kelas sedemikian rupa sebagai respon terhadap kebutuhan setiap individu anaknya.
Maksud dari pernyataan Suyono dan Hariyanto di atas adalah anak akan mendapat kebutuhan belajar yang cukup saat pembelajaran, apabila seorang guru
dapat mengenali gaya belajarnya dan memberikan tindakan sesuai dengan gaya belajarnya. Anak yang belajar dengan menggunakan gaya belajarnya sendiri akan
merasa lebih nyaman saat melakukan aktivitas kognitifnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gaya belajar merupakan bagaimana
cara anak dapat menyerap dan mengolah informasi yang diterima dengan caranya masing-masing. Anak perlu mengetahui gaya belajar mana yang sesuai dengan
dirinya agar lebih mudah melakukan proses menyerap dan mengolah materi yang didapat. Begitu juga dengan guru. Guru perlu mengetahui gaya belajar masing-
masing anaknya agar dapat menyesuaikan metode pembelajaran yang digunakan sehingga anak mudah memahami materi yang diajarkan.
2.1.3.2. Macam-Macam Gaya Belajar
Porter dan Hernacki Suyono dan Hariyanto, 2012:148 menjelaskan bahwa ada tiga macam pokok gaya belajar anak, yaitu gaya belajar visual, auditori, dan
kinestetik. 1.
Bandler dan Grinder memberikan penjelasan bahwa gaya belajar visual lebih mudah mengakses gambar, mengingat gambar, bentuk dan warna, hubungan
ruang, masalah dua dan tiga dimensi Zahar, 2009: 23. Dapat dikatakan anak dengan gaya belajar visual lebih mudah untuk menangkap informasi dari luar
dengan cara melihat objek yang tertangkap oleh indera pengelihatannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pembelajaran dengan menunjukkan gambar, video, grafik, mind map, dan model dapat memudahkan anak untuk memperoleh informasi.
2. Gaya belajar auditori lebih mudah mencerna informasi dengan berbicara,
menyuarakan, dan mendengar Bandler dan Grinder dalam Prihadi, 2008:68. Apabila gaya belajar anak termasuk dalam gaya auditori, maka metode
ceramah, tanya jawab, dan juga diskusi sangat efektif diterapkan kepada mereka. Dalam pembelajaran di kelas sangat memungkinkan anak belajar
dengan menggunakan radio pendidikan atau kaset pembelajaran. 3.
Gaya belajar kinestetik berhubungan dengan koordinasi, gerakan, irama, tanggapan emosionil, dan kenyamanan fisik Bandler dan Grinder dalam
Prihadi, 2008:68. Gaya belajar tersebut memungkinkan anak untuk belajar dengan
cara menggerakkan
bagian-bagian tubuhnya.
Untuk memaksimalkannya,
guru dapat
melaksanakan pembelajaran
yang memungkinkan anak beraktivitas dengan seluruh anggota tubuhnya. Misalnya
dengan berjalan-jalan, menggerak-gerakkan anggota badan, atau melakukan eksperimen yang memerlukan aktivitas fisik.
Porter dan Hernacki mengungkapkan, gaya belajar visual dapat dideteksi melalui kebiasaan anak ketika belajar antara lain: 1 anak lebih mudah mengingat
apa yang dilihat daripada yang didengar, 2 mudah mengingat dengan hal-hal yang terkait visual, 3 memiliki hobi membaca, cepat, dan tekun ketika
membaca, 4 lebih suka membaca secara mandiri daripada dibacakan, 5 karena tidak begitu senang mendengarkan esensi pembicaraannya, maka anak cenderung
berbicara cepat, 6 mudah lupa dengan instruksi verbal, kecuali jika dituliskan, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7 sering lupa menyampaikan pesan secara verbal kepada orang lain, 8 dapat mengeja kata demi kata dengan baik, 9 menjawab pertanyaan hanya dengan
jawaban singkat, 10 mempunyai kebiasaan rapi dan juga teratur, 11 beranggapan bahwa penampilan itu penting, 12 memiliki kemampuan dalam
perencanaan dan pengaturan jangka panjang yang baik, 13 memperhatikan hal- hal kecil, 14 biasanya tidak terganggu dengan suara ribut, 15 lebih suka
melakukan demonstrasi daripada pidato, 16 terbiasa melakukan check dan re- check sebelum membuat simpulan, 17 lebih menyukai seni rupa daripada seni
musik, 18 sering mencoret-coret tanpa arti. Selanjutnya gaya belajar auditori dapat diketahui dari kebiasaan belajar anak,
antara lain sebagai berikut: 1 belajar dengan mendengarkan dan lebih mengingat materi yang disampaikan melalui diskusi, 2 sering bicara sendiri saat belajar
