis, keratokonjungtivitis, erupsi kulit berupa vesikel herpetiformis dan bisa lahir mati. Pada orang tua, infeksi seperti hepatitis, meningitis dan ensefalitis jarang dijumpai pada penderita HSV. Selain itu, hipersensitivitas terhadap virus dapat menimbulkan eritme eksudativum multiforme pada kulit (Daili, 2011).

2.6.4. Sifilis

Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum, merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik. Selama perjalanan penyakit dapat menyerang seluruh organ tubuh, terdapat masa laten tanpa manifestasi lesi di tubuh, dan dapat ditularkan pada bayi di dalam kandungan (Hutapea, 2011). 2.6.4.1. Epidemiologi

Secara global, terdapat 10,6 juta kasus sifilis pada tahun 2008 dan insidensi sifilis pada tahun 2005 dan 2008 adalah sama (WHO 2008). Pada tahun 2009 hingga tahun 2010, peningkatan yang terbesar adalah pada usia 20-24 tahun dan 25-29 tahun dan terdapat peningkatan penularan sifilis pada laki-laki lebih besar daripada perempuan (CDC, 2011).

Dalam penelitian Silitonga (2011) di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009, penderita laki-laki lebih banyak daripada penderita perempuan. Pada kasus sipilis paling banyak ditemukan pada penderita dengan tingkat pendidikan terakhir sedang (hingga SMP atau SMA). IMS jenis ini lebih banyak ditemukan pada penderita yang tidak bekerja. Selain itu, penderita yang paling banyak ditemukan


(33)

pada kelompok usia 25-29 tahun serta ditemukan lebih banyak pada penderita yang telah menikah.

2.6.4.2. Etiologi

Menurut Hutapea (2011), Treponema pallidium merupakan spesies Treponema dari famili Spirochaetaceae, ordo Spirochaetales. Klasifikasi sangat sulit dilakukan, karena spesies Treponema tidak dapat dibiakkan in vitro. Terdapat 4 species yaitu Treponema pallidium sub species pallidium yang menyebabkan sifilis, Treponema pallidium sub species pertenue yang menyebabkan frambusia, Treponema pallidium sub species endemicum yang menyebabkan bejel, dan Treponema carateum menyebabkan pinta.

2.6.4.3. Gambaran klinis

Masa inkubasi sifilis biasanya 3 minggu. Fase sifilis primer ditandai dengan munculnya tanda klinis yang pertama yang umumnya berupa tukak baik tunggal maupun multipel. Lesi awal biasanya berupa papul yang mengalami erosi, teraba keras dan terdapat indurasi. Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Bagian yang mengelilingi lesi meninggi dan keras. Pada laki-laki biasanya disertai dengan pembesaran kelenjar limfe inguinal media baik unilateral maupun bilateral. Masuknya mikroorganisme ke dalam darah terjadi sebelum lesi primer muncul, biasanya ditandai dengan terjadinya pembesaran kelenjar limfe (bubo) regional, tidak sakit, keras nonfluktuan. Infeksi juga dapat terjadi tanpa ditemukannya chancer (ulkus durum) yang jelas, misalnya kalau infeksi terjadi di rektum atau serviks. Tanpa diberi pengobatan, lesi primer akan sembuh spontan dalam waktu 4 hingga 6 minggu (Djuanda dan Natahusada, 2013)

Pada kasus yang tidak diobati sepertiga penderita akan mengalami stadium generalisata, stadium dua, dimana muncul erupsi di kulit yang kadang disertai dengan gejala konstitusional tubuh. Timbul ruam makulo papuler bisanya pada telapak tangan dan telapak kaki diikuti dengan limfadenopati. Erupsi sekunder ini merupakan gejala klasik dari sifilis yang akan menghilang secara spontan dalam beberapa minggu atau sampai dua belas bulan kemudian. Sifilis sekunder dapat timbul berupa ruam pada kulit, selaput lendir dan organ tubuh dan dapat disertai demam dan malaise. Juga adanya kelainan kulit dan selaput lendir dapat diduga


(34)

sifilis sekunder, bila ternyata pemeriksaan serologis reaktif. Pada kulit kepala dijumpai alopesia yang disebut motheaten alopecia yang dimulai di daerah oksipital. Dapat dijumpai plakat pada selaput lendir mulut, kerongkongan dan serviks. Pada beberapa kasus ditemukan pula splenomegali. Penularan dapat terjadi jika ada lesi mukokutaneus yang basah pada penderita sifilis primer dan sekunder tetapi jika dilihat dari kemampuannya menularkan kepada orang lain, maka perbedaan antara stadium pertama dan stadium kedua yang infeksius dengan stadium laten yang non infeksius adalah bersifat arbitrari, oleh karena lesi pada penderita sifilis stadium pertama dan kedua bole saja tidak kelihatan (Djuanda dan Natahusada, 2013)

Lesi pada sifilis stadium dua boleh muncul berulang dengan frekuensi menurun 4 tahun setelah infeksi. Namun penularan jarang sekali terjadi satu tahun setelah infeksi. Transmisi sifilis dari ibu kepada janin kemungkinan terjadi pada ibu yang menderita sifilis stadium awal namun infeksi dapat saja berlangsung selama stadium laten. Penderita stadium erupsi sekunder ini, sepertiga dari mereka yang tidak diobati akan masuk kedalam fase laten selama berminggu minggu bahkan selama bertahun-tahun. Fase laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis. Namun bukan berarti perjalanan penyakit akan berhenti pada fase ini, sebab dapat terjadi sifilis stadium lanjut berbentuk gumma, kelainan susunan syaraf pusat dan kardiovaskuler. Terserangnya Susunan Syaraf Pusat (SSP) ditandai dengan gejala meningitis sifilitik akut dan berlanjut menjadi sifilis meningovaskuler dan akhirnya timbul paresis dan tabes dorsalis. Periode laten ini kadang kala berlangsung seumur hidup. Pada kejadian lain yang tidak dapat diramalkan, 5 – 20 tahun setelah infeksi terjadi lesi pada aorta yang sangat berbahaya (sifilis kardiovaskuler) atau gumma dapat dijumpai dikulit, saluran pencernaan tulang atau pada permukaan selaput lendir (Hutapea, 2011).

