Sebagian besar sikap masyarakat 63,3 kagum ketika ketemu dengan R. micropylora
saat mekar. Perasaan kagum ini diungkapkan karena R. micropylora memiliki ciri khas yang hanya mampu tumbuh di tempat-tempat tertentu dan
mempunyai siklus hidup yang menarik. Sebanyak 33,3 masyarakat yang menjawab dengan sikap yang biasa saja karena responden tidak mengenal
keberadaan R. micropylora dan tidak mengerti siklus hidup Rafflesia. Hal menarik terdapat pada sebagian responden 3,3 menjawab dengan rasa takut. Hal
tersebut didasarkan adanya cerita atau kepercayaan “bahwa bunga Rafflesia adalah bunga bangkai yang dapat memakan segalanya seperti memakan lalat, babi
hutan dan bahkan manusia sekalipun yang lewat di dekat sekitarnya dapat terhisap masuk kedalam bunga tersebut”.
Sikap masyarakat dalam hal menjaga Rafflesia yaitu tinggi 63,3, namun belum mampu mengatasi R. micropylora berada dalam keadaan aman di habitat
alaminya. Kasus yang mengancam kepunahan R. micropylora ini salah satunya yaitu masyarakat kurang menghargai dan tidak merasa memiliki keberadaan R.
micropylora. Kondisi seperti ini menyebabkan sebagian masyarakat sekitar hutan
melakukan pemusnahan atau pemotongan T. lanceolarium dan R. micropylora secara langsung. Pemusnahan dipicu oleh rasa kekesalan akibat ketidak adilan
yang dirasakan oleh sebagian anggota masyarakat dalam hal pembagian jatah sebagai guide bagi turis-turis asing yang berkunjung untuk melihat R. micropylora
yang sedang mekar.
5.3.3 Aktifitas manusia yang berpengaruh terhadap habitat R. micropylora.
Aktifitas yang dilakukan di sekitar habitat R. micropylora berupa jungle tracking
dan lalu lintas bagi pengamatan satwa. Sehingga aktifitas ini sangat mengganggu terhadap keberadaan R. micropylora. Dalam kasus ini terlihat
banyaknya jalur lintas jungle tracking yang terdapat di habitat R. micropylora Gambar 15.
Gambar 15 Jalur lintas jungle tracking pada habitat R. micropylora. Jalur lintas jungle tracking dan pengamatan satwa ini dapat mengancam
keberadaan R. micropylora. Dampak besar yang dapat ditimbulkan dari kegiatan pada jalur ini, terinjaknya inang dan knop R. micropylora secara langsung maupun
tidak langsung yang dapat menimbulkan kematian inang dan R. micropylora. Selain itu, aktivitas yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan R. micropylora
adalah kegiatan pembukaan lahan pada habitat di TNGL oleh masyarakat menjadi perkebunan, seperti di Desa Suka Rimbun Gambar 16
Fhoto By: Thomas Sondergaard
Gambar 16 Bentuk pembukaan lahan yang mengancam kehilangan R. micropylora
. 5.3.4
Aktivitas pengelolaan habitat R. micropylora
Selain Pemda, pihak Balai Taman Nasional Gunung Leuser BTNGL merupakan badan pengelola yang sangat penting dalam pengelolaan TNGL.
Bentuk Pengelolaan terhadap habitat R. micropylora belum dilakukan secara
khusus, hanya dilakukan melalui pengamanan kawasan TNGL. BTNGL mengelola kawasan semenjak terbentuknya sampai tahun 2007. Namun kemudian
Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser BP-KEL mengambil alih pengelolaan dari BTNGL.
Setelah bergantinya pengelolaan TNGL dari BTNGL ke BP-KEL, pengelolaan yang dilakukan oleh pihak BP-KEL hampir sama dengan yang
dilakukan oleh pihak BTNGL. Belum ada pengelolaan secara khusus terhadap konservasi R. Micropylora, seperti pemantauan perkembangan R. micropylora,
pengamanan habitat, gangguan manusia, pemagaran R. micropylora dari satwa yang mengganggu, pembuatan jalur pengamatan R. micropylora, dan pemberian
papan informasi mengenai R. micropylora. Aktifitas pengamanan kawasan yang dilakukan oleh pihak BP-KEL belum cukup maksimal dalam menangani kasus-
kasus pembukaan lahan hutan yang mengancam keberadaan R. micropylora Gambar 17.
Gambar 17 Bentuk pembukaan lahan kawasan TNGL untuk perkebunan.
Kerusakan habitat R. micropylora disebabkan salah satunya dengan pembukaan lahan untuk perkebunan. Untuk itu perlu dilakukan penangan dengan
melakukan penyuluhan atau penjagaan kawasan hutan. Beberapa harapan dari masyarakat sekitar hutan yang mungkin akan membantu memberikan solusi
terbaik, sehingga kawasan hutan TNGL tidak diganggu gugat di lain hari kelak. Harapan masyarakat sekitar hutan tersebut terhadap pengelola TNGL yaitu:
A. Harapan masyarakat Desa Ketambe, Kecamatan Ketambe, Kabupaten
Aceh Tenggara: 1.
Pemberian bibit pertanian maupun perkebunan.
2. Penetapan batas-batas TNGL dengan melibatkan masyarakat.
3. Pemberdayaan masyarakat.
4. Pengelolaan guest house oleh masyarakat.
5. Meningkatkan pendapatan masyarakat.
6. Bekerjasama melindungi hutan.
7. Bimbingan untuk usaha mandiri seperti berkebun, berdagang dll.
8. Memanfaatkan jasa hutan secara lestari.
B. Harapan masyarakat Desa Simpur Jaya, Kecamatan Ketambe, Kabupaten
Aceh Tenggara: 1.
Pemberian bibit cokelat, bibit padi darat, dan hak pakai lahan untuk berkebun.
2. Menyediakan lapangan pekerjaan kepada masyarakat.
3. Menjadikan Rafflesia sebagai objek wisata yang melibatkan
masyarakat. C.
Harapan masyarakat Desa Pulo Piku, Kecamatan Darul Hasanah, Kabupaten Aceh Tenggara:
1. Memberikan bantuan berupa sarana pendidikan.
2. Menangkap cukong kayu.
3. Memberikan subsidi pupuk dan pemberian bibit perkebunan maupun
pertanian. Selain itu, saran masyarakat yang menegaskan perlunya memperjelas batas-
batas kawasan menjadi hal yang penting dalam mengelola kawasan TNGL, dan melibatkan masyarakat sekitar hutan setiap program konservasi yang dilakukan
pengelola TNGL.
5.3.5 Usulan program konservasi R. micropylora