23
E. Antiinflamasi
Obat-obat AINS merupakan obat modern yang paling luas penggunaannya. Obat AINS meliputi berbagai kelas terapi yang berbeda. Sebagian besar obat-obat
tersebut memiliki tiga efek, yaitu: 1. efek antiinflamasi: memodifikasi reaksi inflamasi
2. efek analgesik: mengurangi nyeri berat jangka pendek 3. efek antipiretik: menurunkan kenaikan temperatur
Secara umum, berbagai efek tersebut berhubungan dengan aksi primer dari obat, yaitu menghambat siklooksigenase arakidonat sehingga produksi prostaglandin dan
tromboksan juga terhambat. Meskipun demikian masing-masing obat memiliki mekanisme aksi yang berbeda-beda Rang dkk., 2007.
Aksi utama dari AINS adalah menghambat metabolisme asam arakidonat oleh COX
, seperti yang dikemukanan oleh Vine pada 1971. Baik inhibitor COX-1 maupun COX-2
hanya menghambat reaksi utama siklooksigenase. Penghambatan COX-1 bersifat instan dan reversibel, sedangkan penghambatan COX-2 time dependent, efek
meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. AINS juga memiliki aksi lain selain penghambatan COX, yaitu menghambat radikal oksigen reaktif, yang dimungkinkan
berperan dalam aktivitasnya sebagai antiinflamasi. Radikal oksigen reaktif yang diproduksi oleh neutrofil dan makrofag, pada beberapa kondisi mengakibatkan
kerusakan jaringan, dan AINS yang mempunyai aktivitas penghambatan radikal oksigen yang kuat, sama efektifnya dengan AINS yang memiliki aktivitas
24
penghambatan COX misalnya sulindac, dalam mengurangi kerusakan jaringan Rang dkk., 2007.
Obat antiinflamasi dapat mempengaruhi kerusakan oksidan dengan berbagai cara, yaitu: 1 menghambat langsung oksidan reaktif seperti radikal hidroksil
.
OH dan asam hipoklorid HOCl, 2 menghambat produksi oksidan
O
.
oleh neutrofil, monosit, dan makrofag sehingga mengurangi pembentukan H
2
O
2
yang mengakibatka
.
OH ikut terhambat Halliwell dkk., 1988. Obat AINS juga efektif melawan nyeri yang berhubungan dengan inflamasi
atau kerusakan jaringan karena dapat mengurangi produksi prostaglandin yang berfungsi mensensitisasi nosiseptor inflamasi seperti bradikinin Rang dkk., 2007.
F. Diklofenak
CH
2
CO
2
H Cl
Cl
Gambar 4. Struktur diklofenak Dollery, 1999
Diklofenak merupakan derivat asam fenilasetat yang menyerupai flurbiprofen dan meclofenamate. Obat ini gambar 4 adalah penghambat siklooksigenase yang
relatif nonselektif dan kuat, juga mengurangi bioavailabitas asam arakidonat. Obat ini memiliki sifat-sifat antiiflamasi, analgesik, dan antipiretik yang biasa. Obat-obat itu
cepat diserap sesudah pemberian secara oral, tetapi bioavailabilitas sistemiknya hanya
25
antara 30-70 karena metabolisme lintas pertama. Obat ini memiliki waktu-paruh 1- 2 jam. Seperti flurbiprofen, ia menumpuk di dalam cairan sinovial, dengan waktu-
paruh 2-6 jam dalam kompartemen ini. Metabolisme berlangsung dengan CYP3A4 dan CYP2C9 menjadi metabolit tidak aktif. Klirens empedu bisa mencapai 30 dari
klirens total Shearn, 2002. Diklofenak merupakan obat AINS yang poten. Diklofenak menghambat
aktivitas siklooksigenase sehingga produksi prostaglandin di jaringan berkurang. Diklofenak digunakan secara luas untuk pengobatan rheumatoid arthritis dan
ostheoarthritis . Pada mencit, kadar diklofenak tertinggi ditemukan pada hati,
empedu, dan ginjal Dollery, 1999.
G. Analgetika
Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Berdasarkan potensi kerja,
mekanisme kerja dan efek samping, analgetika dibedakan dalam dua kelompok, yaitu: analgetika yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat hipoanalgetika,
‘Kelompok Opiat’ dan analgetika yang berkhasiat lemah sampai sedang, bekerja terutama pada perifer dengan sifat antipiretika dan kebanyakan juga mempunyai sifat
antiinflamasi dan antireumatik. Berikut ini merupakan kemungkinan-kemungkinan mekanisme aksi dari obat-obat tersebut, yaitu:
26
1. mencegah sensibilasi reseptor nyeri dengan cara penghambatan sintesis prostagladin dengan analgetika yang bekerja di perifer,
2. mencegah pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri dengan memakai anestetika permukaan atau anestetika infiltrasi,
3. menghambat penerusan rangsang dalam serabut sensorik dengan anestetika konduksi,
4. meringankan nyeri atau meniadakan nyeri melalui kerja dalam sistem saraf pusat dengan analgetika yang bekerja pada pusat atau obat narkosis,
5. mempengaruhi pengalaman
nyeri dengan
psikofarmaka trankuilansia,
neuroleptika, antidepresiva Mutschler, 1986. Psikofarmaka
Anestetika, Analgetika yang bekerja
sentral
Saraf Anestetika konduksi
Reseptor nyeri Anestetika permukaan
Analgesik yang bekerja perifer
Gambar 5. Bagan kemungkinan pengaruh macam-macam obat terhadap nyeri menurut Keldel
Mutschler, 1986.
Otak
Sumsum Tulang