Penderita yang terinfeksi sifilis dan pada saat yang sama juga terkena infeksi HIV cenderung akan menderita sifilis SSP. Oleh karena itu, setiap saat ada penderita HIV dengan gejala SSP harus dipikirkan kemungkinan penderita mengalami neurosifilis (neurolues). Infeksi pada janin terjadi pada ibu yang menderita sifilis stadium awal pada saat mengandung bayinya dapat menyebabkan


(35)

terjadinya aborsi, stillbirth atau kematian bayi karena lahir prematur atau lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) atau mati karena menderita penyakit sistemik (Hutapea, 2011).

Bayi yang menderita sifilis mempunyai lesi mukokutaneus basah yang muncul lebih menyebar dibagian tubuh lain dibandingkan dengan penderita sifilis dewasa. Lesi basah ini merupakan sumber infeksi yang sangat potensial.Infeksi kongenital dapat berakibat munculnya manifestasi klinis yang muncul kemudian berupa gejala neurologis terserangnya SSP. Dan kadangkala infeksi kongenital dapat mengakibatkan berbagai kelainan fisik yang dapat menimbulkan stigmatisasi di masyarakat seperti gigi Hutchinson, saddlenose (hidung berbentuk pelana kuda), sabershins(tulang kering berbentuk pedang), keratitis interstitialis dan tuli. Sifilis kongenital kadang asimtomatik, terutama pada minggu-minggu pertama setelah lahir (Hutapea, 2011).

2.6.4.4. Pemeriksaan penunjang

Untuk menegakkan diagnosis sifilis, harus melakukan pemeriksaan laboratorium antaranya adalah dark field yaitu pemeriksaan lapangan gelap dengan bahan pemeriksaan dari bagian dalam lesi, untuk menemukan T.pallidium. seterusnya pemeriksaan mikroskop fluoresensi yaitu bahan apusan dari lesi dioleskan pada gelas objek, difiksasikan dengan aseton, sedian diberikan antibodi spesifik yang dilabel flurescein, kemudian diperiksa dengan mikroskop fluoresensi. Selain itu, boleh juga melakukan pemeriksaan dengan penentuan antibodi di dalam serum, pertama tes yang menentukan antibodi nonspesifik seperti tes Wasserman, tes Kahn, tes VDRL(Venereal Diseases Research Laboratory) , tes RPR (Rapid plasma Reagin), dan Tes Automated reagin. Kedua, pemeriksaan antibodi terhadap kelompok antigen yaitu tes RPCF (Reiter Protein Complement Fixation). Ketiga, pemeriksaan yang menentukan antibodi spesifik yaitu tes TPI (Treponema Pallidium Immobilization), tes FTA-ABS (Fluorescent Treponema Absorbed), tes TPHA (Treponema Pallidium Haemagglutination Assay), dan tes ELISA (Enyzme Linked Immuno Sorbent Assay) (Hutapea, 2011).


(36)

2.6.4.5. Komplikasi

Sifilis stadium lanjut yang dapat menyebakan neurosifilis, sifilis kardiovaskuler, dan sifilis benigna lanjut dapat menyebabkan kematian bila menyerang otak (Hutapea, 2011).

2.6.5. Kondilomata akuminata

Kondilomata akuminata (KA) adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh virus papiloma humanus (VPH) tipe tertentu dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada kulit dan mukosa (Zubier, 2011).

2.6.5.1. Epidemiologi

Di Amerika Serikat dari 122 juta penduduk berusia 15 – 49 diperkirakan lebih dari 1% yang menderita kondiloma akuminata dan 2% yang subklinis. Di Swedia, dengan menggunakan metode PCR, ditemukan prevalensi KA akibat infeksi VPH tipe 6 atau 16 (84%) pada pria yang datang di klinik IMS (Hakim, 2011). Menurut CDC (2012), prevalensi VPH secara keseluruhan yang terbanyak adalah perempuan (42,5%) dan kadar penularan VPH ini sebanyak (5,6%) dari orang dewasa yang aktif secara seksual yang berumur 18-59 tahun.

Dalam penelitian Silitonga (2011) di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009, kondiloma akuminata merupakan jenis IMS yang paling banyak ditemukan pada perempuan. Selain itu, kondiloma akuminata paling banyak ditemukan pada penderita dengan tingkat pendidikan terakhir sedang (hingga SMP atau SMA) dan lebih banyak penderita yang bekerja. Di samping itu, kondiloma akuminata banyak pada kelompok usia 20-24 tahun serta banyak penderita yang sudah menikah.

2.6.5.2. Etiologi

VPH adalah virus DNA yang merupakan virus epiteliotropik dan tergolong dalam famili Papovaridae. Sampai saat ini terdapat lebih dari 100 tipe VPH, namum yang dapat menimbulkan KA sekitar 23 tipe. VPH dibagi menjadi VPH berisiko rendah (low risk), VPH berisiko tinggi (high risk). VPH tipe 6 dan tipe 11 paling sering ditemukan pada kondiloma akuminata yang eksofitik dan pada displasia derajat rendah (low risk), sedangkan VPH tipe 16 dan 18 sering


(37)

ditemukan pada displasia keganasan yang berisiko tinggi (high risk) (Zubier, 2011).

2.6.5.3. Gambaran klinis

Lokasi gejala klinis laki-laki dan perempuan masing-masing berbeda, pada laki-laki yang sering terkena itu di glans penis, sulkus koronarius, frenulum dan batang penis, sedangkan perempuan terdapat di fourchette posterior, vestibulum. Gambaran klinik KA ini dibagi dalam 3 bentuk yaitu bentuk akuminata, bentuk papul, dan bentuk datar (flat).

