14
Keempat , peradaban-peradaban bersifat fana namun juga hidup sangat
lama; ia berkembang, beradaptasi dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia, “realitas-realitas yang benar-benar dapat bertahan dalam waktu lama.”
“Keunikan dan esensi utama”-nya adalah kontinuitas historisnya yang panjang. Peradaban adalah fakta kesejarahan yang membentang dalam kurun waktu yang
sangat panjang.” Kekuasan-kekuasaan berkembang dan jatuh, pemerintahan- pemerintahan datang dan pergi, peradaban-peradaban tetap ada dan”menopang
kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan bahkan ideologi”. Kelima
, karena peradaban-peradaban merupakan entitas-entitas kultural, bukan entitas-entitas politis, sehingga tidak berpegang pada tatanan, penegakan
keadilan, kesejahteraan bersama, upaya-upaya perdamaian, mengadakan pelbagai negosiasi, atau menetapkan “kebijakan-kebijakan” yang biasa dilakukan oleh
sebuah pemerintahan. Komposisi politis peradaban yang begitu bervariasi menyajikan pembedan-pembedaan di dalam peradaban itu sendiri. Suatu
peradaban bisa saja mencakup satu atau beberapa kesatuan politis. Kesatuan- kesatuan tersebut dapat berupa negara-kota, kekaisaran-kekaisaran, federasi-
federasi, konfederasi-konfederasi, atau negara-bangsa. Semua itu merupakan bentuk pemerintahan.
11
3. Hubungan Renaissance dan Ide Demokrasi
Sejarah tentang paham demokrasi itu menarik; sedangkan sejarah tentang demokrasi itu sendiri menurut Held membingungkan. Ada dua fakta historis yang
penting. Pertama, hampir semua orang pada masa ini mengaku sebagai demokrat. Beragam jenis rezim politik di seluruh dunia mendeskripsikan dirinya sebagai
demokrat. Namun demikian, apa yang dikatakan dan diperbuat oleh rezim yang satu dengan yang lain sering berbeda secara substansial. Demokrasi kelihatannya
melegitimasi kehidupan politik modern: penyusunan dan penegakan hukum
11
Samuel P Huntington. 2000. Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Qalam. Hlm. 38-46.
Universitas Sumatera Utara
15
dipandang adil dan benar jika ‘demokratis’. Pada kenyataannya tidak selalu demikian. Dari zaman Yunani kuno hingga sekarang mayoritas teoritikus di
bidang politik banyak melontarkan kritik terhadap teori dan praktik demokrasi. Komitmen umum terhadap demokrasi merupakan fenomena yang terjadi baru-
baru ini saja. Kedua
, sementara banyak negara pada saat ini menganut paham demokrasi, sejarah lembaga politiknya mengungkap adanya kerapuhan dan
kerawanan tatanan demokrasi. Sejarah Eropa pada abad ke-20 sendiri menggambarkan dengan jelas bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan
yang sangat sulit untuk diwujudkan dan dijaga: Fasisme, Nazisme, dan Stalinisme hampir saja menghancurkannya. Demokrasi telah berkembang melalui
perlawanan sosial yang intensif. Demokrasi juga sering dikorbankan dalam perlawanan serupa.
Demokrasi merupakan asas dan sistem yang paling baik di dalam sistem politik dan ketatanegaraan kiranya tidak dapat dibantah. Khasanah pemikiran dan
preformasi politik di berbagai negara sampai pada satu titik temu tentang ini: demokrasi adalah pilihan terbaik dari berbagai pilihan lainnya. Sebuah laporan
studi yang disponsori oleh salah satu organ PBB, yakni UNESCO pada awal 1950-an menyebutkan bahwa tidak ada satu pun tanggapan menolak “demokrasi”
sebagai landasan dan sistem yang paling tepat dan ideal bagi semua organisasi politik dan organisasi modern. Studi yang melibatkan lebih dari 100 orang sarjana
Barat dan Timur itu dapat dipandang sebagai jawaban yang sangat penting bagi studi-studi tentang demokrasi.
Permasalahan yang belum sampai pada titik temu di sekitar perdebatan tentang demokrasi itu adalah bagaimana mengimplementasikan demokrasi itu di
dalam praktik. Berbagai negara telah menentukan jalurnya sendiri-sendiri yang tidak sedikit di antaranya justru mempraktikkan cara-cara atau mengambil jalur
yang sangat tidak demokratis, kendati di atas kertas menyebutkan “demokrasi”
Universitas Sumatera Utara
16
sebagai asasnya yang fundamental. Oleh sebab itu, studi-studi tentang politik sampai pada identifikasi bahwa fenomena demokrasi itu dapat dibedakan atas
demokrasi normatif dan demokrasi empirik. Demokrasi normatif menyangkut rangkuman gagasan-gagasan atau idealita tentang demokrasi yang terletak di
dalam alam filsafat, sedangkan demokrasi empirik adalah pelaksanaannya di lapangan yang tidak selalu paralel dengan gagasan normatifnya. Ada yang
menyebut istilah lain untuk demokrasi normatif dan empirik ini, yakni demokrasi sebagai “essence” dan demokrasi sebagai “preformence”. Dalam ilmu hukum
istilah yang sering dipakai adalah demokrasi “dassollen” dan demokrasi “dassein”. Karena sering terjadinya persilangan antara demokrasi normatif dan
demokrasi empirik itulah, maka diskusi-diskusi tentang pelaksanaan demokrasi menjadi objek yang senantiasa menarik.
