52 gambar, poster, foto, kaset cerita, dan musik. Audio Visual ini dapat
menyampaikan sesuatu dengan lebih mengena daripada uraian tertulis. Berdasarkan hasil wawancara terhadap pertanyaan kelima, sarana yang ada
hanya lilin, salib, rosario, Kitab Suci, patung, lingkaran Adven. Kendati sarana Audio Visual belum begitu lengkap namun peserta berusaha untuk tetap
mengikuti pembinaan iman yang diadakan di lingkungan Sitanala. Sarana dalam pembinaan iman mempunyai peranan yang juga cukup penting karena sarana
adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud dan tujuan dalam suatu kegiatan. Dengan menggunakan sarana, peserta lebih
mudah untuk memahami apa yang diberikan pembina dalam proses pembinaan iman.
f. Dari Segi Metode
Berdasarkan hasil wawancara terhadap pertanyaan keenam, metode yang sering digunakan dalam pembinaan iman di lingkungan Sitanala di Tangerang
adalah sharing dan tanya jawab. Berdasarkan hasil penelitian tersebut secara umum metode yang digunakan belum cukup memadai untuk pembinaan iman
yang hidup dan menarik. Hal ini disebabkan karena kurangnya metode yang dimiliki oleh pembina misalnya bercerita atau menonton film. Selain itu
terbatasnya buku-buku petunjuk yang dapat membantu pembina untuk mengembangkan keterampilan terutama keterampilan untuk mengembangkan
metode-metode agar pembinaan iman mantan penderita kusta menjadi lebih hidup
53 dan menarik. Di sinilah pembina dituntut untuk lebih kreatif dalam mengemas
secara menarik agar pembinaan iman yang disajikan tidak membosankan peserta.
2. Partisipasi Mantan Penderita Kusta dalam Pembinaan Iman
Berdasarkan hasil wawancara terhadap pertanyaan ketujuh, partisipasi peserta terhadap pelaksanaan pembinaan iman mantan penderita kusta hanya
sebagai peserta. Hal ini disebabkan karena keadaan para mantan penderita kusta yang kurang memungkinkan untuk terlibat dalam tugas-tugas yang ada. Mantan
penderita kusta kebanyakan sudah tidak jelas untuk membaca dan tidak percaya diri untuk terlibat dalam proses pembinaan iman seperti membaca Kitab Suci,
sharing pengalaman dll. Namun meskipun keterlibatannya hanya sebagai peserta tetapi mereka sungguh-sungguh mengikuti proses pembinaan iman dengan
senang.
3. Manfaat Pembinaan Iman Mantan Penderita Kusta
Berdasarkan hasil wawancara terhadap pertanyaan kedelapan, nampaknya mantan penderita kusta menyadari bahwa pembinaan iman yang
dilaksanakan di lingkungan Sitanala cukup bermanfaat karena mereka merasa tidak sendirian. Dalam pembinaan iman mereka saling meneguhkan dan
menyemangati satu sama lain. Ada pula sebagian kecil responden yang semakin percaya akan kehadiran Tuhan dalam kehidupan mereka sehingga mereka menjadi
percaya diri dan lebih berani. Dari berbagai manfaat yang dialami responden, pembinaan iman ini dapat meningkat kebersamaan dan kekeluargaan antar umat
54 sehingga relasi antar keluarga menjadi semakin erat. Sesama mantan penderita
kusta saling mendukung dan tolong menolong. Mereka merasa tidak sendirian dan saling meneguhkan satu sama lain. Dengan demikian, manfaat pembinaan iman
ini mendorong mereka agar lebih semangat untuk bangkit menjalani kehidupan dalam keluarga maupun masyarakat.
4. Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Pembinaan
Iman Berdasarkan hasil wawancara pada pertanyaan kesembilan, ditemukan
bahwa faktor yang mendukung pembinaan iman adalah kesadaran dari pribadi masing-masing, saling mengingatkan satu sama lain, dan memberi contoh kepada
anaknya. Dengan adanya faktor pendukung kegiatan pembinaan iman secara umum dapat dikatakan berjalan dengan baik.
Berdasarkan hasil wawancara pertanyaan kesepuluh, pelaksanaan pembinaan iman ini seringkali terhambat karena kondisi kesehatan yang kurang
memungkinkan dan faktor cuaca sehingga peserta menjadi malas selain itu adanya hambatan biaya yang cukup mahal untuk naik transportasi becak.
Pelaksanaan pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala sudah berjalan dengan baik dan lancar. Kendala-kendala yang ada dapat
diatasi dengan adanya kerjasama yang baik dan dukungan dari berbagai pihak. Namun yang paling utama adalah relasi yang lebih dekat antar mantan penderita
kusta sehingga pembinaan iman yang diberikan akan lebih menggerakkan hati mereka untuk tekun dan setia menghayati imannya dalam kehidupan sehari-hari.
