11
Tekstil berasal dari bahasa Latin, yaitu textiles yang berarti menenun atau kain tenun. Tekstil berarti pula: 1 Suatu benda yang dibuat dari benang,
kemudian dijadikan kain sebagai bahan pakaian, 2 Suatu benda yang berasal dari serat atau benang yang dianyam ditenun atau dirajut, direnda, dilapis,
dikempa untuk dijadikan bahan pakaian atau untuk keperluan yang lainnya Gunadi dalam Djafrie, 2003.
Dengan proses dan petahapan seperti itu, pengklasifikasian TPT dilakukan berdasarkan tujuan penggunaan TPT itu sendiri, sehingga menimbulkan cara
pengklasifikasian. Pada saat ini terdapat dua jenis klasifikasi TPT, yaitu klasifikasi berdasarkan proses produk atau industri Harmonized System
Lampiran 1 dan berdasarkan jenis komoditas perdagangan Standart International Trade Classification Lampiran 2.
2.2. Industri TPT Indonesia
Pada awal pemerintahan Orde Baru, kegiatan industri TPT terbatas pada penenunan dan pemintalan dalam jumlah yang masih sangat terbatas. Tujuan
produksinya masih terkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan produk tekstil yang dihasilkan masih sangat sederhana, karena sebagian besar
berbentuk kain. Perkembangan industri TPT ini berkaitan dengan strategi pengembangan industrialisasi nasional yang berorientasi pada substitusi impor,
yang distimulasi pula dengan penjatahan kain mori dan benang. Proses pendalaman struktur industri tekstil terjadi pada pertengahan tahun 1970an, saat
para pengusaha tekstil terjun dalam pembuatan serat sintetik dan mulai melakukan ekspor.Klasifikasi industri TPT yang digunakan Indonesia, adalah
sebagai berikut: 1. Sektor hulu upstream adalah industri pembuat serat, yaitu serat tekstil,
kapas, serat sintetik, serat selulosa, dan bahan baku serat sintetik. Sektor ini
12
merupakan sektor yang sarat dengan teknologi tinggi dengan peralatan yang serba otomatis.
a. Serat alam nature fiber
Tanpa memperdebatkan pengaruh iklim dan skala ekonomi dalam mengembangkan industri serat alami kapas, Indonesia belum mampu
menghasilkan serat alam kapas sebagai bahan industri TPT yang mampu bersaing dengan negara lain, seperti Australia, China, Pakistan, dan India
di luar Amerika Serikat. Berbeda dengan serat buatan, serat nabati sangat mungkin untuk dikembangkan di Indonesia. Sedangkan serat
hewani, kecuali sutera, sulit dikembangkan karena iklim yang tidak mendukung. Serat haramay adalah jenis serat yang berpeluang besar.
Masalah degumming pembersihan getah dari serat, belum adanya sorting dan grading pada hasil tanaman haramay, membuat industri
pemintalan jarang menggunakannya Istojo, 2002.
b. Serat buatan man made fiber, contohnya serat sintetik
Indonesia termasuk pemasok terbesar serat polyester dan pemegang kuota untuk serat polyester di Eropa. Selain itu serat selulosa juga
berkembang pesat di Indonesia. Bahan jadi serat ini tidak dikembangkan untuk tujuan ekspor karena sifatnya lebih mendekati kapas atau lebih
sesuai untuk daerah tropis.
2. Sektor menengah midstream terdiri dari industri pemintalan spinning, pertenunan weaving, dan pencelupan atau penyempurnaan
dyeingfinishing. Sektor ini bersifat padat modal dan teknologi yang digunakan telah berkembang pesat serta sangat tergantung pada perubahan
teknologi di luar teknologi tekstil. Meskipun demikian sektor menengah menyerap tenaga kerja yang lebih besar dari sektor hulu, terutama pada sub
sektor pertenunan sangat dipengaruhi oleh hasil kreativitas para designer
13
dalam mengikuti fashion trend. Di Indonesia industri pertenunan atau perajutan merupakan industri besar, sedangkan di negara maju justru
menjadi industri kecil yang menerima job order dari industri besar. Industri pemintalan Indonesia rata-rata menempati posisi lemah untuk produk benang
kapas kasar Ne 30 ke bawah dan halus Ne 60 ke atas. Produk benang kapas ukuran menengah Ne 30-60 dan serat campuran sangat disegani,
sehingga industri pertenunan bersikap selektif dalam pembelian bahan baku. Misalkan untuk pembelian benang kapas kelas tinggi diimpor dari China,
untuk kelas menengah dibeli dari dalam negeri dan untuk kelas kasar diimpor dari India dan Pakistan. Dengan cara ini maka diperoleh komposisi
bahan setengah jadi dengan harga yang paling rendah. Indonesia dikenal sebagai negara eksportir kain weaving grey dengan
kapasitas produksi yang cukup besar. Dalam peta konsumsi serat dunia, industri weaving mengkonsumsi sekitar 51 persen dari total serat yang
dikonsumsi dunia. Industri finishing dan printing merupakan titik terlemah industri TPT Indonesia, baik dalam total kapasitas maupun variasi kapasitas
mesin Istojo, 2002. Finishing yang ada umumnya ditujukan untuk pemutihan bleaching secara masal dan hanya untuk produk buatan sendiri, meskipun
kemampuan ini seharusnya dapat digunakan untuk menyempurnakan produk pesanan. Proses finishing tidak berkembang karena tingginya royalty dan
licensed fee. Dengan pertimbangan tersebut, maka lebih menguntungkan mengekspor lembaran grey yang belum diputihkan dan mengimpor lagi
setelah di-printing. Berbeda dengan industri pemintalan, industri finishing dan printing berkembang lebih lambat karena kurang berkembangnya teknologi
yang digunakan.
