7
3. Masyarakat, tulisan ini diharapkan menjadi literatur untuk menambah wawasan
bagi masyarakat yang berminat terhadap studi ilmu politik; agar menambah wawasan dan informasi mengenai ide demokrasidalam peradaban Barat.
F. Kerangka Teori
1. Interaksi Sosial
Interaksi sosial diartikan di sini sebagai suatu tindakan timbal balik antara dua orang atau lebih melalui suatu kontak dan komunikasi. Suatu tindakan timbal-
balik, oleh karena itu, tidak mungkin terjadi apabila tidak dilakukan oleh dua orang atau lebih. Kontak dipandang sebagai tahap permulaan untuk terjadinya
interaksisosial. Kontak merupakan kata serapan dari bahasa Latin, yaitu con atau cum
dan tango. Con diartikan sebagai bersama-sama, sedangkan tango bermakna menyentuh. Dengan demikian, secara harfiah makna dari kontak adalah bersama-
sama menyentuh. Interaksi sosial belum terjadi apabila hanya ada kontak tanpa diiringi
dengan komunikasi. Kata komunikasi yang diserap dari bahasa Inggris, communication
, berakar dari perkataan bahasa Latin, yaitu communico memiliki makna sebagai membagi, communis berarti membuat kebersamaan, communicare
yang maknanya berunding atau bermusyawarah, atau communicatio yang memiliki arti sebagai pemberitahuan, penyampaian atau pemberian.
5
Interaksi sosial dapat dilakukan antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.Berlangsungnya suatu proses
interaksi didasarkan pada berbagai faktor, antara lain, faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri
secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung.
6
5
Ibid. Hlm. 1-4.
6
SoerjonoSoekanto. 2005. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.Hlm. 63.
Bentuk-bentuk interaksi sosial
Universitas Sumatera Utara
8
dapat berupa kerja sama cooperation, persaingan competition dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian conflict.
7
Pruitt dan Rubin juga mengemukakan ada tiga fungsi positif dari konflik. Pertama
, konflik sebagai persemaian yang subur bagi terjadinya perubahan sosial. Masyarakat menganggap situasi yang dihadapinya tidak adil atau mengganggap
bahwa kebijakan yang berlaku tidak masuk akal biasanya mengalami pertentangan dengan aturan yang berlaku sebelumnya. Dengan kata lain, jika
kebijakan baru yang dianggap oleh masyarakat tidak masuk akal tersebut dibatalkan maka konflik dapat dihindari begitu juga dengan perubahan. Kedua,
konflik memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas berbagai kepentingan. Kebanyakan konflik tidak berakhir dengan kemenangan di salah satu pihak dan
kekalahan di pihak lainnya. Sebaliknya, beberapa sintesis dari posisi kedua belah pihak yang bertikai --- beberapa di antaranya berupa kesepakatan yang bersifat
Ketiga bentuk interaksi tersebut, pertentangan atau konflik adalah bentuk interaksi yang sesuai dengan penelitian ini, yakni Perang Salib sebagai konflik.
Menurut Webster 1966, istilah “conflict” di dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan” --- yaitu berupa konfrontasi fisik
antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan,
ide, dan lain-lain”. dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu
sendiri. Secara singkat, istilah “conflict” menjadi begitu meluas sehingga beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal. Sedangkan Pruit dan Rubin
mendefinisikan konflik dengan mengambil suatu makna terbatas berdasarkan defenisi Webster yang kedua, yaitu konflik berarti persepsi mengenai perbedaan
kepentingan perceived divergence of interest, atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan
.
7
Ibid . Hlm. 70.
Universitas Sumatera Utara
9
integratif --- yang menguntungkan kedua belah pihak dan memberikan manfaat kolektif yang lebih besar bagi para anggotanya sering kali terjadi. Ketiga, konflik
dapat mempererat persatuan kelompok. Tanpa adanya kapasitas perubahan sosial atau rekonsiliasi atas kepentingan individual yang berbeda, maka solidaritas
kelompok tampaknya akan merosot.
8
Ketiga , tidak adanya alternatif yang dapat diterima semua pihak.
Memiliki aspirasi yang tinggi dan berkeyakinan bahwa pihak lain juga memiliki aspirasi yang tinggi adalah aspek yang diperlukan bagi persepsi mengenai konflik
Pada Bab 2 dalam bukunya, Pruitt dan Rubin menjelaskan sumber- sumber penyebab, penulis konflik. Pertama, adanya determinan tingkat
aspirasi. Aspirasi bangkit dan kemudian menghasilkan konflik karena salah satu dari dua alasan, yaitu masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa
mereka mampu mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau mereka percaya bahwa mereka berhak memiliki objek tersebut. Pertimbangan
pertama bersifat realistis, sedangkan yang kedua bersifat idealistis. Masing- masing pertimbangan dapat timbul melalui bermacam-macam cara, yaitu
berdasarkan prestasi masa lalu, persepsi mengenai kekuasaan, aturan dan norma, pembandingan dengan orang lain, dan terbentuknya kelompok pejuang struggle
group .
Kedua , adanya determinan persepsi tentang aspirasi pihak lain. Hanya
karena memiliki aspirasi yang tinggi semata-mata tidak cukup dapat menyebabkan orang terlibat di dalam konflik. Suatu pihak pun harus percaya
bahwa pihak lain juga memiliki aspirasi yang tinggi, sehingga tidak memungkinkan kedua belah pihak mencapai aspirasi masing-masing. Bila aspirasi
pihak lain rendah atau bersifat fleksibel, maka aspirasi tersebut tidak dianggap sebagai ancaman bagi pihak yang bersangkutan, sehingga tidak akan terjadi
konflik.
8
Dean G Pruitt dan Jeffrey Z Rubin. 2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 9-15.
Universitas Sumatera Utara
10
kepentingan, tetapi itu saja tidak cukup. Suatu pihak juga harus memiliki persepsi bahwa aspirasi kedua belah pihak tidak kompatibel satu sama lain. Ini adalah
masalah persepsi mengenai alternatif --- yang dapat digunakan untuk mencapai sebuah keadaan yang dapat diterima semua pihak.
9
2. Hakikat Peradaban