Persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi.

(1)

Dwi Marginingsih NIM : 121134215

Perilaku yang ditunjukkan anak hiperaktif di kelas dapat menghambat proses pembelajaran. Perilaku anak hiperaktif tersebut mengakibatkan munculnya berbagai persepsi antarguru. Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan mengenai (1) persepsi guru terkait dengan anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi, (2) persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi, dan (3) persepsi guru terhadap anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi terkait dengan metode pengajaran.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Instrumen penelitian yang digunakan peneliti adalah perekam, alat tulis, dan teks anecdot, dan peneliti itu sendiri. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah reduksi data, display data, dan menarik kesimpulan serta verifikasi.

Berdasarkan hasil penelitian dari observasi, wawancara, dan dokumentasi yang telah peneliti lakukan menunjukkan adanya persamaan persepsi guru yang mengampu di kelas IV SD Pelangi tentang anak hiperaktif dengan teori anak hiperaktif. Persepsi guru terkait dengan kondisi siswa yang mengalami hiperaktif juga memiliki kesamaan dengan teori anak hiperaktif. Begitu pula mengenai persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif, yaitu perpaduan berbagai metode pengajaran yang dikemas dalam satu pembelajaran utuh. Metode pengajaran tersebut adalah perpaduan antara metode pengajaran berpusat pada siswa dan metode konvensional. Pedoman guru dalam pemilihan metode pengajaran adalah materi, karakteristik anak, dan kemampuan anak. Tingkat keberhasilan penggunaan metode pengajaran tersebut bergantung dengan suasana hati anak.


(2)

FOR HYPERACTIVE STUDENTS IN THE FORTH GRADE OF PELANGI ELEMENTARY SCHOOL

Dwi Marginingsih NIM: 121134215

The behavior presented by hyperactive children in the classroom might hinder the learning process there. That behavior can result diverse perception among teachers. Based on this background, the purposes of this study are to describe the (1) the perception of teachers about hyperactive children in the fourth grade of Pelangi Elementary School, (2) the perception of teachers on teaching method for hyperactive children in the fourth grade of Pelangi Elementary School, (3) the perception of teachers toward hyperactive children in the fourth grade of Pelangi Elementary School about teaching method.

This research method is qualitative descriptive. Methods of data collection in this study are by observation, interview, and documentation. The instrument used in this study are recorders, stationery, text anecdot, and researcher itself. Data analysis techniques used in research are by data reduction, data display, and finally draw conclusions and verification.

The results from observations, interviews, and documentation which has been done indicate a common perception between administer teacher in fourth grade of Pelangi Elementary School toward hyperactive children with theory of hyperactive child. Teachers' perceptions toward children with hyperactive conditions is similar to theory of hyperactive children. Teacher's perception of the teaching method for hyperactive children is a combination of various methods of teaching that are packed in one learning intact. The teaching method is a combination of student-centered teaching methods and conventional methods. Teachers' guidance in teaching method is by considering material, characteristic and ability of each child. The success rate of the use of teaching method depends also on the mood of the children.


(3)

i

PERSEPSI GURU TERHADAP METODE PENGAJARAN

UNTUK ANAK HIPERAKTIF KELAS IV SD PELANGI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Oleh:

Dwi Marginingsih NIM : 121134215

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2016


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN MOTTO

“No one has the ability to do something perfect. But each person is given a lot of opportunity to do something right.”

“Tidak seorangpun punya kemampuan untuk melakukan sesuatu yang

sempurna. Namun, setiap orang diberi banyak kesempatan untuk

melakukan sesuatu yang benar.”

“Do the best you can do, then God will do the best you can't do.”

“Lakukan hal terbaik yang bisa kamu lakukan, setelah itu Tuhan akan

melakukan yang terbaik yang tidak bisa kamu lakukan.” (Wilson Kanadi)


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan yang pertama untuk Tuhan Yang Maha Esa yang selalu menyertai dan menguatkan saya dalam menjalani kehidupan. Kedua, saya persembahkan untuk orang tua, yaitu Bapak Bomin Kartono dan Ibu Asih Handayani yang selalu memberikan yang terbaik, semangat, memenuhi segala kebutuhan saya, serta doa demi kesuksesan dan masa depan saya. Ketiga, peneliti persembahkan untuk Anik Parminingsih dan Aprilia Wahyu Ning Tyas yang selalu memberikan semangat dan menyebut nama saya dalam setiap doanya. Keempat, skripsi ini dipersembahkan untuk Ady Prasetyo yang selalu memotivasi saya untuk melakukan yang terbaik dalam hidup.

Skripsi ini juga saya persembahkan untuk dosen-dosen saya yang selalu memberikan bimbingan dan mendidik saya menjadi calon pendidik yang baik. Teman-teman seperjuangan saya yang saling memberikan semangat dalam menjalani hidup. Terakhir, saya persembahkan untuk Universitas Sanata Dharma yang telah menuntun saya menjadi calon pendidik yang bermutu dan berkualitas.


(8)

(9)

(10)

viii ABSTRAK

PERSEPSI GURU TERHADAP METODE PENGAJARAN UNTUK ANAK HIPERAKTIF KELAS IV DI SD PELANGI

Dwi Marginingsih NIM : 121134215

Perilaku yang ditunjukkan anak hiperaktif di kelas dapat menghambat proses pembelajaran. Perilaku anak hiperaktif tersebut mengakibatkan munculnya berbagai persepsi antarguru. Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan mengenai (1) persepsi guru terkait dengan anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi, (2) persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi, dan (3) persepsi guru terhadap anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi terkait dengan metode pengajaran.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Instrumen penelitian yang digunakan peneliti adalah perekam, alat tulis, dan teks anecdot, dan peneliti itu sendiri. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah reduksi data, display data, dan menarik kesimpulan serta verifikasi.

Berdasarkan hasil penelitian dari observasi, wawancara, dan dokumentasi yang telah peneliti lakukan menunjukkan adanya persamaan persepsi guru yang mengampu di kelas IV SD Pelangi tentang anak hiperaktif dengan teori anak hiperaktif. Persepsi guru terkait dengan kondisi siswa yang mengalami hiperaktif juga memiliki kesamaan dengan teori anak hiperaktif. Begitu pula mengenai persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif, yaitu perpaduan berbagai metode pengajaran yang dikemas dalam satu pembelajaran utuh. Metode pengajaran tersebut adalah perpaduan antara metode pengajaran berpusat pada siswa dan metode konvensional. Pedoman guru dalam pemilihan metode pengajaran adalah materi, karakteristik anak, dan kemampuan anak. Tingkat keberhasilan penggunaan metode pengajaran tersebut bergantung dengan suasana hati anak.


(11)

ix ABSTRACT

TEACHERS’ PERCEPTION TOWARD TEACHING METHOD FOR HYPERACTIVE STUDENTS IN THE FORTH GRADE OF PELANGI

ELEMENTARY SCHOOL Dwi Marginingsih

NIM: 121134215

The behavior presented by hyperactive children in the classroom might hinder the learning process there. That behavior can result diverse perception among teachers. Based on this background, the purposes of this study are to describe the (1) the perception of teachers about hyperactive children in the fourth grade of Pelangi Elementary School, (2) the perception of teachers on teaching method for hyperactive children in the fourth grade of Pelangi Elementary School, (3) the perception of teachers toward hyperactive children in the fourth grade of Pelangi Elementary School about teaching method.

This research method is qualitative descriptive. Methods of data collection in this study are by observation, interview, and documentation. The instrument used in this study are recorders, stationery, text anecdot, and researcher itself. Data analysis techniques used in research are by data reduction, data display, and finally draw conclusions and verification.

The results from observations, interviews, and documentation which has been done indicate a common perception between administer teacher in fourth grade of Pelangi Elementary School toward hyperactive children with theory of hyperactive child. Teachers' perceptions toward children with hyperactive conditions is similar to theory of hyperactive children. Teacher's perception of the teaching method for hyperactive children is a combination of various methods of teaching that are packed in one learning intact. The teaching method is a combination of student-centered teaching methods and conventional methods. Teachers' guidance in teaching method is by considering material, characteristic and ability of each child. The success rate of the use of teaching method depends also on the mood of the children.


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Persepsi Guru Terhadap Metode Pengajaran Untuk Anak Hiperaktif Kelas IV SD Pelangi” ini dengan baik. Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, serta dapat bermanfaat bagi semua pihak. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari berbagai hambatan, seperti keterbatasan waktu, pengetahuan, dan pengalaman. Namun, berkat semangat dan dukungan dari berbagai pihak, penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas Sanata Dharma, yaitu Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma, Christiyanti Aprinastuti, S.Si., M.Pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma, Apri Damai Sagita Krissandi, S.S., M.Pd. selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma, Eny Winarti, S.Pd., M.Hum., Ph.D., dan Brigitta Erlita Tri Anggadewi, S. Psi., M. Psi. selaku dosen pembimbing I dan pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan petunjuk selama proses penelitian dan penulisan skripsi hingga selesai.


(13)

(14)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 7

1.3 Pembatasan Masalah ... 7


(15)

xiii

1.5 Tujuan Penelitian ... 8

1.6 Manfaat Penelitian ... 8

1.7 Definisi Operasional ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 10

2.1 Kajian Pustaka ... 10

2.1.1 Deskripsi Partisipan yang Diteliti ... 10

2.1.2 Persepsi ... 12

2.1.3 Metode Pengajaran ... 19

2.1.4 Hiperaktivitas ... 25

2.2 Hasil Penelitian yang Relevan ... 30

2.3 Kerangka Teori ... 34

2.4 Pertanyaan Penelitian ... 36

BAB III METODE PENELITIAN ... 37

3.1 Jenis Penelitian ... 37

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 39

3.3 Partisipan Penelitian ... 40

3.4 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 43

3.5 Instrumen Penelitian ... 46

3.6 Teknik Keabsahan Data ... 48

3.7 Analisis Data ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55


(16)

xiv

4.1.1 Deskripsi Partisipan Penelitian ... 55

4.2 Pembahasan ... 75

BAB V PENUTUP ... 91

5.1 Kesimpulan ... 91

5.2 Keterbatasan Penelitian ... 92

5.2 Saran ... 92


(17)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Proses Terjadinya Persepsi menurut Walgito (2010) ... 16

Gambar 2.2 Skema Proses Terjadinya Persepsi menurut Walgito (2010) ... 17

Gambar 2.3 Literatur Map Penelitian-penelitian Relevan ... 33

Gambar 3.3 Bagan Triangulasi Metode ... 50


(18)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Waktu Penelitian ... 40 Tabel 3.2 Alur Instrumen Penelitian ... 48


(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Teks Anekdot ... 97

Lampiran 2 Hasil Triangulasi Data ... 101

Lampiran 3 Theoritical Cooding ... 109

Lampiran 4 Catatan Memo ... 111

Lampiran 5 Analisis Data ... 119


(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

Pada bab I ini, peneliti akan menguraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definsi operasional. Peneliti membahas ketujuh topik tersebut secara berurutan.