55
E. Kesimpulan Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembinaan iman dapat membantu mantan penderita kusta memiliki sikap percaya
diri, tidak malu, tidak putus asa, dll. Mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala selama ini hampir selalu hadir dalam pembinaan iman di lingkungan.
Mereka menangkap berbagai tujuan pembinaan iman yang membantu mereka menjadi lebih percaya diri, tidak putus asa dan tidak minder. Secara keseluruhan
tujuan pembinaan iman ini sudah tercapai. Relevansi dengan kebutuhan hidup peserta adalah suatu perhatian dan kepedulian dari pembina maupun umat yang
lain, sehingga dengan demikian mereka merasa semakin diteguhkan imannya untuk bangkit dari rasa minder. Secara umum proses pembinaan iman sudah
terlaksana dan berjalan dengan lancar dari awal hingga akhir. Mantan penderita kusta selama ini sudah terlibat dalam pembinaan iman
namun hanya sebagai peserta. Meski demikian mereka sungguh-sungguh mengikuti proses pembinaan iman dengan senang. Manfaat yang mereka dapatkan
dari mengikuti pembinaan iman ini, mereka merasa tidak sendirian, tetapi saling meneguhkan dan menyemangati satu sama lain. Mereka terdorong dan lebih
semangat untuk bangkit dari penderitaan yang dijalaninya selama masih menderita sakit kusta. Faktor yang mendukung peserta mengikuti pembinaan iman
adalah relasi antar umat yang saling mendukung satu sama lain. Dengan dukungan tersebut peserta mendapatkan kepedulian sesamanya.
Hal-hal yang masih negatif dalam pembinaan iman ini adalah proses dari pelaksanaan pembinaan iman di lingkungan Sitanala yang masih kurang
56 menyentuh pribadi peserta karena lebih bertolak pada bacaan Kitab Suci bukan
dari pengalaman hidup peserta. Sarana dan metode yang digunakan belum cukup memadai untuk pembinaan iman yang hidup dan menarik. Hal ini disebabkan
karena keterbatasan pembina dalam mengolah materi secara lebih kreatif. Sedangkan yang menjadi penghambat utama adalah faktor kesehatan peserta.
Dengan demikian tujuan penelitian ini secara umum sudah tercapai dengan hasil wawancara yang sudah diolah yaitu menemukan faktor pendukung dan
penghambat pembinaan iman bagi mantan penderita kusta. Untuk meningkatkan pembinaan iman di lingkungan Sitanala supaya lebih berdampak positif lagi maka
perlu suatu program katekese yang membahas pengalaman hidup mereka. Untuk usulan bagaimana memproses katekese yang menarik, penulis menemukan bahwa
banyak pembina yang kurang memahami model katekese yang menarik bagi umat. Sebelumnya dalam pembinaan iman memang sudah ada pembahasan Kitab
Suci dan sharing, namun hal ini masih sangat tradisional. Dengan memperhatian adanya kendala-kendala tersebut, penulis akan memberikan usulan program
katekese di bab empat nanti.
F. Hal-hal yang Mendukung dan Menghambat Penelitian
Dalam proses menentukan umat yang akan menjadi responden penelitian, sebenarnya penulis telah mempersiapkan sebaik mungkin dengan perhitungan
sesuai dengan jumlah mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala tetapi dalam pelaksanaannya mengalami kesulitan. Ada responden yang sudah meninggal
dunia.
57 Faktor yang mendukung penulis dalam penelitian ini adalah tanggapan
baik dari responden pada saat dikunjungi. Penulis mendapat tanggapan positif dari responden yang mengatakan secara spontan sangat senang bahwa masih ada anak
muda yang berani berinteraksi dengan mantan penderita kusta dan berkunjung ke rumahnya. Hal ini yang mendorong pribadi penulis untuk semangat dalam
melaksanakan penelitian ini. Pada faktor penghambat yang pertama, sesuai dengan pertanyaan yang
diajukan, responden masih banyak yang kurang memahami tentang katekese dan pembinaan iman, yang mereka pahami hanya doa. Awalnya banyak responden
yang tidak mau diwawancarai dengan alasan takut salah dan pengetahuannya tentang topik yang akan dijawab terbatas. Setelah penulis memberikan pengertian
bahwa yang dibutuhkan bukanlah jawaban yang salah atau benar tetapi sesuai dengan kenyataan yang dialami dalam hidup sehari-hari barulah mereka mau
untuk diwawancarai. Faktor kedua penghambat pelaksanaan penelitian ini adalah waktu karena jarak tempat tinggal penulis dengan lokasi responden yang akan
diwawancarai sangat jauh sehingga harus mencari waktu yang tepat.
