Sanksi bagi pelaku tindak pidana kesusilaan (lokika sanggraha) pada masyarakat Bali perspektif hukum pidana islam

(1)

PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM

Oleh :

IZZATUL LAILAH 1110045100032

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

SANKSI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN

(LOKIKA SANGGRAHA) PADA MASYARAKAT BALI

PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syari’ah ( S. Sy) Oleh:

IZZATUL LAILAH 1110045100032

Dibawah Bimbingan:

Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA.,Ph NIP. 196912161996031001

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 14 Juli 2014

Izzatul Lailah NIM. 1110045100032


(5)

IzzatulLailah. NIM 1110045100032. SANKSI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN ( LOKIKA SANGGRAHA) PADA MASYARAKAT BALI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM. Konsentrasi Pidana Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tahun 1435 H/2014 M. + 65 halaman + 2lampiran.

Masalah utama dari skripsi ini adalah mengenai Sanksi dari Delik Adat Lokika Sanggraha di Bali yang merupakan pelanggaran adat kesusilaan di tinjau dari hukum pidana Islam. Di mana sanksi dalam hukum adat berbeda dengan hukum pidana Islam.

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif, yaitu berupa kalimat- kalimat, norma-norma, serta doktrin. Penelitian ini juga merupakan penelitian hukum normative doktriner terutama mengenai Sanksi Lokika Sanggraha.

Hasil dari penelitian ini adalah mengetahui secara spesifik mengenai Sanksi dari delik adat Lokika Sanggraha jika dilihat dari segi hukum pidana Islam, sehingga kita dapat mengetahui perbedaan hukum antara hukum adat dan hukum pidana Islam.

Kata Kunci : Lokika Sanggraha, Hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan yang sah

Pembimbing : Dr. Phil, Asep Saepudin Jahar, MA DaftarPustaka : tahun 1987 s.dtahun 2013


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat

menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul “ SANKSI BAGI PELAKU

TINDAK PIDANA KESUSILAAN ( LOKIKA SANGGRAHA) PADA MASYARAKAT BALI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM” yang merupaka kewajiban bagi Program sarjana ( S1) Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam pada Fakultas Syari’ ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk memenuhi salah satu persyaratan dan merupakan tugas akhir untuk memperoleh Gelar sarjana ( S1). Dalam penulisan Skripsi ini, sudah tentu penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak baik moril maupun materil yang tentunya sangat bermanfaat dalam penulisan Skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang setulus- tulusnya kepada:

1. H. JM. Muslimin, MA., Ph.,D., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asmawi, S.Ag., M.Ag., selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarata.


(7)

iii

4. Dr. Phil. Asep Saepuddin Jahar, MA., selaku dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen pembimbing Skripsi.

5. Seluruh Dosen/ Pengajar/ Staff, Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah

memberikan ilmunya kepada penulis.

6. Kepala dan Seluruh Staff/ Karyawan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum

maupun Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memfasilitasi tempat serta buku- buku referensi yang berkaitan dengan penulisan Skripsi ini. 7. Lebih Khusus lagi adalah ucapan terima kasih kepada :

a. Kepada Ayahanda ( Drs. KH. Ketut Daimuddin Hasyim) dan Ibunda ( Rukayah Tabrani BA) yang tiada henti- hentinya berdo’a sehingga penulis dapat bersemangat dalam menyelesaikan Skripsi. ( I Love You Dad and Mom)

b. Kepada nenek tercinta Umi Hj. Maswanih yang selalu memberi semangat dalam mengerjakan skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir kuliah.

c. Kepada kakak Zhul fikri S. Hi ( a wayan) dan kakak ipar Faizah S. Pdi yang selalu memberi support dan tiada henti- hentinya berdo’a sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi.

d. Kepada Ncing Ito, om Faisal, Ncing Wawai, Umi Dedeh, Ayah Yamin, Sobah, Zaki, Syifa, Kiki, Adi serta Keluarga Besar Yayasan Arromaliyah


(8)

iv

yang tiada henti- hentinya memberikan support sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi.

e. Kepada Wayah Imaduddin Jamal yang telah memberikan masukan serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

f. Kepada Mbah tercinta, Ayah Bisyri, Umi, Bli Ketut Thantowi, Bli Ketut Edi, Mba Nia, Ka Ketut Titi, serta Keluarga Besar Desa Pegayaman Bali yang selalu memberikan semangat dalam menyelesaikan Skripsi ini.

8. Prince Aizza Faqih yang dengan senang hati dan tiada henti- hentinya

memberikan dorongan serta membantu dalam penulisan Skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.

9. Evi Shofiah, Rachmadyanti Dewi, Ely, dan Ayu Safitri yang selalu memberi support sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi.

10. Teman- teman PI ( 2010) seperti, Azizah, Amanah, Dijah, Reni, Lulu, Imas, Siska, Ika, dll. Kebersamaan dan kesolidan kita selama perkuliahan dan pergaulan yang terkadang diselingi dengan aktivitas canda tawa memberikan arti pentingnya sebuah persahabatan yang tak terlupakan dan menjadi catatan sejarah bagi kita semua. “ Aku mengenal kalian tanpa sengaja mencoba akrab dengan kalian menjalani persahabatan yang tak pernah pudar saling melengkapi satu sama lain bersatu dalam ikatan persaudaraan, kelak…suatu saat kita telah hidup masing- masing semoga ikatan ini tidak akan putus dan bangga mempunyai sahabat seperti kalian”. FRIENDSHIP IS NEVER DIE


(9)

v

12.Kepada Kepala/ Staff/ Karyawan Perpustakaan Universitas Indonesia yang telah memfasilitasi tempat serta buku- buku referensi yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

13.Kepada Bapak I Nyoman Surata, SH., M.Hum dan Bapak I Putu Sugiardana, SH., MH selaku Dekan dan Dosen Hukum Pidana Adat Universitas Panji Sakti yang telah meluangkan waktu untuk penulis melakukan wawancara mengenai skripsi ini.

14.Kepada Bapak Drs. I Putu Wilasa selaku Ketua PHDI ( Parisada Hindu Dharma Indonesia) yang dengan senang hati meluangkan waktu untuk saya melakukan wawancara mengenai skripsi ini.

15.Kepada Bapak Ida Pandita Mpu Nabe Yoga Manik Geni selaku Pedande atau Bendesa adat yang dengan senang hati memberi masukan dalam penulisan skripsi ini.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat berguna bagi semua pihak yang sempat membacanya, serta menambah wawasan keilmuan bagi yang berkepentingan dengan masalah ini. Amien. Suksema.

Jakarta, Juni 2014


(10)

vi

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan Pustaka/ Penelitian Terdahulu... 9

E. Metode Penelitian... 10

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINDAK PIDANA KESUSILAAN DALAM HUKUM ADAT BALI A. Tindak Pidana Kesusilaan ... 13

B. Jenis- jenis Delik Adat Yang Menyangkut Kesusialaan ... 16

C. Sanksi Adat dan Jenis- jenis Sanksi Adat ... 18

BAB III PIDANA ZINA DARI DELIK ADAT LOKIKA SANGGRAHA A. Definisi Lokika Sanggraha ... 22

B. Unsur- unsur Lokika Sanggraha... 31


(11)

vii

A. Terjadinya Hubungan Seksual ... 40

1. Definisi Zina ... 40

2. Unsur- unsur Tindak Pidana Zina ... 43

3. Dasar Hukum Larangan Zina ... 46

4. Macam- Macam Zina ... 48

5. Sanksi Pidana Perzinaan ( Lokika Sanggraha) dalam Hukum Pidana Islam ... 49

B. Ingkar Janji/ Khiyanat ... 55

1. Definisi Khianat ... 55

2. Hukuman Bagi Pelaku Khiyanat ... 57

C. Delik Lokika Sanggraha Dalam Hukum Pidana Islam ... 59

D. Persamaan dan Perbedaan Lokika Sanggraha pada Hukum Adat Bali dengan Zinâ Gairu Muhsan pada Hukum Pidana Islam ... 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 63

B. Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat majemuk mempunyai arti yang sama dengan istilah masyarakat plural atau pluralistic. Biasanya diartikan sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai suku bangsa atau masyarakat yang berbhineka

Kata adat sebenarnya berasal dari bahasa arab yang artinya kebiasaan. Pendapat ini menyatakan bahwa adat sebenarnya berarti sifat immaterial, artinya adat menyangkut hal- hal yang berkaitan dengan system kepercayaan.1

Menurut Van Vollenhoven yang dimaksud dengan delik adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan, walaupun dalam kenyataannya peristiwa itu hanya merupakan sumbang yang kecil saja. Jadi, yang dimaksud dengan delik adat itu adalah semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kepatutan, kerukunan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat bersangkutan, baik hal itu akibat perbuatan seseorang maupun perbuatan penguasa adat sendiri.

Timbulnya reaksi masyarakat bertujuan untuk mewujudkan keseimbangan masyarakat kembali. Tetapi oleh karena reaksi masyarakat diberbagai lingkungan masyarakat adat itu berbeda- beda maka hukum pidana adat diseluruh Indonesia tidak sama.2

1

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm 70

2


(13)

Hukum pidana adat adalah terjemahan dari istilah Belanda “ adat delicten recht” atau “ hukum pelanggaran adat”. apabila dikatakan perbuatan yang

bertentangan dengan hukum pidana adat, maka ia harus diartikan lebih luas dari

istilah Belanda “ onrecht matigedaad” sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1365

KUH Perdata ( BW) yang menyatakan setiap perbuatan melanggar hukum yang merugikan itu mengganti kerugian.3

Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup ( living law) dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan perundang- undangan. Andai kata diadakan juga undang- undang yang menghapuskannya, akan percuma juga, malahan hukum pidana perundang- undangan akan kehilangan sumber kekayaannya, oleh karena hukum pidana adat itu lebih dekat hubungannya dengan antropologi dan sosiologi dari pada hukum perundang- undangan. 4

Menurut hukum adat kesalahan kesopanan ialah semua kesalahan yang mengenai tata tertib tingkah laku sopan santun seseorang didalam pengulangannya dengan anggota kerabat dan masyarakat. Misalnya seorang pemuda tidak menghormati orang tua, wanita duduk dengan aurat setengah terbuka kesemuanya kesalahan kesopanan. Kesalahan kesusilaan ialah semua kesalahan yang menyangkut watak budi pekerti pribadi seseorang yang bernilai buruk dan perbuatannya mengganggu keseimbangan masyarakat. Misalnya

3

Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, ( Bandung: PT Alumni, 1989), hlm. 7

4


(14)

3

melakukan perbuatan maksiat, berzina, berjudi, minum- minuman keras, dan sebagainya. Kesemuanya merupakan perbuatan asusila. Walaupun dalam hukum adat tidak dibedakan antara yang bersifat kejahatan dan pelanggaran, maka dapatlah dikatakan bahwa kesalahan kesopanan itu termasuk pelanggaran, sedangkan kesalahan kesusilaan termasuk kejahatan.5

Dharma adalah hukum hindu duniawi baik yang ditetapkan maupun tidak.

