meyakini, mempercayai dan melaksanakan kehendak Allah. Iman bersentuhan dengan inti hidup manusia. Maka dengan adanya PAK di
sekolah diharapkan agar peserta didik dapat semakin peka pada rahmat Allah yang dilimpahkan kepadanya dan tekun menanggapi rahmat itu
sehingga peserta didik semakin beriman. Sebagai mahluk rasional, manusia menggunakan akal budi untuk makin beriman, maka itu iman memiliki
aspek kognitif yang membuat masuk akal. Dengan demikian, arah PAK membantu peserta didik untuk semakin
meyakini nilai-nilai kekayaan Gereja. Peranan PAK membantu peserta didik untuk mengenali dan meyakini belaskasih dan kesetiaan Allah yang menyatu
dalam hidup Yesus Kristus dan terus berkarya melalui Roh Kudus. Tugas PAK untuk meningkatkan kepercayaan total peserta didik kepada Allah, dengan cara
memupuk relasi dari hati ke hati antara hidup peserta didik dengan kepedulian terhadap sesama; semakin peserta didik percaya kepada Tuhan, maka peserta
didik juga semakin beriman.
4. Sifat dan Arah Pendidikan Agama Katolik
Pendidikan harus memiliki sifat dan arah pendidikan yang jelas, agar semua komponen pendidikan, khususnya para peserta didik dapat mengetahui tujuan
proses pendidikan yang mereka pelajari. Vanlith dan Driyakara dalam Heryatno, 2008: 13-14 menyatakan bahwa arah PAK adalah memperkembangkan
humanisme Kristiani supaya peserta didik dapat menjadi pelaku-pelaku perubahan sosial. Sedangkan, Mgr. Suharyo dalam Heryatno, 2008: 14 menyatakan bahwa
arah PAK adalah untuk memperjuangkan humanisme sosial. Artinya, pendidikan dipahami sebagai mediasi atau jalan ke arah transformasi sosial.
Sisi lain, PAK yang bervisi spiritual secara konsisten berusaha memperkembangkan jati diri atau inti hidup seseorang ke dalam diri anak didik.
PAK pun memperkembangkan rasa, kepekaan hati, imaginasi, serta dimensi sosial hidup manusia. PAK tidak hanya bersifat kognitif, tetapi memberi ilham untuk
menghadapi kenyataan hidup masa sekarang dan masa depan. PAK menekankan kebijaksanaan dan keutamaan, scholae non scholae sed vitae.artinya dalam
kegiatan belajar mengajar yang terpenting bukan sekolahnya tetapi kualitas hidupnya. Hal ini perlu disadari bahwa dalam perkembangan hidup peserta didik
tidak sekali jadi tetapi seumur hidup. PAK mengusahakan perkembangan diri secara terus menerus, from the womb to the tomb perkembangan iman yang
berlangsung sepanjang hayat dalam Heryatno, 2008: 15 Sisi lain, Groome 1991: 11-14 membedakan sifat dasar PAK atas tiga
jenis, antara lain: 1.
Ontologis: Dasar pendidikan yang bersifat ontologis, maksudnya dalam kegiatannya, manusia itu sebagai subjek bukan objek. Memperlakukan peserta
didik sebagai subjek bukan objek dalam PAK. Hal ini berarti PAK secara serentak memperkembangkan nilai-nilai kemanusiaan dan secara seimbang
memperkembangkan kognitif head rasa dan simpati, hati heart, tangan yang bergerak dan berbuat hands rumah: rasa aman, percaya diri dan saling
memperhatikan home.
2. Transenden: Dasar kegiatan yang bersifat Transenden, bertolak dari keadaan
konkret dan mengarah pada perkembangan secara hakiki demi hidup peserta didik. Perkembangan peserta didik melampaui perkembangan sebelumnya.
3. Politis: Dasar kegiatan yang bersifat politis berarti pendidikan mendorong
peserta didik untuk peduli dan aktif terlibat di dalam masalah sosial di sekitarnya demi transformasi sosial.
Selain itu, Groome Thomas 1991: 11-14 memaparkan fungsi-fungsi pendidikan, yakni a membentuk to form, b informasi to inform untuk
mengkomunikasikan kekayaan ilmu dan kebijaksanaan hidup peserta didik, dan c memperjelas artinya untuk memberdayakan peserta didik bagi perkembangan
diri sendiri to transform. Artinya, suasana yang ada dalam PAK harus dijiwai oleh Roh cinta kasih dan kebebasan Injili. Berarti, suasananya baik, karena
suasana yang baik dapat menjadi guru yang baik pula. Maksudnya, dari suasana baik itu suasana yang dijiwai oleh roh cinta kasih dan kebebasan Injili terwujud di
dalam suasana kelas yang memperkembangkan keterkaitan, perhatian, dan kebersamaan. Suasana yang membuat peserta didik merasa diterima, diteguhkan,
dan diberdayakan untuk semakin berkembang. Akibatnya, suasana kelas sungguh menggembirakan dan perlu diusahakan. PAK dipahami sebagai seni yang
membutuhkan persiapan, keheningan, dan kontemplasi untuk membiarkan Roh bekerja sendiri dalam diri guru PAK juga peserta didik itu sendiri.
