PENGARUH PENGGUNAAN METODE BERMAIN TERHADAP KEMAMPUAN ORIENTASI DAN MOBILITAS PADA ANAK TUNANETRA KELAS I DI SLB A YAKETUNIS.

(1)

i

PENGARUH PENGGUNAAN METODE BERMAIN TERHADAP KEMAMPUAN ORIENTASI DAN MOBILITAS

PADA ANAK TUNANETRA KELAS I DI SLB A YAKETUNIS

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Herlin Umayah NIM 11103241064

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR BIASA JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

Wajahku telah bersujud kepada yang telah menciptakannya, memisahkan (memfungsikan) pendengaran dan penglihatannya dengan kemampuan dan

kekuatan-Nya. Maha Suci Allah, sebaik-baik Pencipta.” Terj. H.R. Muslim, Turmudzi, Baihaqi, Abu Daud, & An-Nasa’i


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Atas segala limpahan rahmat dan hidayah dari Allah SWT, skripsi ini saya persembahkan untuk:

1. Kedua orang tuaku tercinta, “Suparno dan Wahyuni”. Terima kasih atas doa dan dukungan yang telah diberikan kepadaku. Semoga Allah selalu memberikan limpahan rahmat dan kesehatan pada Bapak dan Ibu.

2. Almamaterku UNY. 3. Nusa bangsaku.


(7)

vii

PENGARUH PENGGUNAAN METODE BERMAIN TERHADAP KEMAMPUAN ORIENTASI DAN MOBILITAS PADA ANAK

TUNANETRA KELAS I DI SLB A YAKETUNIS Oleh

Herlin Umayah NIM 11103241064

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh penggunaan metode bermain terhadap kemampuan orientasi dan mobilitas pada anak tunanetra kelas I di SLB A Yaketunis Yogyakarta.

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini yakni penelitian eksperimen desain riset subjek tunggal (Single Subject Research) dengan pendekatan kuantitatif. Jenis desain penelitian yang digunakan yaitu desain A1-B-A2. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data yakni metode tes dan observasi. Analisis data yang digunakan pada penelitian ini yakni analisis dalam kondisi dan antarkondisi dengan menggunakan metode split middle (belah tengah). Subjek penelitian ini adalah seorang siswa tunanetra kelas I dengan gangguan penglihatan total “blind” dan mengalami hambatan dalam kemampuan orientasi dan mobilitas di SLB A Yaketunis Yogyakarta. Objek penelitian ini berupa kemampuan melawat mandiri dalam penggunaan teknik trailing, menentukan arah (direction taking), upper hand dan lower hand.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan metode bermain berpengaruh positif terhadap kemampuan orientasi dan mobilitas pada anak tunanetra kelas I di SLB A Yaketunis. Hal ini dibuktikan dengan besarnya persentase overlap yang berada di bawah 90%. Analisis data antarkondisi pada hasil pelaksanaan tes menunjukkan persentase overlap 0% pada perbandingan fase Baseline (A1) dengan Intervensi (B), fase Intervensi (B) dengan Baseline (A2), dan fase Baseline (A1) dengan Baseline (A2). Analisis data antarkondisi pada hasil pencatatan durasi waktu menunjukkan persentase overlap 0% pada perbandingan fase Baseline (A1) dengan Intervensi (B), 50% pada perbandingan fase Intervensi (B) dan Baseline (A2), dan 0% pada perbandingan fase Baseline (A1) dengan Baseline (A2).


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana pada Program Studi Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Luar Biasa yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian.

4. Dr. Sari Rudiyati, M.Pd, selaku Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi, masukan, dan saran demi kelancaran pembuatan skripsi. 5. Seluruh pengajar di program studi Pendidikan Luar Biasa yang telah

memberikan ilmu pengetahuan bagi penulis.

6. Ambarsih, S.Pd, selaku Kepala SLB A Yaketunis yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di SLB A Yaketunis.

7. Siti Syamsidariyah, S.Pd, selaku guru Orientasi dan Mobilitas yang telah membantu proses penelitian.

8. Siswa di SLB A Yaketunis yang telah membantu dalam proses penelitian sebagai subjek penelitian.

9. Berbagai pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu yang telah memberi perhatian dan bantuan kepada penulis.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapatkan imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa dan semoga hasil penelitian yang sederhana ini dapat bermanfaat.

Yogyakarta, Mei 2015


(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 7

C.Batasan Masalah ... 7

D.Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 9

G.Definisi Operasional ... 9

BAB II. KAJIAN PUSTAKA A.Kajian tentang Anak Tunanetra ... 12

1. Pengertian Anak Tunanetra ... 12

2. Karakteristik Anak Tunanetra ... 14

3. Keterbatasan Anak Tunanetra ... 21

B.Kajian tentang Metode Bermain ... 25

1. Pengertian Metode Bemain ... 25

2. Metode Bermain Scavenger Hunt ... 28

3. Keunggulan Penggunaan Metode Bermain ... 30 hal


(10)

x

4. Kelemahan Metode Bermain ... 34

5. Fungsi Metode Bermain ... 35

6. Prinsip-Prinsip Metode Bermain ... 37

7. Prosedur Pelaksanaan Metode Bermain ... 38

C.Kajian tentang Orientasi dan Mobilitas ... 40

1. Pengertian Orientasi dan Mobilitas ... 40

2. Teknik Orientasi dan Mobilitas ... 41

3. Pembelajaran Orientasi dan Mobilitas ... 47

4. Tahap-Tahap Pembelajaran Orientasi dan Mobilitas ... 55

5. Faktor-Faktor yang Dapat Mempengaruhi Kemampuan Orientasi dan Mobilitas ... 59

D.Lingkungan Belajar Orientasi dan Mobilitas ... 63

E. Langkah-Langkah Pembelajaran Orientasi dan Mobilitas Menggunakan Metode Bermain ... 65

F. Kerangka Pikir ... 68

G.Hipotesis ... 70

BAB III. METODE PENELITIAN A.Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 71

B.Desain Penelitian ... 72

C.Setting Penelitian ... 76

D.Subyek Penelitian ... 77

E. Variabel Penelitian ... 78

F. Teknik Pengumpulan Data ... 79

G.Pengembangan Instrumen ... 81

H.Uji Validitas Instrumen ... 84

I. Analisis Data ... 84

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Deskripsi Lokasi Penelitian ... 92

B.Deskripsi Subjek ... 93

C.Deskripsi Data Hasil Penelitian ... 94

1. Deskripsi Data Hasil Baseline (A1) Kemampuan Orientasi dan Mobilitas Anak Tunanetra Kelas 1 di SLB A Yaketunis ... 94


(11)

xi

2. Deskripsi Data Hasil Intervensi/ Treatment (B) Kemampuan Orientasi dan Mobilitas Anak Tunanetra Kelas I

di SLB A Yaketunis Yogyakarta ... 98

3. Deskripsi Hasil Baseline (A2) Kemampuan Orientasi dan Mobilitas Anak Tunanetra Kelas I di SLB A Yaketunis Yogyakarta ... 110

4. Data Hasil Observasi Penggunaan Metode Bermain Terhadap Kemampuan Orientasi dan Mobilitas Anak Tunanetra Kelas I di SLB A Yaketunis Yogyakarta ... 114

D.Analisis Data ... 121

1. Tampilan Data ... 121

2. Analisis Data dalam Kondisi ... 124

3. Analisis Data Antarkondisi ... 155

4. Uji Hipotesis ... 165

E. Pembahasan Penelitian ... 166

F. Keterbatasan Penelitian ... 170

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 171

B.Saran ... 172

DAFTAR PUSTAKA ... 174


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar ... 53

Tabel 2. Kompetensi Dasar dan Indikator ... 54

Tabel 3. Format Pencatatan Durasi ... 73

Tabel 4. Waktu Penelitian ... 77

Tabel 5. Kisi-kisi Instrumen Tes ... 82

Tabel 6. Kisi-kisi Pedoman Observasi ... 83

Tabel 7. Tabel Rekapitulasi Hasil Pre-test Sesi Pertama ... 95

Tabel 8. Tabel Rekapitulasi Hasil Pre-test Sesi Kedua ... 96

Tabel 9. Tabel Rekapitulasi Hasil Pre-test Sesi Ketiga ... 97

Tabel 10. Tabel Rekapitulasi Hasil Perhitungan Durasi Baseline (A1) ... 98

Tabel 11. Tabel Rekapitulasi Hasil Pelaksanaan Tes Fase Intervensi (B) Sesi Pertama ... 99

Tabel 12. Tabel Rekapitulasi Hasil Pelaksanaan Tes Fase Intervensi (B) Sesi Kedua ... 100

Tabel 13. Tabel Rekapitulasi Hasil Pelaksanaan Tes Fase Intervensi (B) Sesi Ketiga ... 101

Tabel 14. Tabel Rekapitulasi Hasil Pelaksanaan Tes Fase Intervensi (B) Sesi Keempat ... 102

Tabel 15. Tabel Rekapitulasi Hasil Pelaksanaan Tes Fase Intervensi (B) Sesi Kelima ... 103

Tabel 16. Tabel Rekapitulasi Hasil Pelaksanaan Tes Fase Intervensi (B) Sesi Keenam ... 104

Tabel 17. Tabel Rekapitulasi Hasil Pencatatan Durasi Fase Intervensi (B) Sesi Pertama ... 105

Tabel 18. Tabel Hasil Pencatatan Durasi Fase Intervensi (B) Sesi Kedua ... 106

Tabel 19. Tabel Hasil Pencatatan Durasi Fase Intervensi (B) Sesi Ketiga ... 107

Tabel 20. Tabel Hasil Pencatatan Durasi Fase Intervensi (B) Sesi Keempat .. 108

Tabel 21. Tabel Hasil Pencatatan Durasi Fase Intervensi (B) Sesi Kelima .... 109

Tabel 22. Tabel Hasil Pencatatan Durasi Fase Intervensi (B) Sesi Keenam ... 110

Tabel 23. Tabel Rekapitulasi Hasil Post-test Sesi Pertama ... 111

Tabel 24. Tabel Rekapitulasi Hasil Post-test Sesi Kedua ... 112

Tabel 25. Tabel Rekapitulasi Hasil Post-test Sesi Ketiga ... 113

Tabel 26. Tabel Hasil Pencatatan Durasi Waktu Fase Baseline (A2) ... 114

Tabel 27. Tabel Hasil Observasi Sesi Pertama ... 115

Tabel 28. Tabel Hasil Observasi Sesi Kedua ... 116 hal


(13)

xiii

Tabel 29. Tabel Hasil Observasi Sesi Ketiga ... 117

Tabel 30. Tabel Hasil Observasi Sesi Keempat ... 118

Tabel 31. Tabel Hasil Observasi Sesi Kelima ... 119

Tabel 32. Tabel Hasil Observasi Sesi Keenam ... 120

Tabel 33. Tabel Rekapitulasi Data Hasil Tes pada Fase Baseline (A1), Intervensi/ Treatment (B), Dan Baseline (A2) ... 121

