Secara umum perbandingan habitat Rafflesia yang dilihat dari kelembaban udara dan suhu udara tidak memberikan gambaran habitat yang sama dengan
habitat R. micropylora yang berada di Blok Gurah Ketambe TNGL. Namun secara rata-rata yang mendekati dengan habitat R. micropylora adalah habitat
spesies R. arnoldi dan R. zollingeriana. Beberapa perbandingan habitat Rafflesia yang disajikan pada Tabel 17 tersebut di atas, R. micropylora memiliki habitat
dengan kelembaban tertinggi mencapai 97. Namun berbeda dengan suhu udara tertinggi berada pada habitat spesies R. patma yaitu 32,5°C. Hal tersebut
menggambarkan bahwa Rafflesia memiliki suhu udara mulai dari 15-32,5°C dan memiliki kelembaban udara 80-97. Perbedaan suhu udara dipengaruhi oleh
jumlah radiasi matahari yang diterima, pengaruh daratan atau lautan, pengaruh ketinggian tempat, pengaruh angin secara tidak langsung, pengaruh panas laten
panas yang disimpan dalam atmosfer, penutupan tanah, tipe tanah tanah gelap indeks suhunya lebih tinggi, pengaruh sudut datang sinar matahari. Sementara
kelembaban udara di beberapa habitat dipengaruhi oleh curah hujan musim hujan atau musim kemarau, dan tegakan pohon disekitar habitat Istomo et al. 2008.
5.3 Sikap Masyarakat TNGL Terhadap R. micropylora
5.3.1 Karakteristik responden
Jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 30 orang, yang diambil dari tiga desa yaitu Desa Ketambe, Desa Simpur Jaya, Kecamatan Ketambe, dan Desa
Pulo Piku, Kecamatan Darul Hasanah, Kabupaten Aceh Tenggara, seperti tersaji pada Tabel 18. Desa Simpur Jaya merupakan salah satu desa yang termasuk
kedalam kawasan TNGL bahkan kawasan desa dekat dengan zona inti TNGL yang dijadikan sebagai Kawasan Stasiun Penelitian.
Tabel 18 Jumlah responden yang diwawancarai di setiap desa
No. Desa Jumlah
responden Persentase
1 Simpur Jaya
13 43,33
2 Ketambe 10
33,33 3 Pulo
Piku 7
23,33
Jumlah 30 100
Sebagian responden yang hidup di sekitar kawasan TNGL masih sangat mengandalkan keberadaan TNGL sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat
sekitar, terutama bagi masyarakat Simpur Jaya yang memang tergolong tinggal
dalam kawasan TNGL Tabel 19. Selain masyarakat Simpur Jaya, masyarakat sekitar Desa Ketambe dan Desa Pulo Piku sangat tergantung dengan keberadaan
TNGL terlihat dari data sebagian responden yang didapat mengenai tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan ketergantungan terhadap hutan.
Tabel 19 Data karakteristik responden
No. Karakteristik Persentase
1. Berdasarkan Tingkat Umur :
25 Tahun 17
25 – 50 Tahun 63
50 Tahun 20
2. Berdasarkan Tingkat Pendidikan :
SMA 70
SMA 30
3. Berdasarkan tingkat pekerjaan :
Petani 73,4
Wiraswasta 20 PNS 3,3
Buruh bangunan 3,3
4. Besarnya penghasilan per bulan Rp :
500.000,- 50
500.000,- – 1.000.000,- 36,7
1.000.000,- 13,3
5. Ketergantungan terhadap hutan :
Tergantung 26,7
Hampir tergantung 10
Tidak tergantung 63,3
Tingkat pendidikan sangat menggambarkan kehidupan masyarakat sekitar. Karena pendidikan sangat mempengaruhi pola pikir dan tindakan masyarakat
dalam hal pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan Suwartini 2008.
5.3.2 Sikap konservasi masyarakat terhadap R. micropylora
Sikap masyarakat sekitar hutan TNGL terhadap R. micropylora memiliki karakteristik seperti tersaji dalam Tabel 20.
