15
penglihatan sehingga mengganggu proses belajar dan pencapaian belajar secara optimal sehingga diperlukan metode pengajaran, pembelajaran,
penyesuaian bahan pelajaran dan lingkungan belajar Purwaka Hadi, 2005: 11.
Berdasarkan pengertian yang disebutkan para ahli di atas, anak tunanetra merupakan seorang anak yang mengalami kerusakan dalam hal
penglihatannya, baik seorang yang masih memiliki sisa penglihatan low vision maupun sama sekali tidak memiliki sisa penglihatan totally blind,
keterbatasan dalam penglihatan tersebut menyebabkan terganggunya proses pembelajaran, perolehan informasi, maupun pemahaman suatu
materi yang diberikan. Oleh sebab itu pembelajaran bagi anak tunanetra membutuhkan layanan pendidikan khusus, yaitu dengan menggunakan
media dan metode yang tepat, seperti dalam pembelajaran matematika.
2. Klasifikasi Tunanetra
Tingkat ketunanetraan seseorang berdasarkan klasifikasinya bermacam-macam dari tingkat rendah hingga berat. Mohammad Effendi
2006: 30-31 menyatakan klasifikasi seorang tunanetra menurut tingkat ketunanetraannya dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Ketunanetraan yang masih dapat dikoreksi atau diperbaiki
menggunakan alat optik atau terapi medis. b.
Ketunanetraan yang masih dapat dikoreksi oleh alat optik atau terapi medis, namun dalam beraktifitas masih mengalami kesulitan
menggunakan fasilitas orang awas atau lemah penglihatan.
16
c. Ketunanetraan yang tidak memungkinkan dikoreksi oleh alat optik
atau terapi medis serta tidak dapat sama sekali memanfaatkan indera penglihatan untuk kepentingan pendidikan dan aktivitas dengan
menggunakan fasilitas orang awas. Pendapat lain dikemukakan oleh Anastasia Widjayanti Imanuel
Hitipeuw 1996: 9 tentang tingkat kelemahan fungsi visual seorang tunanetra, dapat penulis kemukakan sebagai berikut :
a. Tidak ada kelemahan visual normal
Memiliki ketajaman penglihatan lebih besar dari 2025 dan luas lantang pandang lebih besar dari 120 derajat. Mereka tidak mengalami
kesulitan dalam melakukan tugas sehari-hari. b.
Kelemahan visual ringan Memiliki ketajaman penglihatan 2025 dan luas lantang pandang
kurang dari 120 derajat. Mereka masih mampu mempergunakan peralatan pendidikan pada umumnya sehingga masih dapat
memperoleh pendidikan di sekolah umum. Mereka masih mampu melihat benda kecil seperti mengamati uang logam seratus rupiah dan
korek api. Luas lantang pandang berkurang, tidak berpengaruh terhadap kegiatan sehari-harinya.
c. Kelemahan visual sedang
Memiliki ketajaman penglihatan lebih besar dari 2060 dan luas lantang pandang 60 derajat. Mereka masih dapat melakukan tugas
17
sehari-hari dengan baik, tetapi mereka harus menggunakan alat bantu penglihatan yaitu kaca mata.
d. Kelemahan visual parah
Memiliki ketajaman penglihatan lebih besar dari 2060 dan luas lantang pandang 20 derajat. Ketajaman penglihatan dan lantang
pandang sudah sangat turun, sehingga penggunaan kaca mata tidak berfungsi.
e. Kelemahan visual sangat parah
Memiliki ketajaman penglihatan sangat rendah. Ia hanya dapat membaca atau menghitung jari pada jarak 5 m dengan lantang pandang
10 derajat. f.
Kelemahan visual yang mendekati buta total Memiliki ketajaman penglihatan sangat rendah. Ketajaman penglihatan
yang dimiliki lebih rendah dari kelemahan visual sangat parah. Ia hanya dapat membaca atau menghitung jari pada jarak 1 m dengan
lantang pandang 5 derajat. g.
Kelemahan visual total Pada taraf ini sudah tidak dapat lagi menerima rangsang cahaya. Ia
sudah dapat dikatakan buta total. Dari klasifikasi yang dikemukakan di atas, dapat ditegaskan bahwa
tunanetra dapat dikategorikan menjadi 2, yaitu : a tunanetra yang masih memiliki sisa penglihatan low vision. Tunanetra kategori ini masih dapat
menggunakan sisa penglihatannya walaupun hanya sedikit, dalam kegiatan
18
sehari-hari tidak terlalu terganggu serta dalam pembelajaran hanya memerlukan sedikit modifikasi serta menggunakan alat bantu penglihatan.
b tunanetrabuta total totally blind kategori ini sama sekali tidak dapat menggunakan sisa penglihatan. Sehingga dalam proses pembelajaran
membutuhkan modifikasi yang sesuai dengan kebutuhannya, pembelajaran dapat dilakukan secara maksimal. Pada anak low vision biasanya
menggunakan huruf biasa yang diperbesar ukurannya, sedangkan pada anak buta total menggunakan huruf Braille. Pada penelitian ini seluruh
siswa tunanetra kelas I merupakan seorang anak tunanetra kategori buta total, sehingga dalam pembelajarannya menggunakan huruf Braille.
3. Karakteristik tunanetra