Dengan adanya unsur-unsur yang sama tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peoses perencanaan adalah suatu proses yang
diakui perlu dijalani secara sistematik dan berurutan karena keteraturan itu merupakan proses rasional sebagai salah satu
property perencanaan pendidikan.
D. Evaluasi dan Monitoring dalam Perencanaan
Walaupun perencanaan sudah sejak lama mempunyai fungsi penting dalam perumusan kebijakan dalam berbagai bentuknya,
namun sebagai bidang spesialisasi, baru muncul sejak dua puluh lima tahun terakhir terutama bila dikaitkan sebagai tool untuk
pembangunan pendidikan. Menurut beberapa hasil survei negara- negara OECD 1980, hingga saat ini terdapat proses evolusi alam
berpikir tentang perencanaan dari satu tahap menuju tahap lain. Tujuan pendidikan yang sifatnya eksternal adalah:
1. Pemenuhan kebutuhan tenaga pendidik dan kependidikan. 2. Pemerataan kesempatan pendidikan.
3. Meningkatkan efisiensi.
Tujuan pertama menempati prioritas utama, karena tanpa dukungan tenaga pendidik dan kependidikan terampil pembangunan
ekonomi amat sukar dilaksanakan. Tujuan kedua, merupakan aspirasi pembebasan yang sifatnya politik dan merupakan tuntutan demokratik
atau kerakyatan. Compulsary Education atau wajib belajar, merupakan perwujudan dari tujuan kedua ini. Tujuan ketiga,
merupakan prasyarat untuk mewujudkan tujuan pertama dan kedua dalam usaha utilisasi dana secermat mungkin. Tiga tujuan eksternal
ini membuka kemunculan tiga pendekatan klasik dalam perencanaan
41
pendidikan, yaitu: a pendekatan ketenagaan atau Man Power Approach dan pendekatan keuntungan ekonomi atau Rate of Return
Approach. Pendekatan pertama dan kedua menguasai alam pikiran pembangunan pendidikan hingga tahun enam puluhan. Pendekatan-
pendekatan ini menampilkan dua jenis perencanaan pendidikan yang disebut: b Technocratic Planning, dan c Political atau Conflictual
Education Planning OECD, 1980. Technocratic Educational Planning
memisahkan secara konseptual dan praktis fungsi perencanaan dan pembuat keputusan
atau antara Planning Team dengan Policy Making Group. Pembuat kebijakan menentukan tujuan atau sasaran strategis, sedangkan
perencana menjabarkan tujuan strategis ini ke dalam rumusan yang lebih operasional merumuskan cara-cara yang tepat untuk
mewujudkan tujuan itu. Political Education Planning tidak mempertimbangkan kehadiran
pembuat kebijakan dalam menentukan sasaran strategis, tetapi tujuan-tujuan tersebut sebenarnya produk Pressure Group atau
Lobbist yang kuat, hingga menghasilkan rumusan-rumusan tersebut. Fungsi perencana dalam hal ini adalah ini adalah bukan menyusun
rencana untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang dihasilkan oleh Pressure Group itu tapi sebagai perantara antara berbagai Interest
Groups yang bersaing dan terlihat. Adalah Planner yang harus menguasai perbedaaan-perbedaan Interest Groups tersebut agar
dapat mengakomodasikan semua interest hingga mengembangkan policy sebagai produk semua tekanan-tekanan tersebut. Pendekatan
politik ini kurang memperhatikan perencanaan jangka panjang, tapi hanya memperhatikan perencanaan jangka pendek saja.
42
Pada tahun enam puluhan telah terjadi perubahan yaitu penggarapan atau Shift dari Man Power Approach menuju Social
Demand Approach. Perubahan ini didasarkan atas asumsi bahwa melalui Social Demand Approach, secara otomatis kebutuhan akan
ketenagaan akan terpenuhi dan mengesampingkan faktor-faktor yang tak dapat diramalkan pada pasaran kerja.