1.1 Latar Belakang Masalah

Sesuai dengan kodrat alami manusia, setiap individu terlahir dengan kelebihan dan kekurangan yang berbeda. Beberapa diantaranya adalah anak yang memiliki kebutuhan khusus. Anak-anak berkebutuhan khusus merupakan anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak lainnya. Pada umumnya, anak memiliki karakteristik khusus tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik (Murtiningsih, 2013). Pernyataan tersebut sesuai dengan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “Anak yang memiliki kelainan fisik dan mental tersebut disebut anak berkebutuhan khusus” (Wiyani, 2014).

Anak berkebutuhan khusus terdiri dari bermacam-macam, diantaranya hiperaktif, autis, asperger disorder, retardasi mental, sindroma down, dyslexia, diskalkulia, disgrafia, dan masih ada istilah-istilah lainnya (Murtiningsih, 2013). Salah satu anak yang berkebutuhan khusus adalah hiperaktif. Anak


(21)

hiperaktif merupakan anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktivitas atau Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD) (Zaviera, 2014). Gangguan perilaku ini ditandai dengan adanya gangguan pemusatan perhatian, pembicaraan yang lepas kontrol, serta gerakan yang berlebihan melebihi gerakan yang dilakukan anak pada umumnya (Wiyani, 2014). Mereka kurang mampu mengontrol dan melakukan koordinasi dalam aktivitas motoriknya, sehingga tidak dapat membedakan mana gerakan penting dan gerakan tidak penting. Mereka melakukan gerakan tersebut secara terus-menerus tanpa mengenal lelah. Hal ini menyebabkan mereka kesulitan dalam memusatkan perhatiannya (Koasih, 2012). Setiap anak hiperaktif memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Anak hiperaktif terdiri dari tiga tipe, yaitu tipe inatensi, tipe hiperaktif-implusif, dan tipe kombinasi.

Anak-anak berkebutuhan khusus, terutama anak hiperaktif, membutuhkan pelayanan pendidikan sesuai kebutuhan mereka untuk mencapai potensi yang maksimal. Pendidikan yang efektif sangat bergantung pada lingkungan tempat anak tersebut belajar dan pemenuhan kebutuhan sosial, emosional, dan pembelajaran mereka (Thompson, 2010). Hal ini sesuai dengan pasal 32 UUD 1945 ayat 1 yang berbunyi: “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran kerena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.” Salah satu pelayanan


(22)

pendidikan khusus yang pemerintah berikan kepada anak berkebutuhan khusus adalah sekolah inklusi.

Tujuan didirikan sekolah inklusi ini adalah membantu anak berkebutuhan khusus dalam belajar agar dapat memahami materi dengan maksimal (Fitriani, 2012). Salah satu faktor yang harus dimiliki dan dioptimalkan dalam sekolah inklusi adalah guru. Secara umum, peran guru dalam kegiatan belajar mengajar adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi anak pada semua jenjang pendidikan. Guru juga memiliki peran sebagai fasilitator, mengembangkan bahan ajar, meningkatkan kemampuan peserta didik, serta menciptakan situasi dan kondisi belajar mengajar yang menyenangkan (Sanjaya, 2006). Pernyataan tersebut didukung hasil penelitian Haryantiningsih (2015) tentang usaha guru untuk memusatkan perhatian anak hiperaktif. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa cara guru untuk memusatkan perhatian anak dengan memberikan bimbingan klasikal melalui pemberian hadiah, pujian, menciptakan suasana belajar menyenangkan dalam bentuk permainan, memberikan perhatian khusus, menasihati, menempatkan anak pada posisi duduk paling depan, dan komunikasi dengan kalimat efektif. Dengan demikian, guru memiliki peranan penting dalam membantu anak yang mengalami berbagai macam gangguan belajar, seperti membaca, menulis, berhitung, dan berbicara. Salah satu langkah yang digunakan guru untuk membantu anak tersebut dengan menggunakan berbagai metode pengajaran.


(23)

Guru mempunyai pandangan yang berbeda terhadap setiap karakteristik anak di kelas terutama kelas inklusi yang terdapat anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus tersebut dalam proses pembelajaran membutuhkan pengajaran khusus, sehingga guru memiliki peran penting dalam penerapan metode pengajaran. Kenyataan tersebut memunculkan persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif.

Persepsi merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera. Proses persepsi tidak lepas dari proses penginderaan. Proses penginderaan ini akan berlangsung setiap saat, pada waktu individu menerima stimulus melalui alat-alat indera (Walgito, 2010). Setiap stimulus yang diterima oleh masing-masing individu berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu, seperti sikap, kebiasaan, dan kemauan. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu yang meliputi stimulus itu sendiri, baik sosial maupun fisik (Sarwono, 2009). Dengan demikian, setiap guru memiliki persepsi atau pandangan yang berbeda terhadap metode pengajaran yang tepat untuk anak hiperaktif.

Peneliti melakukan studi pendahuluan di SD Pelangi terhadap anak hiperaktif. Berdasarkan hasil observasi tersebut, peneliti menemukan bahwa di kelas IV terdapat anak berkebutuhan khusus. Dari anak berkebutuhan khusus tersebut, peneliti melihat perilaku Abi yang berbeda dari anak-anak lainnya. Perilaku yang ditunjukkan Abi antara lain sulit berkonsentrasi, perhatiannya


(24)

mudah teralih, misalnya ketika mendengarkan penjelasan guru, tiba-tiba dia menyanyi atau memainkan pensil dan menggerak-gerakkan tangannya. Abi terlihat seperti tidak mendengarkan atau menatap lawan bicaranya. Abi sering menyela pembicaraan orang lain, membutuhkan waktu lama untuk mengerjakan tugas, dan terkadang dia juga tidak menyelesaikannya.

Selain melakukan observasi, peneliti juga melakukan wawancara dengan guru kelas. Wawancara pertama dilakukan pada hari Sabtu tanggal 03 Oktober 2015. Wawancara antara peneliti dengan partisipan II ini berlangsung selama satu jam dari pukul 08:00-09:00 WIB di ruang tamu sekolah. Berdasarkan hasil wawancara guru kelas menceritakan bagaimana keseharian Abi saat di kelas, diantaranya anak lebih aktif dibandingkan dengan teman-temannya, terkadang Abi sering menyela pembicaraan orang lain terutama saat beliau menjelaskan materi, dan berbicara berlebihan di luar materi yang sedang dipelajari. Abi memiliki hobi bernyanyi, bahkan sering bernyanyi selama proses pembelajaran.

Peneliti tidak hanya melakukan wawancara dengan guru kelas, tetapi juga melakukan wawancara dengan guru pendamping pribadi Abi dan guru pendamping khusus. Hasil wawancara dengan guru pendamping pribadi dan guru pendamping khusus dapat disimpulkan bahwa Abi suka mencari perhatian, tingkah laku dan berbicara yang berlebihan, sering membantah atau menyela pembicaraan orang lain, dan selalu menonjolkan diri bahwa dirinya sudah bisa, meskipun pada kenyataannya dia belum bisa. Selain itu, Abi sering menyanyi saat pembelajaran berlangsung. Abi memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Hal


(25)

ini terlihat ketika Abi mengajukan banyak pertanyaan secara terus-menerus meskipun pertanyaan sebelumnya belum selesai dijawab.

Berdasarkan perilaku yang ditunjukkan Abi, baik guru kelas, guru pendamping pribadi, maupun guru pendamping khusus menjadikannya pedoman untuk menyatakan bahwa Abi termasuk anak hiperaktif. Guru kelas menambahkan “Itu kan setiap tahunnya dari kelas 1 sampai kelas 4 ini, kebetulan Abi assesmentnya adalah hiperaktif.” Pernyataan guru kelas ini diperkuat dengan hasil assesment yang telah dilakukan oleh ketiga guru, yaitu guru kelas, guru pendamping pribadi, dan guru pendamping khusus sekolah yang menunjukkan bahwa Abi termasuk anak hiperaktif.

Berdasarkan pengalaman yang peneliti alami tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji tentang persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif. Peneliti akan menguraikan tentang bagaimana persepsi guru terhadap anak hiperaktif dan persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi atau mengetahui gambaran bagaimana persepsi guru terhadap anak hiperaktif dan persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif. Judul dari penelitian ini adalah “Persepsi Guru Terhadap Metode Pengajaran untuk Anak Hiperaktif Kelas IV SD Pelangi.”


(26)

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, peneliti dapat mengidentifikasi permasalahan bahwa ada anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi dan belum diketahui adanya persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif.

1.3 Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, peneliti akan membatasi masalah dalam penelitian ini oleh persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah tersebut, maka rumusan masalah dari penelitian ini sebagai berikut:

1.4.1 Bagaimanakah persepsi guru terkait dengan anak hiperaktif kelas kelas IV SD Pelangi?

1.4.2 Bagaimanakah persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi?

1.4.3 Bagaimanakah persepsi guru terhadap anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi terkait dengan metode pengajaran?


(27)

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1.5.1 Penelitian ini untuk mengeksplorasi atau mengetahui gambaran tentang persepsi guru terkait dengan anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi.

1.5.2 Penelitian ini untuk mengeksplorasi atau mengetahui gambaran persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi.

