Pada penelitian terdahulu hubungan sosial ekonomi yang terjalin pada masyarakat migran Batak Toba yang bekerja pada usaha tambal ban di DKI
Jakarta, sangat berbeda dengan yang terjadi dengan migran Batak Mandailing. Migran Batak Toba saling membantu setiap kerabatnya tanpa membedakan
bentuk bantuan yang diberikan pada hula-hula, dongan sabutuha, boru dalam sistim adat Dalihan Na Tolu. Semuanya sama disebut kerabat. Bentuk bantuan
yang diberikan keluarga yang lebih dulu berada di DKI Jakarta merupakan wujud tanggung jawab mereka terhadap migran yang baru datang dari daerah asal.
Bentuk bantuan dari kalangan keluarga seperti itu, disamping menunjukkan bahwa migran masih mempunyai hubungan pribadi, sekaligus menunjukkan pula
“bantuan berantai” dimana yang mampu akan membantu yang lemah, demikian pula yang lemah apabila sudah kuat akan membantu yang lemah lainnya atau
sanak saudaranya yang masih berada di daerah asal dan memerlukan pekerjaan sehingga tercipta pola pemberi bantuan oleh migran terdahulu kepada migran
selanjutnya sebagai suatu kesinambungan Fadhilah, 2007.
2.4 Konsep Kebudayaan
Konsep yang penting dalam proses belajar kebudayaan oleh masyarakat adalah internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi. Internalisasi merupakan proses
panjang sejak seseorang individu dilahirkan menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat nafsu, semua emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya.
Sosialisasi berkaitan dengan proses belajar kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial. Seorang individu dalam proses ini dari masa anak-anak hingga masa
tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam peranan sosial yang ada Fathoni, 2005.
Ihromi 1999 memberikan tiga anggapan dasar mengenai kebudayaan, yaitu:
a. Kebudayaan dapat disesuaikan, karena jika sifat-sifat budaya tidak disesuaikan dengan lingkungan tertentu, kemungkinan masyarakat tersebut
dapat bertahan kecil. b. Kebudayaan merupakan suatu integrasi yang berarti unsur-unsur atau sifat-
sifat yang terpadu menjadi suatu kebudayaan bukan sebuah kebiasaan yang
terkumpul secara acak, dan kebudayaan yang unsur-unsurnya bertentangan satu sama lain, sukar atau bahkan mustahil untuk dipertahankan.
c. Kebudayaan selalu berubah, tanpa adanya gangguan dari masuknya budaya asingpun, kebudayaan bersifat statis.
Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu untuk melindungi diri terhadap alam, mengatur hubungan
antar-manusia dan sebagai wadah segenap perasaan manusia.
2.5 Kebudayaan Masyarakat Etnis Batak Toba 2.5.1 Sejarah Batak
Menurut cerita yang berkembang dalam masyarakat Batak terutama dari para tetua orang Batak Toba bahwa suku bangsa Batak berasal dari dua orang
anak manusia ciptaan Mulajadi Nabolon yang dinamakan Siraja Ihatmanisia laki- laki dan Siboru Ihatmanisia wanita. Siraja Ihatmanisia mempunyai tiga orang
anak, salah satunya bernama Raja Miokmiok. Raja Miokmiok memiliki anak yang bernama Engbanua dan Engbanua mempunyai seorang anak bernama Raja
Bonangbonang. Raja Bonangbonang mempunyai tiga orang anak bernama Guru Tantan Debata, Si Asi dan Si Jau tidak diketahui identitasnya. Guru Tantan
Debata mempunyai seorang anak bernama Siraja Batak. Siraja Batak mempunyai dua orang anak bernama Guru Tatea Bulan dan Raja Isombaon. Pada Generasi
berikutnya Guru Tatea Bulan mempunyai lima orang anak laki-laki bernama Siraja Biakbiak, Tuan Sariburaja, Limbongmulana, Sagalaraja, Malauraja, dan
tiga anak perempuan bernama Siboru Pareme, Siboru Anting Sabungan, dan Siboru Biding Laut. Tuan Sariburaja melakukan kawin sumbang incest dengan
ibotonya adik perempuannya Siboru Pareme dan mempunyai tiga orang anak bernama Siraja Lontung, Siraja Borbor dan Babiat Hutagalung, 1926 dalam
Purba dan Purba, 1997. Batak Toba adalah sub suku Batak. Sub suku Batak Toba mendiami wilayah
meliputi daerah tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, Silindung, daerah Pegunungan Pahae, Sibolga dan Habincaran Siahaan, 1982 dalam Daulay,
2006. Cara hidup keluarga Batak Toba adalah komunal. Hidup dengan cara kekeluargaan dilaksanakan bersama atas pimpinan dan tanggung jawab ayah.
