Sektor hilir downstream meliputi industri pakaian jadi garment atau

13 dalam mengikuti fashion trend. Di Indonesia industri pertenunan atau perajutan merupakan industri besar, sedangkan di negara maju justru menjadi industri kecil yang menerima job order dari industri besar. Industri pemintalan Indonesia rata-rata menempati posisi lemah untuk produk benang kapas kasar Ne 30 ke bawah dan halus Ne 60 ke atas. Produk benang kapas ukuran menengah Ne 30-60 dan serat campuran sangat disegani, sehingga industri pertenunan bersikap selektif dalam pembelian bahan baku. Misalkan untuk pembelian benang kapas kelas tinggi diimpor dari China, untuk kelas menengah dibeli dari dalam negeri dan untuk kelas kasar diimpor dari India dan Pakistan. Dengan cara ini maka diperoleh komposisi bahan setengah jadi dengan harga yang paling rendah. Indonesia dikenal sebagai negara eksportir kain weaving grey dengan kapasitas produksi yang cukup besar. Dalam peta konsumsi serat dunia, industri weaving mengkonsumsi sekitar 51 persen dari total serat yang dikonsumsi dunia. Industri finishing dan printing merupakan titik terlemah industri TPT Indonesia, baik dalam total kapasitas maupun variasi kapasitas mesin Istojo, 2002. Finishing yang ada umumnya ditujukan untuk pemutihan bleaching secara masal dan hanya untuk produk buatan sendiri, meskipun kemampuan ini seharusnya dapat digunakan untuk menyempurnakan produk pesanan. Proses finishing tidak berkembang karena tingginya royalty dan licensed fee. Dengan pertimbangan tersebut, maka lebih menguntungkan mengekspor lembaran grey yang belum diputihkan dan mengimpor lagi setelah di-printing. Berbeda dengan industri pemintalan, industri finishing dan printing berkembang lebih lambat karena kurang berkembangnya teknologi yang digunakan.