Pada permulaan pertumbuhan demokrasi telah mencakup beberapa asas dan nilai yang diwariskan kepadanya dari masa lampau, yaitu gagasan mengenai
demokrasi dari kebudayaan Yunani Klasik dan gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran reformasi serta perang-perang agama yang
menyusulnya. Sistem demokrasi yang terdapat di negara kota city state Yunani Klasik
abad ke-6 sampai abad ke-3 SM merupakan demokrasi langsung direct democracy
, yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga
negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi Yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam
kondisi sederhana, wilayahnya terbatas negara terdiri dari kota dan daerah sekitarnya serta jumlah penduduk sedikit 300.000 penduduk dalam satu negara-
kota. Lagipula ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang hanya merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk
mayoritas yang terdiri dari budak belian dan pedagang asing demokrasi tidak
Universitas Sumatera Utara
17
berlaku. Dalam negara modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung tetapi bersifat demokrasi berdasarkan perwakilan representative democracy.
Gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia Barat waktu bangsa Romawi, yang sedikit banyak masih mengenal kebudayaan Yunani,
dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat dan Benua Eropa memasuki Abad Pertengahan 600-1400. Masyarakat Abad Pertengahan dicirikan oleh struktur
sosial yang feodal; yang kehidupan sosial serta spiritualnya dikuasai oleh Paus dan pejabat-pejabat agama lainnya; yang kehidupan politiknya ditandai oleh
perebutan kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain. Dilihat dari sudut perkembangan demokrasi Abad Pertengahan menghasilkan suatu dokumen yang
penting, yaitu Magna Charta Piagam Besar 1215. Sebelum Abad Pertengahan berakhir di Eropa pada permulaan abad ke-16
muncul banyak negara-bangsa nation-state dalam bentuk yang modern, maka masyarakat Barat mengalami beberapa perubahan sosial dan kultural yang
mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern di mana akal dapat memerdekakan diri dari pembatasan-pembatasannya. Dua kejadian ini ialah
Renaissance 1350-1650 yang terutama berpengaruh di Eropa Selatan seperti
Itali, dan ReformasiGereja1500-1650 yang mendapat banyak pengikutnya di Eropa Utara, seperti Jerman, Swiss, dan sebagainya.
Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat kepada
kesusasteraan dan kebudayaan Yunani Klasik yang selama Abad Pertengahan telah disisihkan. Aliran ini membelokkan perhatian yang tadinya semata-mata
diarahkan kepada tulisan-tulisan keagamaan kearah masalah-masalah
keduniawian dan mengakibatkan timbulnya pandangan-pandangan baru. Reformasi serta perang-perang agama yang menyusul akhirnya menyebabkan
manusia berhasil melepaskan diri dari penguasaan Gereja, baik di bidang spiritual dalam bentuk dogma, maupun di bidang sosial dan politik. Hasil dari pergumulan
ini ialah timbulnya gagasan mengenai perlu adanya kebebasan beragama serta ada
Universitas Sumatera Utara
18
garis pemisah yang tegas antara permasalahan agama dan permasalahan keduniawian, khususnya di bidang pemerintahan. Ini dinamakan “pemisahan
antara Gereja dan Negara”. Kedua aliran pikiran yang tersebut di atas mempersiapkan orang Eropa
Barat memasuki masa “Aufklarung” Abad Pemikiran beserta Rasionalismesekitar tahun 1650-1800, suatu aliran pikiran yang ingin
memerdekakan pemikiran manusia dari batas-batas yang ditentukan oleh Gereja dan mendasarkan pemikiran atas akal ratio semata-mata. Kebebasan berpikir
membuka jalan untuk meluaskan gagasan ini di bidang politik. Timbulah gagasan bahwa manusia mempunyai hak-hak politik yang tidak boleh diselewengkan oleh
raja dan mengakibatkan dilontarkannya kecaman-kecaman terhadap raja, yang menurut pola yang sudah lazim pada masa itu mempunyai kekuasaan tak terbatas.
Pendobrakan terhadap kedudukan raja-raja absolut ini didasarkan atas suatu teori rasionalitas yang umumnya dikenal sebagai social contract kontrak sosial.
12
4. Pandangan Pemikir Islam tentang Negara 1. Al-Mawardi