Definisi Khianat Ingkar Janji Khiyanat

56 bias berupa “ ة ا م – ة اخ – ا خ” yang semuanya berarti “ اف اس إ ا تؤي أحص ي” sikap tidak becusnya seseorang pada saat diberikan kepercayaan. 23 Sedangkan dalam al- Mu‟jam al- Wasît berarti “ هصق ” mengurangi menyalahi dikatakan: “ ا َقح ا menyalahi kebenaran, “ اخ ع ا mengingkari janji. Bias juga diartikan اه ؤي ة امأا م ” amanah yang ia tidak sampaikan. 24 Bentuk isim fâ‟il pelaku dari kata kerja “ ي – اخ” adalah “ ئاخ” Dalam kitab al- Misbâh al- Munîr, al- Fayumi mengartikan dengan “ يذَا ه ا يمأ هي ع عج ام اخ” dan oleh al- Syaukani dalam Nail al- Autâr diberi penjelasan bahwa “ ئاخ” adalah “ ا حص ا ر ظي ةَيفخ ا ا ذخأي orang yang mengambil harta secara sembunyi- sembunyi dan menampakkan perilaku baiknya terhadap pemilik harta tersebut. Penjelasan makna kata “ ئاخ” yang dikemukakan al- Syaukani, juga dikemukakan oleh Syamsul Haq al- Azim Abadi dalam „Aun al- Ma‟bûd dan al- Mubarakfuri dalam Tuhfah al- Ahwadzî secara detail dan lengkap. Ia mengatakan bhawa dalam kitab al- Mirqah, pengarangnya berkata bahwa kha‟in adalah seorang yang diberi kepercayaan untuk merawat mengurus sesuatu barang dengan akad sewa menyewa dan titipan, tetapi sesuatu itu diambil dan kha‟in mengaku jika 23 Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, JakartaL: Amzah, 2011, hlm. 111 24 Ibrahim Anis, dkk., al- Mu‟jam al- Wasît, Mesir: Majma’ al- Lughah al- Arabiyyah, 2010, hlm. 272 57 barang itu hilang atau dia mengingkari barang sewaan atau titipan tersebut ada padanya. 25 Dengan demikian, ungkapan khianat juga digunakan bagi seseorang yang melanggar atau mengambil hak orang lain dan dapat pula dalam bentuk pembatalan sepihak dalam perjanjian yang dibuatnya. 26 Hal ini yang terjadi dalam tindak pidana adat lokika sanggraha, di mana laki- laki yang telah berjanji untuk menikahi seorang perempuan, membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak.

2. Hukuman Bagi Pelaku Khiyanat

Pada dalil jarimah khiyanat, sanksi hukum tidak disebutkan secara eksplisit, jelas, dan konkret. Oleh karena itu, khiyanat masuk dalam kategori jarimah ta’zir, bukan pada ranah hudud dan qisasdiyat. Bukti konkret secara historis menunjukkan bahwa seseorang yang tidak setuju dengan pendirian Umar bin al- Khathab, yang beranggapan bahwa penghianat layak dihukum mati oleh Rasulullah sebagai kepala Negara di madinah ketika itu. Seorang pengkhianat itu bernama Hatib bin Abi Balta’ah, ia membocorkan rahasia kaum muslim yang berencana melakukan Fathu Makkah bersama Rasulullah. Sikap dan perbuatan Hatib bin Abi Balta’ah ini dinilai sebagai pengkhianatan terhadap Negara islam. Jika bukan karena 25 Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, hlm. 111-112 26 Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, hlm. 112 58 kebijaksanaan yang dilakukan oleh Rasulullah dan karena keikutsertaan Hatib bin Abi Balta’ah dalam Perang Badar, tentu ia mendapat hukuman berat. Dari Hadits tersebut bias diketahui beberapa hal, pertama, mukjizat Rasulullah yang bisa mengetahui secara pasti seorang kurir wanita yang membawa surat rahasia milik Hatib bin Abi Balta’ah. Kedua, keterlibatan dan keikutsertaan Hatib bin Abi Balta’ah dalam Perang Badar dan kejujuran jawabannya menjadi sesuatu yang sangat berharga dan dipertimbangkan oleh Rasulullah sehingga dia dibebaskan dari hukuman berat sebagai pengkhianat. Ketiga, menurut Umar bin al- Khaththab, hukuman berat bagi pengkhianat adalah berupa hukuman mati, dan keempat, ketundukan Umar bin al- Khaththab terhadap kebijaksanaan Rasulullah mengenai Hatib bin Abi Balta’ah yang dinilai telah mengkhianati Allah, Rasulullah dan seluruh kaum muslim. Dengan demikian hukuman ta’zir bagi seseorang yang mengkhianati Allah, Rasulullah, dan seluruh kaum mus lim seperti Hatib bin Abi Balta’ah adalah berupa hukuman mati, walaupun atas pertimbangan dan ijtihad Rasulullah hukuman berat ini tidak perlu diberlakukan mengingat dia telah bersikap jujur dan tulus, bahkan dia juga seorang sahabat yang berjasa besar mengikuti Perang Badar. Dari kasus di atas, dapat diketahui bahwasanya hukuman bagi pelaku tindak pidana khianat adalah ta’zir, yakni hukuman yang diputuskan oleh penguasa setempat. 27 27 Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, hlm. 112-117