Bentuk akuminta sering dijumpai pada daerah lipatan dan lembab. Terlihat vegetasi bertangkai dengan permukaan yang berjonjot-jonjot seperti jari. Selain itu, beberapa kutil dapat bersatu membentuk lesi seperti kembang kol. Lesi tersebut sering dijumpai pada perempuan yang menderita fluor albus dan pada perempuan hamil, atau keadaan imunitas terganggu. Bentuk papul dijumpai pada daerah dengan keratinisasi sempurna, seperti batang penis, vulva bagian lateral, daerah perianal, dan perineum. Gambarannya berupa permukaan yang halus dan licin, multiple dan tersebar secara diskret. Terakhir bentuk datar, kadang-kadang gejala tidak tampak dengan mata telanjang, dan baru terlihat dengan melakukan tes asam asetat atau penggunaan kolposkopi. Di samping itu juga, ada juga Bentuk lain yang berhubungan dengan keganasan pada genitalia seperti Giant condyloma Buschke-Lowenstein dan Papulosis Bowenoid (Zubier, 2011).

2.6.5.4. Pemeriksaan penunjang

Jika ada keraguan menegakkan diagnosis KA berdasarkan gambaran klinis, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti tes asam asetat dengan cara bubuhkan asam asetat 5% dengan lidi kapas ditempat yang dicurigai. Setelah beberapa menit ada perubahan warna menjadi putih (acetowhite). Kemudian dapat juga dengan menggunakan kolposkopi dan pemeriksaan histopatologi pada KA yang eksofitik (Zubier, 2011).

2.6.5.5. Komplikasi

Komplikasi paling sering adalah perkembangan menjadi dysplasia pada kondiloma akuminata yang HPV -6 dan HPV -11. Pasien yang terkena jenis HPV


(38)

risiko tinggi, seperti HPV -16 atau HPV -18, dapat berisiko untuk berkembang menjadi displasia tingkat tinggi atau karsinoma (Zubier, 2011).

2.6.6. Ulkus Mole

Ulkus mole atau sering disebut Choncroid, ialah penyakit infeksi genitalia akut, setempat, dapat inokulasi sendiri (auto-inoculable), desebabkan oleh Haemophilus ducreyi, dengan gejala klinis kahs berupa ulkus pada tempat masuk dan seringkali desertai supurasi kelenjar getah bening regional (Makes, 2011). 2.6.6.1. Epidemiologi

Penyakit ini bersifat endemik dan tersebar di daerah tropik dan subtropik, terutama di kota dan pelabuhan. Perbaikan tingkat ekonomi mempengaruhi berkurangnya frekuensi penyakit ini di negara-negara yang lebih maju. Selain penularan melalui hubungan seksual , secara kebetulan juga dapat mengenai jari dokter atau perawat. Frekuensi pada wanita dilaporkan lebih rendah, mungkin karena kesukaran membuat diagonsa. Beberapa faktor menunjukkan bahwa terdapat pembawa kumam (carrier) basil Ducreyi, tanpa gejala klinis, biasanya wanita tuna susila (Judanarso, 2013).

Menurut CDC (2010), Sejak tahun 1987, dilaporkan kasus ulkus mole menurun terus sampai 2001. Sejak itu, jumlah kasus yang dilaporkan telah berfluktuasi. Pada tahun 2010, hanya 24 kasus ulkus mole dilaporkan di Amerika Serikat dan hanya sembilan negara melaporkan ada kasus ulkus mole, satu atau lebih pada tahun 2010 tetapi menurut Whitemon (2003), ulkus mole sering terjadi pada laki-laki berusia 25 sampai 35, dan epidemiologi di Amerika Serikat menunjukkan rasio laki-laki: perempuan dalam kisaran 3:1 sampai 25:1.

2.6.6.2. Etiologi

Penyebab ulkus mole ialah Haemophilus ducreyi, yang ditemukan oleh Ducrey pada tahun 1889 (Makes, 2011).

2.6.6.3. Gambaran klinis

Masa inkubasi berkisar antara 1-14 hari, pada umumnya kurang dari 7 hari. Lesi kebanyakan multiple, jarang soliter, biasanya pada daerah genital, jarang pada daerah ekstragenital. Mula-mula kelainan kulit berupa papul,


(39)

kemudian menjadi vesiko-pustul pada tempat inokulasi, cepat pecah menjadi ulkus. Tempat predileksi pada laki-laki ialah permukaan mukosa preputium, sulkus koronarius, frenulum penis, dan batang penis. Dapat juga timbul lesi di uretra, skrotum, perineum, atau anus. Pada perempuan ialah labia, klitoris, fourchette, vestibuli, anus, dan serviks. Boleh juga terjadi lesi ekstragenital, terdapat pada lidah, jari tangan,bibir, payudara, umbilikus dan konjungtiva. Beberapa variasi ulkus mole telah dilaporkan, di antaranya ialah ulkus mole folikularis, dwarf chancroid, transient chancroid, papular chancroid, giant chancroid, phagedenic chancroid, dan tipe serpiginosa (Judanarso, 2013).

2.6.6.4. Pemeriksaan penunjang

Berdasarkan gambaran klinis dapat disingkirkan penyakit kelamin yang lain. Menurut Makes (2011), harus pikirkan juga kemungkinan infeksi campuran. Pada pemeriksaan serologik untuk menyingkirkan sifilis juga harus dikerjakan dan sebagai penyokong diagnosis ialah pewarnaan Wright, Unna-pappenhein, atau Giemsa. Selain itu, diagnosis yang lebih akurat didapat dari kultur H.ducreyi dengan media baku berupa agar gonokokus dan agar Mueller-Hinton. Di samping itu, tes serologi juga boleh dilakukan dengan tes ELISA memakai whole lysed H.ducreyi (Makes, 2011).

2.6.6.5. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada penderita ulkus mole ialah adenitis inguinal, fimosis dan parafimosis, fisura uretra, fistel rektovagina, mixed chancre, dan infeksi campuran dengan organisme Vincent (Makes, 2011).

2.6.7. Limfogranuloma Venereum

Limfogranuloma Venereum (LGV) adalah infeksi menular seksual yang mengenai sistem saluran pembuluh limfe dan kelenjar limfe, terutama pada daerah genital, inguinal, anus dan rektum (Sentono, 2011).