Shift di atas juga didasarkan atas keyakinan bahwa tujuan pendidikan eksternal yaitu pemerataan pendidikan hanya dapat
dicapai melalui pendekatan sosial yang terus menerus menyelenggarakan usaha perluasan kesempatan pendidikan bagi
setiap warga negara. Sistem pendidikan juga telah berusaha mencapai tujuan internalnya melalui System Growth, walaupun ini
tidak berarti secara langsung dapat mewujudkan pencapaian tujuan pendidikan yang lain yaitu kebutuhan ketenagaan dan efisiensi.
Beberapa hasil pengamatan menunjukkan bahwa internal Goals sistem pendidikan yaitu Growth dan Well Being itu menggunakan
planning untuk menciptakan consistency dalam perluasan pendidikan, dibandingkan dengan sebagai alat perubahan.
Perubahan alam berpikir politis turut membawa pengaruh terhadap praktek perencanaan. Pemerintahan suatu negara yang
merupakan hasil pemilihan mayoritas rakyat, dalam praktek mengembangkan Quantitative dan Authoritative Planning atau yang
disebut Rational Planning. Sedangkan pluralisme politik seperti pemerintahan koalisi mempunyai kecenderungan untuk seoptimal
mungkin mengikutsertakan berbagai kekuatan politik dalam menentukan kebijakan-kebijakan mendasar, memerlukan apa yang
disebut Participatory Planning atau Perencanaan Partisipasif.
43
Gerakan perencanaan partisipasif ini terutama terasa kuat pada akhir tahun enam puluhan ketika dimana-mana bermunculan protes
rakyat, khususnya mahasiswa tentang kebijakan pendidikan. Mereka dengan didukung oleh kekuatan politik, menyatakan bahwa
keputusan-keputusan tentang pendidikan tidak mencerminkan aspirasi pendidikan mereka. Protes-protes baik langsung maupun
tidak, kelompok-kelompok masyarakat ini menggerakkan kekuatan politik untuk lebih aktif dalam proses pengambilan keputusan, karena
Participatory Planning memperoleh giliran untuk naik ke permukaan. Trend sekarang adalah di negara-negara dengan sistem
pemerintahan yang sentralistis, dengan pemerintah hasil pemilihan mayoritas, Participatory Planning tidak berhasil untuk menggeser
Quantitative-Authoritative Planning. Sebaliknya di negara-negara yang sistem pemerintahannya desentralisasi, Participatory Planning
mendapat tempat yang baik terutama pada tingkat lokal. Kogan OECD, 1980 mengemukakan bahwa Participatory
Planning ini muncul dengan asumsi sebagai berikut: 1. Perluasan struktur kekuatan dalam usaha meningkatkan
kemampuan pusat-pusat pembuat keputusan untuk merespon terhadap kebutuhan pendidikan dan aspirasi rakyat dengan
lebih efektif lagi. 2. Pengayaan informasi dasar untuk pembuatan keputusan yang
efektif dengan jalan memberikan kesempatan kepada rakyat secara langsung atau melalui badan-badan atau kekuatan
politik yang ada untuk mengutarakan nilai-nilai, tujuan, harapan, dan aspirasi pendidikan.
44
3. Nilai edukatif dari keikutsertaan dalam proses Decision Making baik bagi rakyat, kekuatan politik mapun sistem pendidikan itu
sendiri.
Dengan asumsi di atas tampak bahwa Participatory Planning merupakan gerakan demokratis, yang memunculkan tipe baru
planning dengan sebutan Bottom Up Planning. Persoalan pokok yang muncul adalah pemisahan antara Planning dari Policy Making
Process dalam struktur kekuasaan, mempengaruhi Participatory Planning ini. Esensi Participatory Planning adalah agar perencanaan
dan Policy Making dapat menyatu hingga dalam praktek, kesulitan- kesulitan yang muncul dapat dihindarkan. Pemisahan seperti di atas
dalam Technocratic Planning begitu jelas, hingga acap kali timbul konflik antara Policy Making Group dengan Plan.