Tabel 34. Tabel Rekapitulasi Data Hasil Durasi Waktu pada Fase Baseline (A1), Intervensi/ Treatment (B), Dan Baseline (A2) ... 122

Tabel 35. Tabel Rekapitulasi Data Hasil Observasi Fase Intervensi (B) ... 123

Tabel 36. Tabel Level Perubahan Hasil Tes ... 136

Tabel 37. Rekapitulasi Analisis Data Hasil Pelaksanaan Tes ... 152

Tabel 38. Rekapitulasi Analisis Data Hasil Pencatatan Durasi Waktu ... 153

Tabel 39. Rekapitulasi Analisis Data Hasil Observasi ... 155

Tabel 40. Rekapitulasi Analisis Data Antarkondisi Hasil Pelaksanaan Tes (B:A1) ... 157

Tabel 41. Rekapitulasi Analisis Data Antarkondisi Hasil Pelaksanaan Tes (A2:B) ... 159

Tabel 42. Rekapitulasi Analisis Data Antarkondisi Hasil Pelaksanaan Tes (A2:A1) ... 160

Tabel 43. Rekapitulasi Analisis Data Antarkondisi Hasil Pencatatan Durasi Waktu (B:A1) ... 162

Tabel 44. Rekapitulasi Analisis Data Antarkondisi Hasil Pencatatan Durasi Waktu (A2:B) ... 163

Tabel 45. Rekapitulasi Analisis Data Antarkondisi Hasil Pencatatan Durasi Waktu (A2:A1) ... 165


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pikir ... 70

Gambar 2. Desain Penelitian ... 72

Gambar 3. Setting Penelitian ... 76

Gambar 4. Grafik Hasil Tes ... 122

Gambar 5. Grafik Pencatatan Durasi Waktu ... 123

Gambar 6. Grafik Hasil Observasi ... 124

Gambar 7. Grafik Analisis Data Hasil Tes ... 125

Gambar 8. Grafik Analisis Data Hasil Pencatatan Durasi Waktu ... 137

Gambar 9. Grafik Analisis Data Hasil Observasi ... 148 hal


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian ... 177

Lampiran 2. Instrumen Penelitian ... 179

Lampiran 3. Validitas Penelitian ... 185

Lampiran 4. Hasil Penelitian ... 186

Lampiran 5. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 246

Lampiran 6. Surat Penelitian ... 253 hal


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

Anak tunanetra merupakan salah satu kategori anak berkebutuhan khusus yang mengalami gangguan fisik pada fungsi penglihatan. Siswa tunanetra digolongkan menjadi dua kategori, yakni Learners with Blindness dan Low Vision. Learners with Blindness merupakan siswa yang mengalami gangguan penglihatan total dan memiliki ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang dengan mata yang sudah dikoreksi atau rentang pandang tidak lebih besar dari 20 derajat (Hallahan, dkk, 2009: 380).

Learner with low vision merupakan siswa yang mengalami gangguan penglihatan sebagian yaitu individu yang mengalami kesulitan dalam membaca huruf cetak dengan ukuran yang normal, namun memungkinkan untuk membaca huruf cetak dengan ukuran font yang diperbesar. Low vision memiliki rentang pandang antara 20/70 sampai 20/200 pada kondisi mata yang baik dan sudah dikoreksi (Hallahan, dkk, 2009: 381). Tingkat ketajaman (visus) merupakan ukuran ketajaman sentral mata yang diukur dengan menggunakan Snellen Chart berdasarkan ukuran feet/ kaki atau meter. Maksud dari visus 20/200, yakni seseorang hanya dapat melihat objek pada jarak 20 feet/ 6 meter, sedangkan seharusnya objek tersebut dapat dilihat oleh orang normal pada jarak 200 feet/ 60 meter. Tingkat ketajaman 20/70, yakni seseorang hanya dapat melihat objek pada jarak 20 feet, sedangkan pada kemampuan penglihatan normal, objek tersebut dapat dilihat pada jarak 70 feet.


(17)

2

Dari pengertian tersebut, dapat ditegaskan bahwa anak tunanetra merupakan anak berkebutuhan khusus yang mengalami gangguan penglihatan baik total maupun sebagian. Adanya gangguan tersebut mengakibatkan mereka membutuhkan layanan pendidikan khusus sesuai dengan kebutuhannya.

Keterbatasan yang diakibatkan oleh adanya gangguan penglihatan tersebut, seperti keterbatasan dalam memperoleh keanekaragaman pengalaman, keterbatasan berinteraksi, dan keterbatasan dalam melakukan mobilitas. Dengan hilangnya fungsi penglihatan, anak tunanetra bergantung pada indra lain yang masih berfungsi dalam memperoleh informasi. Permasalahannya, indra di luar penglihatan ini tidak dapat mengamati dan memahami suatu objek di luar jangkauan fisiknya. Sebagai contoh misalnya, indra perabaan hanya dapat mengidentifikasi tekstur ataupun bentuk benda selama benda tersebut dapat dijangkau oleh indra perabaan. Apabila objek tersebut berukuran terlalu kecil atau terlalu besar, maka indra peraba kesulitan untuk mengidentifikasi benda tersebut. Keterbatasan indra di luar indra visual inilah yang mengakibatkan adanya keterbatasan pengalaman pada anak tunanetra. Penguasaan diri dan lingkungan dapat lebih mudah dikuasai oleh anak melalui indra penglihatan dibandingkan dengan indra lainnya.

Berdasarkan teori Denver II dalam Soedjatmiko (2005: 12), anak pada perkembangan normal, dapat berjalan lancar pada usia 14,9 bulan. Pada anak tunanetra, kemampuan berjalan tersebut terhambat karena anak tidak dapat atau mengalami keterbatasan untuk melakukan gerakan atau aktivitas motorik, sehingga mereka tidak dapat meniru gerakan-gerakan tersebut (Sunanto, 2005:


(18)

3

47). Best (dalam Nawawi, dkk, 2009: 9) menyampaikan bahwa,”anak-anak tunanetra tidak dapat dengan mudah memantau gerakannya dan oleh karenanya dapat mengalami kesulitan dalam memahami apa yang terjadi apabila mereka menggerakkan atau merentangkan anggota tubuhnya, membungkukkan atau memutar tubuhnya.” Hal ini disebabkan karena mereka tidak dapat melihat cara orang lain menggerakkan dan menggunakan anggota tubuhnya dengan jelas, seperti proses orang duduk, berdiri, dan berjalan. Best (dalam Nawawi, dkk, 2009: 9) juga menyampaikan bahwa, ”Anak tunanetra memiliki lebih sedikit kerangka acuan (term of reference). Oleh karena itu, agar anak tunanetra bisa bergerak secara mudah, aman, dan efektif di lingkungannya, perlu diberi pelatihan keterampilan orientasi dan mobilitas”.

Clarke dan Clarke (1978: 405), menyampaikan bahwa:

A number of individual activities may be successfully learned by the blind student that afford him an opportunity to experience a great deal of physical mobility and independence and achieve rather remarkable success.

Pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa, beberapa aktivitas individu dapat berhasil dipelajari oleh anak tunanetra yang mampu menguasai keterampilan mobilitas fisik dan kemandirian, sehingga mereka dapat mencapai sukses yang luar biasa. Hal tersebut, semakin memperkuat landasan bahwa, latihan orientasi dan mobilitas penting untuk diberikan untuk anak tunanetra demi kesejahteraan hidup mereka.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru kelas, anak belum mempunyai kemampuan melawat mandiri, sedangkan usianya sudah 8 tahun. Keterlambatan pada anak tunanetra juga dapat diakibatkan oleh pola


(19)

4

asuh orang tua yang sering memberikan perlindungan yang berlebihan dan kurang memberikan kesempatan kepada anak tunanetra untuk melakukan aktivitas motorik serta kurangnya motivasi untuk melakukan orientasi dan mobilitas. Anak juga mempunyai gangguan pada kedua kaki, yakni kondisi kedua kaki yang tidak lurus yang disebabkan karena kurangnya latihan berjalan yang diberikan oleh orang tua pada masa pertumbuhan.

Kemampuan orientasi dan mobilitas pada anak tunanetra dapat berkembang dengan baik apabila terus diberikan latihan sejak dini dengan menggunakan metode yang tepat sesuai dengan kemampuan anak. Penguasaan keterampilan orientasi dan mobilitas yang baik pada masa anak-anak akan membetuk pribadi yang percaya diri dan mandiri pada saat dewasa (Sunanto, 2005: 118). Hal tersebut menegaskan bahwa, semakin dini anak tunanetra diberikan latihan dan bimbingan yang baik, maka kemampuan yang mereka miliki akan berkembang lebih baik.

Siswa tunanetra membutuhkan bimbingan dan latihan yang sistematis agar mereka mampu berjalan secara mandiri. Salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan yakni berupa metode bermain. Berdasarkan pendapat Kamtini dan Tanjung (2005: 48), pengertian bermain yakni “...suatu kegiatan yang dilakukan oleh anak, secara mandiri ataupun berkelompok, menggunakan alat ataupun tidak, sehingga menciptakan perasaan gembira pada diri anak”. Suatu kegiatan dapat disebut sebagai aktivitas bermain apabila kegiatan tersebut mampu menciptakan perasaan gembira. Aktivitas tersebut dapat


(20)

5

dilakukan secara mandiri atau kelompok dengan menggunakan alat bermain ataupun tidak.

Kamtini dan Tanjung (2005: 54) juga menyampaikan manfaat bermain dalam pembelajaran, yakni “...bermain dapat bermanfaat untuk mengembangkan bermacam-macam aspek perkembangan anak, yaitu aspek fisik, motorik, sosial, emosi, kepribadian, kognisi, ketajaman penginderaan, keterampilan olahraga dan menari”. Salah satu manfaat yang ditujukan pada penelitian ini yakni kegiatan bermain yang dapat mengembangkan keterampilan motorik anak tunanetra.

Bermain dapat dilakukan di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Metode bermain yang dilakukan di luar ruangan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Qomariah dan Hartono (2014: 4) menyatakan bahwa metode tersebut apabila dilaksanakan dengan benar dapat mendekatkan anak tunanetra dengan lingkungan mereka. Metode tersebut juga dapat mengatasi keterbatasan yang dialami oleh anak tunanetra berkaitan dengan keterbatasan mereka dalam mengenal lingkungan sekitar melalui kemampuan visual.

Salah satu permasalahan yang dimiliki oleh anak tunanetra, yakni kurangnya motivasi yang dimiliki untuk melakukan orientasi dan mobilitas. Seperti yang disampaikan oleh Hallahan, dkk (dalam Sunanto, 2005: 63), motivasi dan kepercayaan diri merupakan faktor terpenting dalam melakukan orientasi dan mobilitas. Motivasi dan kepercayaan diri termasuk dalam keterampilan mental. Keunggulan metode bermain dalam pembelajaran dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia Tahun


(21)

6

1981. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa “...anak yang kebutuhan mainnya terpenuhi, makin tumbuh dengan memiliki keterampilan mental yang lebih tinggi” (Semiawan, 2008: 23). Dari pernyataan tersebut, diharapkan dengan penggunaan metode bermain anak tunanetra dapat termotivasi untuk melakukan orientasi dan mobilitas.