2.6.7.1. Epidemiologi

Penyakit ini terutama terdapat di negeri tropik dan subtropik, penderita laki-laki pada sindrom inguinal lebih banyak daripada perempuan, kini penyakit ini jarang ditemukan (Djuanda, 2013).


(40)

LGV adalah penyakit jarang di negara maju tetapi penyakit ini sering ditemukan di daerah Kepulauan Karibia, Amerika Tengah, Asia Tenggara, dan Afrika. LGV mempengaruhi kedua jenis kelamin, tetapi lebih sering laki-laki dilaporkan. Selain itu, LGV juga dapat mempengaruhi semua usia tetapi dalam populasi yang aktif secara seksual didapati berusia 15-40 tahun (Arsove, 2012). 2.6.7.2. Etiologi

Penyebabnya ialah Chlamydia trachomatis, terdiri dari dua biovars yaitu trachoma atau organisme TRIC dan organisme LVG. LVG sendiri terdiri atas 3 serovars yaitu L1, L2, dan L3 (Sentono, 2011).

2.6.7.3. Gambaran klinis

Menurut Sentono (2011), Afek primer berbentuk tak khas dan tak nyeri, dapat berupa erosi, papul miliar, vesikel, pustul, dan ulkus. Pada laki-laki umumnya afek primer berlokasi genitalia eksterna, terutama di sulkus koronariusdapat pula di uretra meskipun sangat jarang. Pada perempuan ada pada vagina bagian dalam dan serviks. Setelah afek primer menghilang timbul sindrom inguinal yaitu pembesaran kelenjar di atas dan di bawah ligamentum inguinal pouparti sehingga terbentuk celah disebut sign of groove (Greenblatt’s sign) dan pembesaran kelenjar femoralis, inguinalis superfisial dan profundus menyebabkan bentuk seperti tangga sehingga disebut ettage bubo.

2.6.7.4. Pemeriksaan penunjang

Diagnosis ditegakkan berdasarkan tes GPR (Gate Papaacosta Reaction), pengecatan Giemsa dari pus bubo, tes Frei, tes serologi seperti CFT (complement fixation test), RIP (radio isotop presipitation), dan micro-IF (immunofluorescence Typing). Selain itu, kultur jaringan boleh dilakukan di dalam yolk sac embrio ayam dari aspirasi pus bubo (Djuanda, 2013).

2.6.7.5. Komplikasi

Komplikasi LGV berupa stadium lanjut dari sindrom inguinal yaitu sindrom anorektal dan sindrom genital atau Eschiomene (Djuanda, 2013).


(41)

2.6.8. Vaginosis Bakterial

Vaginosis bakterial adalah suatu sindrom perubahan ekosistem vagina dimana terjadi pergantian dari lactobasillus yang normalnya memproduksi H2O2 di vagina dengan bakteri anaerob (misalnya Prevotella Sp, Mobiluncus species, Gardnerella vaginalis dan Myocoplasma hominis) yang menyebabkan peningkatan pH dari nilai kurang 4,5 sampai 7,0. Hal itu bisa timbul dan remisis secara spontan pada wanita dengan seksual aktif dan wanita yang bukan seksual aktif. Jalur yang pasti dari transmisi seksual pada patogenesis VB belum jelas (Adam et al, 2011).

2.6.8.1. Epidemiologi

Satu dari tiga perempuan akan menderita VB. Wanita yang tidak pernah hubungan seksual juga dapat menderita BV, dan sering terjadi pada perempuan hamil yang akan mengakibatkan bayi berat lahir rendah atau prematur. (CDC, 2010)

2.6.8.2. Etiologi

Penyebab VB belum diketahui dengan pasti tetapi pada suatu analisis dari data flora vagina memperlihatkan bahwa ada 4 jenis bakteri vagina yang berhubungan dengan VB yaitu Gardnerella vaginalis, Mobiluncus Spp, Bacteroides Spp, dan Myocoplasma hominis (Adam et al, 2011).

2.6.8.3. Gambaran klinis

Wanita dengan VB dapat tanpa gejala atau mempunyai bau vagina yang khas seperti bau ikan, terutama waktu berhubungan seksual. Sekret VB berwarna putih atau keabu-abuan.VB dapat timbul bersama infeksi traktus genital bawah seperti trikomoniasis dan servisitis sehingga menimbulkan gejala genital yang tidak spesifik (Adam et al, 2011). Menurut CDC (2010), perempuan dengan BV mungkin terasa nyeri saat buang air kecil atau gatal-gatal di sekitar bagian luar vagina, atau keduanya sekali. Namun, kebanyakan wanita dengan BV melaporkan tidak ada tanda-tanda atau gejala sama sekali.

2.6.8.4. Pemeriksaan penunjang

Diagnosis VB berdasarkan pada adanya tiga dari empat tanda-tanda berikut, pertama cairan vagina homegen, keputihan atau keabu-abuan, kedua


(42)

menggunakan pH kertas dan positif jika pH vagina lebih tinggi dari 4,5, ketiga sekret vagina berbau seperti bau ikan sebelum atau setelah penambahan KOH 10% (Whiff test), dan keempat adanya clue cells pada pemeriksaan mikroskop (Adam et al, 2011).

2.6.8.5. Komplikasi

Komplikasi VB lebih rentan kepada ibu hamil dan komplikasi tersebut seperti korioamnionitis, infeksi cairan ammion, dan infeksi pada masa nifas (Adam et al, 2011). Selain itu, terdapat juga penyakit radang panggul dan kelahiran prematur (Mayo Clinic, 2013).

2.6.9. Granuloma Inguinale

Granuloma inguinale adalah proses granulomatosa yang biasanya mengenai daerah anogenital dan inguinal. Daya penularan penyakit ini rendah, bersifat kronik, progresif, penularan secara autoinokulasi, mengenai genitalia dan kulit di sekitarnya, kadang-kadang sistem limfatik (Judanarso, 2013).