58
BAB IV USAHA MENINGKATKAN PELAKSANAAN PEMBINAAN IMAN PARA
MANTAN PENDERITA KUSTA DI LINGKUNGAN SITANALA
Pada Bab IV ini penulis menawarkan model katekese Shared Christian Praxis SCP sebagai bagian dari pembinaan iman mantan penderita kusta di
lingkungan Sitanala Tangerang Keuskupan Agung Jakarta. Berkaitan dengan itu, maka pembahasan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan
pokok-pokok katekese Shared Christian Praxis SCP. Bagian kedua berisi tentang alasan katekese Shared Christian Praxis SCP digunakan sebagai usaha
meningkatkan pembinaan iman mantan penderita kusta. Bab ini ditutup dengan usulan program katekese yang meliputi pengertian program, rumusan tema dan
tujuan program, petunjuk pelaksanaan program kegiatan katekese model Shared Christian Praxis SCP, matriks program dan contoh persiapan katekese Shared
Christian Praxis SCP.
A. Pokok-Pokok Katekese
Shared Christian Praxis SCP 1.
Praksis
Praksis sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang mencakup seluruh keterlibatan manusia dengan suatu tujuan tertentu maupun secara sengaja. Praksis
mempunyai arti mengacu pada tindakan manusia yang mempunyai tujuan untuk perubahan hidup. Praksis merupakan suatu praktek yang didukung oleh refleksi
teoritis. Praksis mempunyai tiga unsur yang saling berkaitan yaitu: aktivitas, refleksi dan kreativitas. Unsur-unsur ini berfungsi untuk membangkitkan
perkembangan imajinasi manusia untuk mengungkapkan suatu pengalaman,
59 meneguhkan kehendak yang akan diwujudkan dan mendorong perbuatan baru
yang dapat dipertanggung jawabkan secara etis dan moral. Unsur aktivitas ini meliputi kegiatan mental dan fisik, tindakan individu
dan bersama, hidup pribadi dan kegiatan publik bersama yang semuanya merupakan sarana untuk perwujudan diri manusia. Unsur refleksi menekankan
refleksi kritis terhadap suatu pengalaman pribadi dan sosial yang pernah dialaminnya, terhadap perubahan pribadi dan kehidupan bersama masyarakat serta
terhadap Tradisi dan Visi iman Kristiani. Sedangkan unsur kreativitas merupakan perpaduan antara aktivitas dan refleksi yang menekankan sifat transenden manusia
dalam dinamika menuju masa depan untuk praksis baru Sumarno Ds, 2012:15.
2. Refleksi Kritis
Refleksi kritis merupakan usaha untuk membantu peserta merefleksikan pengalamannya secara faktual. Refleksi Kritis ini meliputi tiga unsur yaitu
mengevaluasi masa sekarang, mempertajam pengalaman yang dialami pada masa lalu dalam masa sekarang, dan mengolah pengalaman untuk masa depan dalam
masa sekarang. Unsur kritis dalam mengevaluasi masa sekarang meliputi penggunaan akal budi untuk mengerti apa yang “nyata” dalam masa kini. Dengan
akal budi manusia mencari maksud kenyataan masa kini dan mengkritik apa yang menjadi dasar pemikiran tertentu, dan menilai baik-buruknya “yang nyata” dalam
peristiwa atau perubahan sekarang ini. Sedangkan kritis dalam mempertajam pengalaman masa lalu dalam masa sekarang meliputi penggunaan daya ingatan
untuk merefleksi masa lampau dengan mengingat-ingat apa yang terjadi dan
60 memberi arti tindakan itu secara pribadi dan sosial. Mengingat kembali masa
lampau berarti menjadikan pengalaman masa lalu itu benar-benar menjadi pengalaman. Selanjutnya, kreatif dalam mengolah pengalaman untuk masa depan
dalam masa sekarang berati siap menatap ke depan dengan bertolak dari pengalaman masa lalu. Harapan masa depan bisa menjadi ungkapan harapan atas
dasar yang nyata dari masa lampau. Harapan menjadikan nyata apa yang kurang nyata adanya sehingga imaginasi menjadi lebih nyata karena berdasar pada yang
sudah ada, sehingga terbuka untuk kreatifitas demi kebebasan masa depan. Dengan demikian refleksi melibatkan kemampuan rasional akal budi dan
afektif rasa dari seluruh pribadi manusia. Sedangkan secara kritis tidak berarti bahwa selalu mencari yang salah di masa lampau. Kritis mengenali batas-batas
kebaikan, kebenaran dalam fakta masa kini sehingga akhirnya sampai melampaui batas kebenaran dan kebaikan itu sendiri lewat pembedaanpenegasan roh
Sumarno Ds, 2012:16.
3. Tradisi
Tradisi dengan huruf besar T dalam Gereja berarti bukan hanya sejarah adat istiadat ritual masa lampau saja, tetapi seluruh pengalaman iman dalam
bentuk apapun yang sudah terungkap dan yang sudah dibakukan oleh Gereja dalam rangka menanggapi perwahyuan Allah di dunia ini. Tradisi Gereja meliputi
seluruh corak kehidupan kristiani, kitab suci tertulis, ajaran Gereja resmi, interpretasitafsir, penelitian para teolog, praktek suci, ibadat, sakramen, simbol,
situs, pestaperingatan, hiasan atau lukisan yang menjadi ekspresi iman umat akan