Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

Terdapat kenyataan dimana terjadi kecenderungan pada masyarakat saat ini terutama yang tinggal di kota besar untuk tidak terlalu mempedulikan adanya tata krama atau bahkan sanksi sosial yang mungkin mereka terima. Pengaruh budaya luar yang semakin gencar diera globalisasi ini membuat semakin banyak aturan-aturan yang sebenarnya baik menjadi bergeser makna dan penghayatannya, termasuk juga nilai tata krama dalam budaya Jawa. Masyarakat Jawa terutama remaja memegang peranan penting sebagai penerus tradisi dan budaya. Budaya modern yang masuk membawa pengaruh yang baik dan buruk bagi remaja. Pengaruh yang buruk akan menjauhkan remaja dari kesadaran akan adanya pandangan-pandangan budaya asli Jawa. Masyarakat kota terdiri dari berbagai individu dengan latar belakang budaya yang berbeda dan hal ini sekiranya yang membuat remaja Jawa di kota lebih terbuka terhadap hal-hal baru, dan tidak terikat terhadap nilai-nilai yang dianut orang tua. Ariani, dkk. 2002 dalam penelitiannya mengatakan, di lingkungan keluarga ada beberapa tata krama yang mulai bergeser terutama tata krama yang berkaitan dengan berbicara, tata cara mengeluarkan pendapat, dan tata cara bertegur sapa. Dikalangan generasi muda dewasa ini sudah tidak lagi digunakan bahasa Jawa krama halus dalam percakapan sehari-hari terhadap orang tua. Adanya pergeseran kedudukan seperti itu mengakibatkan unggah- ungguh , tata krama, etika anak muda kepada orang tua tidak terlihat. Remaja Jawa terlihat mulai meninggalkan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Jawa yang menjadi pedoman untuk mengatur perilaku mereka. Hal ini berpengaruh juga pada bagaimana remaja Jawa berperilaku bertata krama kepada orang lain sehingga seringkali menimbulkan benturan dengan pihak orang tua atau lingkungan yang menginginkan pembinaan tata krama yang ketat. Remaja kota mendapat pengaruh budaya asing yang terkadang berlawanan dengan apa yang mereka dapatkan dari pembina mereka orang tua, guru, lingkungan, dan lain-lain. Remaja kota memiliki karakter yang berbeda dengan remaja desa karena anak-anak muda di kota adalah kelompok yang memiliki akses paling terbuka ke sumber informasi. Mereka memungut informasi di mana saja, dari televisi, majalah, radio bahkan sobekan poster di pinggir jalan Swastika, 2003. Mereka punya kesempatan untuk memanfaatkan waktu luang di pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan dan ruang-ruang publik yang memungkinkan mereka untuk melakukan interaksi dan pertukaran informasi Swastika, 2003. Remaja Jawa yang tidak mampu mengintegrasikan gencarnya budaya modern yang sedang melanda dengan eksistensi nilai-nilai budaya Jawa akan segera kehilangan kesadaran akan adanya filosofi budaya Jawa yang mengandung nilai-nilai kearifan Wijayanti, 2005. Remaja Jawa tersebut seringkali menimbulkan kesalahpahaman atau benturan dengan pihak orang tua dalam pergaulan sehari-hari yang pada akhirnya dapat menimbulkan pertentangan sosial yang mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat seperti ugal-ugalan, mabuk-mabukan, kebut-kebutan, dan sebagainya Soehardi dalam Ariani, dkk., 2005. Lain daerah, tentu lain pula kondisi masyarakat yang terdapat di dalamnya. Remaja di desa tidak dapat mengingkari bahwa dalam lingkungan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mereka adat istiadat masih dipegang kuat Denprita, 2005. Karakteristik remaja desa di Indonesia adalah terikat pada nilai-nilai orang tua dan masyarakat sehingga mereka memiliki cara berpikir yang serupa dengan orang tua dan tergantung pada orang tua Sugiyanto, 1981. Remaja desa biasanya hidup dalam lingkungan yang masih mememegang teguh tata krama sehingga sejak kecil remaja di desa dikenalkan dengan aturan-aturan oleh orang tuanya. Telah disebutkan oleh Swastika 2003 bahwa remaja desa memiliki akses yang terbatas ke sumber informasi bila dibandingkan dengan remaja kota. Informasi disini dapat diartikan sebagai budaya asing yang dapat mempengaruhi perilaku remaja di desa. Keterbatasan informasi tersebut sekiranya adalah yang menimbulkan perbedaan sikap pada remaja desa terhadap remaja kota dalam hal tata krama Jawa. Uraian diatas belum memberikan gambaran yang pasti bagaimana sebenarnya sikap remaja desa dan kota terhadap tata krama Jawa. Karena di desa sendiri sudah banyak perubahan seperti yang disebutkan oleh Denprita 2005 bahwa tingkat aktivitas hedonis remaja desa tergolong tinggi. Mereka biasanya meniru teman mereka yang terpengaruh media maupun urbanisasi. Karakter remaja desa yang mulai berubah pun dapat menyebabkan remaja desa sekarang menjadi lebih terbuka untuk menerima hal-hal baru. Keadaan di kota sendiri bisa terjadi sebaliknya yaitu tidak selalu jauh dari pembinaan yang baik mengenai tata krama. Sebagai contoh, daerah Kelurahan Kadipaten Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan daerah perkotaan dan letaknya dekat dengan Kraton, memiliki pembinaan tata krama yang terlihat menonjol PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Taryati, dkk., 1995. Kesimpulannya adalah, penelitian ini menjadi penting karena belum ada kepastian akan adanya perbedaan sikap antara remaja Jawa di kota dan di desa terhadap tata krama Jawa. Hal inilah yang menimbulkan rasa keingintahuan peneliti untuk mengetahui apakah ada perbedaan sikap antara remaja desa dengan remaja kota terhadap nilai tata krama budaya Jawa khususnya dalam menghormati orang tua. Maksud dari sikap ini adalah bagaimana remaja desa maupun kota mempersepsikan, memaknai, muatan-muatan emosiperasaannya serta kecenderungan untuk berperilaku terkait dengan budaya Jawa, khususnya masalah tata krama Jawa atau sopan santun dalam menghormati orang tua.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan sikap antara remaja desa dengan remaja kota terhadap tata krama budaya Jawa dalam menghormati orang tua?