1.5.3 Penelitian ini untuk mengeksplorasi atau mengetahui gambaran persepsi guru terhadap anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi terkait dengan metode pengajaran.

1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Bagi Guru

Hasil penelitian dapat dijadikan bahan referensi guru untuk menggunakan metode pengajaran yang tepat untuk anak hiperaktif di kelas.

1.6.2 Bagi Sekolah

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk meningkatkan kualitas sekolah, khususnya sekolah inklusi tentang metode pengajaran yang tepat untuk anak hiperaktif

1.6.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber untuk melakukan studi tentang persepsi guru terhadap anak hiperaktif atau melakukan


(28)

penelitian yang sejenis sebagai pembanding dengan penelitian yang telah dilakukan peneliti lain.

1.6.4 Peneliti

Proses dan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif.

1.7 Definisi Operasional

Pada penelitian ini, peneliti memberikan pengertian-pengertian agar memudahkan pembaca dan tidak menimbulkan kesalahpahaman pembaca, maka pengertian-pengertian yang digunakan peneliti sebagai berikut:

1.7.1 Persepsi merupakan proses penginterpretasian stimulus dari lingkungan sekitar melalui alat indera, sehingga mampu menafsirkan apa yang diinderakan.

1.7.2 Metode pengajaran adalah cara yang digunakan untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan.

1.7.3 Hiperaktif merupakan gangguan pada perilaku tidak normal yang ditandai dengan adanya gangguan pemusatan perhatian, pembicaraan yang lepas kontrol, serta gerakan yang berlebihan melebihi gerakan yang dilakukan anak pada umumnya.


(29)

10 BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab II, peneliti memaparkan empat topik yang mencakup kajian teori, penelitian yang relevan, kerangka teori, dan pertanyaan penelitian. Pada kajian teori, peneliti membahas tentang teori-teori yang berkaitan dengan persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif dan mendeskripsikan anak hiperaktif. Pada penelitian yang relevan, peneliti memaparkan hasil penelitian orang lain yang relevan dengan penelitian ini. Pada kerangka teori, peneliti memberikan gambaran kepada pembaca untuk memahami penelitian yang dilakukan. Pertanyaan penelitian berkaitan dengan rumusan masalah dalam penelitian ini.

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Deskripsi Partisipan yang diteliti

Partisipan pertama dalam penelitian ini bernama Abi. Abi adalah siswa laki-laki yang berusia 10 tahun kelas IV SD Pelangi. Abi merupakan anak pertama dari dua bersaudara, pasangan suami istri Joni dan Irin. Riwayat pendidikan terakhir dari pasangan suami istri tersebut adalah S1 dan D3. Pekerjaan bapak Joni adalah wiraswasta, sedangkan ibu Irin sebagai ibu rumah tangga. Abi memiliki hobi bernyanyi dan bersepeda. Abi menyukai hal-hal yang berkaitan dengan otomotif, bahkan dia rela menyisihkan uang sakunya untuk membeli majalah otomotif. Abi juga mengikuti beberapa ekstrakurikuler wajib dan tambahan di sekolah. Ekstrakurikuler tambahan


(30)

yang diikuti Abi adalah pencak silat, futsal, dan renang. Data tersebut berdasarkan hasil observasi dan wawancara baik dengan Abi, guru kelas, pendamping pribadi Abi, maupun guru pendamping khusus.

Berdasarkan hasil observasi, peneliti melihat Abi secara fisik terlihat seperti anak tidak memiliki kebutuhan khusus. Abi memiliki anggota tubuh yang lengkap tanpa kekurangan satupun. Begitu pula dengan aspek afektif, Abi mampu bersosialisasi dengan teman-temannya. Secara psikomotorik, Abi masih memerlukan pendampingan terutama dalam hal menggunting, menggaris atau membuat sebuah prakarya. Secara kogitif, Abi memiliki kemampuan rata-rata. Abi menyukai mata pelajaran yang berkaitan dengan pengetahuan dan menghafal, seperti IPA, IPS, dan Bahasa Indonesia. Abi kurang menyukai pelajaran yang berkaitan dengan angka, seperti Matematika. Hal ini mempengaruhi nilai Matematika Abi lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai pelajaran lainnya. Saat ini, Abi masih kesulitan dalam pelajaran Matematika. Nilai Abi hampir semua mata pelajaran di atas KKM, kecuali Matematika. Informasi tersebut peneliti dapatkan dari hasil studi dokumen dan wawancara dengan Abi, guru kelas, guru pendamping pribadi, dan guru pendamping khusus.

Berdasarkan hasil observasi, perilaku yang ditunjukkan Abi selama proses pembelajaran antara lain perhatiannya mudah teralih dengan hal-hal yang menarik baginya, membutuhkan waktu lama dalam menyelesaikan tugas, sering melakukan aktivitas yang berlebihan, dan sering meninggalkan tempat


(31)

duduk. Abi terlihat seperti tidak mendengarkan atau menatap lawan bicaranya, namun dia dapat merespon dengan baik. Abi sering menyela pembicaraan orang lain, menjawab pertanyaan sebelum pertanyaan tersebut selesai diberikan, dan tanpa berpikir terlebih dahulu jawabannya. Selain itu, Abi sering lupa tidak membawa buku atau mengerjakan PR dan sering kehilangan barang milik pribadinya, seperti pensil atau penghapus.

2.1.2 Persepsi

2.1.2.1Pengertian Persepsi

Persepsi merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera (Walgito, 2010). Proses persepsi tidak lepas dari proses penginderaan. Proses pengideraan adalah proses pendahulu dari proses persepsi. Proses penginderaan berlangsung pada waktu individu menerima stimulus melalui alat-alat indera (Walgito, 2010). Alat-alat indera tersebut terdiri dari mata sebagai alat pengideraan, telinga sebagai alat pendengaran, hidung sebagai alat pembauan, lidah sebagai alat pengecapan, dan kulit pada telapak tangan sebagai alat perabaan. Kelima alat indera tersebut digunakan untuk menerima stimulus dari luar individu. Hal ini sama seperti yang diungkapkan Sarwono (2009) bahwa persepsi merupakan stimulan dari luar yang dibawa masuk ke dalam syaraf melalui alat-alat indera (Sarwono, 2009). Robbin (Danarjati, 2013) mendeskripsikan persepsi yang berkaitan dengan lingkungan, proses individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan mereka agar memberi makna pada lingkungan mereka.


(32)

Stimulus pada persepsi berasal dari luar maupun dalam diri individu. Namun, sebagian besar stimulus berasal dari luar. Persepsi dapat diungkapkan karena perasaan, kemampuan berpikir, dan pengalaman individu yang tidak sama. Hal ini mempengaruhi seseorang dalam mempersepsikan suatu stimulus yang berbeda antara individu satu dengan lainnya (Jacobsen, 2009). Berdasarkan beberapa pengertian persepsi, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses penginterprestasian stimulus dari lingkungan sekitar melalui alat indera, sehingga mampu menafsirkan apa yang diinderakan.

2.1.2.2Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Sarlito (Danarjati, 2013) mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan persepsi antarindividu dan antarkelompok ialah 1. Perhatian; Setiap saat terdapat ratusan bahkan ribuan rangsangan

(stimulus) yang tertangkap oleh semua indera kita. Namun, kita tidak mampu menyerap atau menangkap seluruh rangsangan (stimulus) yang ada di sekitar kita. Adanya keterbatasan daya serap dari persepsi, maka kita harus memusatkan perhatian kita pada satu atau dua objek saja. 2. Set; Set adalah kesiapan mental seseorang untuk menanggapi atau

menghadapi rangsangan yang timbul dengan cara tertentu. Perbedaan set dapat menyebabkan perbedaan persepsi.

3. Kebutuhan; Setiap manusia pasti mempunyai kebutuhan hidup yang berbeda yang menyebabkan perbedaan persepsi.


(33)

4. Sistem Nilai; Sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat berpengaruh terhadap persepsi.

5. Tipe Kepribadian; Tipe kepribadian mempengaruhi persepsi. Setiap orang mempunyai tipe kepribadian yang berbeda, sehingga persepsi orang terhadap suatu hal juga berbeda-beda.

6. Gangguan Kejiwaan; Dalam gejala normal, ilusi berbeda dari halusinasi dan delusi yang merupakan kesalahan persepsi penderita gangguan jiwa. Halusinasi adalah keyakinan melihat atau mendengar sesuatu sebagai realita, sedangkan delusi merupakan keyakinan bahwa dirinya menjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan realita (fixed false belief).

Keenam faktor persepsi yang diungkapkan oleh Sarlito tersebut sama seperti pendapat Robbin (Danarjati, 2013) yang mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi perbedaan persepsi adalah perilaku, objek yang dipersepsikan, dan konteks dari situasi dimana persepsi itu diberlakukan. Dari pendapat para ahli tersebut, Bimo (Walgito: 2010) menyederhanakan menjadi tiga faktor yang mempengaruhi persepsi sebagai berikut:

1. Objek yang dipersepsi; Objek menimbulkan persepsi (stimulus yang mengenai alat indera). Stimulus muncul baik dari luar individu yang mempersepsi maupun dalam individu yang bersangkutan.

2. Alat indera, syaraf, dan pusat syaraf; Alat indera merupakan alat untuk menerima stimulus. Selain alat indera, syaraf sensoris digunakan untuk


(34)

meneruskan stimulus yang diterima kemudian diteruskan ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran.

3. Perhatian; Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu kepada sesuatu atau sekumpulan objek.

Thoha (Walgito, 2010) berpendapat bahwa persepsi terjadi karena dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu, seperti sikap, kebiasaan, dan kemauan. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu, meliputi stimulus itu sendiri baik sosial maupun fisik. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi persepsi adalah (1) objek atau stimulus yang dipersepsi, (2) alat indera, syaraf-syaraf, dan pusat susunan syaraf, (3) perhatian sebagai syarat psikologi, (4) kebutuhan, dan (5) sistem nilai. 2.1.2.3 Proses Terjadinya Persepsi

Alport (Danarjati, 2013) menyatakan proses persepsi merupakan suatu proses kognitif yang dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, dan pengetahuan individu. Pengalaman dan proses belajar akan memberikan struktur bagi objek yang ditangkap pancaindera, sedangkan pengetahuan dan cakrawala memberikan makna terhadap objek yang ditangkap individu. Proses terakhir, individu berperan dalam menentukan tersedianya jawaban yang berupa sikap dan tingkah laku individu terhadap objek yang ada.