Kecemasan terhadap kemunculan Participatory Planning adalah orientasinya yang bersifat jangka pendek yang tidak cocok dengan
proses pendidikan yang merupakan proses jangka panjang yang menentukan generasi mendatang. Orientasi jangka pendek dari sisi
ini jelas tidak menguntungkan pertumbuhan generasi mendatang. Adapun kritik terhadap Technocratic Planning adalah terlalu
menekankan pada model Quantitave Analysis dengan ketentuan yang ketat hingga mengurangi fleksibilan sistem pendidikan dalam
merespon terhadap segala perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat.
Perbedaan antara Technocratic Planning dan Participatory Planning merupakan dilemma karena kedua jenis planning ini
mempunyai asumsi yang valid. Persoalan yang muncul adalah sejauh mana Quantitative Analysis itu dapat dikurangi dan sejauh mana
45
orientasi jangka pendek dari Participatory Planning dapat dieliminir hingga planning tetap bukan alat untuk mewujudkan kepentingan
politik tertentu tapi alat untuk membangun bangsa. Perpaduan antara kedua jenis planning yang tumbuh dalam praktek ini diperlukan
karena akan menentukan posisi dan peran perencanaan pendidikan pada masa mendatang.
Dari kajian yang telah diungkap dari evolusi Educational Planning baik secara teori mapun praktek, tampak beberapa faktor penting
yang berperan dalam proses evolusi ini. Faktor-faktor tersebut adalah: a interest berbagai kekuatan politik dalam sistem politik yang dianut
yang masing-masing negara, b struktur sistem manajemen pendidikan yang dianut, c berbagai disiplin ilmu yang mewarnai
corak praktek Educational Planning. Struktur politik berpengaruh pada kemunculan Technocratic
Planning dan Participatory Planning dan perannya dalam Policy Decisions untuk pembangunan pendidikan seperti telah diuraikan
terdahulu. Sistem administrasi pendidikan nasional menentukan secara praktis tempat dan posisi planning. Pada negara dengan
sistem pemerintahan yang sentralistis, umpamanya, letak planning berada pada Kemeterian Pendidikan di tingkat nasional. Keterkaitan
antara Planning dan Policy Decision dapat terlihat dengan jelas pada tingkat nasional ini. Sebaliknya pada negara dengan sistem
desentralisasi, planning terletak pada tingkat pusat dan tingkat daerah lokal, dengan tanggung jawab yang berbeda sesuai dengan
pembagian kekuasaan yang ada. Berbagai disiplin ilmu tampak jelas mempengaruhi substansi
planning dalam proses pertumbuhannya. Disiplin ekonomi mula-mula
46
mendominir perencanaan, kemudian muncul sosiologi dalam proses evolusi teori perencanaan.
Operation Research dan Systems Theory mempengaruhi teknik Quantitative perencanaan pada Technocratic Planning. Terakhir
pendidikan dan ilmu politik masuk ke dalam perencanaan dan menyebabkan adanya Shift pergeseran dari Technocratic Planning
dengan orientasi kuantitatif menuju Conflictual Planning dengan orientasi pada aspek kualitatif.
Evaluasi pada dasarnya menegaskan begitu pentingnya perencanaan pendidikan dan hasil-hasil potensialnya sesuai dengan
kebutuhan, lebih jauh sebaiknya evaluasi muncul sepanjang proses perencanaan. Pada sejumlah kasus evaluasi parsial dibuat dengan
menggunakan uji-uji kuantitatif atau pembenarannya didasarkan pada pengalaman untuk menolak, memodifikasi, mengkombinasi, atau
menerima hasilnya. Perencana pendidikan harus mengetahui nilai-nilai relatif yang
dimasukkan ke dalam berbagai sasaran yang dibuat untuk perencanaan. Tidak hanya mengetahui nilai-nilai yang menjadi fokus
perhatian, tetapi juga yang ada pada latar belakang yang sebaiknya tidak mengganggu sementara itu sasaran-sasarannya tercapai.
