2.7.1 Pewarna Alami
Banyak sekali bahan alami yang dapat digunakan sebagai pewarna makanan, baik yang berasal dari tanaman maupun yang berasal dari hewan, diantaranya adalah
klorofil, mioglobin dan hemoglobin, anthosianin, flavonoid, tannin, betalanin, quinon, xanthan dan karotenoid. Beberapa pewarna alami juga ikut menyumbangkan
nilai nutrisi karotenoid, riboflavin dan kobalamin, merupakan bumbu kunir dan paprika atau pemberi rasa karamel ke bahan olahannya. Umumnya pewarna alami
aman untuk digunakan dalam jumlah yang besar sekalipun, berbeda dengan pewarna sintesis yang demi keamanan penggunaanya harus dibatasi.
Table 2.3 Sifat-Sifat Bahan Pewarna Alami
Kelompok Warna
Sumber Kelarutan
Stabilitas
Caramel Cokelat
Gula dipanaskan Air
Stabil Anthosianin
Jingga Merah
Biru Tanaman
Air Peka terhadap
panas dan pH Flavonoid
Tanpa kuning Tanaman Air
Stabil terhadap panas
Leucoantho sianin Tidak
berwarna Tanaman
Air Stabil
terhadap panas Tannin
Tidak berwarna
Tanaman Air
Stabil terhadap panas
Batalain Kuning
Merah Tanaman
Air Sensitif
terhadap panas Quinon
Kuning- hitam
Tanaman Bakteria lumut
Air Stabil
terhadap panas Xanthon
Kuning Tanaman
Air Stabil
terhadap panas Karotenoid
Tanpa kuning-
merah Tanaman hewan
Lipida Stabil
terhadap panas Klorofil
Hijau Cokelat
Tanaman Lipida
Air Sensitif
terhadap panas Heme
Merah Cokelat
Hewan Air
Sensitif terhadap panas
Sumber: Cahyadi, 2009
Universitas Sumatera Utara
2.7.2 Pewarna Sintesis
Zat pewarna yang diizinkan penggunaanya dalam pangan disebut sebagai permitted color atau certified color. Di negara maju, suatu zat pewarna buatan harus
melalui berbagai proses pengujian sebelum dapat digunakan sebagai pewarna pangan. Zat warna yang akan digunakan harus menjalani pengujian dan prosedur
penggunaannya, yang disebut dengan proses sertifikasi. Proses sertifikasi ini meliputi pengujian kimia, biokimia, toksikologi dan analisis media terhadap zat warna
tersebut. Penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk bahan pangan masih sering
terjadi, misalnya zat pewarna untuk tekstil dan kulit digunakan untuk mewarnai bahan pangan. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu
logam berat pada zat pewarna tersebut. Adanya penyalahgunaan zat pewarna tersebut karena disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk
pangan, zat pewarna tekstil atau kulit biasanya lebih menarik dan disamping itu harga zat pewarna untuk industri jauh lebih murah dibandingkan dengan harga zat pewarna
untuk pangan. Bila dibandingkan dengan bahan pewarna alami, maka bahan pewarna sintesis
buatan mempunyai beberapa kelebihan yaitu warna yang beraneka ragam, keseragaman warna, kestabilan warna, penyimpanannya lebih mudah dan lebih tahan
lama. Selain daripada itu, warna dari pewarna alami biasanya jarang yang sesuai dengan warna yang diinginkan Winarno dkk, 1980.
Berikut ini adalah bahan pewarna sintesis yang diizinkan di Indonesia berdasarkan Permenkes RI Nomor 722MenkesPerIX88.
Universitas Sumatera Utara
Table 2.4 Bahan Pewarna Sintesis yang Diizinkan di Indonesia NO
Pewarna Nomor Indeks
Warna C.I.No. Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris 1.
Biru Berlian Brilliant Blue CFC; CI Food
Blue 2; FD C Blue No. 1 42090
2. Coklat HT
Chocolate Brown HT 20285
3. Eritrosin
Erythrosine; CI Food Red 14; FD Red No. 3
45430
4.
Hijau FCF Fast Green FCF; CI Food
Green 3; FD C Green No. 3
42053
5. Hijau S
Food Green S; CI Food Green 4
44090
6.
Indigotin Indigotine; Indigo Carmine;
CI Food Blue 1; FD C Blue No. 2
73015
7. Karmoisin
Carmoisine; CI Food Red 3; Azorubine
14720
8.
Kuning FCF Sunset Yellow FCF; CI Food
Yellow 3 15985
9. Kuning Kuinolin
Quinolone Yellow;
Food Yellow 13; CI Acid Yellow 3
47005
10. Merah Alura
Allura Red AC; CI Food Red 17; FD C Red No. 40
16035
11.
Ponceau 4R Ponceau 4R; CI Food Red 7;
Brilliant Scarlet 4R 16255
12. Tartrazin
Tartrazine; CI Food Yellow 4; FD C Yellow No. 5
19140 Sumber: Permenkes RI No. 722MenkesPerIX1988
Pewarna dicampurditambahkan ke dalam makanan untuk menimbulkan warna tertentu yang diharapkan dapat membangkitkan selera. Namun sayangnya,
tidak banyak tersedia zat pewarna seperti yang diharapkan Arisman, 2009.
2.7.3 Zat Warna Berbahaya