2.6.9.1. Epidemiologi

Penyakit ini jarang terjadi di Amerika Serikat, tetapi pada tahun 1954 dilaporkan penyakit ini bersifat endemik di beberapa daerah tropis dan negara berkembang. Frekuensi pada laki-laki dua kali daripada perempuan. Pada umumnya penderita berumur 20-40 tahun dengan tingkat sosial-ekonomi yang rendah dan higiene yang buruk serta jarang pada usia anak dan usia orang tua (Vorvick, 2011).

2.6.9.2. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh Klebsiella granulomatis yang dulu disebut Calymatobacterium granulomatis (Judanarso, 2013).

2.6.9.3. Gambaran klinis

Masa inkubasi sangat bervariasi, berkisar antara 1-12 minggu. Lesi dapat dimulai pada daerah genitalia eksterna, paha, lipatan paha, atau perinuem. Pada permulaan, lesi berbentuk papul atau vesikal yang tidak nyeri, kemudian perlahan-lahan menjadi ulkus granulomatosa berbentuk bulat dan mudah berdarah, lesi dapat meluas ke abdomen bagian bawah dan bokong. Pembengkakkan di daerah


(43)

inguinal dapat timbul sebagai abses yang akhirnya pecah menjadi ulkus yang khas disebut pseudobubo. Proses ulserasi kadang-kadang meluas ke genitalia perempuan, mengenai servik uteri, labia minora, monsveneris, dan fourchette sedangkan pada laki-laki, penis dan skrotum yang terkena. Terdapat beberapa tipe gambaran klinis yaitu tipe nodular, tipe ulsero-vegetatif, tipe hipertrofik, tipe sikatrisial (Judanarso, 2013).

2.6.9.4. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis ditegakkan dengan hapusan jaringan yaitu mencari D.granulomatis dalam sel-sel mononuklear yang besar kemudian diwarnai dengan Giemsa, Wright Leishman, Perak atau Gram. Boleh juga menggunakan Tes PCR (O’Farrell, 2010).

2.6.9.5. Komplikasi

Komplikasi yang didapati berbentuk edema genital sering pada wanita, deformitas genital sekiranya berlangsung lama, pada bentuk sklerotik terjadi stenosis pada uretra, vagina, dan lubang anus. Selain itu, dapat terjadi hiperplasia pseudoepitelimatosa serta pada perempuan sering terjadi lesi metastatik, dapat mengenai tulang, sendi, dan alat- alat dalam (Judanarso, 2013).

2.6.10. Kandidiasis genitalis

Kandidosis atau kandidiasis adalah infeksi dengan berbagai manifestasi klinis yang disebabkan oleh kandida, khususnya Candida ablicans dan ragi lain dari genus kandida. Organisme ini tipikal menginfeksi kulit, kuku, membran mukosa, dan traktus gastrointestinal, tetapi dapat juga menyebabkan infeksi sistemik (Soedarmadi, 2011).

2.6.10.1. Epidemiologi

Kandidiasis genitalis yang lebih dikenal sebagai kandidiasis vulvovaginal (KVV) pada perempuan dan balanitis pada laki-laki merupakan yang sering dijumpai. Hampir 75% dari semua perempuan dewasa pasti mempunyai "infeksi ragi" paling sedikitnya satu kali dalam hidup mereka. Pada laki-laki, boleh saja mendapat genital candidiasis tetapi jarang (CDC, 2012).


(44)

2.6.10.2. Etiologi

Penyebab terbanyak kandidosis vulvovaginalis (KVV) adalah spesies Candida ablicans (80-90%), sedangkan penyebab terbanyak ke dua adalah Torulopsis glabrata (10%), sedangkan 3% lainnya oleh spesies Candida lain seperti Candida tropicalis, Candida pseudotropicalis, Candida krusei dan Candida stelloatoidea (Soedarmadi, 2011).

2.6.10.3. Gambaran klinis

Gambaran khas kandidosis vulvovaginal pada perempuan adalah gatal atau iritasi vulva dan duh tubuh atau keputihan. Penderita perempuan akan merasa nyeri atau panas, terutama selama atau sesudah berhubungan seksual serta disuria. Vagina tampak kemerahan, sering tertutup pseudomembran, berupa plak-plak putih (thrush), terdiri dari miselia yang kusut (matted mycelia). Pada gambaran klinis laki-laki, berupa kemerahan dan iritasi pada glans dan di bawah preputium pada yang tidak disirkumsisi. Disertai gatal ringan sampai rasa panas hebat, setelah bersanggama suspektus berupa iritasi pada glans yang bisa intensif disertai vesikulasi dan erosi yang akan hilang dalam beberapa hari. Gejala objektif dijumpai eritem yang difus, fisura, dengan bintik-bintik merah (WebMed, 2012). 2.6.10.4. Pemeriksaan penunjang

Cara mendiagnosa kandidosis vulvovaginal adalah dengan cara mengambil sedikit dari duh tubuh penderita kemudian diperiksa menggunakan mikroskop. Ini disebut tes wet mount dan tes KOH (Vorvick, 2011).

2.6.10.5. Komplikasi

Infeksi kronis atau infeksi berulang dapat terjadi jika penderita tidak mendapatkan perawatan yang tepat. Selain itu, infeksi sekunder juga dapat terjadi, penggarukan dapat menyebabkan luka pada kulit dan ini menyebabkan penderita mendapatkan suatu infeksi (Vorvick, 2011).

2.6.11. Trikomoniasis

Trikomoniasis merupakan penyakit infeksi protozoa yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis, biasanya ditularkan melalui hubungan seksual dan sering menyerang traktus urogenitalis bagian bawah pada perempuan maupun laki-laki,


(45)

namun pada laki-laki peranannya sebagai penyebab penyakit masih diragukan (Djajakusumah, 2011).

2.6.11.1. Epidemiologi

Secara epidemiologi, infeksi T. vaginalis yang umumnya terkait dengan PMS lain dan merupakan faktor resiko perilaku seksual tinggi. Trikomoniasis sering terlihat bersamaan dengan IMS lain, terutama gonore. Infeksi ini terbanyak pada perempuan dan rentan pada semua kelompok usia sekiranya aktif secara seksual (Schwebke dan Burgess, 2004). Menurut CDC (2013) infeksi ini banyak pada usia 14-49 tahun.