3. Sektor hilir downstream meliputi industri pakaian jadi garment atau
produk tekstil, yaitu sektor padat karya yang tidak padat modal, tetapi dengan
14
modal kerja yang besar. Industri garmen membutuhkan keputusan yang kompleks dalam memperkirakan input dan outputnya. Adapun yang membuat
berbeda dengan industri lainnya adalah industri garmen adalah padat karya, selama ini sistem komputerisasi tidak dapat menggantikan keahlian tenaga
kerja. Menjahit adalah contoh utama dimana proses ini tidak dapat diotomatiskan. Diperlukan kekompakan dan kecepatan team, karena
fleksibilitas yang tinggi dalam melayani konsumen akhir yang sangat variatif. Segmen pasar dunia saat ini dikuasai oleh negara maju, misalnya Perancis
dan Italia untuk tekstil halus, sedangkan untuk tekstil kasar oleh China. Oleh sebab itu Indonesia berusaha untuk memasuki kelas antara keduanya.
Tujuan pasar utamanya adalah negara berkembang yang tinggi tingkat perekonomiannya.
Struktur industri TPT Indonesia terdiri dari banyak pemain dan terdapat persaingan yang sangat ketat antar perusahaan dalam industri. Hal ini terlihat
dari volatilitas peringkat pencapaian laba bersih perusahaan yang sangat tinggi Wibowo, 2000. Berdasarkan data dari Departemen Perindustrian, jumlah
perusahaan dalam industri TPT sekitar 88 pada tahun 1987 menjadi 2 000 perusahaan pada tahun 1992 serta mencapai 2 654 perusahaan pada tahun
2003. Dari jumlah tersebut 28 perusahaan di antaranya adalah produsen serat, 204 produsen benang, 1 043 produsen kain, 855 produsen garmen, dan 524
lainnya adalah produsen produk-produk tekstil. Pada tahun 2005, terdapat 1 799 perusahaan dalam industri TPT. Banyaknya pemain menunjukkan bahwa industri
TPT masih memberikan insentif ekonomi yang menarik. Namun demikian faktor perubahan nilai tukar Rupiah terhadap US sangat mempengaruhi profitabilitas,
sehingga ketergantungan industri TPT terhadap pemasok menjadi tinggi. Perlu diketahui bahwa bahan baku berupa kapas sebagian besar masih diimpor dan
hal ini membuat bergaining position produsen TPT terhadap pemasok lemah.
15
Kebutuhan kapas tidak dapat dipenuhi di dalam negeri karena dua faktor, yaitu rendahnya nilai ekonomi tanaman kapas dan iklim yang tidak mendukung
pertumbuhan tanaman kapas. Adapun skala usaha yang mendominasi pada industri TPT adalah industri besar 89.71 persen dengan jumlah tenaga kerja
mencapai 100 hingga 13 000 orang, sedangkan yang kedua adalah industri menengah 8.43 persen, dan yang terakhir industri kecil 1.86 persen.
Berdasarkan distribusi geografis Gambar 5, 90 persen industri TPT Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa, khususnya Jawa Barat.
