45
5. Siswa Reguler dan Siswa ABK di Sekolah Inklusif
Sekolah inklusif merupakan sekolah regular yang menggabungkan antara siswa ABK dan siswa regular dalam satu kelas yang sama. Siswa
ABK dan siswa reguler memiliki kedudukan dan hak yang sama dalam menempuh pendidikan di sekolah inklusif Tarmansyah, 2007: 82-83.
Semua siswa baik siswa regular maupun siswa ABK di sekolah inklusif diharapkan dapat saling menjalin hubungan sosial yang harmonis tanpa
memandang perbedaan yang ada. Siswa reguler merupakan mereka para siswa pada umumnya,
sedangkan siswa ABK adalah mereka para siswa yang memiliki kebutuhan khusus. Menurut Sunaryo Kartadinata, dkk. 2002: 134 Anak
berkebutuhan khusus ABK adalah mereka yang mengalami kelainan atau penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal pada umumnya baik
dalam segi fisik, kecerdasan, indera, komunikasi, perilaku atau gabungan hal-hal itu sehingga membutuhkan layanan khusus untuk dapat
mengoptimalkan potensi yang ada dalam dirinya khususnya layanan dalam bidang pendidikan.
Semua siswa baik siswa reguler maupun siswa ABK yang sedang menempuh pendidikan jenjang Sekolah Menengah Pertama SMP dapat
dikategorikan sebagai remaja awal. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Thornburg Agoes Dariyo, 2004: 14 yang menyatakan bahwa masa
remaja awal berlangsung antara usia 13-14 tahun dan individu pada masa
46 remaja awal umumnya ialah mereka yang telah memasuki pendidikan di
bangku sekolah menengah pertama. Salah satu tugas perkembangan remaja adalah mengembangkan
keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok Kay
dalam Syamsu Yusuf L. N., 2011: 72. Remaja diharapkan dapat menjalin hubungan baik dengan siapa saja, termasuk dengan teman sebaya di
sekolah. Begitu pula bagi mereka para remaja siswa yang menempuh pendidikan di sekolah inkluif.
Bagi para siswa reguler di sekolah inklusif, jika dibandingkan dengan para siswa ABK, mereka memiliki kemungkinan yang lebih besar
untuk dapat lebih mudah dalam hubungan atau interaksi sosial dengan teman sebaya. Hal tersebut karena bagi mereka para siswa dengan tanpa
keterbatasan, akan lebih mudah dalam menyesuaikan diri dengan teman- teman yang lainnya. Sedangkan bagi mereka para remaja berkebutuhan
khusus, menyesuaikan diri dengan dunia teman sebaya dan sekolah seringkali menyulitkan dan menyakitkan Santrock, 2003: 227.
Perbedaan dan keterbatasan yang dimilikinya seringkali menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dan menjalin
interaksi dengan teman sebayanya. Kelainan atau ketunaan pada aspek fisik, mental, maupun sosial yang
dialami oleh siswa ABK baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi perkembangan psikologis maupun psikososialnya.
47 Siswa ABK sering mengalami reaksi-reaksi emosional dalam diri sebagai
akibat dari ketidakberdayaan dari kelainan atau ketunaanya yang dialaminya. Reaksi-reaksi emosional yang muncul pada umumnya berupa
perasaan rendah diri, minder atau tidak percaya diri, mudah tersinggung, frustasi, menutup diri, dan sebagainya Mohammad Efendi, 2006: 15.
Menurut Monks, dkk. 1989: 269 kelainan atau cacat-cacat badan sangat merisaukan pada masa remaja, hal tersebut dikarenakan penampilan
fisik pada masa ini sangat dianggap penting. Cacat-cacat badan yang berat mempengaruhi penilaian diri sebegitu rupa sehingga menghambat
perkembangan kepribadian yang sehat. Siswa ABK cenderung berkembang menjadi pribadi yang lebih tertutup, rendah diri, dan tidak
percaya diri. Hasil penelitian Rejeki dan Hermawan Mindarsih, 2013: 65-66
mengenai gambaran diri siswa ABK di sekolah reguler inklusif adalah memiliki perasaan rendah diri, belum siap dalam penerimaan diri, kurang
berani dalam memulai sebuah persahabatan, sikap pasif dan menunggu dalam sebuah persahabatan, dan kurang bisa berkomunikasi dalam
pertemanan. Siswa ABK menarik diri dan membatasi interaksi sosialnya karena perasaan minder akan kekurangan dan perbedaan dirinya dengan
siswa yang lain. Berdasarkan uraian pemaparan di atas dapat diketahui bahwa siswa
regular adalah mereka para siswa normal pada umumnya, sedangkan siswa ABK adalah mereka para siswa yang memiliki kebutuhan khusus akibat
48 dari kelainan atau keterbatasan yang dialaminya. Ketika berada di sekolah
inklusif, para siswa reguler memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk dapat lebih mudah menjalin hubungan atau interaksi sosial dengan teman
sebaya. Hal tersebut dikarenakan, dengan tanpa keterbatasan siswa reguler akan lebih mudah dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan teman
sebaya di sekolah inkluisf. Hal yang sebaliknya, bagi mereka para siswa ABK, perbedaan dan keterbatasan yang dimilikinya menyebabkan mereka
mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan teman sebaya ketika berada di lingkungan sekolah inklusif.
6. Penerimaan Sosial Siswa Reguler terhadap Siswa ABK di Sekolah