(35)

Objek menimbulkan stimulus dan stimulus tersebut mengenai alat indera. Proses stimulus tersebut merupakan proses kealaman atau proses fisik (Walgito, 2010). Stimulus yang diterima oleh alat indera dilanjutkan syaraf sensoris ke otak. Proses selanjutnya ke otak sebagai pusat kesadaran, sehingga individu menyadari apa yang dilihat, didengar, atau diraba. Proses ini merupakan persepsi yang sebenarnya. Secara skematis proses tersebut tergambar sebagai berikut:

Gambar 2.1 Proses Terjadinya Persepsi menurut Walgito (2010) Keterangan

St : stimulus (faktor luar)

Fi : faktor intern (faktor dalam, termasuk perhatian) Sp : struktur pribadi individu

Skema tersebut memberikan gambaran bahwa individu menerima beragam stimulus yang datang dari lingkungan. Namun, tidak semua stimulus akan diperhatikan atau diberikan respon. Sebagai akibat dari stimulus yang dipilih dan diterima, individu menyadari dan memberikan respon sebagai reaksi terhadap stimulus tersebut.


(36)

Skema tersebut dapat dilanjutkan sebagai berikut:

Gambar 2.2 Skema Proses Terjadinya Persepsi menurut Walgito (2010) Persepsi setiap individu selain bergantung pada stimulus dan individunya, juga bergantung pada bermacam-macam faktor. Salah satu faktor persepsi adalah perhatian. Perhatian individu merupakan aspek penting psikologi individu dalam mengadakan persepsi (Walgito, 2010). Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka proses persepsi dapat disimpulkan melalui tiga tahap, yaitu (1) tahap penerimaan stimulus, baik stimulus fisik maupun stimulus sosial, melalui alat indera manusia yang mencakup pengenalan dan pengumpulan informasi, (2) tahap pengolahan stimulus melalui proses seleksi dan pengorganisasian informasi, dan (3) tahap perubahan stimulus dalam menanggapi lingkungan melalui proses kognisi yang dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, dan pengetahuan. 2.1.2.4Komponen-komponen Persepsi

Sikap adalah suatu interelasi dari berbagai komponen. Komponen persepsi menurut Alport (Danarjati, 2013) ada tiga, yaitu (1) komponen kognitif adalah komponen tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang tentang objek sikapnya, (2) komponen afektif adalah komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang,


(37)

dan (3) komponen konatif adalah komponen yang berkaitan dengan kesiapan seseorang untuk bertingkah laku.

Ketiga komponen tersebut sependapat dengan Rokeach (Walgito, 2010) bahwa persepsi terkandung komponen kognitif dan komponen konatif. Komponen konatif adalah sikap predisposing untuk merespon atau berperilaku. Sikap berkaitan dengan perilaku, sehingga sikap seseorang berubah pada objek untuk memahami, merasakan, dan berperilaku. Kedua pendapat dari para ahli tersebut diperjelas kembali oleh pendapat Baron dan Byrne (Danarjati, 2013) persepsi mengandung tiga komponen, yaitu: 1) Komponen perseptual (kognitif), yaitu komponen yang berhubungan

dengan pengetahuan, pandangan, dan keyakinan, serta bagaimana orang mempersepsikan terhadap suatu objek.

2) Komponen emosional (afektif), yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal positif, sedangkan rasa tidak senang adalah hal negatif. 3) Komponen perilaku atau action component (konatif), yaitu komponen

yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap suatu objek sikap. Komponen ini menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap.

Berdasarkan pendapat komponen persepsi tersebut, maka disimpulkan bahwa komponen persepsi terdiri dari tiga, yaitu (1) komponen kognitif (perseptual) berupa pengetahuan, pandangan, dan keyakinan, (2) komponen


(38)

afektif (emosional) ditunjukkan dengan rasa senang atau tidak senang, dan (3) komponen konatif (perilaku atau action component) menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak terhadap objek sikap.

2.1.3 Metode Pengajaran

2.1.3.1Pengertian Metode Pengajaran

Metode merupakan suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Siregar, 2010). Hal ini juga diungkapkan oleh Djamarah (Zain, 2010) bahwa metode adalah salah satu alat untuk mencapai suatu tujuan. Penggunaan metode harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa metode merupakan suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Metode memiliki hubungan yang penting dalam kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar merupakan suatu proses dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Guru dengan sadar berusaha mengatur lingkungan belajar agar siswa bersemangat dalam belajar. Guru harus berusaha mencari cara untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Salah satu usaha guru adalah menggunakan metode pengajaran yang bervariasi sesuai dengan tujuan pembelajaran.

Metode pengajaran merupakan suatu cara yang digunakan dalam menyampaikan materi untuk mencapai tujuan pembelajaran (Muslich, 2010; Raharjo, 2012). Pendapat ini sejalan dengan pendapat yang


(39)

diungkapkan oleh Bahri (Siregar, 2010), metode pengajaran sebagai cara yang digunakan guru sebagai alat mencapai tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran akan tercapai secara maksimal apabila guru menggunakan metode pengajaran dengan tepat (Raharjo, 2012).

Pengertian metode pengajaran tersebut serupa dengan pendapat yang dikemukakan Bahri (Siregar, 2010) yang mengungkapkan bahwa metode pengajaran merupakan bagian dari strategi pengajaran. Strategi pengajaran adalah cara sistematis yang dipilih seorang guru untuk menyampaikan materi pelajaran, sehingga memudahkan guru maupun siswa mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Berdasarkan pengertian metode pengajaran yang telah diungkapkan para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa metode pengajaran adalah cara yang digunakan untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan.

2.1.3.2Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Metode Pengajaran

Sebagai guru yang profesional, guru harus mengenal dan memahami berbagai macam metode pengajaran. Guru harus selektif dalam memilih metode pengajaran, sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran dengan maksimal. Tujuan pengajaran akan tercapai apabila pemilihan dan penentuan metode dilakukan dengan pengenalan terhadap karakteristik dari masing-masing metode pengajaran.

Winarno (Zain, 2010) mengatakan bahwa pemilihan dan penentuan metode pengajaran dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:


(40)

1) Siswa; Setiap siswa memiliki intelektualitas yang berbeda. Hal ini terlihat dari cepat lambatnya siswa terhadap rangsangan yang diberikan dalam kegiatan belajar mengajar. Secara psikologis, setiap siswa juga memiliki perilaku yang berbeda, misalnya ada yang pendiam, kreatif, suka bicara, tertutup (introver), terbuka (ekstrover), atau pemurung. Perbedaan individual siswa pada aspek biologis, intelektual, dan psikologis mempengaruhi guru dalam pemilihan dan penentuan metode pengajaran demi tercapainya tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. 2) Tujuan; Tujuan pengajaran adalah sasaran yang ditujukan dari setiap

kegiatan belajar mengajar. Dalam penyeleksian metode pengajaran, guru harus sejalan dengan taraf kemampuan setiap siswa.

3) Situasi; Situasi kegiatan belajar mengajar yang guru ciptakan tidak selamanya sama dari hari ke hari. Guru harus memilih metode mengajar yang sesuai dengan kemampuan siswa dan tujuan yang ingin dicapai, sehingga mempengaruhi guru dalam menentuan metode pengajaran. 4) Fasilitas; Fasilitas adalah kelengkapan yang menunjang belajar siswa di

sekolah. Lengkap tidaknya fasilitas belajar mempengaruhi pemilihan dan penentuan metode pengajaran.

5) Guru; Setiap guru mempunyai kepribadian yang berbeda. Guru harus menguasai berbagai metode pengajaran. Kurangnya penguasaan terhadap berbagai metode pengajaran menjadi kendala dalam memilih dan menentukan metode. Dengan demikian, kepribadian, latar belakang


(41)

pendidikan, dan pengalaman mengajar adalah permasalahan intern guru yang mempengaruhi pemilihan dan penentuan metode pengajaran. Pendapat tersebut diperkuat oleh Miller (Jacobsen, 2009) yang mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pemilihan metode pengajaran adalah (1) karakteristik siswa, (2) situasi dan kondisi sekolah, (3) guru itu sendiri, (4) fasilitas yang dimiliki kelas atau sekolah, dan (5) kondisi psikologis siswa. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi pemilihan metode pengajaran, yaitu siswa, tujuan, situasi, fasilitas, dan guru.

2.1.3.3Macam-Macam Metode Pengajaran

Joyce dan Weill (Huda, 2013) mendeskripsikan metode pengajaran sebagai rencana yang digunakan untuk membentuk kurikulum, mendesain materi-materi instruksional, dan memandu proses pengajaran di ruang kelas atau di setting yang berbeda. Metode pengajaran menekankan bagaimana membantu siswa belajar mengkonstruksikan pengetahuan dan cara belajar yang mencakup belajar dari sumber-sumber, seperti belajar dari ceramah, film, tugas membaca, dan sebagainya (Huda, 2013). Bahri (Zain, 2010) menyatakan macam-macam metode pengajaran sebagai berikut:

1. Metode Eksperimen; Metode eksperimen adalah cara penyajian pelajaran dimana siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari. Siswa diberi kesempatan untuk mengalami sendiri atau melakukan sendiri, mengikuti proses,


(42)

mengamati objek, menganalisis, membuktikan dan menarik kesimpulan sendiri mengenai suatu objek, keadaan, atau proses sesuatu.

2. Metode Diskusi; Metode diskusi adalah cara penyajian pelajaran dimana siswa dihadapkan suatu masalah berupa pernyataan atau pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan dipecahkan bersama. Proses belajar mengajar terjadi interaksi antara dua atau lebih individu yang terlibat, bertukar pengalaman, informasi, memecahkan masalah, sehingga semua siswa aktif selama proses belajar mengajar.

