Pembangunan Usaha Peternakan secara Berkelanjutan

Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam budidaya peternakan dikategorikan berkelanjutan jika memenuhi kriteria dari masing-masing dimensi pembangunan berkelanjutan, yaitu: dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum, dan kelembagaan. Suatu sistem budidaya peternakan dikategorikan memenuhi dimensi ekologis dalam konsep pembangunan berkelanjutan jika sistem tersebut tidak melakukan eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya peternakan, tidak terjadi pembuangan limbah yang melampaui kapasitas asimilasi lingkungan sehingga menimbulkan pencemaran, dan menerapkan sistem manajemen lingkungan dalam melakukan kegiatan usaha. Suatu sistem budidaya peternakan dikatakan memenuhi dimensi ekonomi dalam konsep pembangunan berkelanjutan jika sistem tersebut mampu menghasilkan Usaha Peternakan Sapi, Domba, Kambing, Ayam, dsb Daging, Susu, Telur, dan Produk Peternakan Olahan Sosis, Dendeng, Abon, Yoghurt, Skeam, Keju, Telur Asin, dsb Feses Kotoran Ternak Kompos Pupuk Organik Pertanian Organik Bio Gas Peningkatan Pendapatan PetaniPeternak Limbah Budidaya Ternak Gambar 2 Usaha agribisnis peternakan ramah lingkungan Sumber: Santosa 2001 ternak dan produk peternakan secara berkesinambungan, sehingga terjadi peningkatan dinamika ekonomi daerah yang ditandai dengan peningkatan pendapatan peternak, penyerapan tenaga kerja, dan tumbuhnya berbagai kegiatan usaha pendukung. Sistem budidaya peternakan dikategorikan memenuhi dimensi sosial-budaya dalam konsep pembangunan berkelanjutan jika sistem tersebut dapat mendukung pemenuhan kebutuhan dasar pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan, terjadi pemerataan dan terciptanya akuntabilitas serta partisipasi masyarakat. Keberlanjutan dari dimensi teknologi dicerminkan oleh seberapa jauh pengembangan dan penggunaan teknologi dapat meningkatkan produktivitas dan nilai tambah usaha serta meminumkan kemungkinan dampak yang merugikan sumberdaya alam dan lingkungan. Penerapan teknologi inseminasi buatan IB, kesehatan hewan, teknologi pengolahan limbah, teknologi pakan, teknologi pengolahan hasil, dan teknologi informasi dapat digunakan untuk menilai keberlanjutan dimensi ini. Penilaian keberlanjutan dari dimensi hukum dan kelembagaan ditentukan dengan cara melihat seberapa jauh perangkat hukum dan kelembagaan beserta penegakan dan kepatuhannya yang dapat mendorong keberlanjutan sistem budidaya peternakan. Namun kunci dari semua atribut hukum-kelembagaan adalah kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perundangan dan aturan adat yang berlaku Suyitman 2010. Berdasarkan uraian sebelumnya, tujuan pembangunan sistem budidaya peternakan dengan menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multidimensi multi objective yaitu mewujudkan kelestarian sustainability sistem budidaya peternakan baik secara ekologis, ekonomi, sosial budidaya, teknologi maupun hukum, dan kelembagaan. Implikasinya lebih menantang dan kompleks jika dibandingkan dengan sistem konvensional yang hanya mengejar satu tujuan yakni pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi jika berhasil membangun sistem ini dan terwujud kelima dimensi tujuan pembangunan berkelanjutan secara seimbang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosio kultural suatu kawasan, maka kita dapat menyaksikan kehidupan manusia yang lebih sejahtera dan damai dalam lingkungan hidup yang lebih ramah, sehat, bersih, dan indah Mersyah 2005. III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

Pengembangan kawasan agropolitan dirancang dan dilaksanakan dengan mensinergikan berbagai potensi di masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Tanggung jawab keberhasilan dan pengembangan kawasan agropolitan terletak dari kemampuan pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah kabupatenkota untuk dapat tumbuh sebagai inisiator dan motivator dalam menggali dan mengembangkan semua potensi di masyarakat, sedangkan pemerintah provinsi dan pusat lebih berperan membantu fasilitas yang diperlukan dalam pengembangan kawasan agropolitan. Kawasan agropolitan juga dicirikan dengan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis, di pusat agropolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan agribisnis di wilayah sekitarnya. Menurut Deptan 2004 suatu kawasan agropolitan yang sudah berkembang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1 Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian. 2 Sebagian besar kegiatan di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian, termasuk di dalamnya usaha industri pengolahan pertanian, perdagangan hasil pertanian untuk kegiatan ekspor, perdagangan agribisnis hulu sarana pertanian dan permodalan, agrowisata, dan jasa pelayanan. 