Dalam praktiknya, hubungan sosial ditinjau dari fungsi marga pada suku Batak Toba dikenal tiga pihak yang selalu berkomunikasi. Pihak pertama disebut
“sedarah, sekaum, sabutuha” atau sering disebut “semarga” atau dongan sabutuha
. Kedua adalah pihak keluarga atau marga dari istri yang disebut “paman, hula-hula
”, dan ketiga adalah golongan suami dari anak perempuan atau menantu laki-
laki yang disebut “parboruon”. Ketiga pihak diatas merupakan keturunan dari seorang kakek bersama dan merayakan berbagai upacara kekerabatan secara
bersama merupakan unsur dalihan na tolu Simatupang, 1986 dalam Purba dan Purba, 1997. Dengan adanya marga akan memudahkan untuk saling mengenal
hubungan dan kedudukan masing-masing pihak. Pada suku Batak yang baru berkenalan biasanya akan saling menanyakan marga, atau dalam bahasa Batak
disebut dengan martutur. Hubungan antara semarga adalah hubungan antara abang adik yakni warga yang paling tua dan yang paling muda. Mereka mendapat
hak sesuai dengan aturannya dan ini sering disebut dengan manat mardongan tubu. Pihak paman dan mertua merupakan hubungan yang paling tinggi bagi
orang Batak Toba. Penghormatan terhadap mereka dinilai sebagai Debata na niida, karena berkat dari pihak hula-hula dinilai paling tinggi sehingga dibuat
aturan dengan somba marhula-hula. Hubungan kepada pihak anak perempuan yaitu pihak boru merupakan pembantu bagi pihak mertua atau paman dalam
waktu senang maupun susah sehingga dibuat aturan dengan ungkapan elek marboru. Ketiga hal tersebut merupakan bagian dari dalihan na tolu yang sangat
kental pada budaya Batak.
2.5.3 Dalihan Na Tolu
Harahap 2008 dalam paparannya menyebutkan dalihan na tolu merupakan konsep dasar kebudayaan masyarakat Batak yang sifatnya sangat unik. Dalihan na
tolu pada dasarnya berarti tungku tataring yang terbuat dari tiga buah batu yang disusun. Tiga buah batu itu mutlak diperlukan menopang agar belanga atau periuk
tidak terguling. Selanjutnya di kemudian hari istilah dalihan na tolu ini dipergunakan untuk menunjuk kepada hubungan kekerabatan yang diakibatkan
oleh pernikahan, yaitu dongan tubu pihak “kawan semarga”, hula-hula pihak
“pemberi perempuan” dan boru pihak “penerima perempuan”. Sebab itu
dalihan na tolu adalah konstruksi sosial yang diciptakan oleh suatu masyarakat dan budaya Batak. Dalihan na tolu bukanlah wahyu atau sesuatu yang alami dan
terjadi dengan sendirinya. Dalihan na tolu adalah produk budaya Batak. Pada zaman dahulu ketika nenek moyang kita masih menetap di tanah Batak, kampung
identik dengan marga. Artinya “dongan sahuta” hampir identik dengan “dongan
tubu ”. Namun dengan migrasi orang Batak ke Sumatera Timur dan kota-kota lain
keadaan berubah. Dongan sahuta tidak lagi otomatis dongan tubu kawan semarga. Dampak perubahan demografi ini peranan dongan sahuta parsahutaon
yang terdiri dari multi marga ini semakin besar di kota-kota. Jonok dongan partubu jumonok dongan parhundul.
Jika diperhatikan kampung-kampung tradisional di Tapanuli dihuni oleh orang-orang yang semarga. Dongan tubu karena itu adalah teman untuk
mengerjakan banyak hal dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu harus memperlakukan dongan tubu secara hati-hati manat. Kehati-hatian pada
dasarnya adalah bentuk lain dari sikap hormat. Nasihat ini relevan sebab justru kehati-hatian sering kali hilang karena merasa terlalu dekat atau akrab. Hau na
jonok do na masiososan. Selanjutnya Elek marboru merupakan nasihat bahwa boru harus senantiasa dielek atau dianju dibujuk. Boru adalah penopang dan
penyokong. Sebab itu senantiasa diperlakukan dengan ramah-tamah dan lemah- lembut agar tidak sakit hati dan kemudian membiarkan hula-hulanya. Namun
sebaliknya, bagi orang Batak pra-Kristen hula-hula memang dipandang sebagai mata ni ari bisnar, sumber berkat dan kesejahteraan, sebab itu harus disembah
somba marhula-hula Harahap, 2008. Dalihan na tolu merupakan suatu bentuk kebudayaan masyarakat Batak
yang mengatur kekerabatan antar individu. Dalihan na tolu merupakan salah satu dan merupakan nilai utama dari inti budaya suku Batak Daulay, 2006.
Dihubungkan dengan status dan peranan etnis Batak Toba yang berlaku dalam kebudayaannya, pada hakekatnya ketiga unsur kekerabatan dalihan na tolu
masing-masing membawa sifat khusus Sihombing, 1986, antara lain: 1 Unsur pertama: Dongan Sabutuha teman semarga. Untuk dongan
sabutuha berlaku semboyan : “sekali dongan sabutuha tetap dongan
sabutuha ”, karena tidak bisa berpindah-pindah marga, sekalipun
bermusuhan dengan banyak teman semarga. 2 Unsur kedua: Hula-hula pihak pemberi istri. Filsafat Batak mengenai
hula-hula berbunyi: “sigaton na marlailai do na marhula-hula”. Artinya:
serupa dengan anak ayam yang waktu menentukan jenis kelaminnya, kita memeriksa ekornya. Harus dipelajari hula-hula bagaimana sifat-sifat serta
kemauannya dan hasilnya dipakai sebagai pedoman dalam pergaulan kita dengan mereka.
3 Unsur ketiga adalah: ”boru” pihak penerima istri. Boru terbagi menjadi
dua yaitu Hela suami putri ego dan Bere anak saudara perempuan ego. Filsafat mengenai “boru” berbunyi “bungkulan do boru”, yang berarti kalau
ada perselisihan dengan hula-hula yang membuat keretakan diantara mereka, maka pihak boru yang berkewajiban menghilangkan keretakan itu
agar mereka kembali kompak dan bersatu. Boru berkewajiban menolong “hula-hula” nya dalam segala hal, terlebih dalam pekerjaan upacara adat.
Tiga tiang tungku mewakili tiga unsur kekerabatan dalam masyarakat Batak, yaitu dongan sabutuha atau suhut, hula-hula serta boru. Dalam kekerabatan suku
Batak, suhut, hula-hula, dan boru masing-masing mempunyai hak dan kewajiban sebagai pelaksana tanggung jawab serta kedudukannya saat pelaksanaan adat.
Pada suatu saat, seseorang dapat dikatakan boru namun pada kejadian yang lain ia dapat menjadi suhut atau hula-hula. Marga dalam hal ini berperan dalam
menentukan kedudukan seseorang dalam upacara adat Rajamarpodang, 1992.
2.6 Kerangka Pemikiran