3. Metode Sosiodrama; Metode sosiodrama atau role play adalah cara penyajian pelajaran dimana siswa mendramasasikan tingkah laku berkaitan dengan masalah sosial. Tujuan dari metode sosiodrama antara lain (1) siswa dapat memahami materi dengan baik, (2) siswa belajar bagaimana bertanggung jawab, (3) siswa belajar bagaimana mengambil keputusan dalam situasi kelompok secara spontan, (4) siswa dapat menghayati dan menghargai orang lain dan (5) merangsang kelas untuk berpikir dan memecahkan masalah.

4. Metode Demonstrasi; Metode demonstrasi adalah cara penyajian pelajaran dengan meragakan atau mempertunjukkan kepada siswa suatu proses, situasi, atau benda yang sedang dipelajari dengan penjelasan lisan. Melalui metode demonstrasi, proses penerimaan siswa terhadap pelajaran akan lebih berkesan, sehingga membentuk pengertian dengan


(43)

baik. Selain itu, siswa dapat mengamati dan memperhatikan apa yang diperlihatkan selama proses belajar mengajar.

5. Metode Problem Solving; Metode Problem Solving merupakan suatu metode berpikir, karena siswa memulai belajar dengan mencari data hingga menarik kesimpulan. Metode ini dapat merangsang kemampuan berpikir siswa secara kreatif, menyeluruh, dan menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahan.

6. Metode Tanya Jawab; Metode tanya jawab adalah cara penyajian pelajaran dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab, terutama dari guru kepada siswa atau sebaliknya. Metode tanya jawab dapat memusatkan perhatian siswa, merangsang siswa untuk melatih dan mengembangkan daya pikir, serta mengembangkan keberanian dan keterampilan siswa dalam menjawab dan mengemukakan pendapat. 7. Metode Ceramah; Metode ceramah adalah metode tradisional yang

digunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan siswa dalam proses belajar mengajar.

Segers (Jacobsen, 2009) menambahkan satu metode pengajaran, yaitu berbasis masalah (problem-based intruction) dan kooperatif. Pengajaran berbasis masalah didasarkan pada memanfaatan masalah sebagai focal point, investigasi, dan penelitian siswa. Metode pengajaran berbasis masalah terdiri dari penelitian (inquiry) dan pemecahan masalah (problem-solving) (Jacobsen, 2009).


(44)

Penelitian (inquiry) merupakan sebuah proses dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dan memecahkan masalah-masalah berdasarkan pada pengujian logis atas fakta dan observasi (Jacobsen, 2009). Pemecahan masalah (problem-solving) merupakan suatu metode pengajaran berbasis masalah dimana guru membantu siswa untuk belajar memecahkan masalah melalui pengalaman selama proses belajar mengajar. Pada pengajaran kooperatif dirancang untuk mendidik kerjasama kelompok dan interaksi antarsiswa. Pembelajaran kooperatif dapat diterapkan untuk mengajarkan tujuan-tujuan akademik, skill-skil dasar, dan keterampilan-keterampilan berpikir tingkat tinggi.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa macam-macam metode pengajaran, yaitu (1) metode eksperimen, (2) metode diskusi, (3) metode sosiodrama, (4) metode demonstrasi, (5) metode problem solving, (6) metode tanya jawab, (7) metode ceramah, (8) metode penelitian (inquiry), dan (9) metode kooperatif.

2.1.4 Hiperaktivitas

2.1.4.1Pengertian Anak Hiperaktif

Anak hiperaktif merupakan anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktivitas atau Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (Zaviera, 2014). Ciri atau gejala yang muncul pada anak, yaitu kurang konsentrasi, hiperaktif, dan impulsif yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam kegiatan hidup mereka (Kay, 2013). Hermawan


(45)

(Koasih, 2012) mengungkapkan bahwa hiperaktif merupakan gangguan tingkah laku yang tidak normal disebabkan disfungsi neurologis dengan gejala utama tidak mampu memusatkan perhatian.

Porter (Kay, 2013) mendefinisikan anak hiperkatif adalah gangguan perilaku yang ditandai dengan ketidakmampuan memperhatikan sesuatu secara penuh. Gangguan ini terjadi karena kerusakan kecil pada syaraf pusat dan otak, sehingga rentang konsentrasi menjadi sangat pendek dan sulit dikendalikan (Zaviera, 2014). Gangguan perilaku ini ditandai dengan pemusatan perhatian, pembicaraan yang lepas kontrol, serta gerakan yang berlebihan melebihi anak pada umumnya (Wiyani, 2014).

Anak hiperkatif kurang mampu mengontrol dan mengkoordinasi dalam aktivitas motoriknya, sehingga tidak dapat membedakan mana gerakan penting dan gerakan tidak penting. Gerakan ini dilakukan secara terus-menerus tanpa mengenal lelah. Hal ini menyebabkan kesulitan memusatkan perhatiannya. Berdasarkan pengertian dari para ahli tersebut, maka pengertian hiperaktif dapat disimpulkan menjadi kesatuan yang utuh. Hiperaktif merupakan gangguan pada perilaku tidak normal yang ditandai dengan adanya gangguan pemusatan perhatian, pembicaraan yang lepas kontrol, serta gerakan yang berlebihan melebihi gerakan yang dilakukan anak pada umumnya.


(46)

2.1.4.2Karakteristik Anak Hiperaktif

Setiap anak hiperaktif menunjukkan perilaku atau tingkah laku yang berbeda-beda. Namun, secara umum karakteristik perilaku anak hiperkatif menurut Sani (Zaviera, 2014) sebagai berikut:

1. Tidak fokus; anak dengan gangguan hiperaktif tidak bisa berkonsentrasi lebih dari lima menit. Mereka tidak bisa tenang atau diam dalam waktu lama karena perhatiannya mudah teralih dengan hal-hal yang menarik baginya. Anak hiperkatif akan berperilaku impulsif, misalnya selalu ingin memegang apa yang ada dihadapannya. Selain itu, anak berbicara semaunya tanpa ada maksud jelas, sehingga kalimat yang diucapkan sulit dipahami. Hal ini menjadi salah satu penyebab anak hiperaktif cenderung tidak mampu melakukan sosialisasi dengan baik.

2. Menantang; Anak hiperaktif memiliki sikap penantang atau tidak menerima nasihat, misalnya anak mudah marah jika dilarang melakukan tindakan yang ingin dia lakukan.

3. Destruktif; Anak sering menunjukkan perilaku yang destruktif, seperti merusak apapun disekitarnya.

4. Tidak kenal lelah; Anak hiperaktif tidak pernah menunjukkan sikap lelah. Setiap hari anak selalu bergerak, lari, berguling, lompat, dan sebagainya tanpa mengenal rasa lelah.

5. Tanpa tujuan; Pada anak hiperkatif, aktivitas yang dilakukan tanpa tujuan yang jelas, misalnya anak naik turun kursi secara berulang-ulang.


(47)

6. Intelektualitas Rendah; Sebagian besar anak hiperaktif memiliki intelektualitas di bawah rata-rata anak-anak lainnya. Secara psikologis, mental anak sudah terganggu, sehingga anak kurang bisa menunjukkan kemampuan baik kognitif maupun afektifnya.

Keenam karakteristik tersebut, Wiyani (2014) menambahkan secara rinci karakteristik anak hiperaktif antara lain: (1) anak sering gelisah yang terlihat pada tangan atau kaki mereka, (2) anak berbicara berlebihan atau tidak bisa berhenti bicara, (3) anak mengalami kesulitan dalam bermain atau terlibat dalam kegiatan secara tenang, (4) anak bergerak atau bertindak seolah-olah dikendalikan mesin, dan (5) anak tidak bisa duduk tenang dalam waktu lama (lebih dari lima menit). Zaviera (2014) menambahkan karakteristik anak hiperaktif lainnya, seperti (1) anak sering melakukan kecerobohan atau gagal menyimak dan sering membuat kesalahan karena tidak cermat, (2) sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugasnya, (3) tidak mendengarkan lawan bicaranya, (4) sering menghindar atau tidak menyukai melakukan tugas yang membutuhkan pemikiran lama, (5) sering kehilangan barang yang dimilikinya, (6) sering lupa mengerjakan tugas sehari-hari, (7) perhatiannya mudah teralih oleh rangsangan dari luar.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik perilaku anak hiperaktif adalah (1) sulit memusatkan perhatian lebih dari lima menit, (2) perhatiannya mudah teralihkan oleh rangsangan dari luar, (3) tidak berhenti berbicara dan cenderung tidak


(48)

mendengarkan lawan bicaranya, (4) tidak bisa duduk tenang dalam waktu yang lama, (5) selalu aktif bergerak tanpa mengenal rasa lelah, sehingga anak membutuhkan banyak energi, (6) cenderung tidak sabar, terutama saat menunggu giliran, (7) sering melakukan kecerobohan, mudah lupa, dan kehilangan barang-barang yang dimilikinya, (8) sering tidak menyukai atau menghindar dalam melakukan tugas yang membutuhkan pemikiran lama, dan (9) sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas.

Berdasarkan karakteristik anak hiperaktif, ada tiga tipe kriteria anak hiperaktif, yaitu tipe inatensi, tipe hiperaktif-implusif, dan tipe kombinasi berlebihan dibanding anak-anak lain yang sebaya (Zaviera, 2014). DSM-IV® - TR (2003) menjelaskan tiga tipe kriteria anak hiperaktif:

1. Tipe Inatensi; Perilaku yang muncul pada anak, diantaranya (1) anak sulit memberikan perhatian pada setiap detail pekerjaan, tugas sekolah, atau aktivitas lain (ceroboh), (2) sulit berkonsentrasi saat mengerjakan tugas atau bermain, (3) tampak tidak mendengarkan jika diajak berbicara, (4) sering tidak mengikuti perintah dan gagal dalam menyelesaikan tugas, (5) tidak teratur dalam mengerjakan tugas, (6) menghindari aktivitas mental (berpikir), (7) sering kehilangan barang milik pribadi, seperti buku, pensil, mainan, dan sebagainya, (8) perhatiannya mudah teralih, dan (9) sering lupa.

