Kerangka Berpikir KAJIAN PUSTAKA

50 siswa ABK dan sejauhmana keinginan siswa reguler untuk menyertakan dan menjadikan siswa ABK sebagai teman atau partner sosialnya.

D. Kerangka Berpikir

Sekolah inklusif merupakan sekolah reguler yang menyelenggarakan pendidikan inklusif dan menggabungkan siswa ABK dengan siswa reguler dalam satu kelas yang sama. Siswa reguler adalah mereka para siswa normal pada umumnya, sedangkan siswa ABK adalah mereka para siswa yang mengalami kelainan atau penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal pada umumnya baik dalam segi fisik, kecerdasan, indera, komunikasi, perilaku atau gabungan hal-hal itu sehingga membutuhkan layanan dan bimbingan khusus. Kelainan atau penyimpangan yang dialami oleh para siswa ABK di atas, secara tidak langsung dapat mempengaruhi perkembangan psikologis maupun psikososialnya. Siswa ABK cenderung berkembang menjadi pribadi yang tertutup, menarik diri dan membatasi interaksi sosialnya karena perasaan minder akan kekurangan dan perbedaan dirinya dengan siswa yang lain. Hal tersebut dapat dilihat dari gambaran diri atau karakteristik siswa ABK dalam sekolah inklusif yakni siswa ABK memiliki perasaan rendah diri, belum siap dalam penerimaan diri, kurang berani dalam memulai sebuah persahabatan, sikap pasif dan menunggu dalam sebuah persahabatan, dan kurang bisa berkomunikasi dalam pertemanan. Karaktersitik dan keterbatasan siswa ABK tersebut perlu dipahami oleh orang-orang di sekitarnya, terutama para siswa reguler. 51 Salah satu tujuan praktis penyelenggaraan pendidikan inklusif yang dapat dirasakan secara langsung oleh para siswa adalah untuk melatih para siswa agar dapat belajar untuk saling memahami, menghargai, dan menerima perbedaan yang ada, kemudian selanjutnya mampu beradaptasi dalam mengatasi perbedaan tersebut. Oleh sebab itu, dalam hal ini sejauhmana pemahaman siswa reguler terhadap keadaan siswa ABK dengan segala keterbatasannya menjadi sangat diperlukan. Empati merupakan kemampuan seseorang untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain, ikut merasakan apa yang dirasakan dan memahami pandangan orang lain terkait dengan suatu peristiwa atau penderitaan yang sedang dialaminya. Siswa reguler yang mampu menempatkan diri dalam posisi siswa ABK, memahami perasaan dan pandangan siswa ABK terkait dengan segala keterbatasannya tentu akan lebih mudah dalam menyesuaikan diri dan menjalin interaksi sosial dengan siswa ABK. Hal tersebut dikarenakan bagi individu yang berempati mereka akan lebih peka, peduli, mampu menghargai dan bersedia menerima perbedaan yang ada. Siswa ABK dengan segala perbedaan dan keterbatasannya juga membutuhkan penerimaan sosial dari orang-orang disekitarnya, terlebih penerimaan sosial dari mereka para teman sebaya atau dalam hal ini para siswa reguler. Penerimaan sosial adalah sikap seseorang dalam memandang orang lain sebagai individu yang patut dihargai dan keinginan untuk menyertakan maupun menjadikan orang lain tersebut sebagai teman atau partner sosialnya. Penerimaan sosial dapat memberikan pengaruh positif bagi 52 perkembangan diri seseorang. Individu akan merasa lebih berharga, berarti, aman dan merasa dibutuhkan sehingga hal tersebut dapat menimbulkan rasa senang, nyaman, puas, dan bahagia dalam diri seseorang yang diterima. Begitu pula bagi para siswa ABK, penerimaan sosial siswa reguler terhadap dirinya tentu akan memberikan pengaruh positif bagi diri mereka. Penerimaan sosial terjadi pada kontinum yang berkisar dari menoleransi kehadiran orang lain hingga secara aktif menginginkan seseorang untuk dijadikan partner sosial dalam suatu hubungan Leary dalam Arfiani Septinintyas: 2014: 40. Toleran berarti individu mampu menghargai dan menghormati orang lain, dimana hal tersebut dapat terjadi apabila individu mampu memahami keadaan dan kondisi orang lain. Kemampuan individu dalam memahami keadaan orang lain merupakan salah satu indikator dari aspek kognitif dalam empati. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Farida Agus Setiawati, dkk. 2007: 4 yang menjelaskan bahwa komponen kognitif dalam empati yaitu mencakup kemampuan seseorang untuk dapat mengetahui, mengenali, memahami, dan mengerti apa yang terjadi pada orang lain. Oleh sebab itu, dalam hal ini sejauhmana kemampuan empati siswa reguler diduga dapat mempengaruhi sejauhmana penerimaan sosialnya terhadap siswa ABK. Empati merupakan salah satu faktor yang diduga dapat mempengaruhi sejauhmana penerimaan sosial seseorang terhadap orang lain. Hal tersebut dikarenakan seorang yang empatik digambarkan sebagai seorang yang toleran, mampu mengendalikan diri, ramah, mempunyai pengaruh, dan bersifat humanisitik Johnson dalam Aris Tri Ochtia Sari, dkk., 2003: 83. Siswa 53 reguler dengan empati tinggi akan lebih mampu menghargai siswa ABK dengan segala karakteristik dan keterbatasanya sehingga mereka dapat lebih bersedia menerima siswa ABK dan memperlakukan siswa ABK dengan baik tanpa mempermasalahkan perbedaan maupun keterbatasan yang ada. Hal tersebut juga dapat dilihat dari ciri-ciri apabila seorang individu diterima oleh orang lain yaitu orang lain akan menunjukkan sikap positif, diperlakukan secara baik oleh orang lain, dan memiliki banyak teman dan sahabat. Begitu pula ketika siswa reguler dapat menerima siswa ABK maka ia senantiasa akan menunjukkan sikap positif terhadap siswa ABK, memperlakukan siswa ABK dengan baik, dan bersedia menjadi teman maupun partner sosialnya. Hal yang sebaliknya, bagi mereka para siswa reguler dengan kemampuan empati yang rendah. Mereka kurang mampu memahami perasaan dan keadaan siswa ABK dengan segala keterbatasannya, mereka cenderung memandang siswa ABK dengan sebelah mata sehingga menyebabkan penerimaan sosial mereka terhadap siswa ABK juga rendah. Mereka kurang dapat menerima siswa ABK dengan segala keterbatasan dan karakteristik uniknya sehingga mereka cenderung menunjukkan penolakan seperti menolak untuk berteman, tidak mau bekerjasama, dan memperlakukan siswa ABK dengan kurang baik misalnya mengejek atau bullying. 54

E. Paradigma Penelitian