Kegiatan bermain yang dilakukan di lingkungan outdoor dan mengandung unsur petualangan dapat menjadi sarana bagi semua anak untuk melakukan aktivitas yang mendukung aktivitas motorik. Lingkungan luar juga menyediakan lingkungan bermain yang dinamis dan menantang aktivitas motorik, sehingga dapat mendukung perkembangan kemampuan fisik (Fjortoft dalam Griggs, 2012: 162). Permainan Scavenger Hunt juga memiliki kelebihan dalam aspek motivasi dan unsur petualangan. Penggunaan metode bermain tersebut diharapkan mampu meningkatkan motivasi anak tunanetra untuk melakukan orientasi dan mobilitas.

Penerapan metode bermain di SLB A Yaketunis Yogyakarta belum dilakukan secara sistematis dan terencana. Kegiatan bermain hanya diberikan apabila anak tunanetra sudah bosan belajar di dalam kelas, sehingga kegiatan tersebut dilakukan secara insidental dan tidak direncanakan terlebih dahulu.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, penggunaan metode bermain dalam pembelajaran orientasi dan mobilitas ini diharapkan dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap perkembangan kemampuan orientasi dan mobilitas pada anak tunanetra. Oleh karena itu, penelitian berjudul “Pengaruh Penggunaan Metode Bermain Terhadap Kemampuan


(22)

7

Orientasi dan Mobilitas pada Anak Tunanetra Kelas I di SLB A Yaketunis Yogyakarta ini penting untuk dilakukan.

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan kemampuan orientasi dan mobilitas sebagai berikut.

1. Anak tunanetra membutuhkan motivasi untuk melakukan orientasi dan mobilitas.

2. Anak tunanetra yang mempunyai gangguan pada kedua kaki, yakni kondisi kedua kaki yang tidak lurus yang disebabkan karena kurangnya latihan berjalan yang diberikan oleh orang tua pada masa pertumbuhan.

3. Metode bermain belum dilaksanakan secara sistematis dalam pembelajaran orientasi dan mobilitas anak tunanetra di SLB A Yaketunis Yogyakarta.

C.Batasan Masalah

Permasalahan orientasi dan mobilitas pada anak tunanetra sangat kompleks, oleh karena itu berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas, maka dalam penelitian ini dibatasi pada masalah no 1 dan 3, yakni anak tunanetra mengalami hambatan dalam melakukan orientasi dan mobilitas terutama kemampuan melawat mandiri dan penggunaan metode bermain yang belum dilaksanakan secara sistematis dalam pembelajaran orientasi dan mobilitas di SLB A Yaketunis Yogyakarta. Metode bermain dalam penelitian ini dibatasi pada aktivitas bermain yang bersifat soliter dengan permainan


(23)

8

Scavenger Hunt atau perburuan yang dilakukan di dalam dan luar ruangan serta disesuaikan dengan kondisi anak tunanetra. Permainan Scavenger Hunt dalam penelitian ini yakni permainan yang meminta anak tunanetra untuk mencari benda-benda yang telah diletakkan di tempat-tempat yang sudah dikenal oleh anak tunanetra. Permainan tersebut digunakan untuk melatih kemampuan melawat mandiri anak tunanetra yang dibatasi pada teknik trailing, menentukan arah (direction taking) dan teknik pendukung seperti teknik upper hand serta lower hand sebagai teknik yang diperhitungkan dalam aspek perkembangan kemampuan melawat mandiri tersebut.

D.Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bagaimana pengaruh penggunaan metode bermain Scavenger Hunt terhadap kemampuan orientasi dan mobilitas pada anak tunanetra kelas I di SLB A Yaketunis Yogyakarta?

E.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yakni untuk menguji pengaruh penggunaan metode bermain terhadap kemampuan orientasi dan mobilitas pada anak tunanetra kelas I di SLB A Yaketunis Yogyakarta.


(24)

9 F. Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis dari penelitian ini yakni sebagai berikut.

Penelitian ini dapat memberikan khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus terutama berkaitan dengan metode bermain yang dapat digunakan dalam pembelajaran orientasi dan mobilitas anak tunanetra.

Manfaat praktis dari penelitian ini yakni sebagai berikut.

1. Bagi siswa tunanetra, penelitian ini dapat membantu meningkatkan kemampuan orientasi dan mobilitas anak tunanetra.

2. Bagi guru, penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dan alternatif penggunaan metode bermain untuk melatih kemampuan orientasi dan mobilitas anak tunanetra.

3. Bagi kepala sekolah, penelitian ini dapat berguna sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan untuk peningkatan mutu pembelajaran orientasi dan mobilitas untuk anak tunanetra dan dalam jangka panjang dapat dijadikan sebagai upaya peningkatan mutu pembelajaran dan mutu sekolah.

G.Definisi Operasional 1. Metode Bermain

Bermain merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan baik secara kelompok maupun individu dengan/ tanpa menggunakan alat bantu bermain yang bertujuan untuk refreshing dan melatih kemampuan koordinasi fisik.


(25)

10

Bermain pada penelitian ini difokuskan pada bermain yang bersifat soliter. Bermain secara soliter yaitu anak bermain sendiri atau dibantu oleh guru dengan kegiatan bermain yang bersifat edukatif serta berkaitan dengan kegiatan motorik kasar. Kegiatan bermain yang digunakan dalam penelitian ini berupa bermain soliter dengan permainan Scavenger Hunt atau perburuan yang dilakukan di dalam dan luar ruangan serta disesuaikan dengan kondisi anak tunanetra. Permainan ini diterapkan dengan meminta anak tunanetra untuk mencari benda-benda yang sudah disembunyikan di tempat-tempat yang dikenal oleh anak. Pada penelitian ini tempat-tempat yang digunakan dibatasi pada 3 tempat yakni, ruang kelas, toilet, dan mushola.

2. Kemampuan Orientasi dan Mobilitas

Kemampuan orientasi dan mobilitas merupakan kecakapan yang dimiliki oleh anak tunanetra dalam menggunakan indra-indra mereka yang masih berfungsi untuk mengetahui posisi diri dan objek-objek di lingkungannya, sehingga mereka dapat bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain dalam lingkungannya. Kemampuan orientasi dan mobilitas yang diukur dalam penelitian ini yakni kemampuan dalam melawat mandiri pada teknik trailing, menentukan arah (direction taking), dan teknik pendukung yakni teknik upper hand dan lower hand. Aspek yang diukur yakni durasi waktu yang dibutuhkan anak untuk mencapai suatu tempat yang akan dituju dan ketepatan teknik melawat mandiri yang digunakan oleh anak tunanetra.


(26)

11

Kemampuan melawat mandiri tersebut diukur dengan menggunakan tes kinerja dan pengamatan.

3. Anak Tunanetra

Anak tunanetra merupakan seseorang anak yang mengalami hambatan penglihatan baik sebagian ataupun keseluruhan, sehingga berpengaruh pada kemampuan anak dalam melakukan orientasi dan mobilitas. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah anak tunanetra buta total kelas I SDLB yang mengalami permasalahan dalam kemampuan orientasi dan mobilitas, terutama dalam kemampuan melawat mandiri.


(27)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A.Kajian tentang Anak Tunanetra

1. Pengertian Anak Tunanetra

Berdasarkan pendapat Hallahan, dkk (2009: 380), menyampaikan bahwa anak tunanetra diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yakni tunanetra buta total dan low vision. Pengertian anak tunanetra buta total, yakni sebagai berikut: “Blind is a person who has visual acuity of 20/200 or less in the better eye even with correction or has a field of vision so narrow that its widest diameter subtends an angular distance no greater

than 20 degrees”.

Pendapat tersebut menjelaskan bahwa, penyandang tunanetra buta total merupakan seseorang yang memiliki tingkat ketajaman 20/200 atau kurang dengan kondisi mata terbaik yang sudah dikoreksi atau dengan rentang pandang begitu sempit yaitu memiliki diameter terpanjang tidak lebih dari 20 derajat. Tingkat ketajaman (visus) 20/200 merupakan ukuran ketajaman mata yang diukur dengan menggunakan Snellen Chart berdasarkan ukuran feet/ kaki. Maksud dari visus 20/200, yakni seseorang hanya dapat melihat objek pada jarak 20 feet, sedangkan seharusnya objek tersebut dapat dilihat oleh orang normal pada jarak 200 feet.

Hallahan, dkk (2009: 381) juga menyampaikan pengertian anak tunanetra low vision, yakni sebagai berikut.

Low vision is a term used by educators to refer to individuals whose visual impairment is not so severe that they are unable to read print of a kind; they may read large or regular print, and they may need some


(28)

13

kind of magnification; using the legal/medical system, low vision is acuity between 20/70 and 20/200 in the better eye with correction.

Pendapat di atas menjelaskan bahwa, low vision merupakan terminologi yang digunakan oleh pendidik yang merujuk pada individu yang mengalami kesulitan dalam membaca huruf cetak dengan ukuran yang normal, namun memungkinkan untuk membaca huruf cetak dengan ukuran font yang diperbesar. Low vision memiliki rentang pandang antara 20/70 sampai 20/200 pada kondisi mata yang baik dan sudah dikoreksi.

Pengertian tersebut sependapat dengan Smith dan Tylor (2010: 376), yang menyatakan bahwa low vision merupakan ”The degree of visual loss;

vision is still useful for learning or the execution of a task”, sedangkan blindness merupakan “The degree of visual loss; not having a functional use of sight. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa, low vision merupakan tingkat kehilangan penglihatan yang memungkinkan fungsi penglihatan masih dapat digunakan untuk belajar atau menyelesaikan tugas, sedangkan kebutaan merupakan tingkat kehilangan penglihatan dengan kondisi penglihatan yang sudah tidak mempunyai kegunaan fungsional.

Widdjajantin dan Hitipeuw (1996: 6) juga menyatakan bahwa anak tunanetra merupakan “...anak yang tidak dapat menggunakan penglihatan dan bergantung pada indra lain seperti pendengaran, perabaan, dan penciuman”.

Dari beberapa pendapat tersebut, dapat ditegaskan bahwa anak tunanetra adalah seseorang anak yang mengalami hambatan penglihatan


(29)

14

baik total maupun sebagian, sehingga mereka hanya bergantung pada indra-indra lain yang masih berfungsi untuk melakukan kegiatan sehari-hari. 2. Karakteristik Anak Tunanetra

Anak tunanetra memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak normal yang mengakibatkan mereka membutuhkan layanan khusus. Beberapa karakteristik tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek, yakni aspek bahasa, intelektual, orientasi dan mobilitas, akademik, dan sosial (Hallahan, dkk, 2009: 388-391). Lebih lanjut dapat dikaji sebagai berikut.

a. Perkembangan Bahasa

Hallahan, dkk (2009: 388) menyampaikan bahwa “... auditory more than visual perception is the sensory modality through which we learn

language, it’s not surprising that studies have found that people who are blind are not impaired in language functioning”. Dari pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa, auditori memberikan modalitas sensori yang lebih banyak dibandingkan dengan persepsi visual melalui bahasa yang kita pelajari. Hal tersebut tidak mengejutkan bahwa hasil penelitian menemukan bahwa seseorang dengan hambatan penglihatan tidak mengalami gangguan pada fungsi bahasanya. Maksud dari pendapat tersebut yakni pada umumnya anak tunanetra tidak mengalami hambatan dalam kemampuan bahasa. Hal ini disebabkan karena faktor utama yang mempengaruhi kemampuan bahasa berasal dari informasi auditoris.