Gambar 5. Lokasi Industri TPT di Indonesia
Sumber: Departemen Perindustrian dalam Bank Indonesia, 2006. Industri TPT mempunyai karakteristik fundamental yang melibatkan
aktivitas besar, sehingga banyak menggunakan kombinasi antara tenaga kerja dan modal. Produksi tekstil memerlukan kebutuhan modal yang lebih tinggi
dibandingkan kebutuhan akan tenaga kerja. Sistem produksi tekstil banyak dilakukan secara mekanik dan terintegrasi. Oleh sebab itu pemasangan mesin
sebagai kapasitas terpasang di sektor industri tekstil sangat sarat dengan modal dan cenderung kurang fleksibel dalam menyesuaikan dengan kebutuhan pasar.
Pada tahun 2005, penggunaan kapasitas terpasang industri tekstil rata-rata mencapai 75 persen, sedangkan industri garmen rata-rata mencapai 80 persen.
16
Menurut PT. Sucofindo, 57 persen mesin-mesin perusahaan TPT di Indonesia telah berumur 15 tahun, 18 persen di antaranya berumur 10-15 tahun,
18 persen berumur 5-10 tahun, dan 7 persen berumur di bawah 5 tahun Tabel 2. Terdapat lebih dari 4 100 perusahaan tekstil, sebanyak 774 perusahaan di
antaranya membutuhkan pergantian mesin-mesin yang telah usang. Keadaan mesin pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan memproduksi TPT.
Tabel 2. Kondisi Mesin Industri TPT di Indonesia Tahun 2004 No.
Sub Sektor Umur tahun
Jumlah unit
5 629
10 4 490
20 4 014
30 1 568
1. Pemintalan Spinning
30 + 1 587
5 1 152
10 8 134
20 8 437
30 3 350
2. Penenunan Weaving
30 + 1 267
5 827
10 3 246
20 690
30 888
3. Printing, Dying, Finishing
30 + 828
5 204 209
10 160 320
20 31 140
4. Pakaian JadiGarment
30 857
Sumber: Sucofindo diolah dalam Indocommercial, 2004.
Sejak enam tahun silam Thailand, Pakistan, Turki, China, dan Korea telah melakukan modernisasi di sektor industri pemintalan dan penenunan.
Dibandingkan dengan negara-negara tersebut, produktivitas industri pemintala dan penenunan Indonesia sangat rendah Asosiasi Pertekstilan Indonesia, 2005.
Oleh sebab itu peremajaan dan modernisasi permesinan akan menjadi kunci penting TPT Indonesia dalam persaingan dengan TPT dunia.
Perkembangan industri TPT tahun 1980-2005 berdasarkan sub sektor, ekspor TPT Indonesia didominasi oleh sub sektor garmen 52.58 persen, kain
27.17 persen, benang 13.16 persen, tekstil lainnya 4.51 persen, dan serat
17
2.58 persen. Komposisi nilai ekspor sub sektor serat yang relatif kecil disebabkan sebagian besar output industri ini digunakan sebagai input industri
berikutnya di dalam negeri. Sedangkan garmen merupakan produk yang dapat secara langsung dikonsumsi oleh konsumen akhir dan mempunyai pangsa ekpor
yang besar ke negara Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pada tahun 1950an dan 1960an, industri TPT lebih banyak berstatus
Badan Umum Milik Negara BUMN, karena komitmen intervensi ekonomi di masa pemerintahan Soekarno menjadikan negara lebih banyak terlibat dalam
produksi benang dan kain serta pengaturan impor. Akan tetapi pada tahun 2005, industri TPT banyak yang bersatus Pemilik Modal Dalam Negeri PMDN yaitu
sebesar 54.28 persen, sedangkan perusahaan yang berstatus BUMN sebanyak 31.97 persen. Sisanya adalah perusahaan-perusahaan berstatus Pemilik Modal
Asing PMA. Kebijakan penting yang dikeluarkan pemerintah dan sangat mempengaruhi investasi adalah UU No. 01 tahun 1967 tentang PMA dan UU No.
06 tahun 1968 tentang PMDN. Perkembangan ini menunjukkan bahwa peran perusahaan-perusahaan swasta dalam mengelola dan mengembangkan industri
TPT semakin besar dibandingkan peran perusahaan pemerintah.
2.3. Kebijakan Perdagangan TPT
2.3.1. Kebijakan Perdagangan TPT Dunia
Proteksi TPT menjadi sejarah yang panjang di negara Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pada tahun 1950an, Jepang, Hong Kong, China, India, dan
Pakistan menyetujui secara suka rela untuk membatasi ekspor TPT dari kapas ke pasar Amerika Serikat. Pada tahun 1960an Long Term Agreement LTA
dalam perdagangan internasional tekstil kapas ditandatangani dengan bantuan GATT. LTA melakukan beberapa negosiasi hingga akhirnya digantikan dengan
Multi Fiber Arrangement MFA pada tahun 1974.
