Perbedaan sikap terhadap tata krama jawa dalam menghormati orang tua pada remaja desa dan remaja kota.

(1)

ABSTRAK

RIO HARTOMO (2008). Perbedaan Sikap Terhadap Tata Krama Jawa Dalam Menghormati Orang Tua Pada Remaja Desa dan Remaja Kota. Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua pada remaja desa dan remaja kota. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua sebagai variabel tergantung, sedangkan remaja desa dan remaja kota sebagai variabel bebas.

Secara keseluruhan, jumlah subyek dalam penelitian ini terdiri dari 122 orang yang berada pada rentangan usia antara 15-18 tahun. Dengan rincian subjek sebagai berikut; 61 siswa SMK Diponegoro kelas satu, 2 dan 3, serta 61 siswa SMU Marsudi Luhur kelas satu, 2 dan 3, keduanya merupakan keturunan suku Jawa.

Instrument penelitian ini adalah skala sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua yang terdiri dari 45 aitem dengan koefisien alpha

sebesar 0.896. Melalui analisis data dengan uji-t diperoleh p>0.05 (p= 0,302), sehingga disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua pada remaja desa dan remaja kota.


(2)

ABSTRACT

RIO HARTOMO (2008). The Difference Attitude About Javanese Manners Within Respecting Their Parents Between Adolescent Villager and Adolescent Townsman. Faculty of Psychology University of Sanata Dharma Yogyakarta.

The purpose of this research is to find out whether there is a difference in the attitude about Javanese manners within respecting their parents between adolescent villager and adolescent townsman. The variables as used in this research are attitude about Javanese manners within respecting their parents as dependent variable, whereas adolescent villager and adolescent townsman as an independent variable.

Over all, the total subjects of this research are 122 people in the age range of 15-18 years old. In more detail the subjects of this research are; 61 SMK Diponegoro’s first, 2nd, 3rd degree students, and 61 SMU Marsudi Luhur’s first, 2nd, 3rd degree students. Both of them are Javanese.

This research instrument is a measurement scale of the attitude about Javanese manners within respecting their parents which consist of 45 items with an alpha coefficient of 0.896. Through the analysis of the data using t-test, it was found that p> 0.05 (p= 0,302), thus it is inferential that there is no difference attitude about Javanese manners within respecting their parents between adolescent villager and adolescent townsman.


(3)

PERBEDAAN SIKAP TERHADAP TATA KRAMA JAWA

DALAM MENGHORMATI ORANG TUA

PADA REMAJA DESA DAN REMAJA KOTA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh: Rio Hartomo NIM: 029114135

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

PERBEDAAN SIKAP TERHADAP TATA KRAMA JAWA

DALAM MENGHORMATI ORANG TUA

PADA REMAJA DESA DAN REMAJA KOTA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh: Rio Hartomo NIM: 029114135

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2008


(5)

(6)

(7)

LEMBAR MOTTO

Aja sira wani marang wong tuwanira, jalaran sira bakal kena bendhu

saka Kang Murbeng Dumadi.

Wong kang ora weruh tatakrama udanagara (unggah-ungguh), iku

padha karo ora bisa ngrasakake rasa nem warna

(legi, kecut, asin, pedhes, sepet, lan pait).

Wong tuwa kang ora ngudi kabecikan sarta ora ngerti marang

udanagara (trapsila, unggah-ungguh) lan tata krama, kuwi sejatine

dudu panutane putra wayah.

www.sekarjagad.org

“Witing trisno jalaran soko kulino”

(Pembiasaan dan pengenalan secara baik adalah akar dari kecintaan kasih yang harmonis)


(8)

(9)

LEMBAR PERSEMBAHAN

Karya sederhan a in i kupersem bahkan un tuk bapak ibuku tercin ta, kakak dan adikku, seseoran g yan g kukasihi, sahabat-sahabatku, ikan -ikan di

aquarium ku, serta ilm u pen getahuan , dem i kem ajuan bersam a.


(10)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 18 Januari 2008 Penulis,

Rio Hartomo


(11)

ABSTRAK

RIO HARTOMO (2008). Perbedaan Sikap Terhadap Tata Krama Jawa Dalam Menghormati Orang Tua Pada Remaja Desa dan Remaja Kota. Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua pada remaja desa dan remaja kota. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua sebagai variabel tergantung, sedangkan remaja desa dan remaja kota sebagai variabel bebas.