2.6.11.2. Etiologi

Trikomoniasis merupakan penyakit infeksi protozoa yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis (Djajakusumah, 2011).

2.6.11.3. Gambaran klinis

Gambaran klinis trikomoniasis pada perempuan dapat berupa tidak ada gejala, duh tubuh yang berwarna kehijauan dan berbusa, berbau, menimbulkan iritasi, disuria, dispareunia, eritema vulva yang difus, inflamasi dinding vagina serta strawberry cervix (WebMed, 2012).

Gambaran klinis trikomoniasis pada laki-laki dapat berupa tanpa gejala pada awalnya kemudian bole terjadi uretritis yang hebat dengan komplikasi prostatitis dan epididimitis (WebMed, 2012).

2.6.11.4. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan metode perwarnaan seperti perwarnaan Giemsa, Papanicolaou, Leishman, Gram atau acridine orange. Selain metode perwarnaan, dapat juga menggunakan tes ELISA,

immunofluorecent antibody, dan latex agglutination (Djajakusumah, 2011). 2.6.11.5. Komplikasi

Pada wanita hamil yang menderita trikomoniasis dapat melahirkan bayi prematur, melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah serta menularkan infeksi pada bayi saat melewati jalan lahir (Mayo Clinic, 2012).


(46)

2.7. Pencegahan Infeksi Menular Seksual

Menurut Hakim (2011) terdapat prinsip umum yang harus dilaksanakan untuk mengendali IMS. Prinsip umum pengendalian IMS adalah:

Tujuan utama:

1. Untuk memutuskan rantai penularan infeksi IMS.

2. Untuk mencegah berkembangnya IMS dan komplikasinya. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui:

1. Mengurangi pajanan IMS dengan program penyuluhan untuk menjauhkan masyarakat terhadap perilaku resiko tinggi.

2. Mencegah infeksi dengan anjuran pemakaian kondom bagi yang berperilaku risiko tinggi.

3. Meningkatkan kemampuan diagnosis dan pengobatan serta anjuran untuk mencari pengobatan yang tepat.

4. Membatasi komplikasi dengan melakukan pengobatan dini dan efektif baik untuk yang simtomatik maupun asimtomatik serta pasangan seksualnya.

Menurut Centre of Disease Control and Prevention National Prevention Information Network (CDC NPIN) (2013), cara mencegah IMS adalah:

- Menjauhkan diri dari seks bebas (misalnya, oral, vagina, atau seks anal) - Tidak berganti-ganti pasangan.

- Menggunakan kondom secara konsisten dan benar.

- Pendidikan dan konseling pada orang yang beresiko untuk melakukan seks yang sehat.

- Identifikasi orang yang terinfeksi - dengan atau tanpa gejala - tidak mungkin untuk mencari layanan diagnostik dan pengobatan.

- Diagnosis dan pengobatan yang efektif dari orang yang terinfeksi.

- Evaluasi, pengobatan, dan konseling kepada pasangan yang terinfeksi dengan IMS.


(47)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Pada penelitian ini kerangka konsep tentang gambaran karakteristik infeksi menular seksual (IMS) akan dijabarkan berdasarkan variabel-variabel seperti jenis penyakit, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan perkawinan.

Gambar 3.1. Kerangka konsep

3.2. Definisi operasional

Variabel-variabel yang akan diteliti adalah jenis IMS, usia, jenis kelamin, pekerjaan dan status marital pada penderita IMS dengan definisi operasional seperti berikut:

a. Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah penyakit menular melalui hubungan seksual, infeksi yang di derita oleh pasien IMS dan dicatat dalam rekam medik di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012, seperti gonore, infeksi gonore non spesifik (I.G.N.S), sifilis, kondiloma akuminata, herpes genitalis, ulkus mole, limfogranuloma venereum, vaginosis bakterial, granuloma inguinale, kandidiasis genitalis, dan Trikomoniasis.

-Usia

-Jenis kelamin -Tingkat pendidikan -Pekerjaan

-Status perkawinan Jenis IMS


(48)

b. Usia adalah usia pasien penderita IMS yang dicatat dalam rekam medik RSUD Dr. Pirngadi Medan. Dibagi dengan interval 5 tahun (CDC, 2011) rentang usia 15 hingga 49 tahun dan umur yang tidak spesifik ( di bawah 15 tahun atau di atas 49 tahun). (CDC, 2011).

c. Jenis kelamin akan di bedakan menjadi laki-laki atau perempuan.

d. Tingkat pendidikan adalah pendidikan terakhir dari penderita IMS yang tercatat dalam rekam medik RSUD Dr. Pirngadi Medan.

e. Pekerjaan adalah kegiatan atau aktivitas sehari-hari untuk memperoleh pendapatan yang dicatat pada rekam medik, seperti pegawai negeri, pegawai swasta, wiraswasta, guru, ibu rumah tangga, mahasiswa, dan tidak bekerja.

f. Status perkawinan adalah status perkawinan pasien yang menderita IMS yang dicatat dalam rekam medik RSUD Dr. Pirngadi Medan.