Tabel 20 Sikap masyarakat terhadap konservasi R. micropylora
No. Karakteristik Persentase
1 Pengenalan terhadap
Rafflesia :
- Kenal
60 -
Tidak kenal
40 2 Pengetahuan
terhadap Rafflesia
bahwa flora langka dan di lindungi oleh Undang-Undang:
- Tahu
66,7 - Tidak tahu
33,3 3 Pandangan
terhadap konservasi
Rafflesia :
- Mendukung
73,3 - Tidak mendukung
- Tidak tahu 26,7
4 Pemanfaatan terhadap
Rafflesia : -
- Pernah
6,7
Lanjutan Tabel 20 Sikap masyarakat terhadap konservasi R. micropylora
No. Karakteristik Persentase
- Tidak
pernah 93,3
5 Kebanggaan terhadap keberadaan Rafflesia:
- Bangga
76,7 -
Tidak bangga
3,3 - Tidak tahu
20 6
Persaan ketika melihat Rafflesia sedang mekar: -
Kagum 63,3
- Biasa saja 33,3
- Takut
3,3 7 Melarang
jika Rafflesia
di curidirusak: -
Melarang 63,3
- Tidak melarang 36,7
Dari pengetahuan masyarakat sekitar hutan terhadap pengenalan R. micropylora
lebih dari setengahnya 60 mengenal R. micropylora. Namun demikian, bukan berarti mereka mengenal tempat tumbuh secara tepat, melainkan
hanya sekedar tahu bahwa bunga tersebut tumbuh di daerah Ketambe. Sebagian besar masyarakat sekitar hutan tidak pernah menemukan secara langsung
keberadaan R. micropylora, melainkan dikenal melalui media-media seperti pamplet, televisi dan melalui pembicaraan sehari-hari.
Sebanyak 66,7 masyarakat sekitar hutan tahu bahwa R. micropylora merupakan bunga langka dan dilindungi oleh undang-undang. Akan tetapi
pengetahuan tersebut tidak sampai kepada pemahaman undang-undang yang dimaksud. Persepsi seperti ini tercermin dari 26,7 masyarakat yang tidak tahu
terhadap konservasi R. micropylora. Sebanyak 73,3 masyarakat sekitar hutan peduli terhadap konservasi R. micropylora.
Hanya 6,7 yang memanfaatkan R. micropylora Tabel 20. Pemanfaatan tersebut juga tidak dimanfaatkan secara langsung melainkan dengan pemanfaatan
jasa wisatanya saja. Hal ini jika ditinjau dari segi pemanfaatannya tidak mengancam keberadaan R. micropylora. Namun pada beberapa spesies Rafflesia
banyak dimanfaatkan sebagai obat-obatan, sepeti di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Spesies R. haselltii dimanfaatkan oleh suku Malayu di Riau sebagai
obat luka dan untuk meningkatkan kesuburan wanita Hernidiah 1999. Selain itu menurut Priatna et al. 1989 di Pulau Jawa dan Kalimantan Rafflesia
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan obatjamu.
Sebagian besar sikap masyarakat 63,3 kagum ketika ketemu dengan R. micropylora
saat mekar. Perasaan kagum ini diungkapkan karena R. micropylora memiliki ciri khas yang hanya mampu tumbuh di tempat-tempat tertentu dan
mempunyai siklus hidup yang menarik. Sebanyak 33,3 masyarakat yang menjawab dengan sikap yang biasa saja karena responden tidak mengenal
keberadaan R. micropylora dan tidak mengerti siklus hidup Rafflesia. Hal menarik terdapat pada sebagian responden 3,3 menjawab dengan rasa takut. Hal
tersebut didasarkan adanya cerita atau kepercayaan “bahwa bunga Rafflesia adalah bunga bangkai yang dapat memakan segalanya seperti memakan lalat, babi
hutan dan bahkan manusia sekalipun yang lewat di dekat sekitarnya dapat terhisap masuk kedalam bunga tersebut”.
Sikap masyarakat dalam hal menjaga Rafflesia yaitu tinggi 63,3, namun belum mampu mengatasi R. micropylora berada dalam keadaan aman di habitat
alaminya. Kasus yang mengancam kepunahan R. micropylora ini salah satunya yaitu masyarakat kurang menghargai dan tidak merasa memiliki keberadaan R.
micropylora. Kondisi seperti ini menyebabkan sebagian masyarakat sekitar hutan
melakukan pemusnahan atau pemotongan T. lanceolarium dan R. micropylora secara langsung. Pemusnahan dipicu oleh rasa kekesalan akibat ketidak adilan
yang dirasakan oleh sebagian anggota masyarakat dalam hal pembagian jatah sebagai guide bagi turis-turis asing yang berkunjung untuk melihat R. micropylora
yang sedang mekar.
5.3.3 Aktifitas manusia yang berpengaruh terhadap habitat R. micropylora.