Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Penelitian ini mengambil topik mengenai implementasi deteksi dini kanker serviks di Klinik Bidan Praktik Swasta “MANDA” yang terletak di Jalan Karya Cilincing Gang Ciliwung No.22, Kelurahan Karang Berombak, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Paradigma pembangunan kesehatan di Indonesia semula memusatkan perhatian pada penyembuhan penderita. Namun dalam perkembangannya, paradigma tersebut secara berangsur-angsur telah diubah kearah keterpaduan upaya kesehatan yang menyeluruh, menyangkut upaya peningkatan kesehatan promotif, pencegahan penyakit preventif, penyembuhan penyakit kuratif, dan pemulihan kesehatan rehabilitatif. Semua masyarakat menjadi sasaran pembangunan kesehatan. Tidak hanya yang sakit, tetapi juga mereka yang sehat. Sesuai UU No.23 Tahun 1992 1 tentang kesehatan. Dari perspektif kesehatan, perbaikan kualitas sumberdaya manusia diyakini harus dimulai sedini mungkin, sejak janin tumbuh dalam tubuh ibu. Peran ibu sebagai 1 yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan demikian, seseorang dikatakan sehat tidak saja memiliki tubuh dan jiwa yang sehat, tetapi juga dapat bermasyarakat secara baik. Universitas Sumatera Utara 2 penerus keturunan, pengasuh dan pendidik anak, pengatur rumah tangga dan pendamping suami dan anggota masyarakat dapat terlaksana dengan baik apabila ibu berada dalam keadaan sejahtera, sehat fisik, mental dan sosialnya. Dengan kata lain, peningkatan mutu sumberdaya manusia yang diupayakan dapat dilakukan sedini mungkin, sangat bergantung pada kesejahteraan ibu, termasuk kesehatan dan keselamatan reproduksinya Sidhi, 1989 : 2. Kesehatan reproduksi merupakan salah satu konsep dalam pembangunan kesehatan yang lahir sebagai reaksi dalam konteks kependudukan dan perluasan program keluarga berencana. Konsep ini mulai gencar disosialisasikan karena dinilai sangat nyata pengaruhnya bagi peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Dr. Dra. Ida Yustina, MSi dalam buku Pemahaman Keluarga tentang Kesehatan Reproduksi 2007 mengatakan bahwa Kesehatan reproduksi sebagaimana didefinisikan Kongres Kependudukan dan Pembangunan ICPD di Kairo pada tahun 1994 merupakan keadaan kesehatan fisik, mental dan sosial menyeluruh dan tidak adanya penyakit atau keadaan lemah. Kesehatan reproduksi mengandung arti bahwa orang dapat mempunyai kehidupan seks yang memuaskan dan aman, mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan mereka ingin atau tidaknya melakukan, kapan dan frekuensinya. Di Indonesia, tujuan utama program kesehatan reproduksi adalah meningkatkan kesadaran dan kemandirian dalam mengatur fungsi dan peran reproduksi, termasuk disini kehidupan seksual, sehingga hak-hak reproduksi dapat terpenuhi yang pada akhirnya menuju peningkatan kualitas hidup Departemen Universitas Sumatera Utara 3 Kesehatan RI, 2001. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari pengertian kesehatan reproduksi, Pertama, pengertian sehat bukan berarti semata-mata sebagai pengertian kedokteran klinis, tetapi juga sebagai pengertian sosial masyarakat. Seseorang dikatakan sehat tidak saja memiliki tubuh dan jiwa yang sehat, tetapi juga dapat bermasyarakat secara baik. Kedua, kesehatan reproduksi bukan merupakan masalah seseorang saja, tetapi juga menjadi kepedulian keluarga dan masyarakat Baso dan Rahardjo, 1997 : 19. Dalam konteks kesehatan reproduksi, kaum perempuan sebenarnya diharapkan tampil menjadi subjek utama yang mengontrol kesehatan reproduksinya, karena perempuanlah yang memiliki rahim. Di Indonesia, sosialisasi tentang kesehatan reproduksi yang menitikberatkan pentingnya perempuan memahami dan menerapkan sesuatu yang menjadi haknya tersebut saat ini sangat gencar dilakukan oleh banyak Lembaga Swadaya Masyarakat LSM di berbagai Kota di Indonesia, termasuk badan kesehatan dunia seperti World Health Organization WHO Sidhi, 1989 : 25. Menurut Arivia