Secara keseluruhan, jumlah subyek dalam penelitian ini terdiri dari 122 orang yang berada pada rentangan usia antara 15-18 tahun. Dengan rincian subjek sebagai berikut; 61 siswa SMK Diponegoro kelas satu, 2 dan 3, serta 61 siswa SMU Marsudi Luhur kelas satu, 2 dan 3, keduanya merupakan keturunan suku Jawa.

Instrument penelitian ini adalah skala sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua yang terdiri dari 45 aitem dengan koefisien alpha

sebesar 0.896. Melalui analisis data dengan uji-t diperoleh p>0.05 (p= 0,302), sehingga disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua pada remaja desa dan remaja kota.


(12)

ABSTRACT

RIO HARTOMO (2008). The Difference Attitude About Javanese Manners Within Respecting Their Parents Between Adolescent Villager and Adolescent Townsman. Faculty of Psychology University of Sanata Dharma Yogyakarta.

The purpose of this research is to find out whether there is a difference in the attitude about Javanese manners within respecting their parents between adolescent villager and adolescent townsman. The variables as used in this research are attitude about Javanese manners within respecting their parents as dependent variable, whereas adolescent villager and adolescent townsman as an independent variable.

Over all, the total subjects of this research are 122 people in the age range of 15-18 years old. In more detail the subjects of this research are; 61 SMK Diponegoro’s first, 2nd, 3rd degree students, and 61 SMU Marsudi Luhur’s first, 2nd, 3rd degree students. Both of them are Javanese.

This research instrument is a measurement scale of the attitude about Javanese manners within respecting their parents which consist of 45 items with an alpha coefficient of 0.896. Through the analysis of the data using t-test, it was found that p> 0.05 (p= 0,302), thus it is inferential that there is no difference attitude about Javanese manners within respecting their parents between adolescent villager and adolescent townsman.


(13)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang dilimpahkanya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan judul “perbedaan sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua pada remaja desa dan remaja kota” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Selama proses pengerjaan skripsi ini, penulis mendapat banyak bantuan, dukungan dan dorongan dari berbagai pihak sehingga karya ini dapat terwujud. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Edi Suhartanto, Selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta untuk segala bimbingan dan nasehat beliau selama penulis menimba ilmu di Fakultas Psikologi ini.

2. Bapak Minta Istono, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya untuk selalu mengingatkan penulis dimanapun dan kapanpun.

3. Pihak-pihak yang terlibat sebagai responden dalam penelitian ini, kepala sekolah, dan guru-guru yang bersedia meluangkan jam mengajarnya. Terima kasih atas segala bantuan dan juga kerelaan membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Ibuku yang selalu mendoakan kelulusanku. Trimakasih atas doanya, nasehatnya dan yang tidak kalah penting adalah kucuran dananya, hehehe...

5. Bayu my brother, atas bantuannya mengetik beberapa halaman. Setidaknya bisa ngetik 10 jari ada gunanya kan....

6. Mas Brian the big brother, yang selalu memotivasi tanpa kenal lelah (kapan tesisnya selesai?).


(14)

7. Teman-temanku. Joe yang bantuin cari sekolahan (fiuh..., it’s the hardest

part, thanks bro), Tanti, yang banyak memberi masukan (baik dalam

bentuk ilmu maupun logistik, sampaikan trimakasih buat mamahmu ya,

suguhanya enak, hehe..), dan Lisna yang menjadi motivasi (lulusnya

cepet), serta semua teman-teman angkatan ’02 (Pandji, Ohaq, Obet,

Vincen, Ciryl, Dedi, dan semua yang belum disebut), tnx yaa... yang sudah lulus moga cepet dapet kerja, yang belum moga cepet lulus...

8. To my best part of me, Aril Halida. Kau membuat hidupku lebih bermakna

dengan rasa sayangmu, cintamu, perhatianmu, nasehatmu, dorongamu, motivasimu, sampai ancamanmu, pokoknya u complete me deh...