(30)

15 b. Kemampuan Intelektual

Kemampuan intelektual anak tunanetra, menurut Hallahan, dkk (2009: 388), yakni “Most authorities now believe that such comparisons are virtually impossible because finding comparable test is so difficult. From what is known, there is no reason to believe that blindness result in lower intelligence”. Dari pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa, banyak ahli yang sekarang percaya bahwa perbandingan yang sebenarnya (kemampuan IQ antara anak tunanetra dan anak normal) itu mustahil karena sulit untuk menemukan tes pembanding (tes IQ), sehingga tidak ada alasan untuk percaya bahwa kebutaan berakibat pada kemampuan intelegensi yang rendah. Pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa kemampuan intelektual anak tunanetra tidak selalu berada di bawah rata-rata. Mereka dapat memiliki kemampuan intelektual di garis rata, di atas rata, maupun di bawah rata-rata.

c. Kemampuan Orientasi dan Mobilitas

Kemampuan orientasi dan mobilitas pada anak tunanetra merupakan kemampuan dasar yang perlu dikuasai untuk mempermudah mereka dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Hallahan, dkk (2009: 389) menyampaikan kemampuan orientasi dan mobilitas anak tunanetra sebagai berikut.

Mobility skills vary greatly among people with visual impairment. It is surprisingly difficult to predict which individuals will be the best travelers. For example, common sense seems to tell us that mobility would be better among those who have more residual vision and those


(31)

16

who lose their vision later in life, but this is not always the case. How much motivation and how much proper instruction one receives are critical to becoming a proficient traveler.

Pendapat tersebut menjelaskan bahwa, keterampilan mobilitas seorang tunanetra berbeda-beda, sehingga sulit untuk memprediksi individu-individu mana yang akan menjadi pejalan terbaik. Sebagai contoh, biasanya kemampuan mobilitas akan lebih baik pada seseorang yang masih memiliki sisa penglihatan lebih banyak dibandingkan dengan seseorang yang kehilangan penglihatan mereka sejak lahir, tetapi ini tidak selalu benar. Seberapa besar motivasi dan berapa banyak latihan yang diterima oleh seorang tunanetra sangat mempengaruhi kemampuan mereka untuk menjadi traveler yang handal. Dengan demikian karakteristik orientasi dan mobilitas anak tunanetra dipengaruhi oleh latihan yang diberikan. Pemberian latihan yang baik dapat meningkatkan kemampuan orientasi dan mobilitas pada anak tunanetra.

d. Kemampuan Akademik

Kemampuan akademik pada anak tunanetra dipengaruhi oleh beberapa aspek. Berdasarkan pendapat Rapp and Rapp dalam Hallahan, dkk, (2009: 391), “The few studies that have been done suggest that both children eith low vision and those who are blind are sometimes behind their sighted peers. Hallahan, dkk (2009: 391) juga menyampaikan bahwa, “Most authorities believe that when low achievement does occur, it is due not to the blindness itself, but to such things as low


(32)

17

expectations or lack of exposure to Braille.” Dari pendapat Rapp and Rapp dapat ditegaskan bahwa sebagian penelitian menyatakan bahwa low vision dan blind, keduanya kadang-kadang memiliki kemampuan akademik di bawah teman-teman sebaya mereka. Dari pendapat Hallahan, dapat ditegaskan bahwa banyak ahli yang percaya bahwa ketika terdapat tingkat ketercapaian di bawah kriteria yang diharapkan, hal itu tidak disebabkan oleh kebutaan itu sendiri, tetapi juga karena harapan yang rendah atau kurangnya pemahaman atau keterampilan pada Braille (tata tulis Braille). Dengan demikian karakteristik kemampuan akademik anak tunanetra tidak selalu di bawah rata-rata kemampuan anak normal, namun hal tersebut dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kurangnya keterampilan dalam membaca dan menulis Braille.

e. Penyesuaian Sosial

Kemampuan anak tunanetra dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial mereka berbeda-beda, hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa aspek. Menurut Erin dalam Hallahan, dkk (2009: 391), kemampuan penyesuaian sosial anak tunanetra yakni sebagai berikut.

Most people with visual impairment are socially well adjusted. However, the road to social adjustment for people with visual impairment may be a bit more difficult for two reaons. First, social interactions among the sighted are often based on subtle cues, many of which are visual. Second, sighted society is often uncomfortable in its interactions with those who are visually impaired.

Pendapat tersebut menjelaskan bahwa, sebagian besar individu dengan gangguan penglihatan memiliki kemampuan yang cukup baik dalam


(33)

18

menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Namun, langkah yang sebaiknya diambil untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial untuk individu dengan hambatan penglihatan lebih sulit karena dua alasan. Alasan pertama, interaksi sosial pada individu mampu lihat berbasis pada isyarat-isyarat tertentu. Kedua, individu mampu lihat sering tidak nyaman dalam berinteraksi dengan individu yang mengalami hambatan penglihatan. Jadi karakteristik kemampuan penyesuaian sosial anak tunanetra pada dasarnya cukup baik, namun karena kurangnya informasi visual mengakibatkan anak tunanetra kesulitan dalam mengekspresikan dan menangkap emosi serta perilaku lawan bicara mereka yang tersirat dalam ekspresi visual.

Widdjajantin dan Hitipeuw (1996: 14-16) juga menyampaikan karakteristik anak tunanetra berdasarkan perkembangan intelektual, perkembangan indra yang masih ada, perkembangan bahasa, perkembangan sosialisasi, serta keterbatasan dalam orientasi dan mobilitas. Kajian lebih lanjut adalah sebagai berikut.

a. Perkembangan Intelektual

Sejalan dengan pendalapat Hallahan, dkk, Widdjajantin dan Hitipeuw (1996: 14) menyampaikan bahwa, “...perkembangan intelegensi anak tunanetra akan tergantung pada pengalaman-pengalaman hidup yang mereka alami”. Semakin banyak pengalaman yang diperoleh anak, semakin berkembang pula kemampuan intelektual yang dimiliki oleh anak. Ini berarti bahwa perkembangan intelektual pada anak


(34)

19

tunanetra akan terus berkembang apabila mereka terus belajar untuk memperoleh pengalaman-pengalaman yang mampu meningkatkan kemampuan intelektual mereka.

b. Perkembangan Indra yang Masih Ada

Widdjajantin dan Hitipeuw (1996: 15) menyampaikan bahwa, “Melalui latihan-latihan secara rutin dan teratur secara terarah, maka sisa indra yang masih mereka miliki dapat berfungsi lebih dari orang awas yaitu lebih peka, karena mereka dapat berkonsentrasi pada apa yang sedang dikerjakan”. Pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa, melalui indra-indra selain indra penglihatan seperti perabaan, pendengaran, penciuman, dan indra pencecap, anak tunanetra dapat memperoleh informasi, melakukan sosialisasi dan melakukan tugas-tugasnya dengan baik. Anak tunanetra umumnya memiliki kemampuan dalam berkonsentrasi pada kegiatan yang dilakukan yang terbentuk karena mereka tidak dapat melihat, sehingga mendukung kepekaan indra-indra yang masih mereka miliki.

c. Perkembangan Bahasa

Perkembangan bahasa anak tunanetra dengan anak awas memiliki perbedaan. “Perbedaan dengan anak awas adalah pengembangan konsep bahasa dan penambahan kosa kata. Apabila anak awas perkembangan bahasanya dapat melalui melihat atau visual, maka tunanetra melalui perabaan” (Widdjajantin dan Hitipeuw, 1996: 15). Perbedaan inilah yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas bahasa


(35)

20

yang dimiliki oleh anak tunanetra.Selain dari perabaan, anak tunanetra juga dapat memperoleh informasi bahasa melalui membaca dan mendengar. Dari informasi tersebut, mereka dapat meniru gaya bicara dan vokal dari orang-orang di sekitarnya.

d. Perkembangan Sosialisasi

Hilangnya penglihatan pada anak tunanetra mempengaruhi kemampuan anak dalam melakukan sosialisasi dengan lingkungannya. Widdjajantin dan Hitipeuw (1996: 15) menyampaikan bahwa, “...hilangnya penglihatan dapat mengakibatkan sosialisasi terhadap lingkungan sangat jelek. Hal ini terjadi karena ia tidak dapat menyelaraskan tindakannya pada situasi lingkungan saat itu”. Pendapat tersebut memperjelas bahwa, hambatan penglihatan yang dimiliki oleh anak tunanetra akan berdampak negatif pada kemampuan mereka untuk melakukan sosialisasi dalam lingkungannya. Kondisi tersebut disebabkan karena mereka tidak dapat mengidentifikasi kondisi lingkungan, sehingga tidak dapat memberikan respon yang sesuai dengan kondisi tersebut. e. Keterbatasan dalam Orientasi dan Mobilitas

Keterbatasan dalam kemampuan orientasi dan mobilitas pada anak tunanetra menurut Widdjajantin dan Hitipeuw (1996: 16), “Hilangnya kemampuan penglihatan akan mengakibatkan kemampuan bergeraknya menjadi berkurang. Hal ini mengakibatkan terhambatnya perkembangan pengalamannya mengenal lingkungan terutama


(36)

21

lingkungan baru”. Dari penjelasan tersebut dapat ditegaskan bahwa, adanya hambatan penglihatan pada anak tunanetra, mengakibatkan anak tunanetra sulit berpindah tempat dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Keterbatasan tersebut menuntut anak tunanetra untuk menggunakan indra-indra yang masih berfungsi untuk mengenali lingkungannya.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat ditegaskan bahwa anak tunanetra memiliki kemampuan intelektual yang hampir sama dengan anak normal. Mereka dapat memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata, normal, maupun di bawah rata-rata. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kemampuan penggunaan indra-indra yang masih berfungsi dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh anak. Kemampuan ini mempengaruhi kemampuan akademik pada anak tunanetra, dengan kemampuan intelektual yang tinggi, maka kemungkinan besar dapat memberikan dukungan pada kemampuan akademiknya.

Kemampuan sosial anak tunanetra dipengaruhi oleh kemampuan anak dalam melakukan orientasi dan mobilitas. Hambatan anak dalam melakukan orientasi dan mobilitas berpengaruh pada kemampuan anak dalam melakukan sosialisasi dengan lingkungannya.

