Hukuman Bagi pezina Grairu Muhsan

53 dalam hadist di atas. Ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa seorang perjaka merdeka yang melakukan jarimah zina harus dikenai sanksi pengasingan setelah dicambuk seratus kali pengasingan harus dilakukan selama satu tahun ditemapt yang jauh dari tanah airnya jarak masâfah al- qasr. Sedangkan mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa pelaku zina ghairu muhshan yang kedua- duanya berstatus merdeka dan dewasa, diberlakukan sanksi cambuk seratus kali dan diasingkan ke tempat yang jauh. Dengan demikian, mereka merasakan betapa sengsaranya jauh dari keluarga dan tanah air akibat jarimah yang telah mereka lakukan. Selanjutnya, kedua mazhab ini memberlakukan sanksi pengasingan, baik terhadap perjaka maupun gadis, namun, bagi si gadis harus disertai mahram yang akan menemani dan mengurusi di tempat pengasingan. 18 Berbeda dengan hadist diatas, Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya tidak mewajibkan pelaksanaan hukuman pengasingan. Akan tetapi mereka membolehkan bagi imam pemimpin untuk menggabungkan antara dera dan pengasingan apabila hal itu dipandang mashlahah. Hal tersebut dikarenakan hukuman pengasingan bukan merupakan hukuman had seperti dera, melainkan huku man ta’zir. Alasannya adalah bahwa hadist tentang hukuman pengasingan ini telah dihapuskan di- mansukh dengan surat an- Nuur ayat 2. 19 18 M. Nurul Irfan dan Musyarofah, Fiqh Jinayah, Jakarta: Amzah, 2013, cet- 1, hlm. 34-35 19 Ishlah Farid, Delik Perzinaan dalam Perspektif KUHP dan Hukum Pidana Islam, hlm. 59 54 Al- Jaziri mengomentari pendapat Imam Abu Hanifah bahwa hukuman pengasingan merupakan upaya penambahan terhadap ketentuan ayat. Oleh karena itu, hadis tentang hukuman ini tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Dengan demikian, hukuman pengasingan bukan merupakan had, melainkan ta’zir. 20 Sedangkan menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa wajib hukumnya melaksanakan hukuman pengasingan bersama- sama dengan hukuman dera. Menurut mereka hukuman pengasingan termasuk hukuman had seperti hukuman dera. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan consensus jumhur ulama pelaku jarimah zina ghairu muhshan harus dikenai sanksi berupa hukuman cambuk seratus kali dan hukuman pengasingan selama satu tahun. Hanya saja untuk jenis hukuman pengasingan, menurut Imam Malik tidak diberlakukan bagi perempuan. Sementara itu menurut Imam Syafi’i, Ahmad dan Dawud Al- Zhahiri, hukuman pengasingan tetap diberlakukan, baik terhadap laki- laki maupun perempuan. Pelaku zina bujang dan gadis , yang melakukan perbuatan zina atas dasar suka sama suka sepanjang tidak ada larangan syar’i bagi mereka untuk menikah secara normal, seharusnya mereka dinikahkan untuk meminimalisasi terulangnya kembali perzinaan baik diantara mereka 20 M. Nurul Irfan dan Musyarofah, Fiqh Jinayah, Jakarta: Amzah, 2013 hlm. 37 55 berdua maupun dengan orang lain. Keharusan menikahkan mereka itu bisa menjadi wajib, mengingat mereka sudah saling menyukai dan tidak menutup kemungkinan mereka akan mengulangi perbuatan zina yang pernah dilakukannya, karena orang yang pernah cenderung akan mengulangi kembali perbuatan zina yang pernah dilakukannya. Disamping itu Allah SWT telah menegaskan didalam al- Qur’an QS. an- Nuur ayat 3 bahwa orang yang tidak pernah berzina haram menikah dengan orang yang pernah berzina, jadi untuk mencegah kemungkinan besar terulangnya kembali perbuatan zina yang pernah dilakukan maka mereka wajib dinikahkan. 21 Namun apabila orang yang terhukum melarikan diri dan kembali ke daerah asalnya, maka ia harus dikembalikan ketempat pengasingannya dan masa pengasingannya dihitung sejak pengembaliannya tanpa memperhitungkan masa pengasingan yang sudah dilaksanakannya sebelum ia melarikan diri. 22

B. Ingkar Janji Khiyanat

1. Definisi Khianat

Kata khianat berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk verbal noun atau masdar dari kata kerja اخ - ي . Selain “ة ايخ” bentuk masdar-nya 21 Siti Hajar Binti Halim, Ijma‟ Di Bidang Hukum Pidana Islam Kajian Tindak Pidana Zina Dalam Kitab al- Majmu‟, Jakarta: Skripsi, 2011 , hlm.43-44 22 Achmad Reza Fahlepi, Sanksi Zina Pelaku Transeksual Dalam Tinjauan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Skripsi, 2013, hlm. 45 56 bias berupa “ ة ا م – ة اخ – ا خ” yang semuanya berarti “ اف اس إ ا تؤي أحص ي” sikap tidak becusnya seseorang pada saat diberikan kepercayaan. 23 Sedangkan dalam al- Mu‟jam al- Wasît berarti “ هصق ” mengurangi menyalahi dikatakan: “ ا َقح ا menyalahi kebenaran, “ اخ ع ا mengingkari janji. Bias juga diartikan اه ؤي ة امأا م ” amanah yang ia tidak sampaikan. 24 Bentuk isim fâ‟il pelaku dari kata kerja “ ي – اخ” adalah “ ئاخ” Dalam kitab al- Misbâh al- Munîr, al- Fayumi mengartikan dengan “ يذَا ه ا يمأ هي ع عج ام اخ” dan oleh al- Syaukani dalam Nail al- Autâr diberi penjelasan bahwa “ ئاخ” adalah “ ا حص ا ر ظي ةَيفخ ا ا ذخأي orang yang mengambil harta secara sembunyi- sembunyi dan menampakkan perilaku baiknya terhadap pemilik harta tersebut. Penjelasan makna kata “ ئاخ” yang dikemukakan al- Syaukani, juga dikemukakan oleh Syamsul Haq al- Azim Abadi dalam „Aun al- Ma‟bûd dan al- Mubarakfuri dalam Tuhfah al- Ahwadzî secara detail dan lengkap. Ia mengatakan bhawa dalam kitab al- Mirqah, pengarangnya berkata bahwa kha‟in adalah seorang yang diberi kepercayaan untuk merawat mengurus sesuatu barang dengan akad sewa menyewa dan titipan, tetapi sesuatu itu diambil dan kha‟in mengaku jika 23 Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, JakartaL: Amzah, 2011, hlm. 111 24 Ibrahim Anis, dkk., al- Mu‟jam al- Wasît, Mesir: Majma’ al- Lughah al- Arabiyyah, 2010, hlm. 272