9. Keluarga Aril. Mamah, papah, mas Neo, serta sepupu-sepupu dan keponakan-keponakannya atas penerimaan yang tulus yang telah menganggapku sebagai bagian dari keluarga, trimakasih banyak.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu dengan terbuka, saya menerima saran dan kritik demi perbaikan dan kesempurnaan karya ini. Besar harapan saya agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Penulis

Rio Hartomo


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN……… iii

HALAMAN MOTO ………. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN……… v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……… vi

ABSTRAK………. vii

ABSRACT……….. viii

KATA PENGANTAR………... ix

DAFTAR ISI ………. xi

DAFTAR TABEL……….. xiv

DAFTAR LAMPIRAN……….. xv

BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang……… 1

B. Rumusan Masalah ……….. 7

C. Tujuan Penelitian..……….. 7

D. Manfaat Penelitian……….. 7

BAB II DASAR TEORI………. 9

A. Sikap ………. 9

1. Pengertian Sikap……… 9

2. Struktur Sikap……… 12

3. Pembentukan Sikap……… 15

4. Fungsi Sikap……….. 18

B. Tata Krama Jawa ………. 20

1. Pengertian Tata Krama Jawa………. 20

2. Tata Krama Jawa Dalam Menghormati Orang Tua………... 22

Aspek Tata Krama Jawa………. 24


(16)

C. Sikap Terhadap Tata Krama Jawa

Dalam Menghormati Orang Tua... 25

D. Remaja………. 27

1. Perkembangan Sosial Remaja……….. 29

E. Pengertian Kota dan Desa ... 30

1. Pengertian Kota... 30

2. Pengertian Desa... 32

F. Perbedaan Remaja Desa dan Remaja Kota... 36

1. Karakter Remaja Desa... 36

2. Karakter Remaja Kota... 37

G. Perbedaan Sikap Remaja Kota Dan Remaja Desa Terhadap Tata Krama Jawa dalam Menghormati Orang Tua... 40

H. Hipotesa Penelitian... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 42

A. Jenis Penelitian... 42

B. Identifikasi Variabel... 42

C. Definisi Operasional... 42

1. Remaja... 42

2. Sikap Terhadap Tata Krama Jawa Dalam Menghormati Orang Tua... 44

D. Subyek Penelitian ... 46

E. Prosedur penelitian... 47

F. Metode dan Pengumpulan Data……… 47

1. Metode Penyusunan Skala……….... 48

G. Validitas dan Realibilitas Alat Ukur... 49

1. Validitas... 49

2. Uji Kesahihan Aitem... 50

3. Realibilitas... 51

H. Analisis Data... 52


(17)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 53

A. Pelaksanaan Penelitian... 53

B. Hasil Penelitian... 54

1. Uji validitas... 54

2. daya diskriminasi aitem... 54

3. Uji Reliabilitas... 55

4. Uji asumsi analisis data... 56

5. uji Hipotesisi penelitian... 57

6. Kategori Skor Penelitian... 59

C. Pembahasan... 60

BAB V PENUTUP 65

A. Kesimpulan... 65

B. Saran... 65

DAFTAR PUSTAKA... 67

LAMPIRAN... 70


(18)

DAFTAR TABEL

TABEL

1. Spesifikasi sikap terhadap Tata Krama Jawa... 48 2. Pemberian Skor Terhadap Skala Sikap

Terhadap Tata Krama Jawa... 48 3. Distribusi Usia Kelompok Remaja Desa

dan Remaja Kota... 53 4. Proporsi Sebaran Aitem Yang Gugur Setelah Uji

Coba... 55 5. Ringkasan Uji-t (hipotesis)... 58 6. Ringkasan Uji-t (kategorisasi)... 59


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A

1. Data Penelitian Kelompok Remaja Desa dan Kelompok Remaja Kota

LAMPIRAN B

1. Uji Reliabilitas Alpha Skala Penelitian 2. Uji Reliabilitas Alpha Aitem Sahih

LAMPIRAN C

1. Data Penelitian Sahih Kelompok Remaja Desa dan Kelompok Remaja Kota

LAMPIRAN D

1. Analisa Statistik: Perbedaan Sikap Terhadap Tata Krama Jawa Dalam Menghormati Orang Tua Pada Remaja Desa dan Remaja Kota

LAMPIRAN E

1. Skala Penelitian 2. Surat Ijin Penelitian


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ciri masyarakat Indonesia saat ini adalah sebagai masyarakat transisi yang sedang beranjak dari keadaanya yang tradisional menuju kepada kondisi yang lebih modern (Sarwono, 1989). Masyarakat Indonesia dihadapkan pada budaya asing yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai dalam budaya tradisional yang telah lama menjadi pedoman dalam berperilaku. Budaya Jawa sebagai bagian dari budaya tradisonal Indonesia juga mengalami hal yang sama. Seiring dengan laju perkembangan informasi dan komunikasi yang begitu pesat, nilai-nilai tata krama, terutama bagi generasi muda sudah semakin menipis. Perkembangan tersebut berpengaruh pada memudarnya aturan-aturan tata krama Jawa.

