71
Remaja Tengah : Variabel
R Sig.
Kelekatan AmanEkspresi Emosi Marah 0,086
0,240 Kelekatan Takut-MenghindarEkspresi Emosi Marah
0,031 0,398
Kelekatan TerpreokupasiEkspresi Emosi Marah 0,199
0,050 Kelekatan MenolakEkspresi Emosi Marah
0,191 0,057
Remaja Akhir : Variabel
R Sig.
Kelekatan AmanEkspresi Emosi Marah -0,109
0,191 Kelekatan Takut-MenghindarEkspresi Emosi Marah
-0,141 0,129
Kelekatan TerpreokupasiEkspresi Emosi Marah 0,057
0,324 Kelekatan MenolakEkspresi Emosi Marah
-0,240 0,026
Berdasarkan ketiga tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, pada subjek usia remaja awal terdapat hubungan positif tetapi tidak signifikan
antara sub-variabel gaya kelekatan aman sig. 0,137, takut-menghindar sig. 0,275, terpreokupasi sig. 0,206, dan gaya kelekatan menolak sig.
0,126 dengan variabel ekspresi emosi marah konstruktif. Hal tersebut dikarenakan hubungan antara keempat sub-variabel gaya kelekatan
dengan variabel ekspresi emosi marah konstruktif tidak memenuhi standar signifikansi 0,05. Di sisi lain, keempat sub-variabel gaya
kelekatan memiliki arah hubungan yang positif dengan variabel ekspresi emosi marah konstruktif. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa pada subjek remaja awal, terdapat hubungan positif tetapi tidak
72
signifikan antara gaya kelekatan aman, takut-menghindar, terpreokupasi, dan menolak dengan ekspresi emosi marah konstruktif.
Pada remaja tengah, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sub-variabel gaya kelekatan aman sig. 0,240, takut-menghindar sig.
0,398, terpreokupasi sig. 0,050, dan gaya kelekatan menolak sig. 0,057 dengan variabel ekspresi emosi marah konstruktif. Hal tersebut
dikarenakan hubungan antara keempat sub-variabel gaya kelekatan dengan variabel ekspresi emosi marah konstruktif tidak memenuhi
standar signifikansi 0,05. Di sisi lain, keempat sub-variabel gaya kelekatan memiliki arah hubungan yang positif dengan variabel ekspresi
emosi marah konstruktif. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada subjek remaja tengah terdapat hubungan positif tetapi tidak
signifikan antara gaya kelekatan aman, takut-menghindar, terpreokupasi, dan menolak dengan ekspresi emosi marah konstruktif.
Pada remaja akhir, terdapat hubungan yang signifikan antara sub- variabel gaya kelekatan menolak dengan ekspresi emosi marah
konstruktif sig. 0,026 0,05. Selain itu, hubungan di antara keduanya memiliki arah hubungan yang negatif r
-0,240. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara
gaya kelekatan menolak dengan ekspresi emosi marah konstruktif pada remaja akhir. Di sisi lain, terdapat juga hubungan yang bersifat negatif,
yaitu pada sub-variabel gaya kelekatan aman r -0,109 dan gaya kelekatan takut-menghindar r -0,141 dengan ekspresi emosi marah
73
konstruktif. Namun, hubungan di antara kedua sub-variabel gaya kelekatan tersebut tidak signifikan karena tidak memenuhi standar
signifikansi 0,05 gaya kelekatan aman sig. 0,191 dan takut- menghindar sig. 0,129. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan negatif tetapi tidak signifikan antara gaya kelekatan aman dan takut-menghindar dengan ekspresi emosi marah
konstruktif. Selain itu, hubungan antara sub-variabel gaya kelekatan terpreokupasi
dengan ekspresi emosi marah konstruktif bersifat tidak signifikan sig. 0,324. Namun, arah hubungan di antara keduanya positif r 0,057.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif tetapi tidak signifikan antara gaya kelekatan terpreokupasi dengan
ekspresi emosi marah konstruktif pada subjek remaja akhir.
E. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, subjek dengan gaya kelekatan terpreokupasi memiliki ekspresi emosi marah konstruktif
yang cenderung tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa subjek dengan gaya kelekatan terpreokupasi dapat mengungkapkan emosi marahnya
dengan cara-cara yang tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Di sisi lain, subjek dengan gaya kelekatan aman, takut-menghindar, dan menolak
memiliki ekspresi emosi marah konstruktif yang cenderung rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa subjek dengan gaya kelekatan aman, takut-
74
menghindar, dan menolak kurang mampu mengungkapkan emosi marahnya dengan cara-cara yang konstruktif. Namun, bukan berarti subjek
mengekspresikan emosi marahnya dengan cara yang kasar atau destruktif. Hipotesis pertama menyatakan bahwa terdapat korelasi positif yang
signifikan antara gaya kelekatan aman dengan ekspresi emosi marah konstruktif. Semakin kuat gaya kelekatan aman maka semakin tinggi
ekspresi emosi marah yang konstruktif. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat kesesuaian arah hubungan
antara gaya kelekatan aman dengan ekspresi emosi marah konstruktif, yaitu terdapat hubungan positif diantara keduanya. Hal tersebut terlihat
dari nilai koefisien korelasi r sebesar 0,095 yang berarti koefisien korelasinya bersifat positif. Namun, gaya kelekatan aman dengan ekspresi
emosi marah konstruktif memiliki signifikansi sebesar 0,116 p 0,05 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan diantara
keduanya, sehingga hipotesis pertama ditolak. Hasil analisis tambahan pada kelompok usia remaja awal dan remaja
tengah juga menunjukkan bahwa gaya kelekatan aman memiliki hubungan positif tetapi tidak signifikan terhadap ekspresi emosi marah konstruktif.