Dalihan na tolu sebagai nilai budaya suku Batak dapat menghimpun kekerabatan, baik dilihat dari sudut etnis, keluarga semarga maupun keluarga dari anak laki dan
anak perempuan, termasuk kelompok keluarga berdasarkan tempat tinggal Rajamarpodang, 1992.
2.5.2 Marga dan Sistem Kekerabatan
Pada awalnya nama-nama yang dimliki kakek moyang orang Batak belum merupakan marga. Hubungan sumbang yang terjadi dalam suatu alur keturunan
telah mengakibatkan pecahnya hubungan saudara, haha-anggi-iboto. Pada generasi berikutnya barulah muncul istilah marga Purba dan Purba, 1997.
Terbentuknya marga tidak boleh dinilai sebagai sekedar sabagai lahirnya unsur baru, tetapi memasukkan pembaharuan kedalam masyarakat dan kebudayaannya.
Perkawinan bukan hanya bertujuan untuk membentuk rumah tangga baru dan pisah rumah dari orangtua, tetapi sebagai sarana untuk mengabadikan marga dari
kakek moyangnya. Menurut Hutagalung 1961 dalam Purba dan Purba 1997 marga berasal
dari bahasa sansekerta yaitu warga yang diartikan dengan keluarga, sekaum, satu keturunan yang dalam bahasa Batak dinamakan dengan Sabutuha. Selanjutnya
disebutkan, terjadinya marga-marga disebabkan dua hal. Pertama, marga terjadi menurut wilayah kedudukan parjuguk yang disebut secara etnologie teritorial
dan kedua menurut kelompok keturunan. Dari kedua hal tersebut, yang lebih menonjol bagi suku bangsa Batak Toba adalah garis menurut keturunan
genealogi. Lahirnya suatu ikatan melalui marga menunjukkan bahwa warga masyarakat
dapat dikelompokkan dalam kelompok yang memakai nama kakeknya atau nama orangtuanya sebagai induk satuan kelompok. Dilihat dari sejarah terjadinya,
fungsi marga tersebut sangat besar artinya dalam hubungan masyarakat Batak, seperti yang dikatakan Hutagalung 1961 dalam Purba dan Purba 1997 selain
berfungsi untuk mengatur, diantaranya agar jangan terjadi perkawinan sedarah, marga juga berfungsi untuk mengatur hubungan-hubungan antara berbagai pihak
sebagai akibat kompleksnya hubungan diantara keturunan serta untuk mengurangi konflik dan hal negatif lainnya.
Dalam praktiknya, hubungan sosial ditinjau dari fungsi marga pada suku Batak Toba dikenal tiga pihak yang selalu berkomunikasi. Pihak pertama disebut
“sedarah, sekaum, sabutuha” atau sering disebut “semarga” atau dongan sabutuha
. Kedua adalah pihak keluarga atau marga dari istri yang disebut “paman, hula-hula
”, dan ketiga adalah golongan suami dari anak perempuan atau menantu laki-
laki yang disebut “parboruon”. Ketiga pihak diatas merupakan keturunan dari seorang kakek bersama dan merayakan berbagai upacara kekerabatan secara
bersama merupakan unsur dalihan na tolu Simatupang, 1986 dalam Purba dan Purba, 1997. Dengan adanya marga akan memudahkan untuk saling mengenal
hubungan dan kedudukan masing-masing pihak. Pada suku Batak yang baru berkenalan biasanya akan saling menanyakan marga, atau dalam bahasa Batak
disebut dengan martutur. Hubungan antara semarga adalah hubungan antara abang adik yakni warga yang paling tua dan yang paling muda. Mereka mendapat
hak sesuai dengan aturannya dan ini sering disebut dengan manat mardongan tubu. Pihak paman dan mertua merupakan hubungan yang paling tinggi bagi
orang Batak Toba. Penghormatan terhadap mereka dinilai sebagai Debata na niida, karena berkat dari pihak hula-hula dinilai paling tinggi sehingga dibuat
aturan dengan somba marhula-hula. Hubungan kepada pihak anak perempuan yaitu pihak boru merupakan pembantu bagi pihak mertua atau paman dalam
waktu senang maupun susah sehingga dibuat aturan dengan ungkapan elek marboru. Ketiga hal tersebut merupakan bagian dari dalihan na tolu yang sangat
kental pada budaya Batak.