3 Hubungan antara kota dan daerah-daerah hinterland bersifat interdependensitimbal balik yang harmonis, dan saling membutuhkan. Kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya on farm dan produk olahan skala rumah tangga off farm, sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasil dan pemasaran hasil produksi pertanian. 4 Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan memiliki kemiripan dengan susasana kota dikarenakan keadaan sarana yang ada di kawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan perkotaan.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Kebijakan pembangunan nasional bertujuan mendayagunakan sumberdaya alam sebagai inti kemakmuran rakyat yang dilakukan secara terencana, rasional optimal bertanggungjawab, sesuai dengan kemampuan daya dukung lingkungan, memperhatikan fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. Pada saat ini, proses pembangunan memberikan dampak positif seperti tercapainya tujuan pembangunan nasional namun, disisi lain telah menimbulkan masalah terhadap kelestarian lingkungan. Pendekatan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi secara cepat tidak bisa dipungkiri mengakibatkan kesenjangan pembangunan antar wilayah, dimana investasi dan sumberdaya terserap serta terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-wilayah perdesaan hinterland mengalami pengurasan sumberdaya berlebihan. Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah berdampak terhadap buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya sehingga menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi, serta potensi konflik yang cukup besar, dimana wilayah yang dahulu kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Di sisi lain, akumulasi pembangunan wilayah perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan mendorong terjadinya migrasi penduduk ke perkotaan, sehingga kota-kota dan pusat-pusat pertumbuhan mengalami tingkat urbanisasi berlebihan over urbanization, sementara di wilayah perdesaan mengalami krisis tenaga kerja akibat arus urbanisasi yang cukup besar. Ketidakseimbangan pembangunan yang terjadi membuat pemerintah menyelenggarakan berbagai program pengembangan wilayahkawasan yang didasarkan atas keunggulan komparatif comparative advantages berupa upaya- upaya peningkatan produksi dan produktivitas kawasan yang didasarkan atas pertimbangan optimalisasi daya dukung carryng capacity, kapabilitas capability, dan kesesuaian suitability sumberdaya wilayah diantaranya pembangunan wilayah melalui pengembangan kawasan agropolitan Rustiadi et al. 2003. Konsep pengembangan agropolitan pertama kali diperkenalkan Friedmann dan Douglass 1976 sebagai siasat pengembangan perdesaan. Konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan kota ladang, dengan demikian petani atau masyarakat desa tidak perlu ke kota untuk mendapatkan pelayanan yang berhubungan dengan kebutuhan sosial budaya dan kehidupan sehari-hari. Peran agropolitan adalah melayani kawasan produksi pertanian di sekitarnya sebagai tempat berlangsungnya kegiatan agribisnis. Departeman Pertanian dan Departemen Kimpraswil untuk tahun anggaran 2002 menjadikan agropolitan sebagai isu nasional dalam mengembangkan sistem agribisnis, mendorong dan meningkatkan percepatan pembangunan wilayah, serta meningkatkan keterkaitan desa dan kota di daerah calon kawasan agropolitan. Pengembangan kawasan agropolitan harus memperhatikan aspek keberlanjutan pembangunan multidimensi agar manfaat yang muncul dapat dioptimalkan. Keberhasilan mengidentifikasi status keberlanjutan pembangunan akan mengarahkan stakeholder merumuskan kebijakan pembangunan wilayah yang tepat sesuai kebutuhan dan potensi wilayah tersebut.