2. Tipe Hiperaktif dan Impulsif; Perilaku yang muncul pada hiperaktif (1) sering gelisah (selalu menggerakkan atau menggoyangkan badan), (2)


(49)

sering meninggalkan tempat duduk, (3) berlari dan memanjat secara berlebihan dalam situasi yang tidak tepat, (4) sulit bermain dengan tenang saat waktu luang, (5) melakukan aktivitas motorik secara berlebihan, (6) sering berbicara berlebihan, dan perilaku yang muncul pada impulsif (7) sering menjawab tanpa berpikir sebelum pertanyaan selesai diberikan, (8) sulit menunggu giliran, dan (9) sering menyela pembicaraan orang lain.

3. Tipe kombinasi; Perilaku yang muncul pada anak dengan tipe kombinasi mencakup kedua karakteristik anak hiperaktif dari tipe inatensi dan tipe hiperaktif-implusif.

Beberapa kriteria tipe anak hiperaktif yang dikemukakan oleh DSM-IV® - TR dijadikan pedoman secara umum untuk menentukan seseorang mengalami hiperaktivitas. Seseorang dinyatakan mengalami hiperaktivitas apabila memenuhi minimal 6 kriteria diagnosis selama tiga bulan terakhir. 2.2 Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang pertama dilakukan oleh Amelia pada tahun 2008 yang

berjudul “Persepsi Guru Terhadap Anak yang Mengalami Gangguan Perilaku

Dalam Kegiatan Sekolah.” Tujuan penelitian ini untuk memperoleh gambaran persepsi guru terhadap anak yang memiliki gangguan perilaku termasuk interaksi sosial dengan perilaku guru, interaksi sosial dengan teman sebaya, dan prestasi belajar anak-anak gangguan perilaku. Metodologi dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualititatif. Teknik pengumpulan data yang


(50)

digunakan peneliti adalah angket skala likert dan skala Guttaman. Alternatif jawaban skala likert, yaitu selalu, jarang, dan tidak pernah, sedangkan skala Guttaman dengan alternatif jawaban iya dan tidak. Jumlah item keseluruhan sebanyak 24 item yang berkenaan dengan bagaimana persepsi guru terhadap anak yang mengalami gangguan perilaku dalam kegiatan sekolah di SMP Negeri 24 Padang. Peneliti menganalisis data yang telah diperoleh dengan menggunakan rumus statistik persentase.

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar guru berpersepsi bahwa (1) anak yang mengalami gangguan perilaku berinteraksi dengan guru baik ketika di kelas atau luar kelas, (2) anak mengalami gangguan perilaku berinteraksi dengan teman sebaya baik ketika di kelas ataupun saat istirahat, dan (3) anak yang mengalami gangguan perilaku dalam bidang akademik anak hanya mendapat peringkat 20 besar.

Penelitian kedua dilakukan oleh Rona Fitria (2012) yang berjudul “Proses Pembelajaran dalam Setting Inklusi di Sekolah Dasar.” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pembelajaran secara inklusi, dengan fokus penelitian tentang bagaimana proses pembelajaran dalam setting inklusi, kendala-kendala yang dihadapi serta usaha pihak sekolah dalam mengatasi kendala terkait dengan proses pembelajaran. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah tiga orang guru kelas yang terdapat anak berkebutuhan khusus dan 2 orang guru pembimbing khusus. Teknik pengumpulan data, yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi.


(51)

Hasil penelitian mengenai pembelajaran dalam setting inklusi di SDN 18 Koto Luar kecamatan Pauh, metode pengajaran yang digunakan guru dalam proses pembelajaran belum bervariasi, pengaturan tempat duduk bervariasi, penggunaan media disesuaikan dengan materi, materi diambil dari buku paket dan guru pembimbing khusus melakukan penyerderhanaan materi, serta penilaian yang dilakukan guru hanya penilaian secara lisan saja. Kendala yang dihadapi guru antara lain banyaknya jumlah siswa di dalam kelas dan adanya siswa hiperaktif, low vision, dan lamban belajar. Hal ini menyebabkan guru terkendala dalam menggunakan metode pengajaran yang bervariasi. Selain itu, kurangnya pemahaman guru tentang pembelajaran siswa berkebutuhan khusus.

Penelitian ketiga yang dilakukan dilakukan oleh Syaiful Amri pada tahun

2014 yang berjudul “Pengaruh Terapi Murottal Terhadap Tingkat Hiperaktif -Impulsif Pada Anak Attention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD).” Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan proses terapi murottal yang diberikan kepada anak ADHD dan mengetahui pengaruh terapi behaviours-hiperaktif-impulsif dari anak ADHD. Jenis penelitian ini adalah eksperimen dengan subjek tunggal atau Single Subject Reaearch (SSR). SSR merupakan metode untuk memperoleh data dengan melihat hasil ada tidaknya pengaruh suatu perlakukan (treatment) yang diberikan subjek secara berulang. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi.

Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh terapi murottal terhadap menurunnya gejala yang timbul dari subjek penelitian. Terapi murottal


(52)

membantu menurunkan gejala hiperaktivitas dan impulsivitas pada anak ADHD. Terapi ini membantu anak hiperaktif dan impulsif dalam pembelajaran serta melatih artikulasi dari anak ADHD tersebut.

Berdasarkan ketiga penelitian tersebut, peneliti membuat literatur map yang memuat penelitian terdahulu sampai penelitian yang peneliti dilakukan. Literatur map ini menunjukkan hubungan antara penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Literatur map dapat dilihat pada berikut:

Gambar 2.3 Literatur Map Penelitian-penelitian Relevan

Relevansi ketiga penelitian tersebut dengan penelitian ini yang pertama penelitian yang dilakukan Amelia (2008) berjudul “Persepsi Guru Terhadap

Anak yang Mengalami Gangguan Perilaku Dalam Kegiatan Sekolah.” Pada Yang diteliti:

Persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi

Yuda Pramita Amelia (2008) yang berjudul

“Persepsi Guru Terhadap Anak yang Mengalami Gangguan

Perilaku Dalam Kegiatan Sekolah”

Rona Fitria (2012)

yang berjudul “Proses Pembelajaran dalam

Setting Inklusi di

Sekolah Dasar”

Syaiful Amri (2014) yang berjudul

“Pengaruh Terapi Murottal Terhadap Tingkat Hiperaktif-Impulsif Pada Anak

Attention Deficit Hyperactive Disorder

(ADHD).”

Persepsi Guru Metode Anak Hiperaktif


(53)

penelitian tersebut memiliki relevansi dengan penelitian yang peneliti lakukan, yaitu meneliti tentang persepsi guru terhadap anak berkebutuhan khusus. Kedua penelitian Rona Fitria (2012) yang berjudul “Proses Pembelajaran dalam Setting Inklusi di Sekolah Dasar.” Pada penelitian ini terdapat relevansi dengan penelitian yang peneliti lakukan, yaitu bagaimana proses pembelajaran di sekolah inklusi dalam penggunaan metode pengajaran untuk anak berkebutuhan khusus. Penelitian ketiga adalah penelitian dari Syaiful Amri (2014) yang

berjudul “Pengaruh Terapi Murottal Terhadap Tingkat Hiperaktif-Impulsif Pada

Anak Attention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD).” Relevansi dengan penelitian tersebut adalah meneliti anak hiperaktif. Berdasarkan fakta-fakta dalam penelitian tersebut, peneliti berupaya untuk mengetahui persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi.

2.3 Kerangka Teori

SD Pelangi merupakan sekolah inklusi yang menerima anak-anak berkebutuhan khusus, salah satunya anak hiperaktif. Hiperaktif merupakan gangguan pada perilaku tidak normal yang ditandai dengan adanya gangguan pemusatan perhatian, pembicaraan yang lepas kontrol, serta gerakan yang berlebihan melebihi gerakan yang dilakukan anak pada umumnya. Karakteristik perilaku anak hiperaktif adalah (1) sulit memusatkan perhatian lebih dari lima menit, (2) perhatian anak mudah teralihkan oleh rangsangan dari luar, (3) tidak berhenti berbicara dan cenderung tidak mendengarkan lawan bicaranya, (4) tidak bisa duduk tenang dalam waktu yang lama, (5) selalu aktif bergerak tanpa


(54)

mengenal rasa lelah, sehingga anak membutuhkan energi yang banyak, (6) cenderung tidak sabar, terutama saat menunggu giliran, (6) sering melakukan kecerobohan, mudah lupa, dan kehilangan barang pribadi, (7) tidak menyukai atau menghindar dari tugas yang membutuhkan pemikiran cukup lama, dan (8) sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas (Zaviera, 2014). Guru selama proses belajar mengajar terkadang mengalami berbagai kendala dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan guru, khususnya pada kelas inklusi. Faktanya, kelas IV SD Pelangi ada beberapa anak berkebutuhan khusus, salah satunya anak hiperaktif. Dalam hal ini, guru memiliki peranan penting untuk membantu anak hiperaktif agar tidak menghambatnya dalam proses pembelajaran. Cara guru untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan menggunakan metode pengajaran. Penggunaan metode pengajaran disesuaikan dengan tingkat kemampuan anak, karakteristik anak, situasi dan kondisi sekolah, guru itu sendiri, fasilitas kelas atau sekolah, dan kondisi psikologis anak. Dengan demikian, setiap guru mempunyai persepsi yang berbeda tentang anak hiperaktif dan metode pengajaran yang tepat untuk anak hiperaktif.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang peneliti lakukan di SD Pelangi terhadap perilaku salah satu anak hiperaktif, peneliti melihat bahwa perhatian anak mudah teralih dengan sesuatu yang menarik baginya. Hal ini seperti yang diungkapkan guru pendamping pribadi bahwa dalam mengerjakan tugas atau mendengarkan penjelasan guru, tiba-tiba anak memainkan pensil dan menggerak-gerakkan tangannya atau bernyanyi, sehingga anak membutuhkan


(55)

waktu lama dalam menyelesaikan tugasnya. Anak sering meninggalkan tempat duduk, berbicara berlebihan, dan terlihat seperti tidak mendengarkan atau menatap lawan bicaranya. Guru kelas mengatakan bahwa anak sering menyela pembicaraan orang lain, menjawab pertanyaan sebelum pertanyaan tersebut selesai diberikan, sering lupa tidak membawa buku atau mengerjakan PR. Berdasarkan pernyataan yang diungkapkan guru tersebut, maka guru sekolah mempunyai persepsi yang berbeda-berbeda terhadap perilaku anak hiperaktif. Munculnya persepsi guru terhadap perilaku anak hiperaktif mempengaruhi persepsi guru terhadap pemilihan dan penggunaan metode pengajaran yang tepat untuk anak. Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengekplorasi bagaimana persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi.