Orang Jawa yang hidup di masa kini mulai meninggalkan beberapa aturan dalam tata krama. Pada intinya, sudah ada pergeseran pandangan terhadap nilai-nilai budaya Jawa. Misalnya saja masalah penggunaan bahasa, dimana anak muda yang berkomunikasi dalam bahasa Jawa krama halus kepada orang tuanya sudah jarang ditemui. Banyak pasangan-pasangan muda Jawa yang justru hanya menggunakan bahasa Indonesia tanpa mengenalkan atau membiasakan bahasa Jawa krama halus kepada anaknya, karena menganggap bahasa Jawa tidak penting lagi atau bisa juga disebabkan karena tuntutan masyarakat modern yang ingin serba praktis dan cepat sehingga mereka merasa tidak ada waktu untuk mengajarkan hal itu. Padahal pengenalan


(21)

bahasa krama halus sejak dini sangat penting karena komunikasi orang Jawa dalam pergaulan sangat memperhatikan unggah-ungguhing basa. Kepribadian seseorang bisa dicitrakan dalam bentuk kemampuan berbahasa, penggunaan yang tepat akan mendatangkan sikap hormat dan pilihan kata yang benar menyebabkan urusan menjadi lancar (Purwadi, 2005).

Tata krama adalah aturan yang diajarkan secara turun-temurun yang berguna dalam bergaul dengan orang lain. Tata krama Jawa mencakup aturan-aturan dalam bersikap dan bergaul terhadap orang yang lebih tua atau muda, makan, duduk, berpakaian dan bertuturkata. Tata krama ini menentukan bagaimana seseorang harus bersikap terhadap orang lain, yang tujuannya adalah untuk menjaga keselarasan dalam hidup bermasyarakat.

Tata krama yang merupakan bagian dari budaya Jawa pada dasarnya diajarkan secara turun-temurun. Seseorang yang memiliki garis keturunan Jawa cenderung mempelajari budaya Jawa dari orang tua dan lingkungannya. Misalnya saja anak akan melihat, mengamati, dan mungkin mengaplikasikan bagaimana orang tua bertutur kata ataupun bersikap terhadap orang lain. Orang tua dapat mengajarkan bagaimana anak seharusnya berperilaku dilingkungan sosialnya. Tidak jarang pula orang tua yang masih kental dengan didikan Jawa cenderung akan memberikan suatu bentuk hukuman bilamana anak dianggap telah bersikap tidak sopan terhadap orang tua. Hal ini dilakukan karena menganggap perilaku anak tersebut dapat berpengaruh terhadap nama baik keluarga dihadapan orang lain bilamana anak berperilaku serupa. Sanksi


(22)

terhadap pelanggaran tata krama juga berlaku ditingkat masyarakat, misalnya saja menjadi bahan pergunjingan atau sindiran dari orang sekitarnya.

Melihat realita ini, dapat dikatakan bahwa orang Jawa sebenarnya sangat menjunjung tinggi nilai tata krama kepada orang lain. Sikap tersebut umumnya ditujukan terhadap orang yang lebih tua atau dituakan karena orang Jawa sangat mementingkan adanya kerukunan dan keselarasan dalam hidup bermasyarakat. Di dalam tata krama itu pula terdapat suatu pedoman bagaimana cara seseorang menghargai keberadaan orang lain.

Tata krama bagi orang Jawa sangat penting artinya, karena tata krama dapat mencerminkan peradaban suatu bangsa. Orang Jawa pada umumnya beranggapan bahwa penampilan lahir pencerminan dari batin. Penampilan lahir yang dimaksud antara lain adalah tata krama. Seseorang yang dapat bertata krama dengan baik akan mendapat sanjungan, begitu sebaliknya, akan dipandang rendah oleh orang lain. Jadi tata krama bagi orang Jawa merupakan pedoman hidup dalam pergaulan bermasyarakat dan berbangsa, yang sudah berlaku secara turun-temurun (Taryati dalam Ariani, dkk., 2002). Individu yang bisa memahami tata krama dengan baik, dia akan dapat membedakan hal-hal yang baik dan buruk dalam menghadapi budaya asing. Akan tetapi bagi mereka yang tidak memahami tata krama dengan baik, akan sangat rentan bagi mereka dalam menerima begitu saja budaya asing tanpa memilah baik buruknya. Jadi, tata krama dapat berfungsi sebagai pedoman untuk memilah-milah baik buruknya budaya asing yang masuk.