Dharma adalah hukum yang bersumber dari karma phala atau hasil perbuatan

yang dijadikan ukuran atau nilai- nilai untuk berbuat yang pantas atau seyogyanya. Menurut Kautilya Dharma dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu Kantaka Sodhana dan Dharmasthiya.

Kantaka Sodhana pada umunya mengatur hal- hal yang menyangkut

tentang dusta, corah dan paradara serta sanksi hukum yang patut dijatuhkan kepadanya. Dusta adalah kejahatan terhadap nyawa orang lain, Corah adalah kejahatan terhadap harta benda orang lain. Paradara adalah kejahatan terhadap kesopanan dan kesusilaan. Sedangkan Dharmasthiya pada umumnya mengatur tentang hukum keluarga dharma badhu, hukum perkawinan dharma vivaha dan hukum waris dharma vibhaga, serta perbuatan- perbuatan yang berisikan suatu perjanjian dan pengingkaran terhadap suatau yang diperjanjikan yang telah disepakati serta ganti rugi. 6

5

Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, hlm. 70

6

I Made Suastika Ekasana, Seri Dharmasthya ( Hukum Perdata Hindu) Dharma Bandhu


(15)

Pada masyarakat Bali jika terjadi pelanggaran hukum misalnya pelanggaran yang menyangkut kesusilaan, maka dapat diberikan sanksi sesuai dengan hukum adatnya. Masalah kesusilaan bagi masyarakt adat Bali memiliki nilai- nilai yang sangat tinggi dan harus dijunjung tinggi. Hal tersebut terkait dengan pemahaman masyarakat Bali yang memandang kesusilaan sebagai sesuatu adalah menciptakan keseimbangan atau keharmonisan antara makro kosmos (bwuana agung) dan makso kosmis ( bwuana alit). Salah satu bentuk pelanggaran yang dikenal pada masyarakat Bali adalah lokika sanggraha.7

Di daerah Bali ada perbuatan pidana ( delik) yang dikenal dengan kualifikasi Delik Adat Lokika Sanggraha. Perbuatan yang di daerah Bali dikenal sebagai Lokika Sanggraha terjadi pula di daerah- daerah lain, hanya saja kualifikasinya mungkin berbeda atau mungkin tidak ada kualifikasi tertentu dan tidak pernah sampai diselesaikan lewat pengadilan, hal mana tentu tidak adil bagi si korban, tidak adanya kepastian hukum dan keadaan yang demikian itu akan dapat menimbulkan keresahan masyarakat.8

Di dalam Kitab Undang- undang Hukum Pidana Republik Indonesia tidak dikenal adanya suatu delik Adat Lokika Sanggraha, Delik Lokika Sanggraha diatur dalam kitab Adhigama. Delik Lokika Sanggraha berawal dari seorang laki- laki telah menjanjikan kelak dikemudian hari akan mempersuntingnya sebagai istri sehingga wanita tersebut yang akhirnya bersedia menyerahkan segalanya

7

Thesis, Unika Soegijapranata, pdf.

8


(16)

5

sampai terjadi hubungan biologis dan ternyata kemudiaan hari pria tersebut memutus hubungan cintanya tanpa alasan yang sah.9

Ketentuan adat yang mengatur Delik Adat Lokika Sanggraha ini masih dipertahankan di dalam kehidupan masyarakat di Bali, sehingga pelanggaran terhadap delik- delik adat, khususnya Delik Adat Lokika Sanggraha yang dirasakan sebagai pelanggaran hukum masyarakat dan pelanggran keadilan masyarakat.

Suatu hubungan biologis tersebut haruslah dijaga dan diarahkan agar terpelihara keseimbangan hubungan tersebut. Apabila aktivitas yang berhubungan dengan kebutuhan biologis yang dilaksanakan dengan tidak patut, maka akan

menimbulkan gangguan baik yang bersifat “ sekala” ( nampak dengan panca indera) maupun bersifat “ niskala” ( tidak nampak dengan panca indera), yang

justru mengganggu hubungan baik yang sifatnya horizontal maupun yang sifatnya vertikal.10

Sehubungan dengan Delik Lokika Sanggraha jika dikaitkan dengan Hukum Pidana Islam merupakan suatu jarimah zina. Hamka membuat definisi singkat tentang zina, yaitu:

“Segala persetubuhan yang tidak disahkan dengan nikah, atau yang tidak

sah nikahnya. “ perbuatan zina yang dianggap hal biasa oleh masyarakat secular

9

I Gusti Ketut Sutha, Bunga Rampai Beberapa Aspek Hukum Adat, (Liberty: Yogyakarta,

1987) hlm. 72

10


(17)

modern merupakan tindakan yang terkutuk dan kejahatan berat dalam tinjauan syariat Islam. Maka, Allah mencegah terjadinya perbuatan zina.11

Konsep tindak pidana perzinaan menurut hukum Islam jauh berbeda dengan system hukum Barat, karena dalam hukum Islam, setiap hubungan seksual yang diharamkan itulah zina, baik yang dilakukan oleh orang yang telah berkeluarga maupun yang belum berkeluarga asal ia tergolong orang mukallaf, meskipun dilakukan dengan rela sama rela.

Kerusakan moral yang melanda dunia Barat menurut para ahli justru karena diperbolehkannya perzinaan yang dilakukan oleh orang dewasa. Perkawinan dalam bentuk rumah tangga di bentuk jika telah ada kecocokan, terutama setelah bertahun- tahun bersama. Inilah makna rumah tangga lebih di maknai sebagai pilihan yang sulit, kecuali setelah menjalani hidup bersama dan mengenal jauh pasangan masing- masing.

Menurut penulis Delik Lokika Sanggraha dapat dikatakan sebagai jarimah zina, yaitu persetubuhan yang dilakukan oleh laki- laki dan perempuan tanpa adanya ikatan pernikahan. Akan tetapi meskipun sama-sama merupakan sebuah pelanggaran hukum, sanksi dari pelanggaran itu berbeda dengan sanksi yang terdapat dalam hukum pidana Islam. Bahkan apabila di laki-laki tersebut menepati janjinya, yakni menikahi si perempuan maka tidak ada sanksi/ hukuman baginya. Bagaimana hukum pidana islam memandang

11

Adian Husaini, Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat ( Penerapan Hukum Rajam di

Indonesia dalam tinjauan Syariat Islam, Hukum Positif dan Politik Global), ( Jakarta: CV. Pustaka Al- Kautsar, 2001). Hlm. 93


(18)

7

hal itu ? Untuk sanksi yang diterapkan bagi pelaku Delik Lokika Sanggraha akan dijelaskan lebih detail dalam skripsi ini. Maka dari itu penulis mengangkat judul “ Sanksi Bagi Pelaku Tindak Kesusilaan ( Lokika Sanggraha) Pada

Masyarakat Bali Perspektif Hukum Pidana Islam”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Focus masalah dalam studi ini berkisar pada masalah sanksi pelaku tindak pidana kesusilaan ( lokika sanggraha) pada masyarakat Bali perspektif hukum pidana Islam. Dengan demikian dalam penulisan ini yang dijadikan masalah pokok ialah:

1. Apa yang dimaksud dengan tindak pidana ( Lokika Sanggraha) di Bali? 2. Bagaimana sanksi bagi pelaku tindak pidana kesusilaan ( Lokika Sanggraha)

menurut hukum adat Bali?

3. Bagaimana sanksi bagi pelaku tindak pidana kesusilaan ( Lokika Sanggraha) menurut hukum pidana Islam?

Tindak pidana kesusilaan yang dijadikan focus kajian dalam studi ini dibatasi pada (a) Delik adat mengenai Lokika Sanggraha (b) Sanksi bagi pelaku tindak pidana kesusilaan ( Lokika Sanggraha) dalam hukum adat Bali dan Sanksi bagi pelaku tindak pidana kesusilaan ( Lokika Sanggraha) dalam hukum pidana Islam.


(19)

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Secara umum, studi ini bertujuan, pertama, menjelaskan tentang tindak pidana kesusilaan ( Lokika Sanggraha) dalam hukum adat dan hukum pidana Islam; kedua, merumuskan dan menjelaskan mengenai sanksi bagi pelaku tindak pidana kesusilaan ( Lokika Sanggraha) dalam hukum Adat dan hukum pidana Islam; Secara spesifik, penelitian ini bertujuan :

a. Menjelaskan secara komprehensif tindak pidana kesusilaan ( Lokika Sanggraha) dalam hukum adat dan hukum pidana Islam.

b. Menjelaskan secara komprehensif sanksi bagi pelaku tindak pidana kesusilaan ( Lokika Sanggraha) pada masyarakat Bali perspektif hukum pidana Islam.

2. Manfaat Penelitian

Adapun signifikansi penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang lebih

mendalam mengenai tindak pidana kesusilaan ( Lokika Sanggraha) perspektif hukum pidana Islam

b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat membuka pemikiran pembaca mengenai sanksi bagi pelaku tindak pidana kesusilaan ( Lokika Sanggraha) perspektif hukum pidana Islam.

c. Hasil penelitian ini selanjutnya diharapkan dapat memberikan perbandingan kepada pembaca umumnya antara hukum adat , khususnya


(20)

9

antara sanksi bagi pelaku tindak pidana kesusilaan ( Lokika Sanggraha) perspektif hukum pidana islam.

D. Tinjauan Pustaka/ Penelitian Terdahulu

Penulis belum menemukan penelitian yang secara spesifik membahas tentang Delik Adat Lokika Sanggraha, Akan tetapi banyak penelitian yang menyinggung secara terpisah, baik mengenai Delik Adat tersebut. baik secara spesifik membahas tentang topik Lokika Sanggraha maupun hanya menyinggungnya secara umum atau di masukkan ke dalam sub-bab dari penelitian tersebut. Berikut ini paparan tinjauan umum atas salah satu karya penelitian tersebut.