2.5.3 Dalihan Na Tolu
Harahap 2008 dalam paparannya menyebutkan dalihan na tolu merupakan konsep dasar kebudayaan masyarakat Batak yang sifatnya sangat unik. Dalihan na
tolu pada dasarnya berarti tungku tataring yang terbuat dari tiga buah batu yang disusun. Tiga buah batu itu mutlak diperlukan menopang agar belanga atau periuk
tidak terguling. Selanjutnya di kemudian hari istilah dalihan na tolu ini dipergunakan untuk menunjuk kepada hubungan kekerabatan yang diakibatkan
oleh pernikahan, yaitu dongan tubu pihak “kawan semarga”, hula-hula pihak
“pemberi perempuan” dan boru pihak “penerima perempuan”. Sebab itu
dalihan na tolu adalah konstruksi sosial yang diciptakan oleh suatu masyarakat dan budaya Batak. Dalihan na tolu bukanlah wahyu atau sesuatu yang alami dan
terjadi dengan sendirinya. Dalihan na tolu adalah produk budaya Batak. Pada zaman dahulu ketika nenek moyang kita masih menetap di tanah Batak, kampung
identik dengan marga. Artinya “dongan sahuta” hampir identik dengan “dongan
tubu ”. Namun dengan migrasi orang Batak ke Sumatera Timur dan kota-kota lain
keadaan berubah. Dongan sahuta tidak lagi otomatis dongan tubu kawan semarga. Dampak perubahan demografi ini peranan dongan sahuta parsahutaon
yang terdiri dari multi marga ini semakin besar di kota-kota. Jonok dongan partubu jumonok dongan parhundul.
Jika diperhatikan kampung-kampung tradisional di Tapanuli dihuni oleh orang-orang yang semarga. Dongan tubu karena itu adalah teman untuk
mengerjakan banyak hal dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu harus memperlakukan dongan tubu secara hati-hati manat. Kehati-hatian pada
dasarnya adalah bentuk lain dari sikap hormat. Nasihat ini relevan sebab justru kehati-hatian sering kali hilang karena merasa terlalu dekat atau akrab. Hau na
jonok do na masiososan. Selanjutnya Elek marboru merupakan nasihat bahwa boru harus senantiasa dielek atau dianju dibujuk. Boru adalah penopang dan
penyokong. Sebab itu senantiasa diperlakukan dengan ramah-tamah dan lemah- lembut agar tidak sakit hati dan kemudian membiarkan hula-hulanya. Namun
sebaliknya, bagi orang Batak pra-Kristen hula-hula memang dipandang sebagai mata ni ari bisnar, sumber berkat dan kesejahteraan, sebab itu harus disembah
somba marhula-hula Harahap, 2008. Dalihan na tolu merupakan suatu bentuk kebudayaan masyarakat Batak
yang mengatur kekerabatan antar individu. Dalihan na tolu merupakan salah satu dan merupakan nilai utama dari inti budaya suku Batak Daulay, 2006.
Dihubungkan dengan status dan peranan etnis Batak Toba yang berlaku dalam kebudayaannya, pada hakekatnya ketiga unsur kekerabatan dalihan na tolu
masing-masing membawa sifat khusus Sihombing, 1986, antara lain: 1 Unsur pertama: Dongan Sabutuha teman semarga. Untuk dongan
sabutuha berlaku semboyan : “sekali dongan sabutuha tetap dongan
sabutuha ”, karena tidak bisa berpindah-pindah marga, sekalipun
bermusuhan dengan banyak teman semarga. 2 Unsur kedua: Hula-hula pihak pemberi istri. Filsafat Batak mengenai
hula-hula berbunyi: “sigaton na marlailai do na marhula-hula”. Artinya:
serupa dengan anak ayam yang waktu menentukan jenis kelaminnya, kita memeriksa ekornya. Harus dipelajari hula-hula bagaimana sifat-sifat serta
kemauannya dan hasilnya dipakai sebagai pedoman dalam pergaulan kita dengan mereka.