(23)

Terdapat kenyataan dimana terjadi kecenderungan pada masyarakat saat ini terutama yang tinggal di kota besar untuk tidak terlalu mempedulikan adanya tata krama atau bahkan sanksi sosial yang mungkin mereka terima.

Pengaruh budaya luar yang semakin gencar diera globalisasi ini membuat semakin banyak aturan-aturan yang sebenarnya baik menjadi bergeser makna dan penghayatannya, termasuk juga nilai tata krama dalam budaya Jawa.

Masyarakat Jawa terutama remaja memegang peranan penting sebagai penerus tradisi dan budaya. Budaya modern yang masuk membawa pengaruh yang baik dan buruk bagi remaja. Pengaruh yang buruk akan menjauhkan remaja dari kesadaran akan adanya pandangan-pandangan budaya asli Jawa. Masyarakat kota terdiri dari berbagai individu dengan latar belakang budaya yang berbeda dan hal ini sekiranya yang membuat remaja Jawa di kota lebih terbuka terhadap hal-hal baru, dan tidak terikat terhadap nilai-nilai yang dianut orang tua. Ariani, dkk. (2002) dalam penelitiannya mengatakan, di lingkungan keluarga ada beberapa tata krama yang mulai bergeser terutama tata krama yang berkaitan dengan berbicara, tata cara mengeluarkan pendapat, dan tata cara bertegur sapa. Dikalangan generasi muda dewasa ini sudah tidak lagi digunakan bahasa Jawa krama halus dalam percakapan sehari-hari terhadap orang tua. Adanya pergeseran kedudukan seperti itu mengakibatkan unggah-ungguh, tata krama, etika anak muda kepada orang tua tidak terlihat. Remaja Jawa terlihat mulai meninggalkan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Jawa yang menjadi pedoman untuk mengatur perilaku mereka. Hal ini berpengaruh juga pada bagaimana remaja Jawa berperilaku (bertata krama)


(24)

kepada orang lain sehingga seringkali menimbulkan benturan dengan pihak orang tua atau lingkungan yang menginginkan pembinaan tata krama yang ketat.

Remaja kota mendapat pengaruh budaya asing yang terkadang berlawanan dengan apa yang mereka dapatkan dari pembina mereka (orang tua, guru, lingkungan, dan lain-lain). Remaja kota memiliki karakter yang berbeda dengan remaja desa karena anak-anak muda di kota adalah kelompok yang memiliki akses paling terbuka ke sumber informasi. Mereka memungut informasi di mana saja, dari televisi, majalah, radio bahkan sobekan poster di pinggir jalan (Swastika, 2003). Mereka punya kesempatan untuk memanfaatkan waktu luang di pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan dan ruang-ruang publik yang memungkinkan mereka untuk melakukan interaksi dan pertukaran informasi (Swastika, 2003). Remaja Jawa yang tidak mampu mengintegrasikan gencarnya budaya modern yang sedang melanda dengan eksistensi nilai-nilai budaya Jawa akan segera kehilangan kesadaran akan adanya filosofi budaya Jawa yang mengandung nilai-nilai kearifan (Wijayanti, 2005). Remaja Jawa tersebut seringkali menimbulkan kesalahpahaman atau benturan dengan pihak orang tua dalam pergaulan sehari-hari yang pada akhirnya dapat menimbulkan pertentangan sosial yang mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat seperti ugal-ugalan, mabuk-mabukan, kebut-kebutan, dan sebagainya (Soehardi dalam Ariani, dkk., 2005).