3. Keterbatasan Anak Tunanetra

Hosni (1995: 29-31) menyampaikan bahwa keterbatasan anak tunanetra terdiri dari 3 hal, yakni keterbatasan di dalam lingkup


(37)

22

keanekaragaman pengalaman, keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan, dan keterbatasan dalam berpindah-pindah tempat (mobilitas). a. Keterbatasan di dalam lingkup keanekaragaman pengalaman. Anak

tunanetra biasanya memiliki keberagaman pengalaman yang lebih sedikit dibandingkan dengan anak tunanetra. Hosni (1995: 29), menyampaikan bahwa, “Keterbatasan indra di luar indra visual mengakibatkan adanya keterbatasan pengalaman yang sangat beranekaragam. Keterbatasan indra di luar mata dalam menerima informasi juga berakibat pada miskinnya konsep-konsep tentang diri, objek, dan lingkungan”. Informasi visual memiliki sumbangan yang cukup besar pada pemerolehan informasi. Menurut Salim (2014: 1), “Dari lima indera yang kita punyai, indera penglihatan mempunyai peran sebanyak 83% bagi seseorang melaksanakan kemampuannya...”. Pendapat tersebut menegaskan bahwa, walaupun anak tunanetra memaksimalkan penggunaan indra-indra yang masih berfungsi, informasi yang mereka peroleh hanya sekitar 17%, sehingga mereka tetap memperoleh pengalaman yang lebih rendah dibandingkan dengan anak normal.

b. Keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan.

Hosni (1995: 30), menjelaskan tentang keterbatasan anak tunanetra dalam berinteraksi dengan lingkungannya sebagai berikut: “Tunanetra sangat miskin dalam konsep, bahkan untuk menguasai konsep tentang dirinya diperlukan suatu bimbingan.” Dengan demikian maka ia akan mengalami kesulitan untuk membawa dirinya memasuki lingkungan.


(38)

23

Pendapat tersebut menjelaskan, bahwa anak tunanetra mengalami hambatan dalam pemahaman konsep-konsep dasar, sedangkan untuk berinteraksi dengan lingkungan, seseorang membutuhkan konsep-konsep dasar yang dapat membantu mereka dalam memahami dan memberikan gambaran awal tentang lingkungan.

c. Keterbatasan mobilitas.

Keterbatasan mobilitas atau berpindah-pindah tempat berdampak pada kemampuan seseorang dalam melakukan interaksi dengan lingkungan. Hosni (1995: 30) menyampaikan sebagai berikut.

Keanekaragaman informasi dan keanekaragaman pengalaman akan diperoleh bila seseorang dapat bepergian dengan bebas dan mandiri. Untuk terciptanya interaksi dengan lingkungan fisik maupun sosial dibutuhkan adanya kemampuan berpindah-pindah tempat. Semakin mampu dan terampil seorang tunanetra melakukan mobilitas semakin berkurang hambatan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Keterbatasan seseorang dalam melakukan mobilitas menjadi indikasi kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Semakin baik kemampuan seseorang tersebut dalam melakukan mobilitas, maka semakin baik pula kemampuannya dalam melakukan interaksi dengan lingkungan termasuk berkomunikasi dengan sesama serta melakukan sosialisasi. Anak tunanetra memiliki hambatan dalam melakukan mobilitas, untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam berinteraksi, perlu adanya usaha dari lingkungan untuk memberikan layanan serta latihan yang sistematis.

Menurut Lowenfield dalam Sunanto (2005: 47), kehilangan penglihatan pada anak tunanetra berakibat pada 3 keterbatasan, yakni


(39)

24

variasi dan jenis pengalaman (kognisi), kemampuan untuk bergerak dalam lingkungannya (orientasi dan mobilitas), dan keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan (sosial dan emosi).

Keterbatasan pada jenis dan variasi pengalaman dikaitkan dengan kemampuan kognisi anak tunanetra. Lebih lanjut Sunanto (2005: 47), menyampaikan bahwa anak normal menggunakan indra penglihatan untuk keperluan kognisi, sedangkan anak tunanetra menggantikan fungsi penglihatan mereka dengan menggunakan taktil/ perabaan. Perbedaan kognisi antara anak tunanetra dan anak awas dipengaruhi oleh dua faktor, yakni tingkat ketunanetraannya dan usia terjadinya ketunanetraan tersebut.

Keterbatasan anak tunanetra terhadap kemampuan sosial dan emosi dipengaruhi pula oleh kemampuan kognisi, bahasa, serta kemampuan dalam orientasi dan mobilitas. Aspek-aspek tersebut saling berhubungan satu dengan yang lain, jadi apabila salah satu aspek tersebut tidak berkembang dengan baik, akan berpengaruh pula pada aspek-aspek yang lain (Sunanto, 2005: 54). Pendapat tersebut menjelaskan bahwa, perkembangan aspek satu dengan yang lain saling berkesinambungan. Perkembangan yang baik pada salah satu aspek, akan berdampak baik pula pada aspek perkembangan yang lain, begitu pula sebaliknya, sehingga masing-masing aspek tidak berdiri sendiri.


(40)

25 B.Kajian tentang Metode Bermain

1. Pengertian Metode Bemain

Menurut Suryobroto (1986: 3), meyatakan bahwa: “...metode adalah cara, yang dalam fungsinya merupakan alat untuk menacapai tujuan”. Pengertian bermain menurut Hurlock (dalam Musfiroh, 2005: 2), yakni: “...kegiatan yang dilakukan demi kesenangan dan tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Kegiatan tersebut dilakukan secara suka rela, tanpa paksaan atau tekanan dari pihak luar.” Dengan demikian metode bermain merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan yakni berupa kegiatan yang dilaksanakan tanpa paksaan serta dapat menciptakan rasa senang.

Musfiroh (2005: 3) juga menyampaikan konsep bermain sebagai berikut.

Bermain bagi anak berkaitan dengan peristiwa, situasi, interaksi, dan aksi. Bermain mengacu pada aktivitas seperti berlaku pura-pura dengan benda, sosiodrama, dan permainan yang beraturan. Bermain berkaitan dengan tiga hal, yakni keikutsertaan dalam kegiatan, aspek afektif, dan orientasi tujuan.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa, bermain dilakukan dengan melibatkan pelaku bermain untuk ikut serta secara aktif, sehingga dapat mendukung kemampuan afektif seseorang.

Aktivitas bermain memiliki ciri-ciri khas yang membedakan dengan kegiatan yang lain, yakni: 1) bermain selalu menyenangkan; 2) bermain tidak bertujuan ekstrinsik; 3) bermain bersifat spontan dan sukarela; 4) bermain melibatkan peran aktif semua peserta; 5) bermain bersifat


(41)

26

nonliteral, pura-pura, atau tidak senyatanya; 6) bermain bersifat aktif dan fleksibel (Musfiroh, 2005: 8).

Ciri yang pertama, yakni bermain selalu menyenangkan, yang berarti bahwa, suatu kegiatan dapat dikategorikan sebagai bermain apabila anak-anak senang melakukan aktivitas tersebut. Kedua, bermain tidak bertujuan ekstrinsik, artinya anak bermain bukan untuk melakukan tugas yang diberikan oleh orang lain, tetapi karena anak tersebut memang ingin melakukannya. Ketiga, bermain bersifat spontan dan sukarela. Artinya, anak melakukan kegiatan bermain tanpa paksaan dari orang lain. Keempat, bermain melibatkan peran aktif semua peserta. Artinya, kegiatan bermain dapat terjadi apabila ada peran aktif dari semua peserta, sehingga aktivitas tersebut tidak hanya didominasi oleh satu atau dua peserta saja, namun semua peserta ikut berperan dalam setiap sesi permainan. Kelima, bermain bersifat nonliteral, pura-pura, atau tidak senyatanya. Artinya, ketika anak bermain, anak dapat melupakan realitas. Mereka dapat mengekspresikan diri mereka sebebas mungkin, sesuai imajinasi mereka masing-masing. Keenam, bermain bersifat aktif dan fleksibel. Artinya, semua kegiatan bermain menuntut keaktifan anak yang bermain dan anak dapat bebas memilih dan beralih ke kegiatan bermain yang mereka inginkan.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat ditegaskan bahwa metode bermain merupakan cara atau alat yang digunakan untuk mencapai tujuan, yaitu berupa kegiatan yang menciptakan kesenangan pada anak dan dilakukan secara suka rela tanpa paksaan dari orang lain.


(42)

27

Penggunaan metode bermain berpengaruh positif dalam proses pembelajaran telah dibuktikan pada beberapa hasil penelitian. Salah satu penelitian tersebut yakni penelitian tentang pengaruh permainan outdoor education terhadap keterampilan motorik kasar anak taman kanak-kanak (Nurhasanah, dkk, 2013: 1). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa penggunaan permainan outdoor education dapat mengembangkan motorik kasar. Outdoor education merupakan aktivitas luar sekolah yang berisi kegiatan di luar kelas atau sekolah dan di alam bebas lainnya, seperti: bermain di lingkungan sekolah, taman, dan kegiatan yang bersifat petualangan.

Pengaruh penggunaan metode bermain dalam proses pembelajaran juga dibuktikan pada hasil penelitian yang berjudul “Upaya Meningkatkan Kemampuan Berjalan Anak Cerebral Palsy (CP) Tipe Spastik Melalui Bermain di Air”. Penelitian tersebut menyatakan bahwa dengan menggunakan metode bermain air, kemampuan berjalan pada anak cerebral palsy (CP) dapat meningkat sampai persentase 90% (Apriliana, 2014: 1).

Dari kedua hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode bermain dalam proses pembelajaran dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap kemampuan peserta didik. Oleh karena itu, pada penelitian ini juga menggunakan metode bermain terutama metode bermain Scavenger Hunt untuk anak tunanetra, sehingga diharapkan


(43)

28

penggunaan metode bermain dapat berpengaruh positif terhadap kemampuan orientasi dan mobilitas anak tunanetra.

2. Metode Bermain Scavenger Hunt

Metode bermain Scavenger Hunt, menurut Kisaki (2008: 1) merupakan, “suatu permainan dimana penyelenggara menyiapkan daftar tertentu, yang harus ditemukan oleh para peserta, baik individu arau kelompok”. Biasanya benda-benda ini dikumpulkan dengan cara mengambil foto dari barang dalam daftar ataupun mengumpulkan benda-benda tersebut. Tujuan dari permainan ini yakni untuk menjadi yang pertama dalam mengumpulkan benda-benda yang ada dalam daftar, meskipun dalam variasi permainan, pemain juga dapat ditantang untuk menyelesaikan tugas-tugas pada daftar dalam cara yang paling kreatif.

Metode bermain Scavenger Hunt menurut Sugar dan Sugar (2002: 289) adalah sebagai berikut.

Scavenger Hunt helps students learn by sharing information, and you might also use it in the first week of school as an icebreaker, helping students get to know one another. The game sheet typically lists characteristics students might have or asks for items of information. The player who correctly can be introduced to make the game appropriate for a specific classroom.

Pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa, permainan Scavenger Hunt digunakan untuk membantu siswa belajar dengan berbagi informasi dan biasanya digunakan pada awal pembelajaran (minggu pertama sekolah). Permainan ini dapat digunakan untuk mengenalkan anak satu sama lain dengan cara yang menarik. Lembar permainan biasanya berisi karakteristik item-item yang harus ditemukan. Pemain yang benar dalam menebak atau


(44)

29

menemukan item, diperkenalkan kepada semua pemain dalam kelas tersebut.