B. Guru Agama Katolik.
Guru PAK sangat berperan dalam proses belajar mengajar, juga bisa menjadi teladan bagi peserta didik di sekolah. Seorang Guru PAK harus mampu
mewujudkan figur yang sungguh memiliki jiwa sebagai yang berasal dari Allah, karena jiwa yang beriman menunjukkan kesejatian hidup seorang guru Moore,
1992. Jiwa merupakan segi yang menghidupkan, mengembangkan, dan mendorong manusia untuk memiliki kerinduan kepada Allah, serta penuh
perhatian kepada saudara-saudaranya. Karena itu, sesuai dengan hakikat PAK yang bervisi spiritual maka semua pendidik perlu memelihara atau memberi
makan jiwanya. Jiwa juga diberi makan supaya manusia tidak menjadi zombie mayat hidup. kalau lalai,
jiwa manusia dapat “hilang” atau bahkan mati, akibatnya muncul berbagai tindakan kekerasan, anarki, ketergantungan, dan
penyembahan berhala. Pemeliharaan memberi makan jiwa bukan hanya tugas religius tetapi termasuk panggilan dan tugas para pendidik.Moore, 1992 Dengan
demikian, para guru khususnya guru agama katolik tidak dapat meremehkan, sebaliknya harus menghormati dan memperhatikan jiwa peserta didik.
Beberapa kemampuan ketrampilan yang harus dimiliki oleh seorang Pembina katekese umat atau guru agama katolik, Yosef Lalu, 2007 : 96 sebagai
berikut: 1.
Kemampuan ketrampilan berkomunikasi dan berelasi a.
Seorang guru agama katolik memiliki kemampuan berkomunikasi dan berelasi sehingga mampu mengumpulkan, menyatukan, mengarahkan
peserta didik sampai kepada tindakan nyata. b.
Kemampuan keterampilan mengungkapkan diri, berbicara dan mendengarkan
c. Kemampuan keterampilan menciptakan suasana yang memudahkan
peserta didik untuk mengungkapkan diri dan mendengarkan pengalaman peserta didik yang lain
2. Kemampuan keterampilan berefleksi
Dalam PAK, komunikasi yang dikembangkan komunikasi iman. Komunikasi iman bukan hanya sekedar informasi, melainkan suatu kesaksian
iman. Maka seorang guru agama katolik adalah seorang yang menyadari dan mampu memberi kesaksian tentang pengalaman imannya. seorang guru agama
katolik harus dilatih untuk ; 1 mampu terampil menemukan nilai-nilai manusiawi dalam pengalaman hidup sehari-hari, 2 mampu terampil menemukan
nilai-nilai kristiani dalam Kitab Suci, ajaran gereja dan tradisi kristiani lainnya, 3 mampu terampil memadukan nilai-nilai kristiani dengan nilai-nilai manusiawi
dalam pengalaman hidup sehari-hari.
C. Kongregasi suster Santo Fransiskus Charitas
1. Sejarah Kongregasi Suster Santo Fransiskus Charitas
Pada tanggal 1 Desember 1834 dari rumah sakit Breda, Moeder Theresia Saelmaekers mendirikan rumah cabang di Oosterhout. Dengan tindakan tersebut
Moeder Theresia Saelmaekers meletakan dasar untuk kongregasi baru yang bernama “Charitas”. Moeder Theresia Saelmaekers menjadi Pemimpin Umum
yang pertama. Moeder Theresia Saelmaekers bersama dua suster yang telah berprofesi dan seorang Novis, secara diam-diam berangkat ke Steenbergen pada
tanggal 19 dan 20 April 1853 pada malam hari.
Moeder Theresia Saelmaekers mendirikan pusat baru Charitas Kristiani dan Steenbergen menjadi pusat kongregasi. Semangatnya yang kuat dan mendalam
telah menjiwai Moeder Theresia Saelmaekers, sehingga semangat itu terungkap dalam cita-cita hidupnya dan para susternya.