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui apakah ada perbedaan sikap antara remaja desa dengan remaja kota terhadap tata krama budaya Jawa dalam menghormati orang tua.

D. Manfaat Penelitian

a. Praktis Sebagai sumber data yang dapat digunakan untuk menindak lanjuti hasil penelitian ini. Misalnya kajian dalam penanaman nilai-nilai PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pelajaran muatan lokal di sekolah atau intervensi lain yang diperuntukkan bagi remaja dalam meningkatkan apresiasi terhadap budaya Jawa. b. Teoretis Menambah khazanah dan wawasan dalam ilmu Psikologi sosial. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II LANDASAN TEORI

A. Sikap 1.

Pengertian Sikap Sikap merupakan suatu hal yang cukup banyak dibicarakan dalam dunia psikologi. Hal ini tampaknya disebabkan oleh sifat dari sikap itu sendiri yang merupakan penghubung antara keadaan psikologis individu dengan orientasi objek dalam dunia individu itu sendiri Newcomb dalam Jahoda Warren, 1970. Sikap ialah suatu hal yang menentukan sifat, hakekat, baik perbuatan sekarang maupun yang akan datang Ahmadi, 1991. Menurut Chaplin 2000 sikap merupakan satu predisposisi atau kecenderunan yang relatif stabil dan berlangsung terus-menerus untuk bertingkah laku atau untuk mereaksi dengan satu cara tertentu terhadap pribadi lain, lembaga, atau persoalan tertentu. Sikap juga merupakan kecenderungan untuk mereaksi terhadap orang, institusi atau kejadian, baik secara positif maupun negatif. Sikap adalah suatu tingkatan afeksi baik yang bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis Thurstone dalam Walgito, 1991. Afeksi yang positif yaitu afeksi senang, sedangkan afeksi negatif adalah afeksi yang tidak menyenangkan. Sikap sendiri melibatkan proses evaluasi, seperti yang diungkapkan oleh Eagly Chaiken, 1993 www.sun.science.wayne.edu, sikap adalah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tendensi psikologis yang diekspresikan dengan cara mengevaluasi sesuatu dengan tingkatan seperti rasa suka dan tidak suka. Sikap adalah sesuatu yang dipelajari dan bersifat relatif dan meliputi tendensi atau predisposisi untuk mengevaluasi seseorang, peristiwa, atau situasi pada suatu waktu dan untuk bertindak berdasarkan evaluasi tersebut Zanden, 1984. Senada dengan Zanden, Katz dan Stotland dalam Lindgren, 1969 mereka mendefinisikan sikap sebagai suatu tendensi individual atau predisposisi untuk mengevaluasi suatu objek atau simbol dari objek tersebut pada suatu waktu. Newcomb Jahoda Warren, 1970 mendefinisikan sikap sebagai suatu organisasi proses-proses psikologis individu yang diinferensikan dari perilakunya yang ditujukan pada aspek-aspek diluar dirinya yang ia peroleh dari aspek-aspek lainnya. Gerungan 1988 mengungkapkan bahwa sikap terhadap objek tertentu dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai oleh kecenderungan bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek itu. Sikap juga merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara yang tertentu yang dipilihnya Walgito, 1991.