Berikut ini merupakan contoh permainan Scavenger Hunt (Sugar dan Sugar, 2002: 290).

Purpose : To foster social interaction and sharing of

knowledge and reinforce understanding of topic. Game Objective : To complete the game sheet.

Player : 4 or more. Can be adapted for one-on-one tutoring. Time : 15-45 minutes

Grades : 2-8

Supplies : Games sheets one for each player, paper, pencils for players.

Permainan ini dapat dimainkan oleh 4 atau lebih pemain. Permainan tersebut bertujuan untuk mendorong interaksi sosial dan berbagi pengetahuan serta memperkuat pemahaman tentang topik yang dibahas pada permainan tersebut. Permainan dinyatakan selesai apabila peserta telah menyelesaikan lembaran permainan. Waktu yang diberikan yakni 15-45 menit, dengan nilai 2-8 poin. Beberapa perbekalan yang diberikan untuk menyelesaikan permainan ini yakni lembaran permainan yang berisi instruksi, kertas kosong, dan pensil untuk setiap pemain.

Permainan Scavenger Hunt Scavenger Hunt yang digunakan pada penelitian ini yakni berupa permainan yang memberikan list kepada pemain untuk menemukan benda-benda yang sudah disembunyikan pada tempat-tempat tertentu. Pemain pada penelitian ini yakni pemain tunggal, sehingga dalam pelaksanaannya pemain dibantu oleh guru. Permainan dinyatakan selesai apabila pemain sudah mengumpulkan semua benda-benda tersebut.


(45)

30

3. Keunggulan Penggunaan Metode Bermain

Keunggulan metode bermain menurut Griggs (2012: 68), yakni “games have continued to be presented as a medium through which

knowledge, understanding and the application of skills can be learnt”.

Dengan demikian permainan perlu dilanjutkan dengan penyajian sebagai media yang memungkinkan pengetahuan, pemahaman, dan penerapan keterampilan dapat dipelajari. Pendapat tersebut menyatakan bahwa aktivitas bermain yang mencakup pengetahuan, pemahaman konsep, dan dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan dalam satu kegiatan permainan sekaligus.

Teori kognitif menurut Piaget dalam Suratno (2005: 76) menyampaikan tentang arti penting bermain bagi anak. “Bermain tidak hanya akan mengembangkan kemampuan kognisi semata, tetapi juga mengembangkan aspek lainnya terutama aspek sosial, dan emosi anak”.

Suratno (2005: 76) juga menyampaikan bahwa, “Bermain merupakan aktivitas anak yang paling dominan dan paling banyak diinginkan anak. Bermain erat kaitannya dengan tumbuhnya kemampuan untuk menciptakan gagasan baru, bersuka cita terhadap hal-hal yang baru, dan menciptakan suatu keadaan yang baru”.

Hestie (dalam Griggs, 2012: 69) juga menyampaikan keunggulan dari metode bermain sebagai berikut.

Playing games in physical education can be very enjoyable and empowering experience, however, often game play is taught in ways that alienate and exclude, particularly those who struggle with mastering the various motor skills and tactics they demand.


(46)

31

Pendapat tersebut menyatakan bahwa bermain “games” dalam pendidikan jasmani/ fisik dapat menjadi aktivitas yang menyenangkan dan mampu memperkuat pengalaman, akan tetapi permainan sering diajarkan dengan jalan menjauhkan dan meniadakan, utamanya yang berjuang menguasai berbagai keterampilan motorik dan taktik yang mereka tuntut. Pendapat tersebut dapat dimaknai, bahwa aktivitas bermain yang digunakan dalam pembelajaran dapat menjadi suatu aktivitas yang sangat menyenangkan dan memberikan pengalaman riil bagi anak. Hal tersebut dapat tercapai apabila jenis permainan yang digunakan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan subjek yang melakukan permainan tersebut.

Fjortoft (dalam Griggs, 2012: 162) juga menyampaikan pendapat yang mendukung pendapat sebelumnya.

Outdoor play and adventure can be a means for all pupils to experience high levels of movement in a low stress, meaningful

context. Giving pupils’ opportunities to use the outdoors as an integral part of their learning in natural settings in particular result in improved motor development.

Jadi, permainan yang dilakukan di luar ruangan dan mengandung unsur petualangan dapat menjadi sarana bagi semua siswa untuk memperoleh pengalaman yang tinggi untuk bergerak tanpa memberikan tekanan pada anak. Hal ini berarti/ bermakna memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan outdoors (lingkungan luar) sebagai bagian tak terpisahkan dari aktivitas belajar mereka dalam setting alami khususnya dalam meningkatkan pengembangan kemampuan motorik.


(47)

32

Munoz (dalam Griggs, 2012: 162), juga menyampaikan bahwa “...outdoor playgrounds develop strength, flexibility and co-ordination...”. Pendapat tersebut menyatakan bahwa lingkungan bermain di luar ruangan “outdoor” mendukung perkembangan kekuatan, kelenturan, dan koordinasi.

Vera (2012: 128-130), juga menyampaikan bahwa:

penggunaan metode bermain dalam kegiatan belajar-mengajar di luar kelas dapat menjabarkan pengertian konsep dalam bentuk praktik, dapat menanamkan nilai kejujuran pada diri siswa, bisa menanamkan semangat dalam memecahkan masalah, dapat membangkitkan minat siswa terhadap pelajaran yang diajarkan, dan mampu mengembangkan kreativitas siswa.

Pelaksanaan belajar sambil bermain di luar kelas dapat melatih peserta didik dalam beradaptasi dengan lingkungan, alam sekitar, serta dengan kehidupan masyarakat. Peserta didik juga bisa mengetahui pentingnya keterampilan hidup dan pengalaman hidup di lingkungan dan alam sekitar. Belajar di luar kelas lebih menuntut peserta didik memahami kenyataan riil yang terjadi. Berbeda dengan kegiatan belajar di dalam kelas yang hanya menuntut para peserta didik memahami mata pelajaran secara kognitif (pemahaman) saja.

Secara keseluruhan, kegiatan belajar di luar kelas mampu mengaktifkan seluruh potensi kecerdasan peserta didik, yaitu kecerdasan peserta didik “(intelectual question)”, kecerdasan emosional “(emotional question)”, dan kecerdasan spiritual “(spiritual question)”.

Pendapat tersebut juga didukung oleh pendapat yang disampaikan oleh Semiawan (2008: 21), bahwa apabila anak sudah dituntut untuk


(48)

33

belajar dengan cara menghafal sejak usia muda, maka hal tersebut akan berdampak negatif terhadap fungsi belahan otak kanan. Aktivitas pembelajaran yang diterapkan pada anak sebaiknya berupa aktivitas-aktivitas yang mendukung perkembangan fungsi belahan otak kanan dan menggunakan lambang atau gambar yang bermakna secara fungsional, salah satunya yakni aktivitas bermain. Pendapat tersebut juga dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia Tahun 1981. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa “anak yang kebutuhan mainnya terpenuhi, makin tumbuh dengan memiliki keterampilan mental yang lebih tinggi” (Semiawan, 2008: 23). Pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa seorang anak yang pada masa bermainnya terpenuhi, memiliki kecenderungan keterampilan mental yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang kebutuhan bermainnya tidak terpenuhi.

Penelitian ini menggunakan metode bermain Scavenger Hunt. Kelebihan metode bermain Scavenger Hunt yakni mampu mengembangkan kemampuan motorik, afektif, dan, kognitif (Sugar dan Sugar, 2002: 289). Kemampuan motorik didukung dari aktivitas-aktivitas dalam permainan tersebut yang memberikan motivasi kepada anak tunanetra agar bergerak dan berusaha mengumpulkan semua item yang ada dalam daftar pencarian. Kemampuan afektif didukung dari sikap siswa yang mentaati tata tertib selama pelaksanaan permainan. Kemampuan kognitif didukung dari upaya siswa dalam memecahkan permasalahan


(49)

34

dalam permainan, mencari jalur yang harus ditempuh, dan menggunakan reward yang agar dapat mempermudah dalam menyelesaikan permainan. 4. Kelemahan Metode Bermain

Setiap metode pembelajaran memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Beberapa kelemahan yang ada pada metode bermain adalah sebagai berikut:

a. Tidak semua topik dapat disajikan dengan metode permainan. b. Dapat memakan waktu yang lama dalam proses pembelajaran. c. Permainan dapat mengakibatkan kelas gaduh sehingga dapat

mengganggu ketenangan kelas sekitarnya (Nikmah, 2012: 8). Wardah (2014: 1), menyampaikan bahwa metode bermain juga memiliki kelemahan sebagai berikut.

a. Apabila metode ini dilakukan tanpa persiapan yang matang, maka ada kemungkinan tujuan-tujuan pembelajaran tidak tercapai secara maksimal sebab anak terlalu larut dalam proses bermain apabila misalnya guru kurang memperhatikan tahapan-tahapan pembelajaran melalui metode ini.

b. Metode ini biasanya memerlukan strategi dan media pembelajaran yang disiapkan secara baik. Oleh karena itu ketersediaan media bermain merupakan syarat diterapkannya metode ini.

Dari kedua pendapat tersebut dapat ditegaskan kembali bahwa, penggunaan metode bermain selain memiliki manfaat yang banyak, metode tersebut juga memiliki kelemahan dalam proses pelaksanaannya. Apabila metode tersebut tidak direncanakan dengan matang dan tidak disesuaikan dengan baik, maka hasil yang diperoleh dari pembelajaran dengan metode tersebut juga tidak akan maksimal.


(50)

35 5. Fungsi Metode Bermain

Bermain memiliki peran penting dalam perkembangan anak. Beberapa bidang perkembangan dapat dikembangkan dengan menggunakan metode bermain, yakni perkembangan fisik-motorik, bahasa, intelektual, moral, sosial, maupun emosional (Suyanto, 2005: 124). Penjelasan dari setiap aspek perkembangan tersebut adalah sebagai berikut.

a. Bermain mengembangkan kemampuan motorik

Kegiatan bermain memungkinkan seseorang untuk dapat bergerak secara bebas. Piaget (dalam Suyanto, 2005: 124) menyampaikan bahwa, “anak terlahir dengan kemampuan refleks, kemudian ia belajar menggabungkan dua atau lebih gerak reflek, dan pada akhirnya ia mampu mengontrol gerakannya. Melalui bermain anak belajar mengontrol gerakannya menjadi terkoordinasi.” Dari penjelasan tersebut, dapat ditegaskan bahwa, dengan menggunakan metode bermain dalam pembelajaran, anak dapat melakukan gerakan secara aktif dan mampu mengkoordinasi gerakan-gerakan tersebut agar lebih terkoordinasi. b. Bermain mengembangkan kemampuan kognitif

Penggunaan metode bermain memungkinkan anak tunanetra untuk menggunakan semua indra sensorisnya untuk memperoleh fakta-fakta dan informasi yang dapat membantu mereka untuk merubah pola pikir dari yang konkrit ke abstrak. Penggunaan metode bermain juga berperan untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis, imajinatif, dan kreatif (Suyanto, 2005: 125).