Karya I Made Widnyana, SH yang bertajuk Kapita Selekta Hukum Pidana Adat. Inti/ hakikat yang tercermin melalui perumusan tersebut, ternyata delik adat Lokika Sanggraha yaitu suatu delik adat yang berupa seorang laki-laki menghamili perempuan di luar perkawinan dengan janji akan mengawini, tetapi ternyata tidak dikawini.

Karya Lilik Mulyadi yang bertajuk Delik Adat “Lokika Sanggraha“ Di

Bali. Inti/hakikat yang tercermin melalui perumusan tersebut, ternyata delik adat

Lokika Sanggraha merupakan delik formal karena unsur kehamilan bukanlah merupakan unsur esensial untuk adanya Delik Adat ini dimana yang penting

adalah unsur “janji” tidak ditepati oleh si pria. Sedangkan munculnya pelaku


(21)

pihak wanita dimana si pria mengingkari janjinya. Dengan demikian Delik Adat ini merupakan delik aduan (Kracht-Delicten).12

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan kualitatif yaitu penelitian yang data- datanya diungkapkan melalui kata- kata, norma atau aturan- aturan, dengan kata lain penelitian ini memanfaatkan data kualitatif.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif doktriner, yaitu penelitian yang mengkaji asas- asas dan norma- norma hukum.

2. Metode Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Sumber data diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer yaitu: Undang- undang Darurat no. 1 tahun 1951 serta dalil- dalil yang terdapat pada al- Qur’an dan al- Hadits serta ketentuan- ketentuan fiqh yang mengatur masalah perzinaan.

b. Bahan hukum sekunder yaitu: bahan- bahan yang memberi penjelasan dalam mengkaji bahan hukum primer, yaitu data- data yang diperoleh dari buku- buku yang masih memiliki keterkaitan dengan pokok masalah yang akan diteliti. Seperti: Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Buku Bunga

12

Lilik Mulyadi, Delik Adat “Lokika Sanggraha“ Di Bali, Majalah Varia Peradilan, Penerbit


(22)

11

Rampai Beberapa Aspekta Hukum Adat, Serta Buku Simposium Pengaruh Kebudayaan/ Agama Terhadap Hukum Pidana.

c. Bahan Hukum Tersier, bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder. Contohnya: Kamus, Ensiklopedia, Buku Adat Bali dan Tokoh Adat Bali.13

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam memperoleh informasi yang diperlukan tentang masalah yang diteliti melalui studi documenter dan studi lapangan . Yaitu merujuk kepada penulisan-penulisan ilmiah yang diperoleh dari literatur dan referensi yang berhubungan dan berkenaan dengan judul skripsi.

Adapun teknis penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi, cet- 1 yang diterbitkan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika disajikan untuk mempermudah pembaca dan memahami materi yang akan dibahas dalam skripsi ini. Dengan adanya sistematika ini diharapkan pembaca dapat mengetahui secara garis besar isi skripsi ini. Materi laporan penelitian skripsi ini dibagi menjadi 4 (empat) bab. Bab pertama bertajuk

“ pendahuluan” Di dalam bab ini diuraikan pokok-pokok pikiran yang

13

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum , ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 184


(23)

melatarbelakangi penelitian ini dibahas mengenai (1) Latar belakang masalah, (2) Rumusan masalah,(3) Tujuan penulisan, (4) Metode penulisan, (5) Tinjauan pustaka serta (6) Sistematika penulisan.

Bab kedua berjudul Tindak Pidana Kesusilaan dalam Hukum Adat Bali. Pada bab ini terdiri dari 3 ( tiga ) sub-bab, yaitu (1) Tindak Pidana Kesusilaan, (2)Jenis- jenis Delik Adat yang menyangkut kesusilaan (3) Jenis- jenis Sanksi Adat.

Bab ketiga bertajuk tentang Pidana Zina Dari Delik Adat Lokika Sanggraha . Pada bab ini terdiri dari 3 ( tiga) sub- bab yaitu (1) Definisi Lokika Sanggraha, (2) Unsur- unsur Lokika Sanggraha dan (3) Sanksi Lokika Sanggraha Dalam Hukum Adat Bali.

Bab keempat bertajuk tentang Bagaimana Hukum Pidana Islam Menjelaskan Tentang Delik Adat Lokika Sanggraha. Dalam bab ini menguraikan tentang Sanksi Tindak Pidana Kesusilaan ( Lokika Sanggraha) menurut Hukum Pidana Islam.

Bab kelima merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dan rekomendasi. Dalam bab ini diuraikan pokok- pokok/ inti temuan penelitian yang dihasilkan. Selain itu, dimuat juga saran terkait tindak lanjut atas temuan penelitian.


(24)

13

BAB II

TINDAK PIDANA KESUSILAAN DALAM HUKUM ADAT BALI

A. Tindak Pidana Kesusilaan

Sebelum kita langsung meninjau permasalahannya, maka baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tindak pidana kesusilaan di Bali.

Kata “kesusilaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun

Departamen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1989. Kata “susila” dimuat arti

sebagai berikut :

1. Baik budi bahasanya, beradab, sopan,tertib;

2. Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaan; 3. Pengetahuan tentang adat.

Kata “susila” dalam bahasa Inggris adalah moral, ethics, decent, kata- kata

tersebut biasa diterjemahkan berbeda. Kata moral diterjemahkan dengan moril.Kesopanan sedang ethics diterjemahkan dengan Kesusilaan dan decent diterjemahkan dengan Kepatutan.1

Dengan demikian makna dari “kesusilaan” adalah tindakan yang

berkenaan dengan moral yang terdapat pada setiap diri manusia, makna dapatlah disimpulkan bahwa pengertian delik kesusilaan adalah perbuatan yang melanggar

1

Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, ( Jakarta:


(25)

hukum, dimana perbuatan tersebut menyangkut etika yang ada dalam diri manusia yang telah diatur dalam perundang-undangan.2

Secara singkat yang disebut tindak pidana kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan ( masalah) kesusilaan. Namun, tidaklah mudah menetapkan batas- batas atau ruang lingkup delik kesusilaan karena pengertian dan batas- batas kesusilaan itu cukup luas dan dapat berbeda- beda menurut pandangan dan nilai- nilai yang berlaku di dalam masyarakat.3

Terlebih karena hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan nilai- nilai kesusilaan yang minimal ( das Recht ist das ethische Minimum) sehingga pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana merupakan delik kesusilaan. Ungkapan serupa dikemukakan Alfred Denning bahwa without religion there can be no morality, and without morality there can be no law.

Dharma adalah hukum hindu yang bersumber dari hasil perbuatan yang

dijadikan ukuran atau nilai- nilai untuk berbuat yang pantas di Bali. Dharma dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu Kantaka Sodhana dan Dharmasthiya. Delik kesusilaan yang terdapat dalam Dharma yaitu termasuk kategori Kantaka Sodhana dalam istilah Paradara yaitu Kejahatan terhadap kesopanan dan kesusilaan.4

2

Abd. Kadir, Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Incest Dengan Korban Anak, ( Makassar, Skripsi, 2012), hlm.27

3

Hans C. Tangkau, Cyber Crime Di Bidang Kesusilaan Upaya Penanggulangannya Di

Indonesia, ( Manado, Karya Tulis Ilmiah, 2008) hlm. 11

4

I Made Suastika Ekasana, Seri Dharmasthya ( Hukum Perdata Hindu) Dharma Badhu


(26)

15

Di Bali, masih dikenal empat jenis Delik Adat salah satunya adalah Delik Adat yang menyangkut kesusilaan.

Berbicara tentang kesusilaan tidaklah dapat dipisahkan dari kelahiran manusia itu sendiri karena tujuan dari kesusilaan itu adalah untuk menciptakan keseimbangan atau keharomisan hubungan antara makro kosmos ( bhuwana

agung ) dengan mikro kosmos ( bhuwana alit). Berkaitan dengan ini Coka 160

Sarasamuccaya menyatakan bahwa:

Cilam pradhanam puruse tadyasyeha pranacyati, Na tasya jivitenatho duchilam kinprayojanam.

Artinya: susila itu adalah yang paling utama pada titisan sebagai manusia sehingga jika ada perilaku ( tindakan) titisan sebagai manusia itu tidak susila, apakah maksud orang itu dengan hidupnya, dengan kekuasaan, dengan kebijaksanaan, sebab sia- sia itu semuanya ( hidup, kekuasaan dan

kebijaksanaan) jika tidak ada penerapan kesusilaan pada perbuatan. (

kajeng,dkk, 1977: 114)5

Walaupun demikian, kenyataannya dalam praktik ( das Sein) tidaklah selalu sesuai dengan apa yang diharapkan ( das Sollen), sehingga terjadilah pelanggaran terhadap kesusilaan itu sendiri dengan beraneka ragam bentuknya sehingga dalam pertumbuhannya.

5


(27)

B. Jenis- jenis Delik Adat Yang Menyangkut Kesusialaan 1. Drati Krama

Yaitu delik adat yang merupakan hubungan seksual antara seorang wanita dengan seorang laki- laki sedangkan mereka masih dalam ikatan perkawinan dengan orang lain; dengan singkat dikatakan drati karma ialah “

berzina dengan istri/ suami orang lain”. 6

2. Gamia Ganama

Yaitu delik adat yang berupa larangan hubungan seksual antara orang- orang yang masih ada hubungan keluarga dekat baik garis lurus maupun ke samping. Jadi pengertian Gamia Gemana sama dengan incest.

3. Mamitra Ngalang

Yaitu suatu delik adat yang berupa seorang laki- laki yang sudah beristri mempunyai hubungan dengan wanita lain yang diberinya nafkah lahir batin seperti layaknya suami istri, tetapi wanita ini belum dikawini secara sah. Hubungan mereka bersifat terus menerus ( berkelanjutan) dan biasanya si wanita ditempatkan dalam rumah tersendiri. Delik adat ini sangat mirip dengan Drati Krama, tetapi titik berat pelakunya adalah laki- laki yang sudah beristri, sedang pihak wanitanya tidak terikat perkawinan. Jadi mungkin masih gadis atau sudah janda. Si wanita tidak ( belum) dikawini secara sah. Unsur yang khusus di sini dan membedakannya dengan Drati Krama, adalah sifat hubungannya yang terus menerus dan biasanya si wanita ditempatkan

6


(28)

17

dalam satu rumah serta diberi nafkah lahir batin. Dapat dikatakan bahwa si wnaita merupakan wanita simpanan dari si laki- laki tersebut.