18
A. Multi Fiber Arrangement Tahun 1974-1994
Dari tahun 1974 sampai akhir Putaran Uruguay, perdagangan TPT diatur dalam kerangka MFA, yaitu suatu kerangka perjanjian yang bersifat sepihak
bilateral atau unilateral untuk menetapkan kuota dalam membatasi impor jumlah ke negara-negara tertentu yang industri domestiknya sedang
menghadapi masalah serius atau gangguan pasar dari impor yang meningkat dengan cepat. Menurut Hady 2004, kuota MFA memiliki beberapa karakteristik,
yaitu pertama kebijakan tersebut berimplikasi diskriminasi pada beberapa negara eksportir dan tidak kepada negara yang lain. Kedua, kuota dinegosiasikan secara
bilateral dan tidak berlaku global, antara negara satu dengan negara lain berbeda dalam cakupan produk serta tingkat pembatasannya. Yang ketiga kuota
tersebut terlibat secara terbatas dalam ekspor, transferring rent dari negara importir ke negara eksportir. MFA, seperti namanya, adalah mencakup
pembatasan perdagangan TPT yang meliputi wool dan serat buatan yang masih mengandung kapas. Pada tahun 1970an, ilmu pengetahuan tentang analisis
kebijakan perdagangan kuantitatif tidak berkembang dengan baik, oleh sebab itu penetapan kuota suatu negara menjadi lemah.
Ada enam negara maju yang menerapkan sistem kuota di bawah MFA, yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, Austria, Canada, Finlandia, dan Norwegia.
Pada 1 Januari 1995 MFA digantikan Agreement on Textiles and Clothing atau
ATC untuk menjembatani proses transisi penghapusan kuota sampai akhir.
Menurut ketentuan GATTWTO, sistem kuota ini hanya dapat digunakan untuk 1 melindungi hasil pertanian, 2 menjaga keseimbangan Balance of Payment,
dan 3 melindungi kepentingan ekonomi nasional Hady, 2004.
19
B. Agreement on Textiles and Clothing Tahun 1995-2004
Agreement on Textiles and Clothing ATC bukan perkembangan dari
MFA, namun merupakan sarana transisi ke dalam proses integrasi penuh dan dibangun berdasarkan unsur-unsur kunci sebagai berikut, yaitu
1.
Pemenuhan produk berdasarkan volume perdagangan TPT tahun 1990 dan produk yang diintegrasikan harus mencakup benang, kain, pakaian jadi, dan
produk tekstil yang diolah,
2.
Suatu program pengintegrasi yang progresif untuk produk tekstil dan pakaian jadi ke dalam aturan GATT tahun 1994,
3.
Suatu proses liberalisasi untuk memperbesar kuota yang ada secara progresif melalui peningkatan laju pertumbuhan tahunan pada setiap
tahapannya,
4.
Terdapat mekanisme safeguard khusus untuk menangani kasus-kasus baru yang berhubungan dengan ancaman serius terhadap produsen domestik
sepanjang periode transisi,
5.
Menetapkan Badan Pengawas Tekstil Textile Monitoring Body atau TMB untuk mengawasi pelaksanaan dari persetujuan dan memastikan bahwa
aturan-aturan itu dijalankan sesuai ketentuan dan
6.
Ketentuan-ketentuan lain mencakup aturan atas tindakan circumvention terhadap kuota, administrasi, perlakuan pembatasan non MFA, dan
komitmen sesuai prosedur dan persetujuan WTO yang berkaitan sektor ini. Cakupan produk yang didaftarkan dalam lampiran ATC meliputi semua
produk yang tunduk kepada MFA atau MFA-type quota sedikitnya di satu negara pengimpor. Proses pengintegrasian artikel 2 ATC menetapkan anggota
mengintegrasikan produk-produk yang terdaftar dalam lampiran ke dalam ketentuan-ketentuan GATT tahun 1994 sepanjang periode 10 tahun. Proses ini
20
diharapkan dapat dilaksanakan dalam empat tahapan dan pada akhirnya semua produk dapat terintegrasi di penghujung tahun ke 10. Tahap pertama dimulai
tanggal 1 Januari 1995 dengan mengintegrasikan jenis produk tidak kurang dari 16 persen dari total impor tahun 1990 sebagai tahun dasar dari semua produk
di dalam lampiran tersebut. Pada tahap kedua, dimulai 1 Januari 1998, tidak kurang dari 17 persen atau lebih telah terintegrasi. Tahap ketiga dimulai 1
Januari 2002, tidak kurang dari 18 persen terintegrasi. Akhirnya pada tahap keempat, 1 Januari 2005 semua produk sisanya 49 persen dari total impor
tahun 1990 terintegrasi secara penuh sesuai persetujuan Tabel 3.