Tabel 3.1Table variabel

No. Variabel Alat ukur Kategori Skala ukur

1 Jenis IMS Data sekunder dari rekam medik

- Gonore - I.G.N.S - Sifilis

- Kondiloma akuminata - Herpes genitalis - Ulkus Mole

- Limfogranuloma venereum - Vaginosis bakterial

- Granuloma Inguinale - Kandidiasis genitalis - Trikomoniasis

Nominal

2 Usia Data sekunder

dari rekam

- kurang dari 15 tahun - 15-19 tahun


(49)

medik - 20-24 tahun - 25-29 tahun - 30-34 tahun - 35-39 tahun - 40-44 tahun - 45-49 tahun

- Lebih dari 49 tahun 3 Jenis

kelamin Data sekunder dari rekam medik - laki-laki - perempuan Nominal

4 Tingkat pendidikan Data sekunder dari rekam medik - SD - SMP - SMA

- Tingkat Perguruan Tinggi

Nominal

5 Pekerjaan Data sekunder dari rekam medik

- pegawai negeri - pegawai swasta - wiraswasta - guru

- ibu rumah tangga - mahasiswa/pelajar - tidak bekerja

Nominal

6 Status perkawinan Data sekunder dari rekam medik -Sudah menikah -belum menikah Nominal


(50)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang akan menentukan gambaran karakteristik infeksi menular seksual (IMS) di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012. Penelitian ini akan menggunakan kaidah cross sectional study, dimana akan dilakukan pengumpulan data dari rekam medik pasien IMS.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di bagian rekam medik RSUD Dr. Pirngadi Medan. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian ini dijadwalkan dari bulan September sehingga November 2013.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita infeksi menular seksual (IMS) pada tahun 2012 yang tercatat dalam rekam medik.

4.3.2 Sampel

Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan mengambil seluruh anggota populasi sebagai sampel. Dengan demikian, maka peneliti mengambil sampel dari seluruh penderita IMS di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 70 orang.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang berasal dari rekam medik pasien IMS di RSUD Dr. Pirngadi Medan dari Januari sampai Desember 2012.


(51)

4.5. Metode Analisis Data

Data yang telah dikumpul akan dimasukkan dalam komputer penelitian dan dianalisis menggunakan program SPSS (statistic Package of Social Science) selanjutnya di interpretasikan dalam bentuk tabel-tabel frekuesnsi.


(52)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Pirngadi Medan atau sering disingkat RSUD dr. Pirngadi beralamat di Jl. Prof. HM Yamin SH No.47 Medan merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan milik pemerintah Kota Medan dan merupakan rumah sakit rujukan di wilayah kota Medan. Penelitian ini dilakukan pada pasien yang didiagnosa menderita IMS di RSUD dr. Pirngadi Medan.

5.1.2. Karakteristik Penderita

Pada penelitian ini didapat sebanyak 70 penderita infeksi menular seksual (IMS) di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012. Adapun karakteristik penderita pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

5.1.2.1 Jenis infeksi menular seksual

Tabel 5.1 Karakteristik Penderita IMS Menurut Jenis IMS Tahun 2012

No Jenis IMS Jumlah Persentasi (%)

1 Kandidiasis genitalis 24 34,3

2 Gonore 20 28,6

3 Sifilis 12 17,1

4 Kondilomata akuminata 6 8,6

5 Infeksi Genital Non-spesifik (IGNS) 4 5,7

6 Herpes genitalis 3 4,3

7 Ulkus Mole 1 1,4

Total 70 100,0

Dari tabel 5.1, jenis infeksi menular seksual (IMS) yang paling banyak dijumpai adalah kandidiasis genitalis dengan jumlah 24 orang (34,4%). Jenis IMS terbanyak kedua adalah gonore dengan jumlah sebanyak 20 orang (28,6%), yang


(53)

diikuti oleh sifilis sebanyak 12 orang (17,1 %), kondiloma akuminata sebanyak 6 orang (8,6%), IGNS sebanyak 4 orang (5,7 %), herpes genitalis sebanyak 3 orang (4,3 %), ulkus mole sebanyak 1 orang (1,4%) dan dalam penelitian ini tidak dijumpai IMS seperti Limfogranuloma Venereum, Vaginosis Bakterial, Granuloma Inguinale, dan Trikomoniasis.

5.1.2.2 Usia

Tabel 5.2 Karakteristik Penderita IMS Menurut Usia Tahun 2012

No. Kelompok Usia (Tahun) Jumlah Persentasi (%)

1 kurang dari 15 tahun 1 1,4

2 15-19 tahun 5 7,1

3 20-24 tahun 15 21,4

4 25-29 tahun 7 10,0

5 30-34 tahun 10 14,3

6 35-39 tahun 3 4,3

7 40-44 tahun 5 7,1

8 45-49 tahun 10 14,3

9 Lebih dari 49 tahun 14 20,0

Total 70 100,0

Dari tabel 5.2, kelompok usia penderita yang paling banyak adalah pada kelompok usia 20 – 24 tahun dengan jumlah kasus sebanyak 15 orang (21,4%). 5.1.2.3 Jenis Kelamin .

Tabel 5.3 Karakteristik Penderita IMS Menurut Jenis Kelamin Tahun 2012

No Jenis Kelamin Jumlah Persentasi

1 Laki-laki 41 58,6

2 Perempuan 29 41,4


(54)

Dari tabel 5.3, didapati jumlah penderita laki-laki lebih banyak daripada penderita perempuan, dimana terdapat 41 orang (58,6%) penderita laki-laki dan 29 orang (41,4%) penderita perempuan yang menderita IMS.

5.1.2.4 Pendidikan Terakhir

Tabel 5.4 Karakteristik Penderita IMS Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2012

No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentasi

1 SD 2 2,9

2 SMP 1 1,4

3 SMA 47 67,1

4 Tingkat Perguruan Tinggi 20 28,6

Total 70 100,0

Dari tabel 5.4, tingkat pendidikan terakhir penderita yang paling banyak adalah tingkat pendidikan SMA dengan jumlah 47 orang (67,8%).

5.1.2.5 Pekerjaan

Tabel 5.5 Karakteristik Penderita IMS Menurut Pekerjaan Tahun 2012

No Jenis Pekerjaan Jumlah Persentasi (%)

1 pegawai negeri 10 14,3

2 pegawai swasta 7 10,0

3 Wiraswasta 15 21,4

4 guru/dosen 2 2,9

5 ibu rumah tangga 12 17,1

6 mahasiswa/pelajar 20 28,6

7 tidak bekerja 4 5,7

Total 70 100,0

Dari tabel 5.5, didapati lebih banyak mahasiswa/pelajar yang menderita IMS dengan jumlah 20 orang (28,6%).