4. Salah Krama

Ialah melakukan hubungan kelamin dengan makhluk yang tidak sejenis. Tegasnya hubungan kelamin tersebut terjadi antara manusia dengan hewan seperti seorang laki- laki melakukan hubungan kelamin dengan seekor sapi betina. 7

5. Kumpul Kebo

Ialah seorang laki- laki dengan seorang perempuan hidup bersama dalam satu rumah dan mengadakan hubungan seksual, seperti layaknya suami istri, tetapi mereka belum dalam ikatan perkawinan. Istilah kumpul kebo ini, tidak hanya menjadi monopoli masyarakat Bali, tetapi sudah merupakan istilah yang sudah dikenal diseluruh tanah air, yang merupakan perbuatan seperti diuraikan diatas. Bedanya mungkin kalau di Bali perbuatan ini disamping merupakan perbuatan yang asusila, juga dipandang dapat mengganggu keseimbangan kosmis, sehingga dipandang oleh masyarakat adat sebagi perbuatan yang patut dilarang dan pelakunya dapat dikenakan sanksi adat.

6. Lokika Sanggraha

Sebagaimana dirumuskan didalam Kitab Adi Agama pasal 359 serta perkembangan pandangan masyarakat dan praktik peradilan di Daerah Bali

7


(29)

adalah hubungan cinta antara seorang pria dengan seorang wanita yang sama- sama belum terikat perkawinan, dilanjutkan dengan hubungan seksual atas dasar suka sama suka karena adanya janji dari si pria untuk mengawini si wanita, namun setelah si wanita hamil si pria memungkiri janji untuk mengawin si wanita dan memutuskan hubungan cintanya tanpa alasan yang sah.8

Lokika Sanggraha, merupakan salah satu delik ( perbuatan pidana) di bidang kesusilaan yang diciptakan, hidup dan ditaati oleh masyarakat Bali sejak zaman kerajaan dahulu hingga sekarang.

Lokika Sanggraha merupakan suatu perbuatan yang sangat bertentangan dengan norma- norma hukum adat, karena dianggap tidak selaras dengan keselamatan masyarakat, keselamatan golongan, ataupun keselamatan sesama anggota dalam lingkungan masyarakat hukum adat. Oleh karena itu, pelanggran terhadap delik adat Lokika Sanggraha selalu dikenakan sanksi ( adat). 9

C. Sanksi Adat dan Jenis- jenis Sanksi Adat

Emile Durkheim, mengatakan bahwa reaksi sosial yang berupa penghukuman atau sanksi itu sangat perlu dilakukan, sebab mempunyai maksud untuk mengadakan perawatan agar tradisi- tradisi kepercayaan adat menjadi tidak goyah sehingga kestabilan masyarakat dapat terwujud. ( Emile Durkheim, 1976: 502).

8

I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, hlm. 17

9


(30)

19

Lesquillier, juga mengemukakan bahwa reaksi adat ini merupakan tindak- tindakan yang bermaksud mengembalikan ketenteraman magis yang diganggu dan meniadakan atau menetralisasi suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran adat.

Dari beberapa pendapat para sarjana di atas dapat disimpulkan bahwa sanksi adat atau disebut pula dengan reaksi adat ataupun koreksi adat adalah merupakan bentuk tindakan ataupun usaha- usaha untuk mengembalikan ketidak- seimbangan termasuk pula ketidakseimbangan yang bersifat magis akibat adanya gangguan yang merupakan pelanggaran adat.10

Sanksi adat mempunyai fungsi dan peranan sebagai stabilisator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib. Di Bali sanksi adat memiliki peranan penting untuk mengembalikan keseimbangan tersebut.

Sanksi mempunyai peranan penting di dalam kehidupan masyarakat di Bali. Tidak hanya pelanggaran adat saja yang oleh masyarakatnya dikenakan sanksi adat, bahkan terhadap delik biasapun sering kali oleh masyarakatnya dibebani sanksi adat meskipun si pelaku sudah dipidana oleh Peradilan Umum.

Sanksi adat tersebut di atas tidak jauh berbeda dengan sanksi adat yang ada di daerah Bali hanya di pergunakan istilah- istilah tertentu guna memberi nama terhadap bentuk sanksi adat tersebut.

10


(31)

Untuk daerah Bali dikenal jenis- jenis sanksi- sanksi adat yang berupa: 1. Mengadakan upacara pembersihan ( pemarisudan, prayascita, dan lain- lain). 2. Denda ( dedosan), sejumlah uang yang dikenakan kepada seseorang yang

melanggar suatu ketentuan ( awig- awig) di banjar/ desa.

3. Minta maaf ( mengaksama atau mapilaku, lumaku, mengolas- olas)

4. Untuk golongan pendeta ada jenis sanksi yang disebut “ metirta Gemana atau

metirta yatra”

5. Dibuang ( maselong), adalah jenis sanksi adat yang sering didapat pada zaman kerajaan Bali dahulu, seperti halnya dibuang keluar kerajaan bahkan ada kalanya ke luar Bali

6. Ditenggelamkan ke laut ( merarung, mapulang ke pasih) 7. Meblagbag ( diikat)

8. Diusir ( ketundung) 9. Kerampag

10.Tidak diajak ngomong ( kesepekang)

11.Dan lain- lain ( Dherana dan Widnyana , 1975: 5)

Penerapan sanksi- sanksi adat tersebut di atas tidaklah sama pada tiap- tiap desa atau lingkungan masyarakat tertentu. Sebab terdapat beberapa factor yang ikut menentukan pilihan jenis serta beratnya sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran- pelanggaran adat tersebut.


(32)

21

Dengan adanya perkembangan masyarakat adat dewasa ini, beberapa sanksi adat di daerah Bali kurang menampakkan diri lagi karena diaggap kurang manusiawi, misalnya maselog, mapulang kepasih dan meblagbag.11

Ini berarti bahwa sanksi- sanksi adat tidaklah bersifat statis namun selalu mengikuti perkembangan masyarakat serta perkembangan hukum (tertulis) itu sendiri.

Lokika Sanggraha adalah merupakan salah satu bentuk delik adat kesusilaan yang dikenal di Bali, di samping bentuk- bentuk lainnya, seperti: - Drati Krama

- Gamia Gemana - Memitra Ngalang

- Salah Krama dan kumpul kebo.

Sebagaimana telah dikatakan bahwa perbuatan- perbuatan yang dilarang oleh ketentuan- ketentuan hukum adat haruslah benar- benar dirasakan oleh masyarakat adat setempat sebagai perbuatan yang tidak dibolehkan atau tidak patut dilakukan. Apabila dilakukan akan menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat tertentu atau keseluruhan warga masyarakat adat itu sendiri, sehingga dengan demikian akan menghambat tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat sebagaimana yang dicita- citakan, yaitu suatu keadaan yang damai dan tertib.12

11

I Made Widnyana, Kapita Selekta HUkum Pidana Adat, hlm. 45

12


(33)

22

A. Definisi Lokika Sanggraha

Sebelum kita langsung meninjau permasalahannya, maka baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan sex.

Sex in the character of being either male or female, the sum of anatomical and physical differences with reverence to which the male and female are

distinguished ( Jess Stein. 1955). Jadi, menurut Jess Stein, sex adalah ciri

makhluk entah jantan entah betina : ( dalam makna terkandung) masalah perbedaan anatomis dam phisiologis, atas dasar mana kedua jenis kelamin ( jantan atau betina) dapat dibedakan. 1

Menurut konsepsi hukum adat, apabila terjadi perbuatan pelanggran terhadap ketentuan norma adat, maka sanksi adat yang ada pada hakekatnya merupakan reaksi adat, isinya bukanlah berupa siksaan atau penderitaan ( leed) tetapi yang terutama adalah mengembalikan keseimbangan kosmisch, yang terganggu sebagai akibat adanya pelangaran. Jadi delict adat yang berhubungan dengan aktivitas sex adalah perbuatan yang berkaitan dengan sex yang dapat mengganggu keseimbangan baik yang bersifat materiil maupun interiil, perbuatan

1

I Gusti Ketut Sutha, Bunga Rampai Beberapa Aspekta Hukum Adat, ( Yogyakarta: Liberty, 1987), hlm. 67


(34)

23

mana menimbulkan reaksi yang disebut reaksi adat. Delict adat yang berhubungannya dengan sex adalah Delict Lokika Sanggraha.2

Lokika Sanggraha, merupakan salah satu delik ( perbuatan pidana) di bidang kesusilaan yang diciptakan, hidup dan ditaati oleh masyarakat Bali sejak zaman kerajaan dahulu hingga sekarang.

Sebagai Delik Adat yang sudah ada sejak zaman dahulu, tentu saja dalam perkembangannya mengalami perkembangan / penyesuaian dalam luas lingkup pengertian dan wujud sanksinya sesuai dengan perkembangan zaman.

Lokika Sanggraha merupakan suatu perbuatan yang sangat bertentangan dengan norma- norma hukum adat, karena dianggap tidak selaras dengan keselamatan sesame anggota dalam lingkungan masyarakat hukum adat. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap delik adat Lokika Sanggraha selalu dikenakan sanksi ( adat).

“Lokika Sanggraha” berasal dari bahasa sansekerta, yakniLokika berasal dari kata “laukika” berarti orang umum, orang banyak. Sedangkan Sanggraha berasal dari kata “Samgraha” yang berarti pegang (dalam arti luas), sentuh, hubungan.3 Jadi secara harfiah Lokika Sanggraha akan berarti ( di) pegang/ sentuh/ jamah orang banyak, usud ajak anak liu ( bahasa Bali) ( Institut Hindu Dharma, 1985: 2).

2

I Gusti Ketut Sutha, Bunga Rampai Beberapa Aspekta Hukum Adat, hlm. 76

3

Lilik Mulyadi, Delik Adat “ Lokika Sanggraha” Di Bali, Majalah Varia Peradilan. IKAHI


(35)

Lokika Sanggraha merupakan satu kata majemuk yang terdiri dari, serta secara harfiah mengandung arti:

1. Lokika berarti pertimbangan, perhitungan, estimit, perkiraan yang logis dan sebagainya.

2. Sanggraha yang mengandung makna: meladeni, melayani dan sebagainya. Khusus bagi yang kedua ini, perlu ditegaskan bahwa ia sangat mungkin bernilai negative atau positif secara moral dan spiritual, tergantung atas sifat hasrat/ keinginan yang diberi layanan bersangkutan. Sanggraha/ melayani, berarti berusaha agar pihak yang mendapat layanan itu merasa senang, nikmat dan sebagainya. Nikmat mengenai apa? Bila terwujud puas karena hasrat nurani luhur seseorang yang mendapat layanan ( layanan dalam belajar, dalam membela kebenaran/ keadilan dan sebagainya), maka upaya Sanggraha bersangkutan tentu saja bernilai positif secara etika kemanusiaan.