(51)

36

c. Bermain mengembangkan kemampuan afektif

Sebelum pelaksanaan permainan, biasanya guru/ pendamping memberikan penjelasan awal berkaitan tentang aturan dan tata cara permainan. Suyanto (2005: 125), menyampaikan bahwa:

Setiap permainan memiliki aturan. Aturan akan diperkenalkan oleh teman bermain sedikit demi sedikit, tahap demi tahap sampai setiap anak memahami aturan mainnya. Oleh karena itu bermain akan melatih anak dalam menyadari akan adanya aturan dan pentingnya mematuhi aturan. Hal ini merupakan tahap awal dari perkembangan moral.

Dari penjelasan tersebut dapat ditegaskan bahwa, dengan bermain secara tidak langsung, anak berlatih untuk memperoleh pembelajaran moral melalui kepatuhan terhadap tata tertib dalam permainan tersebut.

d. Bermain mengembangkan kemampuan bahasa

Pada pembahasan sebelumnya, disebutkan bahwa kegiatan bermain dapat dilakukan secara kelompok maupun individu. Menurut Vygotsky (dalam Suyanto, 2005: 125), “ketika anak bermain dengan temannya mereka saling berkomunikasi dengan menggunakan bahasa anak, dan itu berarti secara tidak langsung anak belajar bahasa.” Bermain yang dilakukan secara kelompok memungkinkan anak untuk melakukan komunikasi dengan teman sepermainan. Bermain yang dilakukan secara soliter, juga memungkinkan anak untuk melakukan komunikasi dengan guru/ pendamping, sehingga dalam kegiatan bermain tersebut tercipta komunikasi lisan yang dapat membantu anak untuk dapat meningkatkan kemampuan bahasa.


(52)

37

e. Bermain mengembangkan kemampuan sosial

Bermain dapat membimbing anak untuk dapat melakukan interaksi dengan teman sepermainan mereka. Pada penelitian ini, bentuk interaksi yang ada yakni interaksi anak tunanetra dengan guru/ pendamping. Menurut Suyanto (2005: 126), “interaksi mengajarkan anak bagaimana merespon, memberi, dan menerima, menolak atau setuju ide dan perilaku anak yang lain. Hal itu sedikit demi sedikit akan mengurangi rasa egosentrisme pada anak dan mengembangkan kemampuan sosialnya.” Dari penjelasan tersebut, dapat ditegaskan bahwa dengan bermain, anak dapat memberikan aksi dan respon terhadap kegiatan bermain yang dilakukan, serta mengungkapkan pendapat mereka terhadap permainan yang dilakukan.

6. Prinsip-Prinsip Metode Bermain

Prinsip-prinsip metode bermain menurut Hadfield (dalam Saniyati, dkk, 2013: 4), adalah sebagai berikut:

a. Bermain yang dikembangkan hendaknya yang terkait langsung dengan konteks keseharian peserta didik.

b. Bermain diterapkan untuk merangsang daya pikir, mengakses informasi dan menciptakan makna-makna baru.

c. Bermain yang dikembangkan harusnya menyenangkan dan mengasyikkan bagi peserta didik.

d. Bermain dilaksanakan dengan landasan kebebasan menjalin kerja sama dengan peserta didik lain.

e. Bermain hendaknya menantang dan mengandung unsur kompetisi yang memungkinkan peserta didik semakin termotivasi menjalani proses tersebut.

f. Penekanan permainan linguistik pada akurasi isinya, sedangkan permainan komunikatif lebih menekankan pada kelancaran dan suksesnya komunikasi.

g. Bermain dapat dipergunakan untuk semua tingkatan dan berbagai keterampilan berbahasa sekaligus.


(53)

38

Pendapat lain menyatakan bahwa, prinsip bermain ada tiga, yaitu: a. Disesuaikan dengan usia, minat, kemampuan, bakat, dan tingkat

perkembangan yang berbeda-beda pada setiap anak.

b. Bermain dapat memberikan pengalaman nyata bagi masing-masing anak sehingga anak termotivasi untuk memperoleh pengalaman belajar yang bermakna, misalnya anak secara langsung menyentuh benda yang memiliki perbedaan tekstur (kasar-halus).

c. Proses bermain dilakukan dalam suasana gembira, bebas dari rasa takut akan salah, tidak ada paksaan, boleh berbeda pendapat dan keinginan antara anak-anak dengan temannya atau anak dengan pendampingnya (Fatimaningrum, 2013: 3).

Dari kedua pendapat tersebut, dapat ditegaskan bahwa kegiatan bermain yang diterapkan untuk pembelajaran tidak boleh dilakukan tanpa pertimbangan. Prinsip-prinsip tersebut di atas harus diperhatikan agar kegiatan bermain yang dilakukan dapat memberikan manfaat yang positif dan dapat berjalan sesuai tujuan awal yang telah ditetapkan.

7. Prosedur Pelaksanaan Metode Bermain

Salah satu bentuk kegiatan bermain yang dapat diterapkan untuk anak tunanetra, menurut Harrison and Crow (1993: 160), yakni permainan Scavenger Hunt atau perburuan. Permainan ini dapat dilakukan sebagai berikut.

Children are usually paired and given a list of items to find in their environment. When they have all the items, they bring them back to the adult. A time limit is set. The winning pair has the most correct items. This can be adapted for a younger visually impaired child, and can be played indoors or outdoors. The adult ask for one item. The child searches for it and takes it to the adult. The adult then asks for

another item. What’s the objects are and how many are requested will depend on the child’s interest and ability. At the end of the games, the adult guesses where the items were found and player and adult share the responsibility of replacing them. The adult can ask the child to pick out the items from a particular room and put only those away. This game help a child learn the specific location of items in the home. When the child if proficient at this game, a kitchen timer can be used


(54)

39

to provide competition. If a sighted child is also included in the game, the children can be paired or each can search for different items. Secara garis besar, pendapat tersebut dapat dimaknai sebagai berikut. Permainan ini dimulai dengan mengelompokkan secara berpasang-pasangan, kemudian guru memberikan daftar item yang perlu ditemukan di lingkungan mereka. Ketika mereka memiliki semua item, mereka membawa item tersebut kembali kepada guru. Pelaksanaan permainan ini diberi batas waktu tertentu. Pasangan yang menjadi pemenang yakni pasangan yang memiliki item yang paling benar. Hal ini dapat diadaptasi untuk anak tunanetra dan dapat dimainkan di dalam ruangan atau di luar ruangan.

Permainan dimulai dengan guru meminta satu item dan anak mencari dan membawanya ke guru mereka. Kemudian guru meminta untuk item yang lain. Macam benda dan banyaknya benda yang diminta tergantung pada minat dan kemampuan anak. Pada akhir permainan, guru bertanya kepada anak, berkaitan dengan letak benda yang telah ditemukan, kemudian bersama dengan siswa guru melakukan diskusi berkaitan dengan permainan yang telah dilakukan. Guru dapat meminta anak untuk memilih item dari ruang tertentu. Permainan ini dapat membantu anak belajar tentang lokasi benda-benda yang ada di rumah secara spesifik.

Penerapan permainan ini dalam penelitian yakni disesuaikan dengan tipe bermain soliter. Inti permainan tetap dapat diambil dari permainan Scavenger Hunt oleh Harrison and Crow, namun dalam penerapannya disesuaikan dengan kemampuan anak tunanetra dan variabel penelitian.


(55)

40

Pemain merupakan pemain tunggal dan hanya berkompetisi dengan waktu. Item atau benda yang perlu ditemukan juga disesuaikan dengan pengetahuan anak, sehingga anak tidak kebingunan saat mencari barang-barang tersebut. Permainan ini juga dapat dikombinasikan dengan permainan lain agar permainan lebih menarik.

C.Kajian tentang Orientasi dan Mobilitas 1. Pengertian Orientasi dan Mobilitas

Pengertian orientasi dan mobilitas menurut Smith dan Tyler (2010: 378), yakni: “Orientation is the metal map people use to move through

environments...”, sedangkan “Mobility is the ability to travel safely and efficiently from one place to another...”. Pendapat tersebut di atas menyatakan bahwa orientasi merupakan gambaran/ peta mental yang digunakan oleh seseorang untuk berpindah dalam lingkungannya. Mobilitas diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan perjalanan dengan aman dan efisien dari satu tempat ke tempat yang lain.

Hosni (1995: 5) juga menyampaikan bahwa “orientasi merupakan proses penggunaan semua indra yang masih berfungsi untuk menetapkan posisi diri hubungannya dengan objek-objek penting dalam lingkungannya”, sedangkan “mobilitas merupakan suatu kemampuan untuk bergerak dalam lingkungannya dengan selamat dan semandiri mungkin” (Hosni, 1995: 14).


(56)

41

Dari pengertian tersebut, Hosni menegaskan bahwa pengertian dari orientasi dan mobilitas merupakan suatu kemampuan yang memudahkan anak tunanetra dalam bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan selamat, efisien, dan baik, tanpa banyak meminta bantuan orang lain (Hosni, 1995: 15).

Munawar dan Suwandi (2013: 6-7), juga menyampaikan pengertian orientasi sebagai “proses penggunaan indra-indra yang masih berungsi di dalam menempatkan posisi diri dalam hubungannya dengan semua objek penting yang terdapat di lingkungannya”. Mobilitas adalah “kemampuan bergerak dari suatu tempat ke tempat yang lain yang diinginkannya dengan tepat dan aman”.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa orientasi dan mobilitas merupakan suatu kemampuan motorik yang sebaiknya dimiliki oleh anak tunanetra untuk mengidentifikasi posisi diri dan objek-objek penting dalam lingkungannya dengan menggunakan indra-indra yang masih berfungsi untuk memudahkan mereka dalam berpindah tempat secara aman, efisien, dan mandiri.

2. Teknik Orientasi dan Mobilitas

Ada beberapa teknik dalam orientasi dan mobilitas, yakni meliputi teknik melawat mandiri “independent travel techniques”, teknik melawat mandiri dengan pendamping awas “sighted guide travel techniques”, teknik melawat dengan tongkat panjang “longcane travel techniques”, teknik melawat dengan anjing penuntun “guide dog travel techniques”, dan teknik


(57)

42

melawat dengan alat bantu elektronik “electronic aid travel techniques”. Dalam penelitian ini hanya dikaji beberapa teknik orientasi dan mobilitas yang berkaitan dengan metode bermain soliter (scavenger hunt/ perburuan) yakni teknik melawat mandiri pada teknik trailing, menentukan arah (direction taking) dan teknik pendukung (teknik upper hand dan lower hand).

Teknik melawat mandiri, menurut Hosni (1995: 217) merupakan, “suatu teknik bagaimana tunanetra bergerak tanpa menggunakan alat bantu apapun dan teknik ini hanya bisa dipakai pada daerah atau tempat yang sudah dikenal dengan baik.” Pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa, teknik melawat mandiri, hanya digunakan di tempat yang sudah dikenal oleh anak, misalnya lingkungan di dalam sekolah dan rumah.