Kompas, 15 November 2000, tidak mudah untuk menjelaskan kepada perempuan Indonesia bahwa mereka mempunyai tubuhnya sendiri, karena mereka terlanjur meyakini bahwa tubuhnya adalah milik sesuatu di luar mereka, entah medis, hukum, agama, kebudayaan dan lainnya. Padahal, akibat rendahnya pemahaman perempuan tentang kesehatan reproduksi, berimplikasi antara lain terhadap tingginya angka kematian ibu yang melahirkan dan menurunnya gizi ibu dan anak. Universitas Sumatera Utara 4 Kesehatan reproduksi sering dianggap sebagai sinonim dari keluarga berencana, sedangkan aspek-aspek lain dari kesehatan reproduksi kurang diperhatikan. Selain itu, ada juga masyarakat yang mencampuradukkan konsep kesehatan reproduksi dengan konsep kesehatan seksual dan tidak bisa membedakan antara keduanya. Secara singkat bisa dikatakan bahwa konsep kesehatan reproduksi terdiri atas beberapa elemen pokok, yaitu perilaku reproduksi selama usia subur, untuk perempuan usia subur mulai dari menstruasi pertama sampai menopause, sedangkan untuk laki-laki dimulai sejak ejakulasi pertama dan dapat sampai akhir hidup, perilaku seksual, perawatan sebelum dan pasca kehamilan serta penghentian melahirkan, perawatan kesehatan ibu, penanganan ketidaksuburan infertilitas, penghapusan aborsi yang tidak aman, penanganan infeksi dan penyakit yang diakibatkan oleh hubungan seks yang tidak aman, pencegahan dan pengobatan keganasan di alat-alat reproduksi, akses pada pelayanan kontrasepsi yang aman dan penghormatan hak-hak reproduksi. 2 Sejauh ini penulis melihat masalah kesehatan reproduksi lebih banyak didekati dari aspek klinis saja sehingga berkembang anggapan bahwa masalah- masalah kesehatan reproduksi hanya dapat dipelajari dan dipecahkan oleh ahli-ahli kedokteran. Sementara itu, terdapat banyak bukti bahwa inti persoalan kesehatan reproduksi sesungguhnya terletak pada konteks sosial, ekonomi dan kebudayaan yang 2 Lebih khusus, hak-hak konsumen dalam program keluarga berencana adalah: hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk mendapatkan akses pada pelayanan kesehatan reproduksi;hak memilih antara metode-metode kontrasepsi;hak untuk mendapatkan pelayanan yang aman;hak untuk kepribadian;hak atas konfidensialitas;hak untuk kehormatan;hak untuk meneruskan pelayanan;hak untuk mengekpresikan opini PKBI 1989. Universitas Sumatera Utara 5 sangat kompleks. Kesehatan reproduksi dipengaruhi dan mempengaruhi sistem politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan gender. Kesehatan reproduksi juga berhubungan dengan Angka Kematian Ibu AKI. Angka Kematian Ibu di Indonesia tercatat merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara atau keempat di Wilayah Asia Pasifik, yakni mencapai 334 orang per 100.000 kelahiran hidup Departemen Kesehatan RI, 2001 3 . Penyebab langsung kematian ibu tersebut terutama adalah pendarahan , infeksi, eklamsia, partus lama dan aborsi yang terkomplikasi. Persoalannya, meski perempuan merupakan key-person dari efektivitas pelaksanaan kesehatan reproduksi yang sangat penting artinya bagi peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dalam kenyataannya perempuan di Indonesia “belum dapat” sepenuhnya mengambil keputusan sendiri meski itu menyangkut dirinya. Faktor budaya masih cukup kental berperan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya, perempuan masih selalu tergantung pada orang di luar dirinya, seperti suami, orang tua, mertua maupun keluarga besarnya Ford Foundation, 2002. Berkaitan dengan hal ini, pemeliharaan kesehatan reproduksi bagi manusia sangatlah penting terutama bagi wanita. Salah satunya yaitu pencegahan kanker serviks yang merupakan penyakit yang menyerang sistem reproduksi wanita dan dapat menyebabkan kematian. Kanker bukanlah semata-mata masalah kesehatan, karena dampaknya lebih luas mencakup masalah sosial, ekonomi dan pembangunan serta berimplikasi terhadap hak asasi manusia. Berdasarkan data Patologi Anatomi 