Zero Defect Six Sigma

Hasil–hasil dari peningkatan kualitas dramatik di atas , yang diukur berdasarkan persentase antara COPQ cost of poor quality terhadap penjualan ditunjukkan dalam Tabel 2.1 Tabel 2.1. Manfaat Dari Pencapaian Beberapa Tingkat Sigma COPQ Cost of Poor Quality Tingkat Pencapaian Sigma DPMO defect per million opportunities COPQ 1 – sigma 2 – sigma 3 – sigma 4 – sigma 5 – sigma 6 – sigma 691.462 308.538 66.807 6.210 233 3,4 sangat tidak kompetitif rata – rata industri Indonesia rata – rata industri USA Industri kelas dunia Tidak dapat dihitung Tidak dapat dihitung 25-40 dari penjualan 15-25 dari penjualan 5-15 dari penjualan 1 dari penjualan Setiap peningkatan atau pergeseran 1- sigma akan memberikan peningkatan keuntungan sekitar 10 dari penjualan Sumber : Vincent Gaspersz,2002, hal 3

2.2.1 Zero Defect

Produk tanpa cacat zero defects adalah kondisi ideal yang selalu didambakan, baik oleh pembuat barang produk dan atau jasa maupun pelanggan atau konsumen yang memakainya. Bagi perusahaan pabrikan, dengan zero defects maka waste pemborosan dapat ditekan. Masih ingat bukan?, bahwa salah satu jenis muda adalah barang atau produk cacat defect. Sedangkan keuntungan bagi konsumen jelas. Produk apalagi yang baru dibelibaru sangat menjengkelkan apabila ditemukan kerusakan yang membuat tampilan ataupun performa menjadi tidak maksimal. Intinya, cacat kualitas mempunyai efek biaya cost besar yang berhubungan dengannya. Di samping reputasi prusahaan atau merek brand akan turun, waktu, dan uang yang terbuang sia-sia. Di sisi lain progam mengurangi atau bahkan menghilangkan defect membutuhkan effort besar berupa waktu dan biaya Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. yang tidak sedikit. Pertanyaan yang kemudian muncul: “Apakah mungkin semua output produk berkualitas sempurna, tanpa cacat atau zero defects?. Ungkapan “zero defects” and “right first time” dipromosikan pertama kali oleh seorang tokoh manajemen kualitas Philip Crosby, awal tahun 1970-an. Zero defects Philip Crosby bukanlah berarti melakukan dengan sempurna dan tanpa kesalahan. Merupakan hal yang sungguh sangat sulit atau bahkan mustahil dilakukan khususnya pada industri manufaktur dengan ratusan proses dan dengan ribuan parts atau komponen. Crosby mau menekankan bahwa tidak bisa diijinkan sejumlah kesalahan dibangun pada suatu produk atau proses dan mau mengubah perspektif orang. Tokoh yang mempublikasikan Quality Is Free pada tahun 1979 ini meyakini bahwa manajemen memegang peranan utama dalam pengendalian kualitas dan para pekerja hanyalah mengikuti para manajer. Ketika terdapat kualitas produk yang jelek maka penanggungjawab utama akan hal tersebut bukanlah para worker pekerja, para manajer harus melakukan evaluasi sebagai penanggungjawab utama kualitas. Philip Crosby menggambarkan “empat hal yang mutak pada manajemen kualitas” yang lebih dikenal dengan The Four Absolutes of Quality Management yang antara lain menekankan: kualitas digambarkan sebagai kesesuaian dengan persyaratan, bukan sebagai “kebaikan” atau “kerapihan”. Sistem untuk membangun kualitas adalah pencegahan bukan penilaian. Standar performa harus zero defect nol defect Pengukuran dari mutu adalah price harga ketidaksesuaian bukan indeks. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Tidak hanya sampai di situ, Philip Crosby dengan sangat jelas dan sistematis memberikan metode pelaksanaannya yang dikenal dengan “Empat belas tahapan program perbaikan kualitas”. Tokoh manajemen kualitas kelahiran Virginia tahun 1926 ini memperkenalkan tahapan proses perbaikan kualitas sebagai berikut: 1 Komitmen manajemen dengan penekanan pada pencegahan defect cacat. 2 Tim perbaikan kualitas menyusun anggota tim dari setiap departemen atau fungsi beserta semua perangkat yang diperlukan. 3. Lakukan pengukuran kualitas untuk memantaumemonitor status dan aktivitas perbaikan. 4. Biaya evaluasi kualitas oleh alat pengontrol untuk figur yang akurat. 5. Kesadaran kualitas dengan mengomunikasikan biayaongkos kualitas. 6. Tindakan korektif untuk menanamkan suatu kebiasaan mengidentifikasi segala permasalahan dan memperbaikinya. 7. Adanya satu komite atau panitia khusus untuk mendukung ”zero defects”. 8. Melatih para penyeliasupervisor sedemikian sehingga semua para manajer dapat memahami program tersebut dan mampu menjelaskannya. 9. Laksanakan dan sosialisasilkan suatu “hari tanpa defect”. 10. Menentukan sasarantarget tim yang spesifik dan terukur. 11. Mendorong komunikasi karyawan dengan manajemen mengenai rintangan dan tantangan dalam membangun kualitas. 12. Memperkenalkan pencapaian prestasi. 13. Dewan kualitas dari para profesional kualitas memimpin informasi status dan gagasan kualitas. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 14. Melakukannya lagi, peningkatan kualitas terus menerus tanpa akhir.

2.2.2 Konsep Six Sigma