Tetapi bila yang dipuaskan itu adalah,,,,, gejolak nafsu? Tak pelak lagi, negatiflah nilai Sanggraha yang diberikan, bukan? Lalu, betapa artinya dalam rangkaian kata majemuk sebagai suatu istilah. Dengan demikian, arti Lokika Sanggraha adalah perbuatan yang dilakukan oleh seorang pria menghendaki ( layanan pemuas nafsu birahi) seorang wanita bebas ( muda/ janda) hingga hamil, kemudian tidak mengawini wanita bersangkutan, perbuatan mana bertentangan dengan lokika, bahwa setiap kehamilan hendaklah di upacarai/ biakaonan untuk sucinya nilai kehamilan tersebut ( menurut agama) serta pastinya status anak yang lahir dari kehamilan tersebut menurut hukum ( Kaler, 1983: 94).


(36)

25

Selanjutnya di dalam Mewana Dharma Sastra, Bab VIII, pasal 357 dan 358 disebutkan sebagai berikut:

- Upacarakrya kelih sparo bhusana wasasan

saha khatwasanam

sarwan samgrahanam smrtam - Striyam sprseda dese yah

sprsto wasasan

paras- paras yanumate

parwan samgrahanam smrtam

terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:

- Memberi hadiah kepada seorang wanita, bergurau bersamanya, memegang pakaiannya dan perhiasannya, duduk ditempat tidur dengannya, semua perbuatan ini dianggap perbuatan sanggraha.

- Bila seseorang ( laki) menyentuh wanita dibagian yang tidak harus disentuh atau membiarkan seseorang menyentuh bagian itu, semua itu dilakukan atas persetujuan bersama, dinyatakan sebagai perbuatan sanggraha ( Institut Hindu Dharma, 1985:8-9).4

Lokika Sanggraha ialah apabila seorang laki- laki mengadakan hubungan sexual dengan seorang wanita di luar ikatan perkawinan yang sah dan kemudian

4


(37)

menyebabkan hamilnya si wanita maka perbuatan atau peristiwa tersebut

dinamakan “ Lokika Sanggraha”.5

“Lokika Sanggraha” merupakan Delik Adat diatur dalam ketentuan Pasal

359 Kitab Adiagama, perumusan Delik Adat Lokika Sanggraha adalah:

Malih lokika sanggraha, loewir ipoen, djadma mededemenan, sane mowani neherang deen ipoen, djening djirih patjang kesisipang, awanan ipoen ngererehang daja, saoebajan iloeh kesanggoepin ; wastoeraoeh ring papadoewantoengkas paksana, sane loeh ngakoe kasanggama, sane mowani nglisang mapaksa ngoetjapang dewek ipoen kaparikosa antoek iloeh, jan aspoenika patoet tetes terangang pisan, jan djati imowani menemenin wenang ipoen sisipang danda oetama sahasa 24.000, poenika mawasta Lokia Sanggraha, oetjaping sastra.

Sedangkan terjemahan bebasnya :

Lagi Lokika Sanggraha yaitu : orang bersanggama, yang pria tidak berlanjut sukanya, karena takut akan dipersalahkan, makanya mencari daya upaya, janji si wanita disanggupi, akhirnya sampai di pengadilan, berbeda pengakuannya si wanita mengaku disenggama, si peria seketika menyatakan malah dirinya yang diperkosa oleh si wanita. Kalau demikian harus diusut agar jelas, kalau benar si pria yang berbuat, patut ia dihukum denda ; 24.000,- itu yang disebut Lokika Sanggraha sesuai bunyi sastra.

5


(38)

27

Pengertian Lokika Sanggraha ini lebih dipertegas lagi seperti definisi yang dikemukakan I Made Widnyana, yaitu suatu delik adat yang berupa seorang laki- laki menghamili perempuan di luar perkawinan dengan janji akan mengawini, tetapi ternyata tidak dikawini. Reaksi masyarakat terhadap peristiwa yang demikian adalah bahwa para pelaku dalam hal ini si laki diharuskan mengawini si wanita yang hamil karena perbuatannya. Apabila tidak mau maka sanksi- sanksi lainnya akan dijatuhkan. Jadi, perlindungan Hukum Agama terhadap perempuan korban delik adat lokika sanggraha hanya terbatas pada dikenakannya sanksi 24.000 uang kepeng.6

Menurut Drs. I Putu Wilasa inti dari delik Lokika Sanggraha merupakan hubungan suami istri tanpa ada upacara (pernikahan). Hubungan seksual baru bisa dilakukan setelah adanya upacara (pernikahan). Lokika Sanggraha dalam ajaran agama Hindu dapat dikatakan tindak pidana kesusilaan karena hubungan seksual hanya boleh dilakukan setelah adanya upacara karena itu termasuk masalah sacral atau suci.7

Menurut Putu Sugi Ardana Lokika Sanggraha merupakan hubungan seksual atas dasar suka sama suka di mana laki- laki menjanjikan kepada perempuan akan menikahinya namun ketika si perempuan itu hamil si laki- laki mengingkari janjinya. Kalau berbicara dalam perspektif hukum adat adat Hindu di

6

I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, ( Bandung: Eresco, 1993), hlm. 37

7

Wawancara Pribadi dengan Drs. I Putu Wilasa sebagai Ketua Parasida Hindu Darma Indonesia ( PHDI) Kab. Buleleng Bali, 08 Mei 2014 pukul. 13. 36 WITA


(39)

desa Hindu sangat diharamkan apabila si perempuan itu hamil sampai dengan melahirkan tanpa adanya upacara. 8

Tindak pidana adat Lokika Sanggraha sampai kini oleh masyarakat adat Hindu di Bali masih diperhatikan dan tetap dipertahankan oleh masyarakat. Lokika Sanggraha merupakan tindak pidana adat yang melanggar norma kesusilaan dan terhadap pelanggarnya dikenai sanksi adat. Kalau dilihat dari bunyi kitab Adhi Agama di atas, terhadap pelanggarnya diancam pidana denda yang cukup besar ialah denda utama sahasa 24.000 ( uang kepeng bolong Bali), karena pelanggaran terhadap Lokika Sanggraha dipandang sebagai tindak pidana yang cukup berat.9

Di samping pengertian tersebut, di dalam Kitab Adi Agama lebih lanjut mengenal Lokika Sanggraha juga dirumuskan sebagai berikut:

- Malih “ Lokika Sanggraha” djanma soewe madedemenan, tan wenten anak

lian saoeninga, ring tingkahe madedemenan, katakenan pada tan ngangken, djantos anak oening kekalih, patpat, pemoepoet madewagama, dening sakeng,

djerihnjah, raris pada ngangken’ ipoen mededemenan.

- Malih “ Lokika Sanggraha” djanma madedemenan masanggama toer soewe

tan wenten saoeninga, wastoe sane moewani manoeteorang anak olih demen,

8

Wawancara Pribadi dengan Bapak Putu Sugi Ardana Selaku Dosen Hukum Pidana Adat di Universitas Panji Sakti, Bali, 14 Mei 2014, Pukul. 10.29 WITA

9

Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum


(40)

29

sarawoehe ring padaoewan sane loeh noengkas angas tan ngakoe, poepoeting baos wenang madewa- gama, wastoe iloeh ngakoe kademenin.

- Malih “ Lokika Sanggraha” djadma kadalih madedemenan, tan j’ wakti kadi

pendalihe, kemaon memanah ngarjanang iwang anak, sakandan sang mandali sami kaatur ring papadoewan mapadoe tiga loeh moewani, djati ipoen padatan wenten. Wenang sang kadalih katjoran, jan pada poeroen, danda sang mandalih, kawalik sadia antoek djaman kakalih 20.000, andalame oetjaping sastra.

Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:

- Lagi Lokika Sanggraha, orang yang lama bersanggama tak seorangpun yang tahu, akhirnya ada orang lain yang mengetahui perbuatannya itu, tetapi kalau ditanya tidak mengakui, kemudian lalu diketahui 2, 3, 4 orang, akhirnya harus mendewa saksi ( disumpah), namun karena takutnya akhirnya mengakui perbuatannya.

- Lagi Lokika Sanggraha, orang bersenggama, dan lama tidak ada yang mengetahui, sampai si laki menceritakan perbuatannya, lalu sampai ke Pengadilan tetapi si wanita, menolak dan tidak mengakui, akhirnya harus madewa saksi ( disumpah), dalam pada itu si wanita mengakui dirinya disenggama.

- Lagi Lokika Sanggraha, orang yang dituduh bersenggama namun sesungguhnya tidak benar seperti yang dituduhkan itu, hanya bermaksud menjelek- jelekkan nama orang. Semua yang menuduh sampai ke Pengadilan


(41)

berperkara segi tiga laki perempuan. Tertuduh tetap tidak mengakui sampai yangbersangkutan harus kenai “ cor” ( sumpah), si tertuduhpun berani. Yang

menuduh dikenai denda, “ dibalik untung” oleh yang tertuduh. 10

Dari pengertian yang ada memberikan kesan satu dengan lainnya saling melengkapi dan bahkan menegaskan arti dari salah satu aspek Lokika Sanggraha.

Tindak pidana Adat Lokika Sanggraha di Bali sampai kini masih dipertahankan dengan latar belakang sebagai berikut:

1. Melindungi derajat kaum wanita, agar tidak dihina dan dipermainkan oleh kaum pria.

2. Menghindari lahirnya anak dengan status anak bebinjat ( anak haram).

3. Salah satu dari ketentuan Agama Hindu juga menetapkan bahwa umat Hindu hendaklah secara dread bhakti melaksanakan pitra/ pemujaan kepada leluhur, yang dimaksud adalah leluhur dalam garis kepurusan ( garis lelaki).11

Pada dasarnya, delik adat Lokika Sanggraha banyak terjadi dalam praktik peradilan di Bali. Kalau dikaji lebih detail, bagi masyarakat Bali Delik Adat Lokika Sanggraha merupakan perbuatan pidana yang mengganggu perasaan hukum dan perasaan keadilan dalam masyarakat adat yakni mengganggu keseimbangan kosmos baik alam lahir dan alam gaib. Apabila kalau dikorelatifkan ke dalam KUHP ternyata perbuatan tersebut tidak diatur di

10

I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, hlm. 38

11

Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana ( Depok, Thesis 1988) hlm. 140


(42)

31

dalamnya. Dalam ketentuan Pasal 10 KUHP maka jenis pemidanaan berupa

“pemulihan kewajiban adat” tidak dikenal di dalamnya. Kalau seorang pelaku Delik Adat Lokika Sanggraha telah dijatuhi pidana penjara, ternyata bagi masyarakat adat kuranglah sempurna tanpa diikuti “pemulihan kewajiban adat” guna mengembalikan keadaan kosmos yang terganggu. Sehingga bagi masyarakat adat Bali menghendaki penyelesaian bersifat materiil juga hendaknya diikuti pula penyelesaian bersifat immateriil serta berorientasi bersifat keagamaan. Penjatuhan pidana dalam hukum adat Bali bertujuan mengembalikan keseimbangan alam kosmos yakni alam lahir (“sekala”) dengan alam gaib (“niskala”) yang telah terganggu, oleh karena itu aspek agama Hindu berupa tata upacara keagamaan merupakan hal fundamental di dalamnya.12

B. Unsur- unsur Lokika Sanggraha

Menurut I Made Widnyana unsur- unsur delik adat Lokika Sanggraha sebagai berikut:

1. Adanya hubungan cinta ( pacaran) antara seorang pria yang sudah menikah dengan seorang wanita yang belum terikat perkawinan.

