KO-EKSISTENSI filsafat hukum filsafat
132 apa pijakan yang mutlak? Jawabannya adalah wahyu. Wahyu merupa-
kan sebuah kebenaran mutlak yang bersifat aksiomatik. la akan terus relevan sepanjang zaman, sebelum Tuhan sendiri yang menggantinya
. Penilaian yang diberikan oleh wahyu bersifat objektif, karena
_ meminjam istilah Muhammad Iqbal- dibuat oleh Realitas Mutlak.
Bagaimana dengan hati nuran i,
apakah bisa menjadi patokan peniIaian moralitas manusia? Berbagai pandangan para sa
rjana Barat
di atas memposisikan hati nurani sebagai patokan bagi moralitas manusia, sebagaimana D
. van Eck 197 I: 133 mengatakan bahwa hati
nurani ialah satu-satunya sarana untuk sampai pada norma-norma moral d
e zedenw
et b
ereikt h
em sl
echts via zijn innerlijk oord
eel. Meskipun daJam tulisan D. van Eck yang dikutip oleh Huijbers 1995:
6 keyakinan hati nurani ten tang baik tidaknya suatu tindakan bersumber pada pertimbangan akal budi, pendirian orang lain, dan
wahyu dalarn Kitab Suci, namun pada kenyataanya tidak seperti itu. Keyakinan hati nurani dalam praktiknya hanya bersumber pada
keinginan pribadi subjek. Sebagai contoh masalah berhubungan kelamin
pekawinan dengan se
sama jenis, incest, sex bebas, fenomena
waria dan s
ebagainya, bagi penganut penderita
masalah ini, hal ini mereka anggap sesuai dengan hati nuraninya. Oleh karena itu mereka
tidak segan-segan untuk mempertontonkannya kepada orang lain dan bahkan memperjuangkannya hingga ke parlemen. Jika demikian
, dihadap-hadapkan dengan orang yang dalam hati nuraninya mengang-
gap bahwa perbuatan-perbuatan seperti itu merupakan penyimpangan ,
man a sebenamya suara hati nurani yang objektif? Moralitas mana yang dianggap benar oleh hati nurani?
Ahli-ahli Barat yang dalam haI ini menganggap bahwa suara hati nurani itu selalu benar dan menjadi ukuran moralitas manusia,
meskipun hal ini sesungguhnya juga bertentangan dengan filsafatnya zaman dahulu
: homo hotnini lupus manusia adalah serigala bagi ma-
nusia lain, yang menjustifikasi adanya aturan normahukum.
Terlepas dari pertentangan itu
, Islam membagi jiwa manusia dalam tiga kecen-
derungan: nafsu al-muthmainnah ,
nafsu al-Iawwamah, dan nafsu al- amarah bissu . Nafsu al-muthmainnah merupakan jiwa yang baik,
nafsu al-Iawwamah merupakan jiwa moderat yang mampu memilah 133
se suatu itu baik atau buruk, dan nafsu al-amarali bissu
merupakan jiw
a yang tidak baik. Menurut Islam manusia sesungguhnya mempu- ny
ai tiga potensi itu secara bersama-sama, dan yang menjadi pijakan d
alam memandang bahwa sesuatu itu salah atau benar adalah wahyu, y
aitu wahyu yang diturunkan kepada manusia yang menurut Tuhan h
al ini sesuai denganjitrah kodrat manusia.
Sikap dan pandangan manusia benar ketika ia memedomani wahyu
. Orang yang memedomani wahyu berarti ia menggunakan
nafsu al -muthmainnalnvye;
sebaliknya orang yang tidak memedomani wahyu berarti ia mengikuti kecenderungan nafsu al
-amarah bissu ,
Dengan demikian ukuran benar dan salah dalam hal ini menjadi mutlak, tidak relatif sebagaimana pandangan para ahli dan realitas di
Barat, ditentukan oleh hati nurani yang dibimbing oleh wahyu.