Supriatna 1994; 2000 menghitung hanya tersisa kurang lebih 400-2.000 ekor di seluruh pulau jawa, namun kemudian Nijman 2004 dan Djanubudiman et al 2004
memberikan angka yang lebih moderat yaitu 4.000 – 4.500 dan 2.600 – 5.304. Survey populasi yang dilakukan oleh Nijman tersebut yang kemudian menjadi dasar
pertimbangan bagi IUCN merubah status kegentingan owa jawa dari Critically endangered menjadi Endangered. Nijman, 2006; Geissman Nijman, 2006
2.2. Rehabilitasi dan Pelepasliaran Owa Jawa
Meningkatnya proporsi bentang lahan yang digunakan manusia merupakan sebab utama menurunnya ketersediaan habitat alamiah satwaliar terutama pada
daerah tropis Aurambout, 2004; Britt, et al 2003; Fahrig, 2001.Fragmentasi Habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas dan utuh menjadi berkurang
dan terbagi menjadi dua atau lebih fragmen Indrawan et al., 2007. Tidak
terkecuali habitat alamiah owa jawa, Supriatna 2006 mengatakan bahwa mayoritas dari owa jawa saat ini berada pada hutan-hutan yang sempit dan terisolasi. Dengan
semakin berkembangnya populasi manusia dan ketidakpastian masa depan dari hutan yang semakin sedikit dan terfragmentasi.
Merupakan suatu kebutuhan untuk menentukan areal perlindungan satwaliar sebagai tempat penyelamatan dan
translokasi dari kelompok-kelompok owa jawa yang terpencar-pencar dan terisolasi sebelum hutan mereka terlanjur hancur. Aurambout 2004 menyatakan bahwa pada
lansekap modern, fragmentasi habitat menyebabkan tidak adanya transfer gen antar populasi akan menghentikan penyebaran mereka ke habitat yang baru, merupakan
ancaman terhadap kelangsungan hidup sejumlah tumbuhan dan spesies satwa liar. Menghadapi
fragmentasi yang
ekstrim, Andayani
et al
2001 merekomendasikan agar secepatnya melakukan percobaan dengan mentranslokasi
Owa Jawa guna menghindari terjadinya manajemen metapopulasi langsung dan mengusulkan agar sesegera mungkin upaya-upaya untuk menentukan bagaimana cara
terbaik untuk memindahkan owa ke hutan-hutan jawa yang tersisa. Bagian dari gagasan ini adalah bahwa translokasi bukanlah langkah utama dalam konservasi owa
jawa, hal ini hanya diperlukan untuk populasi yang terisolir dan dalam jumlah yang kecil.
Gates Baker 2001 mengusulkan untuk peningkatan jumlah dari owa di alam dengan melakukan reintroduksi dari owa yang berasal dari peliharaan
masyarakat, dimana generasi berikutnya dari tempat rehabilitasi bisa dilepaskan pada tempat yang layak. Sepanjang 2003, tidak kurang dari dua lusin owa jawa telah di
rumahkan pada satu dari tujuh pusat penyelamatan satwa liar. Nijman, press. Supriatna 2006 mengemukakan bahwa saat ini paling tidak terdapat 300 ekor owa
jawa hasil perburuan liar yang menjadi hewan peliharaan pada “second” habitatnya. Kebanyakan menderita sakit mulai dari tuberkolosis atau mempunyai beberapa
problem perilaku dan ketika sukses dilepasliarkankan di alam, kesemuanya, mereka mempunyai kontribusi kecil dalam kelangsungan spesies ini Nijman, 2006.
Beberapa program pelepasliaran satwa hanya menghasilkan kegagalan yang dikarenakan banyaknya kematian pasca pelepasliaran Texeira et al., 2006. Bagi
owa jawa permasalahan yang ditemukan dalam pelepasliaran adalah; 1 Perubahan pada makanan, terutama pada owa dari kandang ke alam; 2 Pengurangan makanan
yang disediakan manusia dan cara dari owa untuk menyediakan sendiri makanannya; 3 Berkurangnya kontak kepada manusia terutama jika hanya satu individu yang
dilepaskan; 4 Perubahan jarak ketinggian yang disenangi dari tanah, dimana paling tidak bertambah 10 meter menuju ketinggian rata-rata alami yang digunakan owa liar
untuk ditempati Punnadee Pages, 2002. Rehabilitasi dan pelepasliaran owa jawa pada area hutan yang dilindungi
tanpa terdapat owa jawa liar di dalamnya mungkin merupakan cara untuk memecahkan dilema apa yang harus dilakukan pada owa jawa yang hidup di dalam
kandang Nijman, 2006. Rehabilitasi owa dan satwaliar secara umum adalah suatu proses yang diikuti dengan pelepasliaran individu-individu yang tertangkap dari
sumber manapun ke alam, setelah perilaku liarnya dilatih kembali. Punnadee Pages, 2001. Gagasan untuk mencari alternatif tempat pelepasliaran owa jawa
merupakan salah satu upaya agar peningkatan daya hidup satwa tersebut menjadi lebih optimal tanpa gangguan owa jawa liar di dalamnya.
Pada pertengahan tahun 2003 secara resmi telah dibuka Javan Gibbon Center yang merupakan tempat rehabilitasi Owa Jawa, berlokasi di Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango Jawa Barat Supriatna, 2006. Namun demikian pelepasliaran owa jawa pasca rehabilitasi masih menemui kendala yang diduga disebabkan oleh sulitnya
mencari lokasi pelepasliaran tanpa terdapat owa jawa liar di dalamnya. Pusat Primata Schmutzer, 2009.
Untuk kesuksesan rehabilitasi, perlindungan dan perencanaan mesti berjalan seimbang antara pra-pelepasliaran dan pasca pelepasliaran.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kesuksesan pelepasliaran terhadap satwaliar yang sebelumnya
telah dikurungditangkap : 1 Dampak negatif pada flora fauna asli, 2 Kematian karena predator alami pada araeal pelepasliaran, 3 Perburuan, perdagangan,
pemasangan jerat oleh manusia, 4 Kompetisi intra dan inter spesifik, 5 Ketiadaan makanan yang familiar dan sumber air pada tempat pelepasliaran dan 6 Kualitas
habitat pelepasliaran yang rendahburuk Cheyne, 2006; Cheyne, 2008. Pasca pelepasliaran Cheyne 2006 mengemukakan bahwa, tidak hanya
perilaku satwa tersebut yang diamati, tetapi juga habitat pelepasliaran harus dipantau secara memadai. Melakukan survey habitat dengan terperinci merupakan prioritas
pada pelepasliaran, dimana harus seminimal mungkin terjadi dampak negatif terhadap flora dan fauna oleh owa. Monitoring pasca pelepasliaran di hutan pada tiap individu
sedapat mungkin dilakukan secara menyeluruh dan harus mengikuti kaidah penumpulan data secara ilmiah. Hasil dari buruknya perencanaan pelepasliaran dan
reintroduksi primata akan sangat jelas memberikan hasil ; kegagalan dari primata untuk beradaptasi dengan hidupan liar, kegagalan peningkatan populasi dan tidak
adanya dampakmanfaat konservasi.
2.3 Habitat Preferensial