3. Sektor hilir downstream meliputi industri pakaian jadi garment atau

produk tekstil, yaitu sektor padat karya yang tidak padat modal, tetapi dengan 14 modal kerja yang besar. Industri garmen membutuhkan keputusan yang kompleks dalam memperkirakan input dan outputnya. Adapun yang membuat berbeda dengan industri lainnya adalah industri garmen adalah padat karya, selama ini sistem komputerisasi tidak dapat menggantikan keahlian tenaga kerja. Menjahit adalah contoh utama dimana proses ini tidak dapat diotomatiskan. Diperlukan kekompakan dan kecepatan team, karena fleksibilitas yang tinggi dalam melayani konsumen akhir yang sangat variatif. Segmen pasar dunia saat ini dikuasai oleh negara maju, misalnya Perancis dan Italia untuk tekstil halus, sedangkan untuk tekstil kasar oleh China. Oleh sebab itu Indonesia berusaha untuk memasuki kelas antara keduanya. Tujuan pasar utamanya adalah negara berkembang yang tinggi tingkat perekonomiannya. Struktur industri TPT Indonesia terdiri dari banyak pemain dan terdapat persaingan yang sangat ketat antar perusahaan dalam industri. Hal ini terlihat dari volatilitas peringkat pencapaian laba bersih perusahaan yang sangat tinggi Wibowo, 2000. Berdasarkan data dari Departemen Perindustrian, jumlah perusahaan dalam industri TPT sekitar 88 pada tahun 1987 menjadi 2 000 perusahaan pada tahun 1992 serta mencapai 2 654 perusahaan pada tahun 2003. Dari jumlah tersebut 28 perusahaan di antaranya adalah produsen serat, 204 produsen benang, 1 043 produsen kain, 855 produsen garmen, dan 524 lainnya adalah produsen produk-produk tekstil. Pada tahun 2005, terdapat 1 799 perusahaan dalam industri TPT. Banyaknya pemain menunjukkan bahwa industri TPT masih memberikan insentif ekonomi yang menarik. Namun demikian faktor perubahan nilai tukar Rupiah terhadap US sangat mempengaruhi profitabilitas, sehingga ketergantungan industri TPT terhadap pemasok menjadi tinggi. Perlu diketahui bahwa bahan baku berupa kapas sebagian besar masih diimpor dan hal ini membuat bergaining position produsen TPT terhadap pemasok lemah. 15 Kebutuhan kapas tidak dapat dipenuhi di dalam negeri karena dua faktor, yaitu rendahnya nilai ekonomi tanaman kapas dan iklim yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman kapas. Adapun skala usaha yang mendominasi pada industri TPT adalah industri besar 89.71 persen dengan jumlah tenaga kerja mencapai 100 hingga 13 000 orang, sedangkan yang kedua adalah industri menengah 8.43 persen, dan yang terakhir industri kecil 1.86 persen. Berdasarkan distribusi geografis Gambar 5, 90 persen industri TPT Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa, khususnya Jawa Barat. Gambar 5. Lokasi Industri TPT di Indonesia Sumber: Departemen Perindustrian dalam Bank Indonesia, 2006. Industri TPT mempunyai karakteristik fundamental yang melibatkan aktivitas besar, sehingga banyak menggunakan kombinasi antara tenaga kerja dan modal. Produksi tekstil memerlukan kebutuhan modal yang lebih tinggi dibandingkan kebutuhan akan tenaga kerja. Sistem produksi tekstil banyak dilakukan secara mekanik dan terintegrasi. Oleh sebab itu pemasangan mesin sebagai kapasitas terpasang di sektor industri tekstil sangat sarat dengan modal dan cenderung kurang fleksibel dalam menyesuaikan dengan kebutuhan pasar. Pada tahun 2005, penggunaan kapasitas terpasang industri tekstil rata-rata mencapai 75 persen, sedangkan industri garmen rata-rata mencapai 80 persen. 16 Menurut PT. Sucofindo, 57 persen mesin-mesin perusahaan TPT di Indonesia telah berumur 15 tahun, 18 persen di antaranya berumur 10-15 tahun, 18 persen berumur 5-10 tahun, dan 7 persen berumur di bawah 5 tahun Tabel 2. Terdapat lebih dari 4 100 perusahaan tekstil, sebanyak 774 perusahaan di antaranya membutuhkan pergantian mesin-mesin yang telah usang. Keadaan mesin pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan memproduksi TPT. Tabel 2. Kondisi Mesin Industri TPT di Indonesia Tahun 2004 No. Sub Sektor Umur tahun Jumlah unit 5 629 10 4 490 20 4 014 30 1 568 1. Pemintalan Spinning 30 + 1 587 5 1 152 10 8 134 20 8 437 30 3 350 2. Penenunan Weaving 30 + 1 267 5 827 10 3 246 20 690 30 888 3. Printing, Dying, Finishing 30 + 828 5 204 209 10 160 320 20 31 140 4. Pakaian JadiGarment 30 857 Sumber: Sucofindo diolah dalam Indocommercial, 2004. Sejak enam tahun silam Thailand, Pakistan, Turki, China, dan Korea telah melakukan modernisasi di sektor industri pemintalan dan penenunan. Dibandingkan dengan negara-negara tersebut, produktivitas industri pemintala dan penenunan Indonesia sangat rendah Asosiasi Pertekstilan Indonesia, 2005. Oleh sebab itu peremajaan dan modernisasi permesinan akan menjadi kunci penting TPT Indonesia dalam persaingan dengan TPT dunia. Perkembangan industri TPT tahun 1980-2005 berdasarkan sub sektor, ekspor TPT Indonesia didominasi oleh sub sektor garmen 52.58 persen, kain 27.17 persen, benang 13.16 persen, tekstil lainnya 4.51 persen, dan serat 17 2.58 persen. Komposisi nilai ekspor sub sektor serat yang relatif kecil disebabkan sebagian besar output industri ini digunakan sebagai input industri berikutnya di dalam negeri. Sedangkan garmen merupakan produk yang dapat secara langsung dikonsumsi oleh konsumen akhir dan mempunyai pangsa ekpor yang besar ke negara Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pada tahun 1950an dan 1960an, industri TPT lebih banyak berstatus Badan Umum Milik Negara BUMN, karena komitmen intervensi ekonomi di masa pemerintahan Soekarno menjadikan negara lebih banyak terlibat dalam produksi benang dan kain serta pengaturan impor. Akan tetapi pada tahun 2005, industri TPT banyak yang bersatus Pemilik Modal Dalam Negeri PMDN yaitu sebesar 54.28 persen, sedangkan perusahaan yang berstatus BUMN sebanyak 31.97 persen. Sisanya adalah perusahaan-perusahaan berstatus Pemilik Modal Asing PMA. Kebijakan penting yang dikeluarkan pemerintah dan sangat mempengaruhi investasi adalah UU No. 01 tahun 1967 tentang PMA dan UU No. 06 tahun 1968 tentang PMDN. Perkembangan ini menunjukkan bahwa peran perusahaan-perusahaan swasta dalam mengelola dan mengembangkan industri TPT semakin besar dibandingkan peran perusahaan pemerintah.

2.3. Kebijakan Perdagangan TPT