Tidak adanya hubungan yang signifikan tersebut menunjukkan bahwa gaya kelekatan aman saja belum cukup untuk membuat seseorang
memiliki ekspresi emosi marah yang konstruktif. Individu dengan gaya kelekatan aman lebih mampu membina hubungan persahabatan yang
akrab, intens, dan memiliki pola interaksi yang baik. Hal itu dikarenakan
75
individu tersebut memiliki sikap empati, sehingga mereka cenderung memiliki kontrol yang baik dalam mengekspresikan emosi marahnya
Parke Waters, dalam Ervika 2005. Di sisi lain, terdapat perbedaan kultural tentang cara mengekspresikan marah, karena ekspresi marah dapat
memiliki makna yang berbeda untuk setiap budaya Matsumoto, 2008. Suatu penelitian menunjukkan adanya perbedaan ekspresi emosi pada
orang Amerika budaya barat dengan orang Jepang budaya timur. Pada budaya Barat, orang terbiasa mengekspresikan emosinya dengan bebas dan
terbuka, sedangkan pada orang budaya Timur pengekspresian emosi cenderung ditahan atau dibatasi Friesen, 1972, dalam Matsumoto, 2008.
Seseorang yang memiliki ekspresi emosi marah konstruktif adalah seseorang yang mampu mengungkapkan emosi marah melalui bahasa dan
perilaku yang mudah dipahami orang lain Nay, 2007. Namun, hal tersebut tidak sejalan dengan budaya Jawa yang salah satu aspek penting
dalam interaksi sosialnya adalah keberhasilan menyembunyikan segala aspek yang bertentangan dalam suatu perbuatan, bukan ketulusan dalam
perbuatan tersebut Geertz, 1983. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam budaya Jawa individu diharapkan dapat menutupi perasaan-perasaan tidak
nyaman terhadap orang lain, sehingga hubungan dengan orang lain tetap terjaga.
Selain itu, budaya Jawa mengajarkan individu untuk tanggap ing sasmita yang berarti individu harus mampu memahami makna yang
tersirat, tidak harus tersurat dengan jelas Sukarno, 2010. Hal tersebut
76
menunjukkan bahwa budaya Jawa tidak mengajarkan individu untuk mengungkapkan emosi atau maksud dengan jelas dan secara langsung
kepada orang lain. Ajaran lain, yaitu andhap-asor berarti kita harus merendahkan hati dan mendahulukan kenyamanan orang lain Sukarno,
2010. Hal tersebut menunjukkan bahwa budaya Jawa mengajarkan individu untuk selalu menahan diri atau cenderung memendam perasaan,
sehingga orang lain tetap nyaman. Memendam perasaan dapat membuat seseorang merasa tidak nyaman dan hal tersebut tidak sejalan dengan
aspek ekspresi emosi marah yang kontruktif. Seseorang dikatakan memiliki ekspresi emosi marah yang konstruktif apabila dapat
mengungkapkan emosi marahnya itu tanpa merugikan diri sendiri Nay, 2007. Pada budaya Jawa, apabila individu tidak melakukan andhap-asor
dan tanggap ing sasmita, maka dirinya akan dianggap tidak sopan. Hal tersebut akhirnya menyebabkan seseorang pada budaya Jawa tidak terbiasa
untuk mengekspresikan emosi marahnya, walaupun ia memahami cara- cara untuk mengekspresikan emosi marahnya secara konstruktif.
Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa kemungkinan faktor budaya, dapat mempengaruhi hubungan antara gaya kelekatan aman
dengan ekspresi emosi marah konstruktif. Meskipun keduanya memiliki arah hubungan yang sesuai dengan hasil analisis, tetapi hubungan diantara
keduanya tidak signifikan. Hal tersebut berarti bahwa individu dengan gaya kelekatan aman belum tentu memiliki ekspresi emosi marah yang
konstruktif.
77
Hasil uji hipotesis pada penelitian ini menunjukkan bahwa hipotesis kedua, ketiga, dan keempat diterima. Hipotesis kedua menyatakan bahwa
tedapat korelasi negatif yang signifikan antara gaya kelekatan takut- menghindar dengan ekspresi emosi marah konstruktif. Semakin kuat gaya
kelekatan takut-menghindar, maka semakin rendah ekspresi emosi marah konstruktif.
Individu dengan gaya kelekatan takut-menghindar merasa bahwa dirinya tidak layak dan memandang orang lain cenderung tidak dapat
dipercaya. Hal tersebut dikarenakan, individu dengan gaya kelekatan ini memiliki pengalaman ditolak secara emosi Bartholomew Horowitz,
1991. Individu belajar bahwa lingkungan merupakan tempat yang tidak aman dan penuh penolakan, sehingga mereka belajar untuk tidak
mengekspresikan emosi-emosi negatif, seperti emosi marah Cassidy Shaver, 1999. Hal tersebut menyebabkan individu dengan gaya kelekatan
ini cenderung memendam perasaan marah dan permusuhan tanpa menyadarinya Mikulincer, 1998. Di sisi lain, salah satu indikator yang
menunjukkan ekspresi emosi marah konstruktif adalah mampu mengungkapkan perasaan dengan bahasa dan perilaku yang mudah
dipahami orang lain Nay, 2007. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa individu dengan gaya kelekatan takut-menghindar
cenderung memendam emosi marahnya, sehingga ekspresi emosi marahnya kurang konstruktif.