2. Antara pria dan wanita yang sedang bercinta tersebut terjadi hubungan seksual yang didasarkan atas suka sama suka.

3. Si pria telah berjanji akan mengawini si wanita

12


(43)

4. Hubungan seksual yang telah dilakukan menyebabkan si wanita menjadi hamil.

5. Si pria memungkiri janji untuk mengawini si wanita tanpa alasan.13 Penjelasan dari unsur - unsur Lokika Sanggraha yaitu:

1) Tentang adanya hubungan cinta antara seorang pria dengan seorang wanita,

disyaratkan si pria maupun si wanita harus masih berstatus “single” yaitu

belum terikat tali perkawinan. Andaikata salah satu pihak atau kedua- duanya masing- masing telah terikat tali perkawinan, tidaklah dapat perbuatan yang demikian disebut Lokika Sanggraha, namun dapat dikualifikasikan sebagai drati karma sebagaimana tercantum pada pasal 284 Kitab Undang- undang Hukum Pidana. Hubungan cinta ini dapat dibuktikan melalui petnjuk- petunjuk yang menunjukan ke arah itu, misalnya surat- surat yang bernada cinta yang pernah dikirimkan oleh si pria kepada gadisnya atau kunjungan tetap si pria kepada gadisnya dan lain- lainnya.14

2) Yang dimaksud hubungan seksual atau persetubuhan sesuai dengan Arrest Hoge Raad 5 Februari 1912, adalah perpaduan antara anggota kemaluan laki- laki dan perempuan yang biasa dilakukan untuk mendapatkan anak. Menurut Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung, apabila kenyataan seorang laki- laki dewasa terbukti tidur bersama dengan seorang perempuan dewasa dalam satu kamar ( yang keduanya dalam keadaan normal), merupakan petunjuk bahwa

13

http://www. Hukum Hindu Hidup Teratur Berdasarkan Dharma.html

14


(44)

33

lelaki itu telah bersetubuh dengan perempuan tersebut. Hubungan seksual ini haruslah didasarkan atas suka sama suka atau penyerahan secara pasrah serta ikhlas atas kehormatan si wanita, tanpa sedikitpun adanya unsure paksaan. Andaikata ada unsur paksaan maka sudah mengarah pada kejahatan pemerkosaan dari pasal 285 KUHP.

3) Menurut unsur ini si pria berjanji akan bertanggung jawab atas perbuatannya apabila terjadi kehamilan atas perbuatan mereka. Dari unsur inilah kemudian terjadi perkembangan pengertian dari Lokika Sanggraha dalam praktik pengadilan ( termasuk Raad Kerta), yaitu dengan menambah satu unsur lagi, unsur adanya kehamilan. Karena si gadis atau orang tuanya atau keluarganya baru merasa mendapat malu kemudian mengadu kepada yang berwajib apabila terjadi kehamilan ini. Andai kata kehamilan ini tidak terjadi, maka biasanya si gadis tidak pernah melaksanakan pemutusan hubungan cinta dari pacarnya, dan otomatis kasus Lokika Sanggraha pun tidak ada.

4) Syarat untuk adanya Lokika Sanggraha adalah hamilnya si wanita. Apabila hubungan seksual terebut tidak mengakibatkan si wanita hamil, konsekwensi logisnya adalah tidak ada Lokika Sanggraha.

5) Yang dimaksud dengan unsur ini adalah si pria mungkir atau mengaku tidak pernah berjanji untuk mengawini si wanita serta tidak melanjutkan hubungan cinta dengan gadisnya hingga ke jenjang perkawinan. Pemutusan ini secara sepihak, yaitu datangnya dari pihak si pria. Dan andaikata pemutusan itu datangnya dari pihak si gadis, hal tersebut bukanlah delik adat Lokika


(45)

Sanggraha. Ada beberapa factor penyebab pemutusan ini, misalnya: kebosanan, si laki- laki mendapat pacar baru, ketidak setujuan orang tua dan lain- lain.15

Melihat unsur- unsur Delik Lokika Sanggraha diuraikan diatas maka jenis ini adalah delik formil perbuatannya dilarang. Akan tetapi menurut pasal 359 Adhigama. Dalam praktek peradilan selama ini, mereka yang dapat dipidana hanya laki- laki terbukti berjanji untuk mengawini wanita, lalu mengadakan persetubuhan sehingga terjadi kehamilan, dan selanjutnya laki- laki itu tidak mau bertanggungjawab atas akibat perbuatannya itu. Jadi peradilan selama ini memberikan arti dari Delik Lokika Sanggraha adalah delik Materiil ( delik dianggap terlaksana dengan timbulnya akibat yang dilarang). Disamping itu, dalam praktek peradilan Delik Lokika Sanggraha lazim dipraktekan sebagai delik aduan.16

Jadi Lokika Sanggraha perbuatan yang dilakukan seorang pria menghendaki (layanan pemuas nafsu pribadi) seorang wanita bebas ( muda/ janda) kemudian tidak mengawini wanita bersangkutan, perbuatan mana bertentangan dengan Lokika Sanggrha, bahwa setiap kehamilan, hendaklah (menurut agama) serta pastinya status anak yang lahir dan kehamilan tersebut menurut hukum.

15

I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, hlm. 42

16

I Gusti Made Darmayana, Kedudukan Anak Luar Kawin Akibat Delik Lokika Sanggraha

Dalam Hukum Adat Waris Bali Di Kabupaten Tabanan Propinsi Bali, ( Tesis: Universitas Diponegoro, Semarang, 2003) hlm. 30


(46)

35

Sebagaimana yang dimaksud di atas perbuatan ini menurut hukum adat adalah delik. Atas ini kita bersyukur, khususnya adanya ketentuan Delik Lokika Sanggraha itu. Sedang menurut penegasan para ahli, dalam KUHP perbuatan jenis Lokika Sanggraha didepan tidak diatur. Lokika Sanggraha bukanlah norma hukum adat yang bernilai lahiriah social, melainkan social- religious adanya. 17

Dari apa yang telah diuraikan di atas ternyatalah banyak bentuk- bentuk atau wujud- wujud budaya yang timbul yang erat kaitannya dengan masalah sex. Kesemuanya itu pada hakekatnya adalah merupakan pandangan adat yaitu dalam hubungannya dengan bagaimana adat memandang kehidupan sex itu sendiri.18

C. Sanksi Lokika Sanggraha dalam Hukum Adat Bali

Sanksi adat yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 359 Kitab Adi Agama bila terjadi Lokika Sanggraha adalah berupa denda 24.000 ( dua puluh empat ribu) uang kepeng, yang dibebankan kepada laki- laki yang mengingkari janjinya untuk mengawini gadisnya. Dicantumkannya sanksi adat berupa denda dalam ketentuan tersebut di atas secara spontan yang tujuannya tiada lain untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu akibat perbuatan Lokika Sanggraha. Yang tidak jelas dari ketentuan tersebut adalah apakah ada keharusan si laki- laki mengawini ( menikahi) si gadis yang diputusi cintanya

17

I Gusti Made Darmayana, Kedudukan Anak Luar Kawin Akibat Delik Lokika Sanggraha

Dalam Hukum Adat Waris Bali Di Kabupaten Tabanan Propinsi Bali, hlm. 31

18


(47)

tersebut. Atau dengan perkataan lain, apakah ada suatu kewajiban si laki- laki untuk mengawini ( menikahi) si gadis yang dihamilinya itu.19

Jenis tindak pidana adat semacam Lokika Sanggraha ini juga terdapat di daerah lain misalnya di Palembang, Dr. Lublink Woddik memberitakan di dalam

disertasinya: “ Adat delicttenrecht in de rapat marga rechtspraak van Palembang”

( 1939), bahwa rapat- rapat marga sering mengadili perkara tentang: 1. Bujang gadis bergubalan lantas bunting

2. Janda bergubalan lantas bunting

3. Laki- laki berzina pada gadis atau janda tidak bunting 4. Bunting gelap

Hukuman yang dijatuhkan oleh rapat- rapat marga tersebut, ialah denda dan pembasuh dusun. Dimana terang siapa yang menyebabkan bunting itu. Maka rapat marga memutuskan supaya laki- laki mengawini gadis yang bersangkutan dan jikalau laki- laki itu tidak sanggup kawin, ia harus membayar uang “

penyingsingan” kepada pihak yang terkena.20

Apa yang terdapat di Palembang tersebut serupa dengan kasus Lokika Sanggraha yang di kenal di Bali. Di Bali untuk kasus Lokika Sanggraha penjatuhan sanksi ( reaksi) adatnya hanyalah terbatas pada denda 24.000 uang kepeng, sedang di Palembang memberikan pilihan kepada si laki- laki apakah ia

19

I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, hlm. 47

20

Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat Pembaharuan Hukum Pidana, ( Depok, Thesis, 1988) hlm. 140


(48)

37

akan mengawini si gadis ataukah membayar uang denda. Jadi pemaksaan untuk kawin atau tidak dikenal dalam Hukum Adat daerah Palembang, apabila terjadi seorang laki- laki menghamili seorang gadis.

Di Bali, suasana yang tertib dan tentram dalam masyarakat adat dapat terwujud karena di pengaruhi oleh cara menyelesaikan suatu persoalan yang

timbul dalam masyarakat yang selalu berpegang teguh pada “ Catur Dresta”,yaitu

suatu penuntutan didalam menyelesaikan suatu sengketa atas masalah.