Karena itu, teknik evaluasi tidak sederhana. Salah satu kunci yaitu bagaimana seorang perencana disiapkan
untuk mengorbankan pandangannya untuk mencapai sasaran- sasaran tertentu agar mencapai sasaran-sasaran lainnya lebih baik.
Jenis evaluasi ini sangat susah dan membuat banyak kesulitan bagi perencana yag tidak akrab dengan manfaat teori.
Beberapa evaluasi komparatif dibuat jika sebuah perubahan muncul yang diakibatkan oleh tindakan yang direncanakan. Akibatnya
47
mungkin dapat diantisipasi atau tidak dapat diantisipasi, tetapi mungkin dapat dievaluasi hanya berkaitan dengan hasil-hasilnya. Ini
pada akhirnya dapat diungkapkan pada banyak kesempatan sebagai keuntungan atau biaya tergantung pada model-model kepentingan
masyarakat yang terlibat. Sasaran-sasaran kepentingan masyarakat ini sebagai sebuah tujuan tunggal terakhir.
Di dalam situasi yang demokratis sebuah kepentingan umum mungkin terlihat samar-samar, untuk masyarakat yang beragam dapat
diterapkan tanpa memandang kepentingan individu. Dengan demikian evaluasi dapat muncul dalam tiga cara, yaitu: a cara pandang
utilitarian, kepentingan publik dapat ditentukan oleh pendapatan dan pengeluaran, bergantung pada apa yang sangat penting bagi individu
yang berbeda, b cara quasi utilitarian menganggap manfaat untuk individu relevan dengan jumlahnya, tetapi nilai terbesar diberikan
kepada beberapa orang yang tertarik daripada yang lainnya, c cara individu yang berkualitas, dalam hal lain menganggap bahwa akhir
dari kepentingan publik sebagai pertimbangan dari banyak pilihan kelas-kelas tertentu yang mempertimbangkan dengan tepat.
Mekanisme sebaiknya dipilih untuk pengevaluasian,sehingga hasilnya menjadi sangat memuaskan. Mula-mula evaluasi mengenai
nilai harus dijalankan, bentuk dasar harus ditentukan dan sasaran harus dikurangi kesamarannya, sehingga menjadi kongkrit. Kedua,
pandangan waktu ke depan harus tepat. Dalam perencanaan jangka pendek penggunaan niali-nilai yang dipilih harus diterima secara
politis, sehingga perencanaan dapat diimplementasikan. Perencanaan jangka menengah maksudnya menyeleksi nilai-nilai hasil pendidikan
atau Public Relation yang dapat ditolak, yang tentu saja menjadi kepentingan masyarakat. Perencanaan jangka panjang harus
48
dievaluasi di dalam bentuk baku, baru atau program radikal dari efektivitas pendidikan sesuai dengan keinginan masyarakat.
Beberapa metode identifikasi nilai untuk evaluasi telah tersedia. Ini berisi mengenai opini masyarakat, survei antrapologi, dan dengar
pendapat, interview dengan pemimpin non formal, analisis yang menekankan isi, belajar ukuran dan undang-undang pembelajaran
yang baru, tingkah laku administratif dan pembelajaran dan anggaran sekolah terdahulu.
Karena evaluasi menggunakan keseluruhan urutan pendidikan, gagasan berkaitan dengan sasaran yang tepat sangat tergantung
pada inti masalah tugas perencana pendidikan. Jadi evaluasi terhadap sasaran-sasaran ini harus diberikan pertama-tama dengan
menekankan pada proses perencanaan pendidikan yang komprehensif.
Banyak kerja pada bidang evaluasi diakui dan berada pada level filosofis yang tinggi. Aspek praktis dari sasaran-sasaran membawa
pada definisi-definisi dan detail operasional masalah evaluasi. Metode teknis yang dibahas lebih dapat diterima dan makin sering digunakan
oleh para perencana pendidikan.
E. Analisis dan Proyeksi Kebutuhan dan Penyediaan Tenaga pendidk dan Kependidikan