3 Ida Yustina, dalam buku Pemahaman Keluarga Dalam Kesehatan Reprosuksi terbit tahun 2007. Universitas Sumatera Utara 6 Yayasan Kanker Indonesia YKI pada tahun 2010, kanker serviks di Indonesia kerap disebut sebagai kanker leher rahim tercatat menduduki ranking kedua terbanyak yang menyerang wanita setelah kanker payudara. Penyebabnya adalah virus yang menyerang leher rahim atau sebutan bahasa latinnya adalah Human Pappilloma Virus HPV 4 , infeksi HPV yang sering menyerang kaum perempuan ini umumnya yang berusia di atas 30 tahun, meski tidak menutup kemungkinan usia di bawah 30 tahun juga dapat terserang dan kadang tidak disadari oleh kaum perempuan. Penyebabnya adalah karena kurangnya pengetahuan tentang gejala, deteksi dini, proses terjadinya infeksi dan pengobatannya. Ditambah lagi dengan faktor kebersihan lingkungan, pola hidup bersih dan sehat serta lingkungan sosial yang menjadi pemicu kegiatan dan perilaku seks berisiko di luar pernikahan Adi D.Tilong, 2012 : 12. Data statistik dari Badan Pusat Statistik tahun 2010, jumlah perempuan Indonesia yang berusia 30 sampai dengan 50 tahun berada pada kisaran 35 juta orang. Jumlah penduduk perempuan usia produktif tersebut perlu dikawal terus masalah kesehatan reproduksinya, satu diantaranya adalah pencegahan terhadap kanker serviks melalui upaya skrinning 5 untuk deteksi dini kasus kanker serviks. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ditargetkan setiap 5 tahun minimal 80 perempuan 4 Virus yang dapat menyebabkan kutil di berbagai bagian tubuh, hidup pada sel-sel kulit dan memiliki lebih dari 100 jenis. 5 Proses pendeteksian kasuskondisi kesehatan pada populasi sehat dalam kelompok tertentu sesuai dengan jenis penyakit yang akan dideteksi dini dengan upaya meningkatkan kesadaran pencegahan dan diagnosis dini bagi kelompok yang termasuk berisiko tinggi. Universitas Sumatera Utara 7 usia 30-50 tahun sudah melakukan skrinning. Hingga tahun 2012, jumlah perempuan yang di skrinning sudah lebih dari 550 ribu orang Departemen Kesehatan RI, 2001. Diperkirakan setiap satu jam, seorang wanita di Indonesia meninggal dunia karena kanker serviks. Tingginya angka kematian kaum wanita akibat kanker serviks antara lain disebabkan oleh minimnya pengetahuan tentang kanker serviks, terutama dalam mengenali gejala-gejalanya. Sehingga, mereka datang berobat dalam kondisi sudah parah. Para wanita yang rawan mengidap kanker serviks, biasanya berusia antara 30-50 tahun, terutama yang aktif secara seksual sebelum usia 16 tahun. Hubungan seksual pada usia terlalu dini bisa meningkatkan risiko terserang kanker serviks dua kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang melakukan hubungan seksual setelah usia 20 tahun. Kanker serviks juga berkaitan dengan partner seksual. Semakin banyak partner seksual yang dimiliki oleh seorang wanita , semakin meningkat pula risiko terjadinya kanker serviks. Sama halnya dengan jumlah partner seksual, jumlah kehamilan yang pernah dialami juga meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks. Keikutsertaan masyarakat khususnya kaum wanita dan pemerintah daerah dalam penurunan jumlah penderita kanker serviks sangat diharapkan, karena sesungguhnya lebih dari 40 semua jenis kanker dapat dicegah bahkan dapat disembuhkan, asalkan program skrinning ditegakkan Adi D.Tilong, 2012 : 17. Atas dasar permasalahan diatas, penulis ingin mengetahui apa saja gejala kanker serviks? Bagaimana cara melakukan pencegahan dan deteksi dini terhadap kanker serviks yang berhubungan dengan sistem kesehatan dan sosial-budaya?. Di samping Universitas Sumatera Utara 8 itu penulis juga ingin mengetahui lebih jauh tentang implementasi deteksi dini terhadap kanker serviks di Kota Medan tepatnya di Klinik Bidan Praktik Swasta “MANDA” yang berada di Jalan Karya Cilincing Gang Ciliwung No.22, Kelurahan Karang Berombak, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara.

1.2. Tinjauan Pustaka