atau bekerja, 3 bersuara ketika membaca, 4 berbicara dengan irama, 5 pada umumnya menjadi pembicara yang fasih, 6 menggerakkan bibir ketika
membaca atau menulis, 7 suka berbicara, berdiskusi, dan berbicara panjang lebar, 8 kesulitan dalam menulis, tetapi lancar dalam bercerita, 9 dapat
mengulangi kembali dan menirukan nada, birama, dan warna suara, 10 sulit berkonsentrasi dan mudah terganggu dengan suara berisik, 11 bermasalah
dengan pekerjaan yang terkait dengan visualisasi, 12 lebih menyukai humor secara lisan daripada membaca dari komik, 13 cenderung menyukai seni musik
daripada seni rupa. Gaya belajar yang terakhir adalah gaya belajar kinestetik. Anak dapat
dideteksi mempunyai gaya belajar kinestetik jika saat belajar menujukkan tanda- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tanda sebagai berikut: 1 melakukan aktivitas yang melibatkan fisik, 2 mengungkapkan sesuatu menggunakan bahasa tubuh, 3 menggunakan jari
sebagai penuntun ketika membaca, 4 menghafalkan sesuatu dengan berjalan dan melihat, 5 menanggapi perhatian fisik, 6 gelisah ketika terlalu banyak duduk
diam, 7 mencari perhatian orang lain dengan cara menyentuh, 8 melakukan sebuah aksitindakan setelah mengeluarkan kata-kata, 9 ingin melakukan segala
seusatu, 10 mendekatkan tubuh ketika berbicara dengan orang lain, 11 berbicara dengan perlahan, 12 sukar mengingat letak suatu tempat, kecuali jika
pernah mendatangi tempat tersebut, 13 menyukai permainan yang membuat tubuhnya bergerak.
Ketiga gaya tersebut dilandasi oleh pandangan neuro linguistik, di mana pandangan tersebut mengasumsikan bahwa setiap anak memiliki gaya
dominannya sendiri. Dalam kenyataannya banyak didapati gaya belajar anak yang merupakan kombinasi dari gaya visual, auditori, dan kinestetik VAK.
Flemming Suyono dan Hariyanto, 2012:153 mengungkapkan bahwa ada pengembangan gaya VAK menjadi VARK, di mana Flemming menyisipkan huruf
R. Huruf R tersebut mengartikan anak menyukai baca dan tulis dalam gaya belajarnya readingwriting. Dengan demikian terciptalah empat tipe belajar yang
mengasumsikan bahwa setiap anak cenderung memiliki tipe belajar gabungankombinasi.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa gaya belajar pada anak sangat beragam. Anak yang belajar atau mengikuti proses pembelajaran
dengan gaya mereka sendiri akan lebih mudah dalam menerima dan memahami materi yang diberikan oleh gurunya.
2.2. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang pertama dilakukan oleh Kurniawati, Kasiyati, dan Amsyarudin 2014, berjudul “Persepsi Guru Kelas Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di
SD Payakumbuh. Populasi penelitian tersebut adalah 34 guru kelas SD Payakumbuh yang tersebar di lima sekolah. Penelitian tersebut memperlihatkan
hasil bahwa 50,7 guru kelas memahami anak berkebutuhan khusus, 58,2 guru memperhatikan kehadiran anak berkebutuhan khusus di sekolah, 58,8 dari anak-
anak berkebutuhan khusus melakukan interaksi sosial dengan para guru, 53,4 anak berkebutuhan khusus melakukan interaksi dengan teman sebaya, 40,8 guru
memiliki pendapat bahwa anak mengalami gangguan dalam prestasi belajar. Penelitian yang kedua berjudul “Penanganan Anak Hiperaktif Melalui Metode
Sensory Integrative Therapy ” ditulis oleh Tin Suharmini 2004. Dari penelitian
tersebut dijelaskan bahwa metode sensory integrative therapy merupakan cara
untuk mengembangkan konsentrasi, mengontrol tingkah laku, dan melatih kemampuan sosial anak hiperaktif. Metode tersebut dikemas dalam tiga terapi
yaitu Pretend Play, Music Therapy, dan Behavior Modification. Dalam penelitian tersebut juga disebutkan problem anak hiperaktif. Problem tersebut antara lain
problem motorik, problem perilaku sosial dan tidak mau diam, meledak-ledak, mendebat, dan tidak mau memenuhi perintah orang lain.
Penelitian yang ketiga yaitu “Visual, Auditori, Kinaesthetic Learning Styles
and Their Impact on English Language Teaching”, ditulis oleh Gilakjani 2012.