(55)

5.1.2.6 Status Perkawinan

Tabel 5.6 Karakteristik Penderita IMS Menurut Status Perkawinan Tahun 2012

No Status Perkawinan Jumlah Persentasi (%)

1 Sudah menikah 39 55,7

2 Belum menikah 31 44,3

Total 70 100,0

Dari tabel 5.6, didapati lebih banyak penderita IMS yang sudah menikah bila dibandingkan dengan penderita IMS yang belum menikah. Jumlah penderita IMS yang sudah menikah adalah 39 orang (57,7%).

5.2 Pembahasan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012, didapatkan data mengenai gambaran karakteristik yang dimiliki oleh penderita infeksi menular seksual (IMS). Data-data tersebut akan digunakan sebagai dasar dari pembahasan hasil akhir penelitian ini.

Dari tabel 5.1, jenis infeksi menular seksual (IMS) yang paling banyak adalah kandidiasis genitalis dengan jumlah 24 orang (34,4%). Jenis Infeksi IMS terbanyak kedua adalah gonore dengan jumlah sebanyak 20 orang (28,6%), yang diikuti oleh sifilis sebanyak 12 orang (17,1 %), kondiloma akuminata sebanyak 6 orang (8,6%), IGNS sebanyak 4 orang (5,7 %), herpes genitalis sebanyak 3 orang (4,3 %), ulkus mole sebanyak 1 orang (1,4%) tetapi dalam penelitian ini tidak dijumpai IMS seperti Limfogranuloma Venereum, Vaginosis Bakterial, Granuloma Inguinale, dan Trikomoniasis. Penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitan CDC pada tahun 2011 dan WHO pada tahun 2008, karena menurut penelitian CDC (2011) IMS yang paling sering terjadi adalah klamidia (457.6 kasus per 100,000 populasi) , gonore (104,2 kasus per 100,000 populasi), dan sifilis (4,5 kasus per 100,000 populasi), menurut WHO (2008) IMS yang terbanyak secara global adalah T. vaginalis (276.4 juta kasus), gonore (106.1 juta kasus), klamidia (105,7 juta kasus ), dan sifilis (10,6 juta kasus). Begitu juga


(1)

TING.PENDIDIKAN

Frekuensi Persentase

Validasi Persentase

Kumulatif Percentase

Validasi SD 2 2.9 2.9 2.9

SMP 1 1.4 1.4 4.3

SMA 47 67.1 67.1 71.4

Tingkat Perguruan Tinggi 20 28.6 28.6 100.0

Total 70 100.0 100.0

PEKERJAAN

Frekuensi Persentase

Validasi Persentase

Kumulatif Percentase

Validasi pegawai negeri 10 14.3 14.3 14.3

pegawai swasta 7 10.0 10.0 24.3

wiraswasta 15 21.4 21.4 45.7

guru/dosen 2 2.9 2.9 48.6

ibu rumah tangga 12 17.1 17.1 65.7

mahasiswa/pelajar 20 28.6 28.6 94.3

tidak bekerja 4 5.7 5.7 100.0


(2)

NIKAH

Frekuensi Persentase Valid Percent

Cumulative Percent

Validasi SUDAH KAWIN 39 55.7 55.7 55.7

BELUM KAWIN 31 44.3 44.3 100.0

Total 70 100.0 100.0

MS * UMUR Crosstabulation

UMUR Total kurang dari 15 tahun 15-19 tahun 20-24 tahun 25-29 tahun 30-34 tahun 35-39 tahun 40-44 tahun 45-49 tahun

Lebih dari 49 tahun

IMS Gonore 0 2 7 0 3 1 3 4 0 20

Kandidosis genitalis

1 1 4 2 4 0 1 5 6 24

Infeksi Genital Non-spesifik (IGNS)

0 0 0 0 0 1 0 0 3 4

Herpes genitalis

0 0 1 0 0 0 0 0 2 3


(3)

Kondilomat a

akuminata

0 0 1 2 2 1 0 0 0 6

Ulkus Mole 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1

Total 1 5 15 7 10 3 5 10 14 70

IMS * J.KEL Crosstabulation

J.KEL

Total LAKI-LAKI PEREMPUAN

IMS Gonore 19 1 20

Kandidosis genitalis 1 23 24

Infeksi Genital Non-spesifik (IGNS)

4 0 4

Herpes genitalis 3 0 3

Sifilis 11 1 12

Kondilomata akuminata 2 4 6

Ulkus Mole 1 0 1


(4)

IMS * TING.PENDIDIKAN Crosstabulation

TING.PENDIDIKAN

Total

SD SMP SMA

Tingkat Perguruan Tinggi

IMS Gonore 1 1 12 6 20

Kandidosis genitalis 1 0 18 5 24

Infeksi Genital Non-spesifik (IGNS)

0 0 2 2 4

Herpes genitalis 0 0 2 1 3

Sifilis 0 0 9 3 12

Kondilomata akuminata 0 0 3 3 6

Ulkus Mole 0 0 1 0 1


(5)

IMS * PEKERJAAN Crosstabulation

PEKERJAAN

Total pegawai

negeri

pegawai swasta

wiras wasta

guru/ dosen

ibu rumah tangga

Mahasiswa /pelajar

tidak bekerja

IMS Gonore 3 3 3 0 0 9 2 20

Kandidosis genitalis

2 2 0 1 12 6 1 24

Infeksi Genital Non-spesifik (IGNS)

0 1 3 0 0 0 0 4

Herpes genitalis 1 0 2 0 0 0 0 3

Sifilis 4 0 5 0 0 2 1 12

Kondilomata akuminata

0 1 1 1 0 3 0 6

Ulkus Mole 0 0 1 0 0 0 0 1


(6)

IMS * S.NIKAH Crosstabulation

S.NIKAH

Total SUDAH KAWIN BELUM KAWIN

IMS Gonore 9 11 20

Kandidosis genitalis 16 8 24

Infeksi Genital Non-spesifik (IGNS)

3 1 4

Herpes genitalis 2 1 3

Sifilis 6 6 12

Kondilomata akuminata 2 4 6

Ulkus Mole 1 0 1