6 penelitian. Penulis juga mengamati dan terjun langsung ke lingkungan Sitanala
Tangerang Keuskupan Agung Tangerang yang menjadi sasaran penelitian.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Tulisan ini mengambil judul “Usaha Meningkatkan Pelaksanaan Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta di Lingkungan Sitanala
Tangerang Keuskupan Agung Jakarta Melalui Katekese Model Shared
Christian Praxis SCP”. Judul ini akan diuraikan menjadi lima bab. Bab
pertama menguraikan tentang latar belakang penulisan, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab kedua menguraikan gambaran tentang pembinaan iman dan katekese pada umumnya. Selanjutnya penulis memberikan gambaran umum tentang mantan
penderita kusta dan penyakit kusta. Bab ketiga, penulis memaparkan tentang gambaran umum umat katolik di lingkungan Sitanala Tangerang, penelitian
pembinaan iman, laporan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang
Keuskupan Agung Jakarta. Bab keempat berupa sumbangan pemikian dalam bentuk katekese model Shared Christian Praxis SCP sebagai model untuk
meningkatkan pelaksanaan pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang. Akhir dari keseluruhan pemaparan ini adalah bab kelima.
Bagian ini berisi kesimpulan skripsi dan saran bagi berkembangnya pembinaan iman di lingkungan Sitanala Tangerang.
7
BAB II PEMBINAAN IMAN MANTAN PENDERITA KUSTA DEMI
MEMULIHKAN RASA PERCAYA DIRI
Bab I telah membahas mengenai pendahuluan dan latar belakang situasi mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang. Dengan adanya
pendahuluan tersebut penulis dapat melanjutkan penulisan bab II ini. Bab ini
merupakan studi pustaka yang menggunakan sumber-sumber yang relevan untuk memperkaya dan memperdalam gagasan. Selanjutnya
bab II ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, penulis menjelaskan tentang pembinaan iman dan katekese
pada uumnya. Kedua, dilanjutkan dengan gambaran umum mantan penderita kusta dan penyakit kusta. Ketiga, penulis membahas pembinaan iman mantan
penderita kusta demi memulihkan rasa percaya diri
A. Pembinaan Iman Pada Umumnya Dan Katekese
1. Pembinaan Iman Pada Umumnya
a. Pengertian Pembinaan Pembinaan dimengerti sebagai terjemahan dari kata Inggris yaitu
training, yang berarti latihan, pendidikan, dan pembinaan. Sejauh berhubungan dengan pengembangan manusia, pembinaan merupakan bagian dari pendidikan.
Mangunhardjana 1986: 11 mengatakan tentang arti pembinaan iman sebagai berikut:
Sebagaimana dipraktekkan dewasa ini, pembinaan menekankan pengembangan manusia pada segi praktis: pengembangan sikap,
kemampuan dan kecakapan. Sedang pendidikan menekankan pengembangan manusia pada segi teoritis: pengembangan pengetahuan
dan ilmu.
8 Dalam pembinaan, orang tidak sekedar dibantu untuk mempelajari ilmu
murni, tetapi ilmu yang dipraktekkan. Selain itu orang juga tidak hanya dibantu untuk mendapatkan pengetahuan demi pengetahuan, tetapi pengetahuan untuk
dijalankan. Dalam pembinaan, orang dilatih untuk mengenal kemampuan dan mengembangkannya, agar dapat memanfaatkannya secara penuh dalam bidang
hidup atau kerja mereka. Oleh karena itu unsur pokok dalam pembinaan adalah mendapatkan sikap, attitute, dan kecakapan, skill Mangunhardjana, 1986: 12.
b. Pengertian Iman Sejauh dilihat dari pihak Allah yang menjumpai dan memberikan Diri
kepada manusia, wahyu merupakan pertemuan Allah dan manusia. Tetapi Allah tetap Allah, dan di hadapan Allah manusia harus tetap mengaku diri sebagai
“hamba yang tak berguna” Luk 17:10. Iman adalah penyerahan diri secara total kepada Allah yang menyatakan diri tidak karena terpaksa, melainkan “dengan
sukarela”. Meskipun tidak setingkat, hubungan itu sungguh merupakan hubungan persahabatan. Sebagaimana Allah “dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa
manusia” DV, 2, begitu juga jawaban manusia berasal dari hati yang tulus dan ikhlas. Sejak semula Gereja menekankan bahwa iman bersifat bebas merdeka.
Dalam iman, manusia menyadari dan mengakui bahwa Allah yang tak- terbatas berkenan memasuki hidup manusia yang serba terbatas, menyapa dan
memanggilnya. Iman berarti jawaban manusia atas panggilan Allah, penyerahan pribadi kepada Allah yang menjumpai manusia secara pribadi juga. Dalam iman
manusia menyerahkan diri kepada Sang Pemberi Hidup. Pengalaman religius
9 memang merupakan pengalaman dasar, kendati belum berarti pertemuan dengan
Allah dalam arti penuh. Di atas pengalaman dasar itulah dibangun iman dan penyerahan kepada Allah. Manusia dari dirinya sendiri tak mungkin mengenal
Allah. Umat Kristiani mengenal Allah secara pribadi sebagai Bapa, melalui Yesus Komisi Kateketik KWI, 1996: 127.
Bila sabda Allah adalah wahyu, maka tanggapan manusia dari sabda Allah ialah iman. Bila inisiatif berasal dari Allah, maka jawaban adalah dari
manusia. Maka sabda Allah mengundang jawaban manusia, kesediaan Allah mengundang kesediaan manusia untuk membuka diri, tindakan Allah mendesak
tindakan manusia dan pemberian diri Allah mengharapkan penyerahan diri manusia. Maka wahyu itu menuntut iman.
Iman adalah pertemuan pribadi dan mendalam antara Allah yang hidup dengan manusia. Penerimaan secara menyeluruh akan pribadi yang mewahyukan
dan memberikan diri oleh manusia. Menyerahkan diri dengan penuh cinta merupakan suatu penyerahan yang tanpa batas untuk hidup bagi Allah dan
mengatur hidup sesuai dengan perintah-Nya. Semua ini tentu akan mengakibatkan suatu perjanjian dan sumpah untuk bersekutu dalam cinta kasih. Oleh sebab itu
hubungan antara pribadi manusia dengan Allah adalah dialog, perjanjian dan persekutuan Amalorpavadass, 1972: 16.
Asal-usul kata Ibrani untuk kata iman adalah he’ emin dari kata dasar áman. Dengan demikian, beriman berarti merasa aman, menyerahkan beban atau
kelemahan pribadi kepada orang lain. Secara rohani beriman berarti menaruh kepercayaan. Maka beriman kepada Allah berarti membiarkan diri dibawa oleh