Lain daerah, tentu lain pula kondisi masyarakat yang terdapat di dalamnya. Remaja di desa tidak dapat mengingkari bahwa dalam lingkungan


(25)

mereka adat istiadat masih dipegang kuat (Denprita, 2005). Karakteristik remaja desa di Indonesia adalah terikat pada nilai-nilai orang tua dan masyarakat sehingga mereka memiliki cara berpikir yang serupa dengan orang tua dan tergantung pada orang tua (Sugiyanto, 1981). Remaja desa biasanya hidup dalam lingkungan yang masih mememegang teguh tata krama sehingga sejak kecil remaja di desa dikenalkan dengan aturan-aturan oleh orang tuanya. Telah disebutkan oleh Swastika (2003) bahwa remaja desa memiliki akses yang terbatas ke sumber informasi bila dibandingkan dengan remaja kota. Informasi disini dapat diartikan sebagai budaya asing yang dapat mempengaruhi perilaku remaja di desa. Keterbatasan informasi tersebut sekiranya adalah yang menimbulkan perbedaan sikap pada remaja desa terhadap remaja kota dalam hal tata krama Jawa.

Uraian diatas belum memberikan gambaran yang pasti bagaimana sebenarnya sikap remaja desa dan kota terhadap tata krama Jawa. Karena di desa sendiri sudah banyak perubahan seperti yang disebutkan oleh Denprita (2005) bahwa tingkat aktivitas hedonis remaja desa tergolong tinggi. Mereka biasanya meniru teman mereka yang terpengaruh media maupun urbanisasi. Karakter remaja desa yang mulai berubah pun dapat menyebabkan remaja desa sekarang menjadi lebih terbuka untuk menerima hal-hal baru. Keadaan di kota sendiri bisa terjadi sebaliknya yaitu tidak selalu jauh dari pembinaan yang baik mengenai tata krama. Sebagai contoh, daerah Kelurahan Kadipaten Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan daerah perkotaan dan letaknya dekat dengan Kraton, memiliki pembinaan tata krama yang terlihat menonjol


(26)

(Taryati, dkk., 1995). Kesimpulannya adalah, penelitian ini menjadi penting karena belum ada kepastian akan adanya perbedaan sikap antara remaja Jawa di kota dan di desa terhadap tata krama Jawa.

Hal inilah yang menimbulkan rasa keingintahuan peneliti untuk mengetahui apakah ada perbedaan sikap antara remaja desa dengan remaja kota terhadap nilai tata krama budaya Jawa khususnya dalam menghormati orang tua. Maksud dari sikap ini adalah bagaimana remaja desa maupun kota mempersepsikan, memaknai, muatan-muatan emosi/perasaannya serta kecenderungan untuk berperilaku terkait dengan budaya Jawa, khususnya masalah tata krama Jawa atau sopan santun dalam menghormati orang tua.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan sikap antara remaja desa dengan remaja kota terhadap tata krama budaya Jawa dalam menghormati orang tua?

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui apakah ada perbedaan sikap antara remaja desa dengan remaja kota terhadap tata krama budaya Jawa dalam menghormati orang tua.

D. Manfaat Penelitian

a. Praktis

Sebagai sumber data yang dapat digunakan untuk menindak lanjuti hasil penelitian ini. Misalnya kajian dalam penanaman nilai-nilai


(27)

pelajaran muatan lokal di sekolah atau intervensi lain yang diperuntukkan bagi remaja dalam meningkatkan apresiasi terhadap budaya Jawa.

b. Teoretis


(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Sikap

1. Pengertian Sikap

Sikap merupakan suatu hal yang cukup banyak dibicarakan dalam dunia psikologi. Hal ini tampaknya disebabkan oleh sifat dari sikap itu sendiri yang merupakan penghubung antara keadaan psikologis individu dengan orientasi objek dalam dunia individu itu sendiri (Newcomb dalam Jahoda & Warren, 1970). Sikap ialah suatu hal yang menentukan sifat, hakekat, baik perbuatan sekarang maupun yang akan datang (Ahmadi, 1991).

Menurut Chaplin (2000) sikap merupakan satu predisposisi atau kecenderunan yang relatif stabil dan berlangsung terus-menerus untuk bertingkah laku atau untuk mereaksi dengan satu cara tertentu terhadap pribadi lain, lembaga, atau persoalan tertentu. Sikap juga merupakan kecenderungan untuk mereaksi terhadap orang, institusi atau kejadian, baik secara positif maupun negatif.

Sikap adalah suatu tingkatan afeksi baik yang bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis (Thurstone dalam Walgito, 1991). Afeksi yang positif yaitu afeksi senang, sedangkan afeksi negatif adalah afeksi yang tidak menyenangkan.