Demikian juga apabila pengurus desa dalam menangani delik adat Lokika Sanggraha, haruslah berpedoman pada Catur Dresta serta awig- awig yang berlaku pada masyarakat adat yang bersangkutan. Apabila ada laporan atau diketahui telah terjadi delik adat Lokika Sanggraha, maka pengurus desa akan segera mengadakan rapat membicarakan masalah tersebut dengan memanggil si korban ( si wanita yang hamil) untuk dimintai keterangan. Keterangan dari pihak korban ini akan dipakai dasar oleh pengurus untuk memanggil si pelaku ( laki- laki yang menghamili) untuk dimintai keterangan serta penyelesaian permasalahannya. Tidak ada permasalahan andai kata si laki- laki itu mengakui perbuatannya, dan pengurus desa hanya menganjurkan agar segera menikahi si gadis dan mengakui anak yang dikandungnya. Di desa adat Sebatu, kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar walaupun yang laki- laki mau bertanggung jawab atau mengawini si wanita yang hamil, namun kedua si pelaku itu tetep harus melakukan upacara membersihkan desa. Kewajiban ini dilakukan karena mereka


(49)

tetap dianggap telah melanggar adat desa melakukan hubungan seks sebelum menikah ( Setiabudhi, 1985: 119).

Dalam hal laki- laki yang menghamili tidak mau bertanggung jawab untuk mengawini wanita yang dihamili dengan berbagai alasan, maka masyarakat adat akan mengenakan sanksi berupa kewajiban untuk melakukan upacara “

Pemarisudhan” atau melakukan upacara “ Pecaruan”.21

Apabila si laki- laki tidak mau melaksanakan kewajiban adat yang telah ditentukan oleh pengurus desa, maka untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat perbuatan itu, maka upacara pembersihan desa itu akan dilakukan oleh desa adat yang bersangkutan. Dan si laki- laki yang mengotori

desa adat itu dikenakan sanksi adat yang disebut “ kasepekeng”, artinya laki- laki

tersebut oleh warga desa adat bersangkutan tidak akan diajak ngomong (berbicara) untuk waktu tertentu sampai ia mohon maaf kepada pengurus desa serta melakukan suatu kewajiban yang ditentukan kemudian oleh pengurus desa. Atau andaikata terjadi hal yang demikian maka pengurus desa adat dapat menganjurkan kepada wanita yang dihamili tersebut agar mengadukan masalahnya kepada polisi untuk diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa kewajiban adat ( sanksi adat) tetap dikenakan terhadap laki- laki yang menghamili tersebut, bilamana ia telah selesai menjalani masa pidana yang dijatuhkan oleh hakim. Di Bali, sanksi adat biasanya lebih ditakuti dibandingkan dengan pidana yang dijatuhkan oleh hakim, ini

21


(50)

39

disebabkan karena sanksi adat dewasa ini lebih menitikberatkan pada penderitaan batin serta mempunyai kekuatan gaib, di mana norma agama tersebut tercermin di dalamnya.22

22


(51)

40

TERHADAP DELIK ADAT LOKIKA SANGGRAHA

Di sini penulis akan meninjau delik adat Lokika Sanggraha dengan hukum pidana Islam berdasarkan unsur- unsur yang terdapat di dalam delik adat lokika sanggraha yang menurut hukum pidana Islam dianggap melanggar. Dari 5 (lima) unsur yang terdapat dalam delik adat Lokika Sanggraha, terdapat 2 (dua) unsur yang dapat dianggap melanggar, yakni (1) terjadinya hubungan seksual, dan (2) si pria mengingkari janji untuk mengawini wanita.

A. Terjadinya Hubungan Seksual

Dalam hukum pidana Islam unsur ini disebut tindak pidana zina yang termasuk kategori hudud. Selanjutnya akan penulis jelaskan secara rinci sebagai berikut :

1. Definisi Zina

Zina ialah perbuatan bersenggama antara laki- laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan ( perkawinan) atau perbuatan bersenggama seorang laki- laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan orang laki- laki yang bukan suaminya.

Senggama adalah mengadakan hubungan kelamin, bersetubuh. Manurut Muhammad Ali as- Sabuni, zina adalah:


(52)

41

“ zina menurut arti bahasa adalah persetubuhan yang diharamkan, dan zina

menurut Syar‟î ialah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki- laki dengan seorang perempuan melalui ( pada) vagina diluar nikah dan bukan

nikah syubhat”1

Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, zina adalah “ Hubungan seksual antara seorang laki- laki dengan seorang perempuan yang tidak atau belum diikat dalam perkawinan tanpa disertai unsur keraguan dalam hubungan seksual tersebut.2

Abdul Qadir Audah berpendapat bahwa zina ialah hubungan badan yang diharamkan dan disengaja oleh pelakunya. Yang dimaksud dengan hubungan badan yang diharamkan itu adalah memasukan penis laki- laki ke vagina perempuan, baik seluruhnya atau sebagian ( Iltiqâ‟ al-Khitânain).3

Beberapa definisi lain tentang pengertian zina yang dikemukakan oleh berbagai ulama mazhab menunjukan pengertian yang hampir sama. Hanya seperti ulama Hanabilah dan ulama Zidiyah menambahkan jimak melalui dubur.

1

Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta:

Bulan Bintang, 2003) hlm. 25

2

Neng Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang- undangan di Indonesia Ditinjau Dari Hukum Islam, ( Jakarta: Kencana, 2010. Hlm. 119

3

Abdul Qadir Audah, Al- Tasyri‟ Al- Jina‟i Al- Islami Muqaranan bi Al- Qanun Al- Wad‟i, (


(53)

Artinya :“persenggamaan yang dilakukan oleh seorang mukallaf terhadap farji manusia yang tidak ada kepemilikan baginya terhadap farji tersebut secara kesepakatan Ulama, hal keadaannya ia lakukan persetubuhan tersebut

secara sengaja.”

Artinya: Persetubuhan yang dilakukan seorang laki- laki kepada seorang perempuan terhadap kemaluan depannya dengan tanpa ada kepemilikan dan syubhat kepemilikan.

Artinya: Memasukkan zakar ke dalam farji yang haram baginya, yang sunyi dari syubhat oleh farji tersebut, yang diingini.

Artinya: Perbuatan yang keji yang dilakukan dikemaluan bagian depan maupun belakang.

Artinya: Persetubuhan yang dilakukan terhadap orang yang tidak halal memandang kepadanya bersamaan dengan pengetahuannya terhadap keharaman. Atau persetubuhan yang diharamkan zatnya.

Artinya: Memasukan kemaluan ke dalam kemaluan orang yang hidup yang diharamkan baik kemaluan depan maupun belakang dengan tanpa adanya syubhat.


(54)

43

Dari beberapa definisi tersebut yang akan dipergunakan sebagai pegangan selanjutnya adalah definisi yang dikemukakan oleh Muhammad Ali As- Sabuni karena lebih sesuai dengan pandangan umumnya para ulama. 4

Mengenai kekejian jarimah zina ini, Muhammad Al- Khatib Al- Syarbini mengatakan, zina termasuk dosa- dosa besar yang paling keji, tidak satu agama pun yang menghalalkannya. Oleh sebab itu, sanksinya juga sangat berat, karena mengancam kehormatan dan hubungan nasab. 5

Seperti yang diuraikan di muka bahwa manusia secara naluriah memiliki nafsu syahwat kepada lawan jenisnya. Jika nafsu syahwatnya itu begitu besar, maka nafsu syahwat tersebut bias mengalahkan akal budinya atau akal sehat dan kendali moral. Artinya jika akal sehat dan keyakinan moral tidak cukup kuat untuk mengendalikan gejolak nafsu syahwat kepada lawan jenisnya karena gejolak nafsu syahwatnya begitu bergelora maka manusia tersebut akan terjerumus kepada perbuatan zina, apabila mereka tidak menempuh jalur pernikahan yang sah.6

2. Unsur- unsur Tindak Pidana Zina

Telah jelas dari apa yang telah lalu bahwasanya Fuqaha berbeda pendapat mengenai definisi zina. Akan tetapi bersamaan dengan perbedaan pendapat tersebut, mereka sepakat bahwasanya zina adalah persetubuhan yang

4

Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, hlm. 26

5

M. Nurul Irfan dan Masyarofah, Fiqh Jinayah, ( Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 18

6

Asyhari Abd Ghofar, Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil Suatu Pergeseran Nilai Sosial, ( Jakarta: Citra Harta Prima, 2001), hlm. 18


(55)

diharamkan yang dilakukan secara sengaja. Dari sini mereka sepakat bahwasanya bagi tindak pidana zina ada 2 (dua) rukun, yaitu : a. Persetubuhan yang diharamkan. b. Persetubuhan dilakukan secara sengaja atau ada tujuan melakukan tindak pidana. Selanjutnya akan kami jelaskan mengenai 2 (dua) rukun ini secara rinci.7

a. Persetubuhan Yang Diharamkan

Persetubuhan yang dianggap sebagai zina adalah persetubuhan dalam farji (kemaluan). Ukurannya adalah apabila kepala kemaluan

(hasyafah) telah masuk ke dalam farji walaupun sedikit. Juga dianggap

sebagai zina walaupun ada penghalang antara zakar (kemaluan laki- laki) dan farji (kemaluan perempuan), selama penghalangnya tipis yang tidak menghalangi perasaan dan kenikmatan bersenggama.

Di samping itu, untuk menentukan persetubuhan sebagai zina adalah persetubuhan yang terjadi bukan pada miliknya sendiri. Dengan demikian, apabila persetubuhan terjadi dalam lingkungan hak milik sendiri karena ikatan perkawinan maka persetubuhannya tersebut tidak dianggap sebagai zina, walaupun persetubuhannya itu diharamkan karena suatu sebab. Hal ini karena hukum haramnya persetubuhan tersebut datang belakangan karena adanya suatu sebab bukan karena zatnya. Contohnya, seperti menyetubuhi isteri yang sedang haid, nifas, atau sedang berpuasa

7

Abdul Qadir Audah, Al- Tasyri‟ Al- Jina‟i Al- Islami Muqaranan bi Al- Qanun Al- Wad‟i,


(56)

45

Ramadhan. Persetubuhan ini semuanya dilarang, tetapi tidak dianggap sebagai zina.

Apabila persetubuhan tidak memenuhi ketentuan- ketentuan tersebut maka tidak dianggap sebagai zina yang dikenai hukuman had, melainkan hanya tergolong kepada perbuatan maksiat yang diancam

dengan hukuman ta’zir, walaupun perbuatannya itu merupakan

pendahuluan dari zina. Contohnya seperti mufakhadzah ( memasukkan penis diantara dua paha), atau memasukkannya ke dalam mulut, atau sentuhan- sentuhan diluar farji. Demikian pula perbuatan maksiat yang

lain yang juga merupakan pendahuluan dari zina dikenai hukuman ta’zir.

