Kehidupan Awal Di Bogor

sebagai tempat untuk tinggal karena cuaca di Bogor cukup sejuk dibandingkan tempat beliau bekerja yaitu daerah Tangerang. Jarak yang jauh dari tempat tinggal ke lokasi kerja tidak membuat beliau berpindah dari Bogor karena sudah merasa nyaman dengan suasana lingkungan yang nyaman dan masyarakatnya yang ramah. Responden yang memilih pendidikan sebagai daya tarik Bogor untuk melakukan migrasi sebanyak tiga orang. MS 35 memilih untuk berkuliah di Bogor karena tertarik dengan fakultas pertanian yang ada di Institut pertanian Bogor. Beliau memilih IPB Bogor karena menurutnya kualitas pendidikannya sangat baik dan sesuai dengan yang beliau inginkan.

5.3 Kehidupan Awal Di Bogor

Kehidupan awal di Bogor yang dialami oleh migran sangat bervariasi. Seperti yang dituturkan oleh MS 42, perjalanannya ke Bogor bukanlah sesuatu yang direncanakan sejak awal. MS pemuda yang hanya mengenyam pendiddikan setingkat SD ini tujuan awal migrasinya adalah ke Ibukota Jakarta. Di Jakarta beliau mencoba peruntungan menjadi kondektur bis dan akhirnya menjadi sopir. Penghasilan awalnya cukup menjanjikan untuk ukuran pemuda seusianya. Seiring berjalannya waktu, MS merasa Jakarta tidak ideal lagi baginya karena saingannya semakin banyak. Pada akhirnya MS memutuskan untuk pindah ke Bogor karna melihat peluang daerah ini akan berkembang dan peluang untuk berwirausaha cukup tinggi. Pada awal kehidupan di Bogor, MS bekerja sebagai supir angkutan umum. Pada awal kehidupan di Bogor, MS tinggal bersama saudara dan kemudian memutuskan untuk tinggal dengan indekos. Kemudian MS mulai membuka usaha kecil sembari menekuni pekerjaannya sebagai sopir. Lambat laun usahanya berkembang dan membuat tingkat ekonomi MS jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kehidupannya sebelum melakukan migrasi. Lain lagi dengan penituran NH 32, NH memutuskan untuk pindah ke Bogor karena NH diterima di Institut Pertanian Bogor. NH ke Bogor untuk melanjutkan pendidikan. NH tidak mempunyai saudara di Bogor dan NH memutuskan tinggal dengan cara berindekos. Kehidupan awal NH di Bogor hanya seputar kegiatan mahasiswa di kampus. Urusan biaya hidup dan biaya pendidikan, NH masih didanai secara langsung oleh orangtua NH di kampung. Pada saat pertama kali sampai di daerah migrasi, migran tentunya belum memiliki tempat tinggal sendiri. Migran biasanya menghubungi kerabat ataupun teman yang sudah terlebih dahulu melakukan migrasi kedaerah tersebut. Ada juga yang mencari tempat tinggal sendiri dengan cara kontrak ataupun indekos. Hasil penelitian dilapangan diketahui sebanyak 33 orang responden 47 persen menumpang tinggal ditempat kerabat ketika pertama kali melakukan migrasi ke Bogor. Hal ini terjadi karena migran yang baru pertama kali datang belum terlalu mengenal daerah tujuan migrasi. Semenjak dari daerah asal, migran sudah diberi pesan untuk segera langsung menemui kerabat yang ada begitu sampai di Bogor. Seperti penuturan CS 37, beliau langsung menemui amangborunya begitu sampai di Bogor. CS juga menumpang tinggal bersama amangborunya sembari mencari pekerjaan. Hal itu ia lakukan karena sudah ada pesan dari kampung untuk segera menemui amangboru. Menurut CS dia sangat kerasan tinggal dirumah amangborunya tersebut karena amangborunya sangat banyak membantunya dalam mencari pekerjaan dan banyak member masukan- masukan kepadanya. Berbeda dengan penuturan DS 40, beliau kurang begitu nyaman tinggal ditempat saudara. Lingkungan baru dan daerah baru membuatnya suka keluyuran tetapi dia selalu dibatasi pergerakannya oleh saudaranya. DS menuturkan, beliau hanya betah selama tiga bulan menumpang ditempat saudaranya, setelahnya beliau memutuskan untuk indekos. Pada Tabel 7 berikut ini dijelaskan secara rinci jumlah dan persentase responden di PPTSB Cabang Bogor berdasarkan tempat tinggal pertama di Bogor. Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden di PPTSB Cabang Bogor Berdasarkan Tempat Tinggal Pertama di Bogor Tahun 2011 Tempat Tinggal Pertama Jumlah orang Persentase Kerabat 33 47,1 Teman 10 14,3 Sewakost 27 38,6 Total 70 100

5.4 Hubungan Dengan Daerah Asal