Sikap sendiri melibatkan proses evaluasi, seperti yang diungkapkan oleh Eagly & Chaiken, 1993 (www.sun.science.wayne.edu), sikap adalah


(29)

tendensi psikologis yang diekspresikan dengan cara mengevaluasi sesuatu dengan tingkatan seperti rasa suka dan tidak suka. Sikap adalah sesuatu yang dipelajari dan bersifat relatif dan meliputi tendensi atau predisposisi untuk mengevaluasi seseorang, peristiwa, atau situasi pada suatu waktu dan untuk bertindak berdasarkan evaluasi tersebut (Zanden, 1984). Senada dengan Zanden, Katz dan Stotland (dalam Lindgren, 1969) mereka mendefinisikan sikap sebagai suatu tendensi individual atau predisposisi untuk mengevaluasi suatu objek atau simbol dari objek tersebut pada suatu waktu.

Newcomb (Jahoda & Warren, 1970) mendefinisikan sikap sebagai suatu organisasi proses-proses psikologis individu yang diinferensikan dari perilakunya yang ditujukan pada aspek-aspek diluar dirinya yang ia peroleh dari aspek-aspek lainnya.

Gerungan (1988) mengungkapkan bahwa sikap terhadap objek tertentu dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai oleh kecenderungan bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek itu.

Sikap juga merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara yang tertentu yang dipilihnya (Walgito, 1991).


(30)

Sikap seseorang terhadap objek adalah perasaan mendukung atau memihak ataupun perasaan tidak mendukung objek tersebut. Sikap adalah kesatuan komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi dalam diri individu yang kemudian menjadi kecenderungan dalam merespon suatu objek yang dalam manifestasinya sikap dapat diungkap berdasarkan penampilan suka atau tidak suka, maupun pernyataan positif atau negatif terhadap suatu objek (Sears, 1991).

Sikap adalah kecenderungan yang dipelajari untuk merespon secara kognitif, afektif, dan behavioral terhadap objek tertentu dengan cara tertentu (Huffman, 2000).

Definisi diatas memberikan gambaran bahwa sikap merupakan pandangan atau keyakinan yang terbentuk dari pengalaman seseorang terhadap stimulus tertentu. Pandangan ini kemudian direfleksikan pada suatu stimulus tertentu yang sama atau hampir sama dengan stimulus yang pernah dihadapi dalam pengalaman sebelumnya. Hasil dari refleksi ini adalah pandangan positif atau negatif individu terhadap stimulus tersebut, baik itu dalam ranah perasaan, pemikiran, maupun pada tindakan individu tersebut.

Bisa saja seseorang yang mengalami pengalaman tidak menyenangkan terhadap suatu stimulus tetap melakukan atau merespon positif terhadap stimulus tersebut secara konatif, walau sebenarnya secara afektif atau kognisi ia tidak menerima. Hal ini, umpamanya, terjadi ketika seseorang berada dalam suatu tekanan tertentu yang tidak bisa dilawannya.


(31)

Jadi, sikap seseorang merupakan suatu konstruk psikologis yang kompleks. Sikap tidak bisa dipisahkan antara aspek afektif, kognitif, maupun konasi. Sikap juga tidak bisa dipisahkan begitu saja dari pengalaman atau keyakinan seseorang terhadap suatu hal.

2. Struktur Sikap

Dalam teori skema triadik disebutkan bahwa struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek, yaitu komponen kognitif (kepercayaan atau believe), afektif (perasaan atau feelings) dan konatif (perilaku atau behavior).

Para psikolog sosial pada umumnya setuju bahwa sikap memiliki tiga komponen: kognitif, afektif dan behavioral. Komponen kognitif terdiri dari pemikiran dan kepercayaan, komponen afektif terdiri dari perasaan, dan komponen behavioral terdiri dari kecenderungan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap (Huffman, 2000).

Menurut Ahmadi (1991) tiap-tiap sikap memiliki 3 aspek:

a. Aspek kognitif: yaitu yang berhubungan dengan gejala mengenal fikiran. Ini berarti berwujud pengolahan, pengalaman dan keyakinan serta harapan-harapan individu tentang objek atau kelompok objek tertentu.


(32)

b. Aspek afektif: berwujud proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati antipati dan sebagainya yang ditujukan kepada objek-objek tertentu.

c. Aspek konatif: berwujud proses tendensi/ kecenderungan untuk berbuat sesuatu objek, misalnya: kecenderungan memberi pertolongan, menjauhkan diri dan sebagainya.