Tabel 3. Tahap Pengintegrasian Perdagangan TPT ke Dalam Ketentuan GATT Selama 10 Tahun
Tahapan Persentase Produk yang
Dikembalikan ke Dalam Aturan GATT
Persentase Produk Per
Tahun Tahap 1,
1 Januari 1995-31 Desember 1997 16 minimum, dasar
perhitungan impor dari tahun 1994
6.96
Tahap 2,
1 Januari 1998-31 Desember 2000 17 8.70
Tahap 3,
1 Januari 2001-31 Desember 2004 18 11.05
Tahap 4,
1 Januari 2005 Integrasi penuh ke dalam aturan GATT
dan penghapusan final dari kuota yang tersisa serta sekaligus ATC berakhir
49 maksimum Tidak ada
lagi kuota
Sumber: World Trade Organization, 2004.
Masing-masing anggota negara pengimpor memutuskan sendiri produk yang akan diintegrasikan pada masing-masing tahapan. Daftar produk yang
diintegrasikan harus mengandung empat kategori produk, yaitu benang, kain, produk tekstil yang diolah dan pakaian jadi. Kecepatan pengintegrasian produk
dirumuskan dalam suatu formula berdasarkan pada tingkat pertumbuhan yang ada di bawah kerangka MFA. Artikel 3 dalam ATC berkaitan dengan pembatasan
21
kuantitatif berbeda dengan yang ada di dalam MFA. Bagaimanapun pembatasan tersebut tidak dibenarkan dalam ketentuan GATT dan harus disesuaikan dengan
aturan GATT atau menghapuskannya dalam jangka waktu sepuluh tahun periode transisi di bawah pengawasan TMB.
Lima puluh lima anggota memilih untuk mempertahankan hak ini dan kebanyakan dari mereka menyajikan daftar produk untuk pengintegrasian.
Sembilan anggota tersebut adalah Australia, Brunei Darussalam, Chili, Kuba, Hongkong, Islandia, Macau, Selandia Baru dan Singapura memutuskan untuk
tidak mempertahankan hak dalam menggunakan mekanisme safeguard ATC. Mereka dianggap telah terintegrasi 100 persen dari awal.
Aspek kunci ATC terdapat di dalam Artikel 6. Dimana dalam perjanjian tersebut berhubungan dengan mekanisme transitional safeguard khusus guna
melindungi anggota dari impor produk yang belum terintegrasi ke dalam GATT dan tidak diatur di bawah kuota serta merusak pasar dalam negeri sepanjang
periode transisi. Ketentuan ini didasarkan pada pendekatan two-tiered. Pertama negara pengimpor harus menentukan bahwa total impor suatu produk spesifik
telah menyebabkan kerugian serius atau menjadi ancaman nyata terhadap industri domestiknya. Kedua, memutuskan perusahaan-perusahaan yang
mengalami kerugian tersebut. Terdapat prosedur dan kriteria spesifik yang diperkenalkan untuk masing-masing langkah, termasuk negara pengimpor harus
berkonsultasi terlebih dahulu dengan negara pengekspor tersebut. Safeguard dapat diterapkan secara selektif berdasarkan kesepakatan bersama atau jika
persetujuan tidak dicapai melalui proses konsultasi dalam waktu 60 hari, tindakan sepihak dapat dilakukan. Jumlah kuota boleh tidak lebih rendah dari realisasi
impor untuk negara pengekspor selama 12 bulan dan hal ini dapat berlaku hingga tiga tahun. Jika ukuran tetap selama lebih dari satu tahun, perkecualian,
kegiatan tersebut masih diperbolehkan dengan syarat pertumbuhannya tidak
22
kurang dari 6 persen. Safeguard khusus telah digunakan 24 kesempatan di tahun 1995 oleh Amerika Serikat, 8 kali pada tahun 1996 Brazil 7 kali dan USA 1 kali,
2 kali di tahun 1997 oleh Amerika Serikat, dan 10 kali pada tahun 1998 Columbia 9 kali dan USA 1 kali.
Sedangkan Artikel 5 ATC berisi aturan dan prosedur yang memantau secara ketat dan konsisten mengenai tindakan circumvention kuota, yaitu upaya
pengelakan yang dilakukan oleh negara pengimpor terhadap kesepakatan persetujuan, baik melalui transportasi, rerouting, dokumen palsu asal produk,
ataupun pemalsuan dokumen pejabat. Hal ini memerlukan konsultasi interalia dan kerja sama dengan instansi yang terkait, hukum dan prosedur administrasi.