3 Unsur ketiga adalah: ”boru” pihak penerima istri. Boru terbagi menjadi
dua yaitu Hela suami putri ego dan Bere anak saudara perempuan ego. Filsafat mengenai “boru” berbunyi “bungkulan do boru”, yang berarti kalau
ada perselisihan dengan hula-hula yang membuat keretakan diantara mereka, maka pihak boru yang berkewajiban menghilangkan keretakan itu
agar mereka kembali kompak dan bersatu. Boru berkewajiban menolong “hula-hula” nya dalam segala hal, terlebih dalam pekerjaan upacara adat.
Tiga tiang tungku mewakili tiga unsur kekerabatan dalam masyarakat Batak, yaitu dongan sabutuha atau suhut, hula-hula serta boru. Dalam kekerabatan suku
Batak, suhut, hula-hula, dan boru masing-masing mempunyai hak dan kewajiban sebagai pelaksana tanggung jawab serta kedudukannya saat pelaksanaan adat.
Pada suatu saat, seseorang dapat dikatakan boru namun pada kejadian yang lain ia dapat menjadi suhut atau hula-hula. Marga dalam hal ini berperan dalam
menentukan kedudukan seseorang dalam upacara adat Rajamarpodang, 1992.
2.6 Kerangka Pemikiran
Setiap hal yang dilakukan oleh manusia pasti mempunyai latar belakang yang menjadikannya melakukan hal tersebut. Demikian pula dengan proses
migrasi dan interaksi sosial pasti dilatarbelakangi oleh suatau motivasi yang mendorong individu melakukan hal tersebut. Motivasi bermigrasi merupakan
dorongan, hasrat bahkan kebutuhan yang merupakan latar belakang yang melandasi migran untuk mencapai harapan yang ingin dicapai di daerah tujuan
migrasi. Migran melakukan migrasi diantaranya dilatarbelakangi oleh motivasi ekonomi maupun motivasi sosial agar kualitas hidupnya lebih tinggi dari yang
sebelumnya. Selain motif ekonomi dan motif sosial, karakteristik individu juga sangat mempengaruhi individu dalam melakukan migrasi. Karakteristik individu
dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, daerah asal,
pekerjaan.
Karakteristik individu dan motivasi migran dalam melakukan migrasi akan sangat mempengaruhi yang bersangkutan untuk melakukan interaksi individu di
komunitas migran tinggal. Kemampuan migran dalam melakukan interaksi akan menentukan interaksi sosial yang akan dilakoninya, baik itu jumlah, jenis,
kegitan-kegiatan dan status pada organisasi yang dipilihnya untuk terlibat sebagai upaya memperluas jaringan sosialnya demi tercapainya keberhasilan ekonomi pun
sosial si migran. Interaksi sosial yang dilakukan individu pada masyarakat dapat dilakukan
lewat berbagai cara. Memasuki sebuah organisasi adalah salah satu diantaranya. Pada penelitian kali ini interaksi sosial yang akan didalami meliputi jumlah
organisasi yang dimasuki, jenis organisasi yang dimasuki, kegiatan-kegiatan yang dilakukan organisasi yang dimasuki, frekuensi mengikuti kegiatan organisasi,
status dalam organisasi yang dimasuki. Pada organisasi yang dimasuki ini, individu akan memutuskan langkah-langkah yang harus di lakukan untuk
mencapai tujuannya dalam melakukan interaksi. Interaksi sosial yang dilakukan migran akan berperan penting dalam meningkatkan keberhasilan migran secara
ekonomi maupun sosial dari sebelumnya yang telah migran capai. Secara ringkas, hubungan variable-variabel tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pemikiran
Keterangan : Mempengaruhi
Motivasi Bermigrasi Faktor pendorong
Faktor penarik
Proses Sosial Jumlah kelembagaan yang dimasuki
Jenis kelembagaan yang dimasuki Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
kelembagaan Frekuensi mengikuti kegiatan
Status dalam kelembagaan yang dimasuki
Karakteristik Individu Jenis kelamin
Umur Tingkat pendidikan
Daerah asal Pekerjaan
Keberhasilan Ekonomi
Sosial
2.7 Hipotesis Penelitian