Contohnya seperti ciuman, berpelukan, bersunyia- sunyi dengan wanita asing ( bukan muhrim), atau tidur bersamanya dalam satu ranjang. Perbuatan ini dan semacamnya yang merupakan rangsangan terhadap

perbuatan zina merupakan maksiat yang harus dikenai hukuman ta’zir.8

b. Persetubuhan Dilakukan Secara Sengaja

Disyaratkan dalam tindak pidana zina bahwa mencukupi disisi pezina laki- laki atau pezina perempuan adanya unsur kesengajaan atau maksud melakukan tindak pidana, dianggap telah tepenuhinya maksud melakukan tindak pidana apabila si pezina ( laki- laki) telah melakukan perbuatan yang ia mengetahui bahwasanya ia menyetubuhi perempuan yang diharamkan atasnya, atau apabila si pezina perempuan telah pasrah

8

Ahmad Mawardi Muslich, , Hukum Pidana Islam, cet. 1, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2005),


(57)

atau menyerahkan dirinya dan dia mengetahui bahwasanya laki- laki yang menyetubuhinya itu diharamkan atasnya.

Maka jika seseorang diantara keduanya tersebut melakukan perbuatan tersebut secara sengaja sedangkan dia tidak mengetahui akan keharamanya maka tidak wajib diberikan hukuman had baginya. Contohnya, seperti orang yang membawa pengantin kepada seorang laki- laki padahal pengantin tersebut bukan istri dari laki- laki tersebut kemudian laki- laki tersebut menyetubuhinya. Ia mengira bahwasanya perempuan tersebut adalah istrinya, dan contoh lain seperti seorang laki- laki mendapati seorang perempuan berada di tempat tidurnya lalu ia menyetubuhinya hanya ia berkeyakinan bahwasanya perempuan tersebut adalah istrinya.

3. Dasar Hukum Larangan Zina a. al- Qur’an

Secara eksplisit Allah menegaskan larangan mendekati perbuatan zina di dalam ayat yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW. Masih dalam periode Makiyyah karena perbuatan zina itu adalah perbuatan keji dan jalan (prilaku) hidup yang paling buruk. Dalam Surat

al-Isra’, 17: 32, disebutkan :

















Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu


(58)

47

Dalam ayat ini dua hal yang dilarang yaitu mendekati perbuatan zina dan mengerjakan perbuatan zina itu sendiri karena perbuatan zina itu adalah perbuatan keji dan jalan hidup yang buruk. Mendekati perbuatan zina saja sudah dilarang apalagi mengerjakan perbuatan zina itu. Oleh karena itu Allah mengharamkan perbuatan zina dan menghukum pelakunya dengan sanksi hukuman yang keras.9

b. Hadits

Artinya: “Dari Ubadah bin Shomit dia telah berkata, Bersabda

Rasulullah saw, ambillah kamu dari padaku, ( sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi mereka) yaitu perempuan perawan yang berzina dengan laki- laki bujangan hukuman mereka ( masing- masing) didera 100 kali dan diasingkan satu tahun, dan janda apabila berzina dengan duda

hukumannya dera 100 kali ditambah rajam.”10

Dalam hadist ini dijelaskan bahwa pezina laki- laki atau baik bujang ataupun perawan, begitu pula baik dia itu janda maupun duda semuanya diancam/ dikenakan sangsi apabila berbuat zina, meskipun sangsinya berbeda- beda.11

9

Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, hlm. 60-61

10

Ibnu Hibban, Sahih Ibn Hibban, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), juz. 10, hlm. 271

11

Asyhari Abd Ghofar, Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil


(59)

c. Ijma’

Selain al- Qur’an dan Hadits, dasar hukum pengharaman zina juga

besumber dari Ijma’ Ulama, hal ini sebagaimana yang tertulis di dalam

kitab al-Ijma’ bahwasanya Ulama telah sepakat mengenai keharaman perbuatan zina.12

4. Macam- Macam Zina

a. Zina Muhshan adalah zina yang dilakukan oleh laki- laki atau perempuan yang sudah berkeluarga ( bersuami/ beristri). Dengan kata lain zina

muhshan adalah persetubuhan diluar dengan seorang perempuan yang

sudah pernah melakukan pernikahan yang sah menurut agama Islam.13 b. Zina ghairu muhshan adalah zina yang dilakukan oleh laki- laki dan

perempuan yang belum berkeluarga.14 Dengan kata lain zina ghairu

muhshan dapat dikatakan dengan persetubuhan diluar nikah yang

dilakukan oleh seorang ( laki- laki/ perempuan) yang belum pernah terikat dalam suatu pernikahan yang sah ( jejaka/ perawan) menurut agama Islam.15

12

Ibnu Mundzir, al- Ijma‟, (Makkah: Maktabah Makkah al- Tsaqafiyyah, 1999), hlm. 160

13

Ishlah Farid, Delik Perzinaan dalam Perspektif KUHP dan Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Skripsi, 2011), hlm. 46

14

Ahmad Reza Fahlefi, Sanksi Zina Transeksual Dalam Tinjauan Hukum Pidana Islam, (

Jakarta: Skripsi, 2013), hlm. 41

15

Ishlah Farid, Delik Perzinaan dalam Perspektif KUHP dan Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Skripsi, 2011), hlm. 46


(60)

49

Dari definisi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa perbedaan yang prinsipil antara zina muhshan dan zina ghairu muhshan adalah terletak antara pernah mengalami senggama dengan cara yang sah dengan yang belum pernah menikah sama sekali. Apabila terjadi perzinaan antara seorang laki- laki dengan seorang perempuan, bias jadi kedua- duanya telah menikah atau salah satunya yang sudah menikah dan satunya lagi belum menikah ( ghairu

muhshan ) serta bias jadi pula kedua- duanya ghairu muhshan ( belum

menikah).

Dalam hal ini Tindak Pidana ( Lokika Sanggraha) dapat dimasukkan dalam kategori zina ghairu muhshan karena seperti yang kita ketahui dari definisi lokika sanggraha di atas yaitu melakukan hubungan biologis antara laki- laki dan perempuan tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah.

5. Sanksi Pidana Perzinaan ( Lokika Sanggraha) dalam Hukum Pidana Islam

Pada permulaan ajaran Islam, hukuman bagi pelaku tindak pidana zina adalah dipenjarakan didalam rumah dan disakiti, baik dengan pukulan maupun dengan dipermalukan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat

an- Nisa’ ayat 15- 16:
















































(1)

adat serta melakukan suatu kewajiban yang telah ditentukan oleh bendesa adat.

3. Dalam hukum pidana Islam delik Lokika Sanggraha masuk dalam kategori zina ghairu muhshan karena di dalamnya terkadung unsur melakukan persetubuhan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah. Sehingga delik adat Lokika Sanggraha ini dapat dijatuhi hukuman dera dan diasingkan sesuai dengan QS. an- Nuur ( 24): 2, dan hadis dari Ubadah bin Shamit pada halaman sebelumnya.

B. Saran

Berdasarkan pemaparan skripsi ini, maka penulis memaparkan beberapa saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak diantaranya sebagai berikut:

1. Orang Tua

Dalam keluarga, orang tua menjadi pihak penentu utama dalam pertumbuhan dan pembentukan sebuah moral seorang anak. Pola asuh menjadi hal yang paling penting. Ketika orang tua mendidik anaknya dengan hal yang negative, maka suatu saat hal negative tersebut akan selalu terbawa dalam kehidupan sang anak. Tetapi ketika orang tua mendidik anaknya dengan didikan yang baik dan kasih saying yang cukup, niscaya anak tersebut akan menjadi anak yang dapat menjalankan kehidupannya yang baik tanpa harus melanggar kodratnya.


(2)

65

2. Masyarakat adat

Hendaknya membuat peraturan daerah atau awig- awig yang jelas dan tegas agar para remaja pada zaman sekarang agar bisa menjaga kehormatan mereka dalam bergaul baik dengan laki- laki maupun dengan wanita sebab hal tersebut akan berdampak terhadap diri sendiri, orang tua dan masyarakat tertentu.


(3)

66 al-Qur’an

Abduh Malik, Muhammad 2003, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, Jakarta: Bintang

Badan Pembinaan Hukum Nasional ( BPHN) 1975, Simposium Pengaruh Kebudayaan/ Agama Terhadap Hukum Pidana, Bandung: PT Rindang Mukti

Bali Post

Djazuli, Ahamd 1997. Fiqh Jinayah ( Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Djubaedah, Neng 2010, Perzinaan Dalam Perundang- undangan di Indonesia Ditinjau Dari Hukum Islam, Jakarta: Kencana

Ekasana, I Made Suastika 2012. Seri Dharmasthya ( Hukum Perdata Hindu) Dharma Bandhu Hukum keluarga Hindu, Surabaya: Paramita

Hadikusuma, Hilman 1989. Hukum Pidana Adat, Bandung: PT Alumni

Husaini Adian, Rajam Dalam Arus Syahwat Penerapan Hukum Rajam di Indonesia Dalam Tinjauan Syariat Islam, Hukum Positif dan Politik Global, Jakarta: Pustaka al- Kautsar.

Ketut Sutha, I Gusti, 1987, Bunga Rampai Beberapa Aspekta Hukum Adat, Yogyakarta: Liberty

Mulyadi Lilik, 1987Delik Adat “Lokika Sanggraha“ Di Bali, Majalah Varia

Marpaung, Leden. 2008. Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Jakarta: Sinar Grafika

Nurul Irfan, Muhammad dan Masyrofah, 2013, Fiqh Jinayah , Jakarta: Amzah Peradilan, Penerbit IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia), Jakarta Oktober, Jurnal Serikat Putra Jaya, Nyoman 1988. Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam


(4)

67

Soekanto, Soerjono 2010. Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers

Surpha, I Wayan 2006. Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Denpasar, Pustaka Sutha , I Gusti Ketut. 1987. Bunga Rampai Beberapa Aspek Hukum Adat,

Yogyakarta: Liberty Thesis, Unika Soegijapranata, pdf.

Widnyana, I Made. 1993. Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: Eresco Wardi Muslich, Ahmad. 2005. Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika. Zuhaili, Wahbah. 1989. Al- Fiqh al- Islamiy wa Adillatuh. Damaskus: Dar al- Fikr


(5)

(6)