2.4 Pertanyaan Penelitian

Pada pertanyaan penelitian, peneliti menyajikan beberapa pertanyaan yang membantu dalam melakukan penelitian. Pertanyaan penelitian tersebut antara lain:

2.4.1 Bagaimana persepsi guru terkait dengan hiperaktivitas anak kelas kelas IV SD Pelangi?

2.4.2 Bagaimana persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi?

2.4.3 Bagaimana persepsi guru terhadap hiperaktivitas anak kelas IV SD Pelangi terkait dengan metode pengajaran?


(56)

37 BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab III, peneliti menguraikan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Pembahasan metode penelitian terdiri dari jenis penelitian, setting penelitian, partisipan penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, keabsahan data, dan teknik analisis data. Peneliti akan membahas secara berurutan 3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu kegiatan yang sistematis untuk menemukan teori dari lapangan, bukan untuk menguji teori atau hipotesis (Arikunto, 2003). Moleong (2007) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian (perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain) pada suatu konteks alamiah dengan menggunakan berbagai metode ilmiah. Sugiyono (2011) mengungkapkan bahwa dalam metode penelitian, peneliti berfungsi sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian lebih menekankan pada makna generalisasi.

Pada penelitian kualitatif, peneliti menginterpretasikan bagaimana subjek memperoleh makna dari lingkungan sekeliling dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka. Penelitian kualitatif dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah (naturalistik), bukan hasil perlakuan (treatment) atau


(57)

manipulasi variabel yang dilibatkan (Gunawan, 2013). Sumber data penelitian kualitatif antara lain catatan observasi, catatan wawancara, pengalaman individu, dan sejarah. Data yang diperoleh berupa hasil observasi, hasil wawancara, hasil dokumentasi, analisis dokumen, dan catatan lapangan.

Peneliti menggunakan penelitian kualitatif karena penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bertujuan memahami fenomena sosial secara mendalam, menemukan pola, dan teori. Fenomena sosial dalam penelitian ini adalah fenomena yang terjadi di SD Pelangi. Peneliti menarik kesimpulan dari fenomena yang terjadi di SD Pelangi berdasarkan data yang diperoleh. Selain itu, penelitian ini tidak menguji kebenaran suatu teori melainkan menarik kesimpulan dari fenomena yang diteliti.

Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan suatu penelitian yang digunakan untuk memilih fenomena sosial yang terjadi pada masa sekarang (Prastowo, 2014). Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Arikunto (2003) menyatakan bahwa penelitian deskriptif bukan untuk menguji hipotesis, tetapi hanya menggambarkan “apa

adanya” tentang suatu variabel, gejala, atau keadaan. Data dalam penelitian deskriptif adalah data yang ada di masa sekarang atau masih baru.

Pada penelitian ini, peneliti mendeskripsikan tentang situasi mengenai partisipan yang diteliti, yaitu persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi. Pengambilan data dalam penelitian ini melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi dari guru dan siswa yang


(58)

revelan dengan judul penelitian ini. Peneliti mendeskripsikan persepsi yang ditunjukkan guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SD Pelangi yang berada dipertengahan kota. SD Pelangi terletak dalam satu area dengan TK dan SMP Pelangi. Halaman SD Pelangi luas dan dikelilingi berbagai tanaman yang membuat suasana sekolah ini menjadi rindang. Kondisi bangunan sekolah, terutama ruang kelas masih layak dipakai. Fasilitas yang ada di SD Pelangi antara lain laboratorium IPA, UKS, perpustakaan, ruang audio (ruang musik), dan ruangan khusus untuk kegiatan karawitan. SD Pelangi memiliki 6 ruang kelas, mulai dari kelas I hingga kelas VI. Peneliti memilih SD Pelangi karena sekolah ini merupakan sekolah inklusi yang menjadi kriteria dalam penelitian ini.

Peneliti melakukan penelitian di SD Pelangi, tepatnya di kelas IV. Ruang kelas IV terdapat 1 meja di sudut ruang depan untuk tempat minum, 2 meja di belakang untuk meletakkan hasil karya siswa, 14 meja untuk siswa, 1 meja untuk guru, 29 kursi untuk siswa dan guru, dan 1 rak untuk menyimpan peralatan siswa serta satu almari besar untuk menyimpan buku dan berkas. Dinding kelas terdapat berbagai macam hiasan dan tulisan visi misi sekolah yang tertempel rapi, sehingga kelas menjadi menarik.

Kelas IV berjumlah 14 siswa yang terdiri dari 9 siswa laki-laki dan 5 siswa perempuan. Dari 14 siswa laki-laki dan perempuan terdapat 3 siswa


(59)

yang memiliki kebutuhan khusus. Salah satu siswa tersebut bernama Abi. Abi termasuk anak yang memiliki kebutuhan khusus, yaitu hiperaktif. Peneliti mendapatkan informasi tersebut melalui observasi, dokumentasi, dan wawancara baik dengan guru kelas, guru pendamping pribadi anak, maupun guru pendamping khusus.

3.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari pertengahan bulan Juli sampai bulan Desember 2015. Jadwal penelitian dapat dilihat pada tabel berikut:

No Jenis Kegiatan

Waktu Kegiatan Ju li A gu stu s S ep te mb er O k tob er N ove mb er D es emb er Jan u ar i F eb ru ar i

1 Observasi keadaan lapangan 2 Pengumpulan data (observasi,

wawancara dan dokumen) 3 Menyusun proposal

4 Pengecekan data dan proposal 5 Pengolahan data

6 Penyusunan laporan 7 Ujian Skripsi Tabel 3.1 Waktu Penelitian 3.3 Partisipan Penelitian

Partisipan penelitian adalah sasaran yang digunakan dalam penelitian (Moleong, 2007). Sasaran penelitian merupakan gambaran dalam rumusan penelitian secara konkret. Penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi karena penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi


(60)

sosial tertentu (Ghory, 2014). Hasil penelitian tersebut dapat diterapkan pada situasi sosial lain, apabila situasi sosial lain tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan dengan situasi sosial yang diteliti.

Subjek dalam penelitian kualitatif dinamakan narasumber, partisipan informan, atau teman dan guru dalam penelitian. Informan adalah subjek yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku (orang) memahami objek penelitian (Prastowo, 2014). Sasaran dalam penelitian ini adalah persepsi guru dan metode pengajaran untuk anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi. Partisipan dalam penelitian ini adalah salah satu anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi, guru kelas IV, guru pendamping pribadi Abi, dan guru pendamping khusus.

Partisipan pertama dalam penelitian ini adalah Abi selaku anak hiperaktif kelas IV SD Pelangi. Langkah awal yang dilakukan peneliti adalah melakukan pengamatan langsung untuk pemilihan partisipan dalam penelitian. Selain itu, pengamatan langsung digunakan untuk mengetahui bagaimana perilaku partisipan selama proses pembelajaran, sehingga diketahui apakah partisipan termasuk anak hiperaktif atau tidak. Partisipan kedua adalah guru kelas IV yang sekaligus wali kelas Abi. Peneliti memilih guru kelas IV karena guru telah mendampingi, mendidik, dan mengetahui bagaimana karakteristik perilaku Abi dalam kesehariannya. Alasan lain peneliti memilih guru kelas IV adalah guru memiliki banyak pengalaman dalam menangani berbagai anak berkebutuhan khusus, salah satunya anak hiperaktif. Partisipan ketiga adalah guru pendamping pribadi Abi. Peneliti memilih guru pendamping pribadi karena


(61)

guru setiap hari selalu mendampingi Abi baik di kelas maupun luar kelas. Selain itu, guru pendamping pribadi ini mengetahui bagaimana perilaku dan keseharian Abi. Partisipan keempat adalah guru pendamping khusus sekolah. Peneliti memilih guru pendamping khusus karena guru yang memberikan kelas fullout dan assesment anak, sehingga guru pendamping khusus tersebut mengetahui bagaimana perilaku keseharian Abi.

Peneliti memulai wawancara dengan partisipan III. Peneliti melakukan wawancara dengan partisipan III ini sebanyak dua kali. Wawancara pertama peneliti lakukan pada tanggal 03 Oktober 2015. Wawancara tersebut dimulai dari pukul 07:30–08:00 WIB. Wawancara kedua dengan partisipan III dilaksanakan peneliti pada tanggal 16 November 2015 mulai dari pukul 10:00-10:30 WIB. Peneliti melanjutkan wawancara dengan partisipan II, yaitu guru kelas IV. Wawancara secara mendalam dengan partisipan II sebanyak dua kali. Wawancara pertama peneliti lakukan pada tanggal 03 Oktober 2015, pukul 08:00 – 09:00 WIB di ruang tamu SD Pelangi. Wawancara kedua dengan partisipan II, peneliti lakukan pada tanggal 24 November 2015 yang dimulai dari pukul 08:40 – 09:30 WIB. Pada hari yang berbeda, peneliti melakukan wawancara dengan partisipan IV, yaitu guru pendamping khusus SD Pelangi. Wawancara dengan partisipan IV ini sebanyak dua kali yang dilakukan pada tanggal 17 dan 26 November 2015 di ruang tamu sekolah.


(62)

Objek penelitian merupakan sarana yang digunakan untuk mendapatkan data (Sugiyono, 2012). Objek dalam penelitian ini adalah persepsi guru di SD Pelangi terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah paling utama dalam suatu penelitian. Pengumpulan data dilakukan dalam berbagai setting, sumber, dan cara. Pada penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan secara natural setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer, dan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi (Sugiyono, 2011).