“ Dalam kegembiraan, kesederhanaan, dan terutama dalam cintakasih menolong orang lain seraya berdoa dan mengurbankan diri, menampakan
kegembiraan hidup diantara orang sakit dan yang berkekurangan” Moeder Theresia Saelmaekers memilih Anggaran Dasar Ordo Ketiga Reguler
Santo Fransiskus Asisi untuk kongregasi Charitas karena kegembiraan, kesederhanaan, dan penghayatan kemiskinan merupakan ciri khas Anggaran
Dasar itu. Doa dan meditasi beserta mati raga sebagai unsur-unsur dasar hidup Fransiskan. Kepercayaan kepada Tuhan kokoh tak tergoyahkan berdasarkan iman
yang mendalam dan sederhana, iman itu jugalah yang mendorong Maria Yang Terkandung Tanpa Noda untuk menjawab dengan “Fiat”. Maka kongregasi ini
diletakkan dibawah perlindungan Maria Yang Terkandung Tanpa Noda dikenal dengan nama “ Suster-suster Charitas”.
Berdoa dan berkarya adalah semboyan Ibu Pendiri. Kongregasi Suster Charitas semakin berkembang hingga memerlukan tempat yang lebih luas dan
lebih leluasa untuk perkembangan tersebut. Pada tanggal 17 Juli 1905 pusat Kongregasi dipindahkan ke Roosendal, sedang Steenbergen sebagai cabang. Pada
tanggal 9 Juli 1926, atas permintaan Pimpinan Imam-imam Hati Kudus Yesus SCJ di Palembang, para suster Charitas Roosendaal, mulai berkarya di
Palembang. Selain berkarya demi pelayanan orang sakit dan yang membutuhkan
pertolongan, para suster Charitas juga mengembangkan Kongregasi dengan menerima calon dari Indonesia.
Dalam waktu lebih kurang 65 Tahun, cabang Kongregasi di Indonesia semakin berkembang baik dalam karya maupun jumlah anggota. Sedang di Nederland
sendiri panggilan hidup membiara sendiri semakin berkurang dan sebagian besar anggotanya telah menjadi tua, oleh karena itu suster-suster Kongregasi Charitas
regio Indonesia mengajukan permohonan ke Roma untuk menjadi Kongregasi Mandiri di bawah reksa Uskup Palembang. Permohonan tersebut mendapat
tanggapan baik dari Roma dan mendapat jawaban melalui Dekret yang dikeluarkan di Roma tanggal 18 Mei 1991
Berdasarkan Dekret tersebut maka Kongregasi Regio Indonesia mengambil nama “Suster Santo Fransiskus Charitas” yang berpusat di Palembang. Setelah
melalui proses pembicaraan maka kemandirian diresmikan pada tanggal 1 Desember 1991 bertepatan dengan peristiwa berdirinya rumah cabang pertama di
Oosterhout oleh moeder Theresia Saelmaekers yang menjadi dasar untuk Kongregasi baru yang bernama “Charitas”.
2. Sejarah SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan
Pada tahun 1979, Bapak Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ mempersilahkan Kongregasi Fransiskanes Charitas membantu Keuskupan Agung
Jakarta KAJ wilayah selatan untuk mengelola sekolah katolik khususnya di Paroki baru St. Stefanus, Cilandak, Jakarta Selatan.
Tanggal 16 Juli 1979 merupakan awal tahun ajaran baru sejarah sekolah Charitas di Jakarta dengan 2 dua grup yaitu TKK bertempat di Jalan Cerme, Cipete
Selatan dan 2 dua kelas untuk kelas 1 SD meminjam tempat di SD Pangudi Luhur Jln. H. Nawi,
Pada awal mulanya dengan jumlah peserta didik sebanyak 73 peserta didik, menempati kelas lokal gedung SD Charitas siang hari, mulailah langkah
awal pendidikan SMP Charitas dengan jumlah tenaga pendidik sebanyak 9 sembilan orang dan 1 satu orang tata usaha. pendidikan lanjutan tingkat
pertama di bawah asuhan Yayasan Pendidikan Charitas. Memasuki tahun kedua unsur pemerintahan mulai memberikan
sumbangan dan perhatian besar, khususnya instansi terkait yaitu Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Depdikbud DKI Jakarta pada tanggal
1 Agustus 1986 mengeluarkan Surat Keputusan SK Ijin Operasional Sekolah No. SP.592I01.1AI.86 sebagai landasan hukum hadirnya SMP Charitas. Tahun
ajaran 19871988 merupakan awal sejarah baru siswa kelas 3 mengikuti ujian EBTAEBTANAS menggabung di SMP Negeri 85 Pondok Labu sebagaimana
tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Depdikbud DKI Jakarta No. Kep. 40I01.A1I88 tanggal 20
Februari 1988, dan untuk pertama kalinya lulus 100 dengan NEM Nilai EBTANAS Murni yang pantas disyukuri, karena tidak mengecewakan orang
tuawali peserta didik. Pada tanggal 24 September 1988 gedung SMP Charitas yang berlokasi di
Kampung Kapuk tepatnya di Jln. Mawar Indah No. 75 Lebak Bulus, Cilandak,