Sanksi Lokika Sanggraha dalam Hukum Adat Bali
36
tersebut. Atau dengan perkataan lain, apakah ada suatu kewajiban si laki- laki untuk mengawini menikahi si gadis yang dihamilinya itu.
19
Jenis tindak pidana adat semacam Lokika Sanggraha ini juga terdapat di daerah lain misalnya di Palembang, Dr. Lublink Woddik memberitakan di dalam
disertasinya: “ Adat delicttenrecht in de rapat marga rechtspraak van Palembang” 1939, bahwa rapat- rapat marga sering mengadili perkara tentang:
1. Bujang gadis bergubalan lantas bunting
2. Janda bergubalan lantas bunting
3. Laki- laki berzina pada gadis atau janda tidak bunting
4. Bunting gelap
Hukuman yang dijatuhkan oleh rapat- rapat marga tersebut, ialah denda dan pembasuh dusun. Dimana terang siapa yang menyebabkan bunting itu. Maka
rapat marga memutuskan supaya laki- laki mengawini gadis yang bersangkutan dan jikalau laki-
laki itu tidak sanggup kawin, ia harus membayar uang “ penyingsingan” kepada pihak yang terkena.
20
Apa yang terdapat di Palembang tersebut serupa dengan kasus Lokika Sanggraha yang di kenal di Bali. Di Bali untuk kasus Lokika Sanggraha
penjatuhan sanksi reaksi adatnya hanyalah terbatas pada denda 24.000 uang kepeng, sedang di Palembang memberikan pilihan kepada si laki- laki apakah ia
19
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, hlm. 47
20
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat Pembaharuan Hukum Pidana, Depok, Thesis, 1988 hlm. 140
37
akan mengawini si gadis ataukah membayar uang denda. Jadi pemaksaan untuk kawin atau tidak dikenal dalam Hukum Adat daerah Palembang, apabila terjadi
seorang laki- laki menghamili seorang gadis. Di Bali, suasana yang tertib dan tentram dalam masyarakat adat dapat
terwujud karena di pengaruhi oleh cara menyelesaikan suatu persoalan yang timbul dalam masyarakat yang selalu berpegang teguh pada “ Catur Dresta”,yaitu
suatu penuntutan didalam menyelesaikan suatu sengketa atas masalah. Demikian juga apabila pengurus desa dalam menangani delik adat Lokika
Sanggraha, haruslah berpedoman pada Catur Dresta serta awig- awig yang berlaku pada masyarakat adat yang bersangkutan. Apabila ada laporan atau
diketahui telah terjadi delik adat Lokika Sanggraha, maka pengurus desa akan segera mengadakan rapat membicarakan masalah tersebut dengan memanggil si
korban si wanita yang hamil untuk dimintai keterangan. Keterangan dari pihak korban ini akan dipakai dasar oleh pengurus untuk memanggil si pelaku laki-
laki yang menghamili untuk dimintai keterangan serta penyelesaian permasalahannya. Tidak ada permasalahan andai kata si laki- laki itu mengakui
perbuatannya, dan pengurus desa hanya menganjurkan agar segera menikahi si gadis dan mengakui anak yang dikandungnya. Di desa adat Sebatu, kecamatan
Tegalalang, Kabupaten Gianyar walaupun yang laki- laki mau bertanggung jawab atau mengawini si wanita yang hamil, namun kedua si pelaku itu tetep harus
melakukan upacara membersihkan desa. Kewajiban ini dilakukan karena mereka
38
tetap dianggap telah melanggar adat desa melakukan hubungan seks sebelum menikah Setiabudhi, 1985: 119.
Dalam hal laki- laki yang menghamili tidak mau bertanggung jawab untuk mengawini wanita yang dihamili dengan berbagai alasan, maka masyarakat adat
akan mengenakan sanksi berupa kewajiban untu k melakukan upacara “
Pemarisudhan” atau melakukan upacara “ Pecaruan”.
21
Apabila si laki- laki tidak mau melaksanakan kewajiban adat yang telah ditentukan oleh pengurus desa, maka untuk mengembalikan keseimbangan yang
terganggu akibat perbuatan itu, maka upacara pembersihan desa itu akan dilakukan oleh desa adat yang bersangkutan. Dan si laki- laki yang mengotori
desa adat itu dikenakan sanksi adat yang disebut “ kasepekeng”, artinya laki- laki tersebut oleh warga desa adat bersangkutan tidak akan diajak ngomong
berbicara untuk waktu tertentu sampai ia mohon maaf kepada pengurus desa serta melakukan suatu kewajiban yang ditentukan kemudian oleh pengurus desa.
Atau andaikata terjadi hal yang demikian maka pengurus desa adat dapat menganjurkan kepada wanita yang dihamili tersebut agar mengadukan
masalahnya kepada polisi untuk diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa kewajiban adat sanksi adat tetap
dikenakan terhadap laki- laki yang menghamili tersebut, bilamana ia telah selesai menjalani masa pidana yang dijatuhkan oleh hakim. Di Bali, sanksi adat biasanya
lebih ditakuti dibandingkan dengan pidana yang dijatuhkan oleh hakim, ini
21
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: Eresco, 1993 hlm. 49
39
disebabkan karena sanksi adat dewasa ini lebih menitikberatkan pada penderitaan batin serta mempunyai kekuatan gaib, di mana norma agama tersebut tercermin di
dalamnya.
22
22
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, hlm 50
40