Pada penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mendapatkan data tentang persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik pengumpulan data pertama, yaitu observasi. Observasi adalah pengumpulan data esensial dalam penelitian, terutama penelitian kualitatif. Sugiyono (2011) mengungkapkan bahwa observasi merupakan teknik pengumpulan data secara alamiah yang pengisiannya didasarkan atas pengamatan langsung terhadap sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh partisipan. Arikunto (2013) menjelasakan observasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan penelitian secara teliti dan pencatatan secara sistematis. Berdasarkan pengertian observasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa observasi adalah teknik pengumpulan data yang


(63)

dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap sikap atau perilaku yang ditunjukkan oleh partisipan.

Jenis observasi dalam penelitian ini adalah observasi partisipan. Observasi partisipan bertujuan membantu peneliti memahami lebih dalam tentang fenomena (perilaku atau peristiwa) yang terjadi di lapangan (Ahmadi, 2014). Observasi partisipan yang dilakukan peneliti di SD Pelangi bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai peristiwa sebenarnya di lapangan yang melibatkan orang-orang terkait dengan hal-hal yang diteliti. Orang yang terkait dalam penelitian ini adalah Abi selaku anak hiperaktif, guru kelas IV, guru pendamping pribadi anak, dan guru pendamping khusus. Alat yang digunakan peneliti selama observasi adalah pencatatan anecdotal record. Pencatatan anectodal record merupakan kumpulan catatan hasil observasi tentang metode pengajaran untuk anak hiperaktif. Kesimpulan hasil catatan tersebut meliputi bagaimana perilaku anak selama proses pembelajaran dan aktivitas guru dalam mengajar baik dari segi positif maupun negatif.

Teknik pengumpulan data yang kedua adalah wawancara. Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu (Sugiyono, 2011). Moleong (2007) juga mengungkapkan bahwa wawancara merupakan percakapan dengan tujuan tertentu. Percakapan tersebut dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interview) yang memberikan jawaban atas pertanyaan


(1)

anak lainnya yang memiliki fisik lengkap. Abi secara kognitif memiliki kelebihan dalam menghafal, khususnya pelajaran yang berkaitan dengan pengetahuan. Namun, dalam mata pelajaran yang berkaitan dengan hitungan, yaitu Matematika, Abi mengalami kesulitan. Hal ini menyebabkan nilai Abi pada mata pelajaran Matematika lebih rendah dibanding nilai mata pelajaran lainnya. Dari segi afektif pun, Abi mampu bersosialisasi baik dengan teman-temannya. Begitu pula dari aspek psikomotorik pada diri anak ini sudah baik, seperti anak-anak lainnya.

Berdasarkan perilaku-perilaku yang ditunjukkan Abi selama pembelajaran, Ibu Risti melakukan berbagai penanganan dengan tujuan mengurangi perilaku hiperaktif pada anak. Beliau berpandangan bahwa penanganan untuk Abi dengan memberikan pengertian-pengertian atau nasehat yang lebih ke psikologis. Contoh penanganan yang telah beliau lakukan saat anak sudah berbicara yang berlebihan dengan memberikan pengertian-pengertian dan membuat kesepakatan, seperti pernyataan beliau berikut:

“Abi, ini waktunya Ibu yang berbicara, kalo Abi mau berbicara silakan tapi nanti pas pelajaran ini atau pas istirahat.” Kita kasih tau kalo misalnya anaknya nggak nggak bisa karna emang Abi kan pemahamannya sudah bagus ya, jadi kan cuman dikasih tau aja kayak gitu. Kalo misalnya nggak ada kita bikin kesepakatan lagi, “Jadi, gimana Abi kalo mau ngomong Ibu diam kalo Ibu yang ngomong Abinya yang diam.” Kalo misalnya anaknya nggak mau ya udah kalo gitu, “Sekarang Ibu mau bicara dulu, Abi silakan tunggu di luar.”

Selain memberikan pengertian, nasehat, atau membuat kesepakatan dengan anak, Ibu Risti juga menggunakan beberapa metode pengajaran ketika mengajar memberikan kelas fullout. Ibu Risti mempunyai pandangan tersendiri tentang metode pengajaran, seperti berikut:

“Metode pengajaran itu kan caranya, cara untuk memberikan pembelajaran agar anaknya itu lebih paham, lebih mengusai pembelajarannya kayak gitu. Jadi ya kita sebagai guru harus tau anaknya itu kayak gimana dan kita harus tau metode apa yang tepat untuk anaknya.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, Ibu Risti mendefinisikan metode pengajaran sebagai cara untuk memberikan pelajaran agar anak dapat memahami dan menguasai materi yang diajarkan. Beberapa metode pengajaran yang pernah


(2)

118

beliau terapkan di kelas antara lain adalah TSTS, snowball throwing, ceramah, menggunakan video. Ibu Risti beranggapan jika guru tidak mengembangkan dan menggunakan metode pengajaran, anak-anak akan kesulitan dalam memahami materi. Dalam satu pembelajaran Ibu Risti tidak hanya menggunakan satu metode pengajaran, tetapi mengkombinasikan berbagai metode pengajaran yang dikemas dalam satu pembelajaran utuh, seperti yang beliau ungkapkan berikut ini:

“Tergantung dari materi pelajarannya sama e Abinya saat itu juga sih mbak. Misalnya Metode pelajaraan untuk matematika atau apa kayak itu iya tetep. Jadi nggak bisa hanya satu metode yang dilakukan, tetapi tetep ada combine. Jadi, antara metode konvensional sama yang aktif yang buat anak aktif tadi itu.”

Ibu Risti memberikan contoh pada lima menit pertama pembelajaran, beliau menggunakan metode ceramah, kemudian dilanjutnya dengan metode snowball throwing. Tingkat keberhasilan Ibu Risti menggunakan metode pengajaran tersebut, terutama bagi Abi sekitar 60% - 80%. Namun, Ibu Risti menambahkan tingkat keberhasilan tersebut bergantung dengan suasana hati Abi saat itu juga.


(3)

LAMPIRAN 5 BAGAN ANALISIS DATA


(4)

120

Lampiran 5.1 Bagan Analisis Data

Reduksi Data

Berdasarkan teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti, baik dari hasil observasi,

wawancara, dan dokumentasi. Peneliti mentemakan atau mengkategorikan yang menjadi

temuan peneliti dari hasil pengumpulan data. Peneliti menemukan adanya persepsi guru tentang

metode pengajaran untuk anak hiperaktif.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyimpulkan bahwa guru memahami bagaimana kondisi Abi. Hal ini menimbulkan persepsi guru terhadap anak hiperaktif.

Setiap guru memiliki persepsi yang berbeda terhadap anak hiperaktif. Namun, persepsi dari setiap guru yang mengampu di kelas IV SD Pelangi terhadap anak hiperaktif memiliki kesamaan dengan teori anak hiperaktif. Terkait dengan perilaku yang ditunjukkan Abi, hal yang dilakukan guru untuk mengurangi perilaku Abi yang

dapat menghambatnya dalam memahami materi dengan menggunakan metode pengajaran. Hal ini juga mengakibatkan munculnya persepsi guru terhadap metode

pengajaran untuk anak hiperaktif. Berdasarkan hasil penelitian, persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif adalah perpaduan dari berbagai metode pengajaran yang dikemas dalam satu pembelajaran utuh. Metode pengajaran

tersebut adalah perpaduan antara metode pengajaran yang berpusat pada siswa dan metode konvensional. Pedoman guru dalam pemilihan metode pengajaran adalah materi, karakteristik anak, kemampuan anak, dan media yang mendukung. Tingkat keberhasilan menggunakan metode pengajaran tersebut bergantung dengan suasana

hati anak saat itu. Catatan Lapangan

Peneliti mengadakan penelitian ini dengan teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Berdasarkan teknik pengumpulan data tersebut peneliti menemukan adanya anak hiperaktif di

kelas IV SD Pelangi

Display Data

Hasil dari penelitian ini adalah munculnya persepsi guru terhadap anak hiperaktif yang sesuai dengan teori anak

hiperaktif dan persepsi guru terhadap metode pengajaran untuk anak hiperaktif. Pernyataan tersebut

menunjukkan bahwa guru memahami problematika anak hiperaktif. Guru mempunyai persepsi bahwa metode pengajaran untuk anak hiperaktif, khususnya Abi adalah perpaduan dari berbagai metode pengajaran

yang dikemas dalam satu pembelajaran utuh. Guru berpandangan demikian karena guru sebelumnya tidak

dibekali tentang anak hiperaktif dan metode pengajarannya.


(5)

LAMPIRAN 6 RIWAYAT PENELITI


(6)

122

Lampiran 6.1 RIWAYAT PENELITI

Dwi Marginingsih adalah seorang wanita yang lahir pada tanggal 19 Juni 1992 di kota Klaten Jawa Tengah Indonesia. Peneliti merupakan putri kedua dari pasangan suami istri Bomin Kartono dan Asih Handayani. Peneliti mulai menempuh pendidikan dari usia 5 tahun, yaitu sejak tahun 1997-1998 di TK Pertiwi Guyangan Tugu Cawas. Peneliti melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah dasar di SDN Tugu II pada tahun 1998-2004. Pada tahun 2004-2007, peneliti melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah pertama di SMP Pangudi Luhur Cawas. Setelah lulus SMP, peneliti melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Cawas dari tahun 2007-2010. Pada tahun 2010-2012 peneliti tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dua tahun kemudian tepatnya pada tahun 2012 peneliti memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di Universitas Sanata Dharma. Peneliti terdaftar sebagai mahasiswi S1-PGSD dengan NIM 121134215. Selama menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma, peneliti pernah mengikuti kegiatan yang diadakan setiap tahun oleh falkultas, yaitu Dekan Cup. Pada saat itu, peneliti sebagai menjadi panitia sebagai CO acara. Selain itu, peneliti juga mengikuti kegiatan kepanitiaan di luar Universitas, yaitu sebagai panitia open house yang diadakan di SD Pangudi Luhur Yogyakarta.