16
terpenetrasi ke dalam sel dan bereaksi dengan ion besi untuk membentuk
.
OH Halliwell, Hoult, and Blake, 1988.
3. Tanda-tanda peradangan
Peradangan akut adalah respon langsung dari tubuh terhadap cidera atau kematian sel. Tanda-tanda pokok peradangan menurut Price dan Wilson 1995,
mencakup rubor kemerahan, kalor panas, tumor pembengkakan, dolor nyeri, dan fungsio laesa perubahan fungsi.
a. Rubor Rubor
atau kemerahan, biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Pada waktu reaksi peradangan mulai timbul,
maka arteriol yang mensuplai darah pada daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-
kapiler yang sebelumnya kosong atau terisi sebagian saja, meregang dengan cepat sehingga menjadi terisi penuh dengan darah. Keadaan tersebut dinamakan
hyperimia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan
akut. Timbulnya hyperemia pada permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh baik secara neurogenik maupun secara kimia, melalui pengeluaran zat seperti
histamin. b. Kalor
Kalor atau panas, terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi
peradangan akut. Sebenarnya, panas merupakan sifat reaksi peradangan yang
17
hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 37
o
C, yaitu suhu di dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab darah pada suhu 37
o
C yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah yang mengalami peradangan, lebih banyak daripada yang
disalurkan ke daerah normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada daerah- daerah perdangan yang terjadi pada organ dalam, karena jaringan-jaringan
tersebut sudah mempunyai suhu 37
o
C, dan hyperemia lokal tidak menimbulkan perubahan.
c. Tumor Segi
paling mencolok
dari peradangan
akut mungkin
adalah pembengkakan lokal. Pembengkakan ditimbulkan oleh adanya migrasi cairan dan
sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat. Pada awal
peradangan, sebagian besar isi dari eksudat adalah cairan plasma, tetapi kemudian sel-sel darah putih akan meninggalkan aliran darah kemudian tertimbun sebagai
bagian dari eksudat. d. Dolor
Dolor atau rasa sakit dari reaksi peradangan disebabkan oleh beberapa hal.
Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung nosiseptor. Hal yang sama, yaitu pengeluaran zat kimia tertentu
seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang nosiseptor.
18
Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang tanpa diragukan lagi dapat menimbulkan rasa sakit.
e. Fungsio laesa Fungsio laesa
adalah salah satu reaksi peradangan yang terlihat mudah untuk dimengerti, mengapa bagian yang bengkak terasa nyeri dan berfungsi
secara abnormal. Namun, sebetulnya tidak diketahui secara mendalam bagaimana mekanisme terganggunya fungsi jaringan oleh adanya peradangan Price dan
Wilson, 1995.
D. Nyeri 1. Pengertian nyeri
Nyeri merupakan pengalaman subyektif, yang sulit untuk dideskripsikan secara pasti, meskipun kita semua tahu apa yang dimaksud dengan nyeri. Secara
khusus, nyeri merujuk pada sebuah respon yang ditujukan pada kejadian yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, seperti luka, inflamasi atau kanker, tetapi
nyeri yang hebat dapat muncul tersendiri oleh sebab yang tidak pasti misal: neuralgia trigeminal, atau tetap bertahan lama setelah sembuhnya luka. Nyeri juga dapat
muncul sebagai akibat dari adanya kerusakan otak atau saraf misal: pasca stroke atau infeksi herpes Rang dkk., 2007.
Macam-macam kondisi nyeri belakangan ini, tidak secara langsung berhubungan dengan kerusakan jaringan penyebab umum, dan penyebab utama
19
kecacatan dan stress; secara umum hal itu memiliki respon yang kurang baik terhadap obat analgesik konvensional dibanding dengan menghilangkan penyebab langsung.
Pada kasus ini, kita perlu memikirkan itilah nyeri dalam konteks kelainan fungsi saraf, dibandingkan pada schizophrenia atau epilepsi, lebih dari sekedar respon
normal terhadap luka pada jaringan. Namun demikian, diperlukan pembedaan dua komponen, salah satu atau keduanya yang terlibat dalam keadaan nyeri patologis: i
saraf aferen nosiseptot perifer, yang teraktivasi oleh rangsang noksius; ii mekanisme sentral oleh adanya input aferen yang menghasilkan sensasi nyeri Rang
dkk., 2007.
2. Terjadinya nyeri
Menurut Raja dkk., 1999; Cesare McNaughton, 1997; Julius Basbaum, 2001 cit., Rang dkk., 2007, pada kondisi normal, nyeri dihubungkan pada aktivitas
elektrik dalam diameter kecil pada serat utama aferen saraf perifer. Saraf ini memiliki sensor ujung di jaringan perifer dan dapat teraktivasi oleh berbagai macam rangsang
mekanik, termal, kimia. Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia atau listrik melampaui
suatu nilai ambang tertentu nilai ambang nyeri dan karena itu menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan zat nyeri mediator nyeri. Yang termasuk
‘zat nyeri’ yang potensinya kecil adalah ion hidrogen. Pada penurunan nilai pH di bawah 6 selalu terjadi nyeri yang meningkat pada kenaikan konsentrasi ion H
+
lebih lanjut. Demikian pula berbagai neurotransmitter dapat bekerja sebagai zat nyeri pada
20
kerusakan jaringan. Histamin pada konsentrasi relatif tinggi 10
-8
gL terbukti sebagai zat nyeri. Asetilkolin pada konsentrasi rendah mensensibilisasi reseptor nyeri
terhadap zat nyeri lain, sehingga senyawa ini bersama-sama dengan senyawa yang dalam konsentrasi yang sesuai secara sendiri tidak berkhasiat, dapat menimbulkan
nyeri. Pada konsentrasi tinggi, asetilkolin bekerja sebagai zat nyeri yang berdiri sendiri. Serotonin merupakan senyawa yang menimbulkan nyeri yang paling efektif
dari kelompok transmitter. Sebagai kelompok senyawa penting lain dalam hubungan ini adalah kinin, khususnya bradikinin, yang termasuk senyawa penyebab nyeri
terkuat. Prostaglandin, yang dibentuk lebih banyak dalam peristiwa nyeri, mensensibilisasi reseptor nyeri dan di samping itu menjadi penentu dalam nyeri yang
lama Mutschler, 1986 .
Selain prostaglandin, ada juga substantsi P yang bekerja meningkatkan sensitivitas ujung-ujung serabut saraf nyeri tetapi tidak secara langung
merangsangnya Guyton, 1986. Pembentukan prostaglandin dapat dilihat pada gambar 2.
Reseptor rasa nyeri yang terdapat di kulit dan jaringan lain semuanya merupakan ujung saraf bebas. Reseptor ini tersebar luas pada permukaan superfisial
kulit dan juga di jaringan dalam tertentu, misalnya poriosteum, dinding arteri, permukaan sendi, dan falks serta tentorium tempurung kepala. Rasa nyeri dapat
dirasakan melalui berbagai jenis rangsangan Guyton, 1986. Penghantaran nyeri dimulai dari adanya potensial aksi impuls nosiseptif
yang terbentuk pada reseptor nyeri, diteruskan melalui serabut aferen ke dalam akar