Ketika sudah tersedia bukti yang cukup, kesulitan yang ada mungkin berkaitan dengan pengingkaran masuknya barang-barang tersebut.
Kegiatan administrasi, aturan dan prosedur dikonsultasikan dengan maksud untuk mencapai solusi bersama yang dapat diterima artikel 4.
Ketentuan yang berkaitan dengan tekstil dan pakaian jadi dalam Putaran Uruguay memerlukan komitmen semua anggotanya untuk mentaati aturan
sehingga dapat dicapai peningkatan akses pasar, memastikan perdagangan yang adil dan menghindari diskriminasi terhadap impor tekstil dan pakaian jadi
Artikel 7. Jika suatu negara pengekspor tidak mentaati kewajibannya, maka Badan Pengawas Perselisihan atau Council for Trade in Goods akan bertindak.
C. Textile Monitoring Body
Textile Monitoring Body TMB dibentuk untuk mengawasi implementasi
ATC, menguji semua ukuran atau tindakan yang diambil sesuai dengan persetujuan dan memastikan sesuai dengan aturan. TMB adalah suatu badan
yang terdiri dari ketua dan sepuluh anggota TMB dan pengambilan keputusan
dilakukan dengan konsensus. Sepuluh anggota tersebut ditunjuk oleh anggota
23
WTO menurut pengelompokan dalam suatu daerah pemilihan yang disetujui juga oleh anggota WTO lainnya.
Dapat terjadi rotasi di dalam daerah pemilihan itu. Karakteristik ini membuat TMB menjadi suatu institusi yang unik di dalam kerangka TMB. Pada
bulan Januari 1995, Dewan Umum memutuskan komposisi untuk TMB tahap
pertama. Pada bulan Desember 1997, Dewan Umum memutuskan komposisi untuk tahap kedua tahun 1998-2001 dengan anggota TMB yang ditunjuk oleh
anggota WTO berasal dari daerah pemilihan, 1 negara-negara anggota ASEAN, 2 Kanada dan Norwegia, 3 Pakistan dan China setelah accession,
4 Masyarakat Ekonomi Eropa, 5 Korea dan Hong Kong; China, 6 India dan MesirMaroko Tunisia, 7 Jepang, Amarika Latin dan negara-negara Karibia, 8
Amerika Serikat, 9 Turki, Swiss, dan BulgariaChekoslowakiaHongariaPolandiaRumaniaSlovakiaSlovenia. Selain
itu terdapat dua peninjau tanpa partisipasi dari anggota yang tidak diwakili struktur ini, satu dari Afrika dan satu dari Asia.
TMB memonitor tindakan yang diambil sesuai dengan kerangka persetujuan dan memastikan tetap konsisten serta melaporkan kepada Council
for Trade in Goods untuk meninjau ulang operasi persetujuan sebelum masing- masing tahapan proses pengintegrasian selanjutnya dilaksanakan. TMB juga
menangani penyelesaian perselisihan untuk dibawa ke Badan Penyelesaian Perselisihan Reguler WTO.
2.3.2. Kebijakan Perdagangan TPT Indonesia
Pemerintah Indonesia melaksanakan ekspor TPT ke negara-negara pengimpor yang memberlakukan pembatasan kuota. Kebijakan tersebut
berlandaskan aturan perdagangan TPT dunia yang ditentukan oleh GATT di Jenewa pada tahun 1974 berdasarkan MFA. Persetujuan bilateral maupun
24
multilateral dalam perdagangan TPT pada dasarnya bertujuan untuk menjamin kelancaran transaksi perdagangan TPT antar negara pesertanya. Hal ini
dilakukan melalui penetapan pembatasan perdagangan secara kuantitatif dalam bentuk kuota, agar tidak mengganggu pasar di negara importir. Di dalam
pembatasan perdagangan dalam bentuk kuota, pemerintah negara pengekspor bersedia mengatur pembatasan ekspornya atau negara pengimpor melakukan
pembatasan impor. Ekspor TPT ke negara tradisional Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, Turki, dan Norwegia mulai dikenakan kuota oleh negara
pengimpor sejak sekitar tahun 1980 di bawah kerangka kesepakatan MFA Indonesian Textile Magazine. 2002
a
. Di Indonesia pengaturan ekspor TPT dilakukan dengan menggunakan
jumlah kuota nasional hasil kesepatan bilateral dan memantau realisasi ekspornya. Berdasarkan jumlah kuota nasional tersebut, selanjutnya pemerintah
Indonesia mengalokasikan kuota tersebut kepada pengusaha-pengusaha TPT, baik eksportir produsen maupun ekpsortir non produsen TPT. Ekspor TPT diatur
dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 06MPPBKII1996 dan nomor 12MPSKI1996 dengan petunjuk pelaksanaan
Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Internasional nomor 02DJPIKPI1996 dan nomor 03DJPIKPI1996 yang meliputi tujuan,
pelaksanaan ekspor, tata cara dan persyaratan ETTPT, negara kuota, jenis kuota, pembagian kuota, pemindahan kuota dan pemantauan realisasi kuota
ekspor TPT. Instansi yang diberi kewenangan untuk mengatur pengkalkulasian kuota ekspor TPT tahun 1977 sampai tahun 1996 adalah Departemen
Perdagangan, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri dan Direktorat Ekspor. Tetapi dengan adanya penggabungan Departemen Perdagangan
dengan Departemen Perindustrian, berdasarkan Keputusan Presiden atau Kepres Republik Indonesia nomor 2 tahun 1996, maka kewenangan untuk
25
mengatur pengalokasian kuota TPT ada pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional dan Direktorat
Ekspor. Kemudian dengan dikeluarkannya Kepres Republik Indonesia nomor 136 tahun 1999 yang diubah dengan Kepres Republik Indonesia nomor 147 tahun
1999, kewenangan dimaksud menjadi kewenangan Dirjen Perdagangan Luar Negeri atau PLN, Direktorat Ekspor Produksi Industri dan Pertambangan atau
EPIP. Berdasarkan kewenangan yang dimiliki instansi-instansi tersebut, maka dalam mengatur pengalokasian kuota TPT diterbitkan Surat Keputusan dari
Menteri Perdagangan atau Menteri Perindustrian dan Perdagangan, sesuai masa keberadaannya, yang ditindaklanjuti dengan keputusan tingkat Direktur Jenderal
masing-masing. Pada mulanya peraturan-peraturan yang terbit dalam rangka pengelolaan
sistem manajemen kuota adalah Kepmen nomor 53 dan Kepmen 67 tahun 2000 telah diperbaharui lagi menjadi Kepmen nomor 311MPPKep102001 tentang
Ketentuan Kuota Ekspor TPT, dan yang terakhir adalah Kepmen no 374 tahun 1998, dimana seluruh kuota ekspor TPT dialokasikan oleh pejabat tingkat Dirjen
dan pengambilalihan hak kuota tersebut khusus KT hanya dapat dilakukan oleh Eksportir Terdaftar TPT atau ETTPT melalui Bursa Komoditi Indonesia atau BKI
yang dikelola oleh Badan Pengelola Bursa Komoditi atau BAPEBTI di Jakarta Pusat. Sedangkan Kanwil Depperindag daerah tekstil bertugas untuk mencatat
dan menyampaikan alokasi kuota ekspor TPT tersebut kepada masing-masing ETTPT maupun melaksanakan pencatatan dan pelaporan setiap mutasi kuota
tersebut termasuk realisasi ekspornya. Setelah berlakunya Kepmen nomor 311 tahun 2001 dimaksud dengan
Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri nomor 11DJPLNKPXI2001 dan 03DJPLNKPII2002 sebagai petunjuk
pelaksanaannya, maka kewenangan untuk melakukan alokasi kuota ekspor TPT
26
kepada ETTPT yang termasuk Perusahaan Kecil dan Koperasi atau ETTPT-PKK dan pelaksanaan pengambilalihan hak kuota ekspor TPT dilakukan oleh Kanwil
Depperindag daerah tekstil, sedangkan untuk ETTPT Perusahaan Menengah Besar atau ETTPT-PMB dilakukan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar
Negeri. Kuota nasional yang diperoleh dari kesepakatan bilateral dibagikan kepada ETTPT dan pelaksanaan realisasinya dipantau oleh PT. Sucofindo
Persero yang ditunjuk oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan sebagai pelaksana sistem Monitoring Kuota Tekstil atau MKT.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 558MPPKep121998 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor yang
lampirannya telah mengalami beberapa kali perubahan dan yang terakhir dengan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor
575MPPKepVIII2002, kebijakan ekspor Indonesia dalam pelaksanaannya hampir seluruh barang sudah tidak memiliki pembatasan barang bebas kecuali
beberapa komoditas yang pengaturannya dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu 1 barang yang dilarang ekspor, 2 barang yang diawasi ekspornya, dan
3 barang yang diatur ekspornya. TPT termasuk barang yang diatur ekspornya dengan alasan untuk peningkatan mutu, optimalisasi kuota dan berkaitan dengan
perjanjian luar negeri. Ekspor TPT ke negara USA, Kanada, Uni Eropa dan Turki wajib sertai dengan Surat Keterangan Asal atau SKA.