Beberapa teknik melawat mandiri yakni teknik tangan menyilang ke atas, teknik tangan menyilang ke bawah, teknik merambat/ menelusuri, teknik kombinasi (menyilang atas dan bawah serta teknik menelusuri objek), teknik tegak lurus dengan benda, dan teknik mencari benda jatuh. Lebih lanjut dapat dikaji sebagai berikut.

a. Teknik tangan menyilang tubuh bagian atas (upper hand and fore arm), “teknik ini memberikan perlindungan pada bagian atas tubuh terutama bagian dada dan kepala tunanetra dari benturan-benturan benda dan rintangan yang ada di depannya” (Hosni, 1995: 217). Berikut ini posisi tangan menyilang ke atas menurut Hosni (1995: 217).

Tangan kanan atau kiri diangkat ke depan setinggi bahu menyilang badan, siku membentuk sudut 1200 dan telapak tangan menghadap


(58)

43

ke depan, dengan ujung jari berlawanan dengan bahu dan melindungi seluruh lebar bahu. Sikap kepala tetap tegak, tidak menunduk.

Dari pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa teknik tangan menyilang tubuh bagian atas berfungsi untuk melindungi bagian kepala dan dada dari benturan.

b. Teknik tangan menyilang tubuh bagian bawah (lower hand and fore arm), teknik ini memberikan perlindungan pada tubuh bagian bawah terutama bagian perut dan selangkangan (Hosni, 1995: 218). Berikut ini posisi tangan menyilang ke bawah menurut Hadikasma (1981: 56). “Caranya, tangan atau kiri ke arah bawah disilangkan badan, telapak tangan pada tengah-tengah tubuh menghadap badan (punggung telapak tangan ke luar). Jarak telapak tangan dan tubuh kira-kira 20 centimeter”. Dari pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa teknik ini berfungsi untuk melindungi tubuh bagian bawah meliputi bagian perut dan selangkangan dari benturan. Langkah penggunaan teknik ini yakni dengan menyilangkan tangan (kanan/ kiri) ke arah bawah dengan jarak 20 centimeter dari tubuh.

c. Teknik merambat/ menelusuri. Teknik ini digunakan untuk berjalan apabila terdapat media atau sarana yang dapat ditelusuri (Hosni, 1995: 219). Teknik ini dapat dilaksanakan sebagai berikut.

Lengan kanan atau kiri diluruskan mendekati tembok dengan jari-jari dibengkokkan lemas dan jari-jari kelingking serta jari-jari manis menempel di tembok. Sudut lengan dan badan kurang lebih 600 dan jarak badan dengan objek kurang lebih 10 cm.


(59)

44

Hadikasma (1981: 54) juga menyampaikan sebagai berikut.

Trailing adalah kegiatan dengan menggunakan punggung jari manis dan kelingking untuk menyusuri permukaan yang datar, seperti dinding, meja, lemari, dan sebagainya untuk menentukan posisi diri, mengetahui sesuatu tempat dan untuk menentukan arah yang sejajar dengan benda-benda yang di-trailing.”

Dari kedua pendapat tersebut, dapat ditegaskan bahwa teknik trailing merupakan teknik yang digunakan dengan menelusuri permukaan benda-benda datar di sekitar mereka. Teknik ini berfungsi untuk membantu anak tunanetra dalam berjalan dan menemukan tempat atau benda yang sejajar atau searah dengan benda yang digunakan untuk trailing

d. Teknik kombinasi (menyilang atas atau bawah serta teknik menelusuri objek). Teknik ini merupakan teknik gabungan yang dapat digunakan sesuai dengan medan dan kondisi tempat yang dilewati. Ketiga teknik dapat digunakan secara bergantian atau menggunakan 2 teknik sekaligus.

e. Teknik menentukan arah/ direction taking).

Teknik direction taking dilakukan dengan menggunakan tumit, telapak kaki, belakang tubuh maupun telapak tangan untuk menentukan arah yang akan dituju (Hadikasma, 1981: 55). Teknik ini hampir mirip dengan teknik trailing, perbedaannya yakni trailing menggunakan punggung jari manis dan kelingking untuk menelusur. Teknik direction taking menggunakan tumit, telapak kaki, belakang tubuh dan telapak tangan untuk mensejajarkan tubuh dengan benda


(60)

45

yang dijadikan sebagai media direction taking untuk menentukan arah.

f. Teknik mencari benda jatuh (dropped objects). Teknik mencari benda jatuh ini penting dipelajari oleh seorang tunanetra, sehingga mereka tidak membutuhkan bantuan apabila ada benda-benda mereka yang terjatuh. Berikut ini langkah-langkah penggunaan teknik mencari benda jatuh menurut Hosni (1995: 222).

Sebelum melakukan pencarian benda yang jatuh, anak tunanetra harus mendengarkan terlebih dahulu suara benda yang jatuh, anak tunanetra harus mendengarkan terlebih dahulu suara benda yang jatuh tersebut sampai suara terakhir. Setelah itu anak tunanetra menghadapkan badannya ke arah suara terakhir dari benda jatuh tersebut. Langkahkan kaki tunanetra mendekati suara terakhir dari benda yang jatuh, dan berjongkoklah untuk memulai mencari benda yang jatuh. Dalam teknik mencari hendaknya tangan meraba permukaan lantai yang dimulai dari dekat kaki sampai melebar di sekitar kaki. Apabila belum ketemu hendaknya anak tunanetra melangkah satu langkah ke depan dan mulai mencari kembali. Untuk menghindari benturan kepala dengan objek sewaktu jongkok, maka ada dua cara dalam berjongkok, yakni teknik jonglok tegak lurus dan teknik jongkok dengan membungkuk. Dari pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa teknik mencari benda jatuh berkaitan dengan kemampuan pendengaran dan kemampuan anak tunanetra dalam menentukan sumber suara. Sebelum mencari benda yang jatuh, anak tunanetra sebaiknya mendengarkan suara jatuhnya benda tersebut sampai benda benar-benar berhenti. Setelah itu, anak baru mencari dengan meraba permukaan lantai dimulai dari daerah paling dekat dengan tempat yang kemungkinan menjadi tempat jatuhnya benda, kemudian melebar di tempat sekitarnya.


(1)

(2)

251

MATERI AJAR

1. Teknik Merambat (Trailing)

Teknik ini digunakan untuk berjalan apabila terdapat media atau sarana yang dapat ditelusuri (Hosni, 1995: 219). Teknik ini dapat dilaksanakan sebagai berikut. Lengan kanan atau kiri diluruskan mendekati tembok dengan jari-jari dibengkokkan lemas dan jari kelingking serta jari manis menempel di tembok. Sudut lengan dan badan kurang lebih 600 dan jarak badan dengan objek kurang lebih 10 cm.

Hadikasma (1981: 54) juga menyampaikan sebagai berikut. “Trailing adalah kegiatan dengan menggunakan punggung jari manis dan kelingking untuk menyusuri permukaan yang datar, seperti dinding, meja, lemari, dan sebagainya untuk mennetukan posisi diri, mengetahui sesuatu tempat dan untuk menentukan arah yang sejajar dengan benda-benda yang di-trailing.”

2. Teknik Menentukan Arah (Direction Taking)

Teknik direction taking dilakukan dengan menggunakan tumit, telapak kaki, belakang tubuh maupun telapak tangan untuk menentukan arah yang ajan dituju (Hadikasma, 1981: 55). Teknik ini hampir mirip dengan teknik trailing, perbedaannya yakni trailing menggunakan punggung jari manis dan kelingking untuk menelusur. Teknik direction taking menggunakan tumit, telapak kaki, belakang tubuh dan telapak tangan untuk mensejajarkan tubuh dengan benda yang dijadikan sebagai media direction taking untuk menentukan arah.


(3)

252 3. Teknik Upper Hand dan Lower Hand

Teknik tangan menyilang tubuh bagian atas (upper hand and fore arm),

“teknik ini memberikan perlindungan pada bagian atas tubuh terutama bagian

dada dan kepala tunanetra dari benturan-benturan benda dan rintangan yang

ada di depannya” (Hosni, 1995: 217). Berikut ini posisi tangan menyilang ke

atas menurut Hosni (1995: 217).

Tangan kanan atau kiri diangkat ke depan setinggi bahu menyilang badan, siku membentuk sudut 1200 dan telapak tangan menghadap ke depan, dengan ujung jari berlawanan dengan bahu dan melindungi seluruh lebar bahu. Sikap kepala tetap tegak, tidak menunduk.

Teknik tangan menyilang tubuh bagian bawah (lower hand and fore arm), teknik ini memberikan perlindungan pada tubuh bagian bawah terutama bagian perut dan selangkangan (Hosni, 1995: 218). Berikut ini posisi tangan menyilang ke bawah menurut Hadikasma (1981: 56). “Caranya, tangan atau kiri ke arah bawah disilangkan badan, telapak tangan pada tengah-tengah tubuh menghadap badan (punggung telapak tangan ke luar). Jarak telapak tangan dan tubuh kira-kira 20 centimeter”.


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KESEHATAN REPRODUKSI UNTUK SISWA TUNANETRA KELAS VI DI SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

1 16 173

PENINGKATAN KEMAMPUAN PENGEMBANGAN DIRI DENGAN MENGGUNAKAN METODE PRAKTIK SISWA TUNANETRA KELAS III SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

0 1 212

KEEFEKTIFAN METODE PERMAINAN DOMINO BRAILLE TERHADAP KEMAMPUAN PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA SISWA TUNANETRA KELAS 1 DI SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

7 32 165

i EFEKTIVITAS PENERAPAN METODE MULTISENSORI TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN TULISAN AWAS PADA ANAK TUNANETRA LOW VISION KELAS I SDLB DI SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

0 16 267

MENINGKATKAN KEMAMPUAN ORIENTASI DAN MOBILITAS MELALUI METODE DEMONSTRASI PADA SISWA TUNANETRA KELAS 2 SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

1 4 159

PENERAPAN METODE BAGIAN DAN METODE KESELURUHAN (PART METHOD AND WHOLE METHOD) DALAM PEMBELAJARAN PENJAS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONSEP GERAK ANAK TUNANETRA KELAS IV DI SLB-A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

2 4 287

EFEKTIVITAS PENERAPAN DIKTAT BRAILLE TENTANG TEKNIK MELAWAT DENGAN TONGKAT TERHADAP KEMAMPUAN ORIENTASI DAN MOBILITAS SISWA TUNANETRA KELAS V DI SLB-A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

0 4 235

PENINGKATAN KEMAMPUAN OPERASI HITUNG PERKALIAN MELALUI METODE JARIMATIKA PADA ANAK TUNANETRA KELAS VI AKSELERASI DI SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

9 134 241

PENINGKATAN KEMAMPUAN ORIENTASI DAN MOBILITAS ANAK TUNANETRA KELAS V DI SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA.

0 2 221

Pencapaian Kompetensi Guru Anak Tunanetra di SLb/A Yaketunis Yogyakarta

0 0 3