Keputusan Menteri Perdagangan No. 04MKep122004 tentang Ketentuan Ekspor TPT mencabut Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 53MPPKep22000 tentang Pengambilalihan Kuota TPT dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 311MPPKep102001
tentang Ketentuan Kuota Ekspor TPT. Kebijakan ini diambil untuk menyesuaikan dengan ATC-WTO, dimana sistem kuota ekspor berakhir 31 Desember 2004 dan
sejak 1 Januari 2005 perdagangan TPT dunia mengikuti ketentuan umum GATT.
27
Di samping itu juga untuk meningkatkan, mengembangkan, dan menjamin kepastian berusaha di bidang TPT. Sedangkan di bidang kebijakan impor TPT,
Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 732MPPKep102002 tentang Tataniaga Impor Tekstil dan Peraturan
Menteri Perdagangan No. 19M-DAGPer92005 tentang Ketentuan Impor TPT. Peraturan ini dilatarbelakangi untuk mempertahankan iklim usaha di bidang TPT
agar tetap kondusif di pasar domestik dan dalam rangka untuk mencegah praktek perdagangan tidak adil yang mengakibatkan kerugian terhadap industri
dan konsumen TPT. Importasi hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai Impotir Produsen Tekstil IP Tekstil. Tekstil
yang diimpor oleh IP Tekstil hanya dapat dipergunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk proses produksi dari industri yang dimiliki oleh IP Tekstil
dan dilarang untuk diperjualbelikan maupun dipindahtangankan. Berdasarkan penjelasan tentang perkembangan industri TPT global dan
Indonesia, maka Indonesia memiliki tingkat produktivitas yang rendah bila dibandingkan dengan negara Pakistan, Turki, Thailand, China, dan Korea,
khususnya pada industri pemintalan dan penenunan. Selain itu kapasitas terpasang yang mampu dipakai oleh industri tekstil hanya sebesar 75 persen dan
garmen sebesar 80 persen. Meskipun TPT Indonesia memiliki struktur industri yang lengkap dari hulu sampai hilir, namun peremajaan dan modernisasi
permesinan TPT Indonesia akan menjadi kunci penting dalam persaingan TPT di dunia yang semakin ketat. Restrukturisasi permesinan TPT Indonesia harus
ditunjang oleh kebijakan-kebijakan yang kondusif untuk menstimulasi meningkatkan produksi dan ekspor TPT Indonesia.
III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Tinjauan Penelitian TPT Indonesia
Penelitian Soeratno 1988, menganalisis keunggulan komparatif suatu produk ekspor, seperti pakaian jadi, bersumber pada banyaknya tenaga kerja
dalam negeri dengan upah yang murah, skala produksi yang ekonomis, efisiensi upah, rendahnya harga bahan baku dan penolong, serta berbagai bentuk subsidi
yang dilakukan oleh pemerintah. Untuk kasus industri pakaian jadi dijelaskan bahwa meskipun upah tenaga kerja pada kelompok industri pakaian jadi di
Indonesia lebih murah daripada upah tenaga kerja pada industri yang sama di luar negeri, namun upah yang murah ini diikuti juga oleh produktivitas tenaga
kerja yang rendah. Untuk itu efisiensi upah harus selalu diperbaiki dan ditingkatkan dengan cara meningkatkan produktivitas tenaga kerja Indonesia
pada industri pakaian jadi. Penelitian Susanto 1997 menggunakan CMS untuk mengetahui daya
saing produk tekstil Indonesia pada tahun 1987-1991 dan 1991-1994. Produk tekstil yang diteliti berdasarkan SITC 651-SITC 659 benang dan tekstil dan
SITC 841-SITC 848 pakaian jadi. Negara-negara yang diamati adalah negara- negara anggota APEC, antara lain yaitu Australia, Thailand, Jepang, Indonesia,
dan Hongkong. Ada dua komponen yang mempengaruhi pertumbuhan ekspor produk-produk tekstil Indonesia dalam model CMS tersebut yaitu, efek
pertumbuhan dunia dan efek daya saing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk-produk tekstil Indonesia yang mempunyai daya saing selama periode
penelitian adalah produk SITC 651, SITC 652, dan SITC 653 di Cina. Sedangkan di Hongkong produk-produk tekstil yang berdaya saing adalah SITC 652, SITC
653, SITC 655, SITC 658, SITC 845, SITC 846, dan SITC 848.