Azwar (2005) menguraikan tiga komponen tersebut sebagai berikut: a. Komponen Kognitif

Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. Apa yang dipercayai seseorang itu merupakan stereotipe atau sesuatu yang telah terpolakan dalam pikirannya. Kepercayaan datang dari apa yang telah individu lihat atau apa yang telah individu ketahui. Berdasarkan apa yang telah dilihat tersebut kemudian terbentuk suatu ide atau gagasan mengenai sifat atau karakteristik umum suatu objek. Sekali kepercayaan itu telah terbentuk, maka ia akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai apa yang dapat diharapkan dari objek tertentu.

Kepercayaan sebagai komponen kognitif tidak selalu akurat. Kadang kepercayaan itu terbentuk justru dikarenakan kurang atau tiadanya informasi yang benar mengenai objek yang dihadapi.

b. Komponen Afektif

Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini


(33)

disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Pada umumnya, reaksi emosional yang merupakan komponen afektif ini banyak dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang kita percayai sebagai benar dan berlaku bagi objek termaksud.

c. Komponen Konatif

Komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri sesorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku. Maksudnya, bagaimana orang berperilaku dalam situasi tertentu dan terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut.

Berdasarkan uraian tentang struktur sikap diatas, dalam penelitian ini peneliti bermaksud untuk memfokuskan pada ketiga komponen sikap itu sendiri, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan juga komponen konatif individu terhadap objek sikap. Hal ini dikarenakan ketiga komponen tersebut sangat tepat dalam menggambarkan sikap individu (responden) terhadap objek yang diteliti.


(34)

3. Pembentukan Sikap

Setiap orang dalam kehidupannya pasti terlibat dalam interaksi sosial dan dari interaksi inilah sikap terbentuk. Dalam interaksi tersebut, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya (Azwar, 2005). Dari proses interaksi ini muncullah faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap.

Ahmadi (1991) mengungkapkan bahwa faktor-faktor pembentukan sikap terdiri dari:

a. Lingkungan yang terdekat dengan kehidupan sehari-hari

b. Keluarga yang terdiri dari orang tua dan saudara-saudara di rumah c. Media masa

d. Kelompok sebaya

e. Kelompok yang meliputi lembaga sekolah, lembaga keagamaan, organisasi kerja, dan sebagainya.

Azwar (2005) juga memberikan uraian mengenai faktor-faktor dalam proses pembentukan sikap manusia. Faktor-faktor tersebut adalah:

a. Pengalaman Pribadi

Untuk menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama berbekas.


(35)

b. Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting

Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita anggap penting, seseorang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah dan pendapat kita, seorang yang tidak ingin kita kecewakan, atau seorang yang berarti khusus bagi kita (significant others), akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. Di antara orang yang biasanya dianggap penting bagi individu adalah orang tua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, istri atau suami, dan lain-lain.

c. PengaruhKebudayaan

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Apabila kita hidup dalam budaya yang mempunyai norma longgar bagi pergaulan heteroseksual, sangat mungkin kita akan mempunyai sikap yang mendukung terhadap masalah kebebasan pergaulan heteroseksual.

Tanpa kita sadari, kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pulalah yang menjadi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya.


(36)

d. Media Massa

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dll. Mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan,diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.

f. PengaruhFaktor Emosional

Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk


(37)

mekanisme pertahanan ego. Sikap yang demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustrasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama.

Uraian tentang faktor pembentukan sikap diatas memberikan gambaran bahwa sikap terhadap objek sikap dalam penelitian ini dihasilkan dari proses interaksi sosial yang dialami individu. Dengan kata lain sikap terhadap objek sikap dalam penelitian ini dipengaruhi baik oleh faktor-faktor eksternal seperti lingkungan, budaya, keluarga, media masa, kelompok sebaya, dan kelompok yang meliputi lembaga-lembaga, maupun internal seperti pengalaman pribadi dan faktor emosional.

4. Fungsi Sikap

Fungsi sikap bagi manusia telah dirumuskan oleh Katz (dalam Azwar, 2005 dan Walgito, 1991) menjadi empat macam, yaitu:

a. Fungsi Instrumental, Fungsi Penyesuaian, atau Fungsi Manfaat Sikap merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Bila objek sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya, maka orang akan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut, demikian sebaliknya bila objek sikap menghambat dalam mencapai tujuan, maka orang akan bersikap negatif terhadap objek sikap yang bersangkutan. Fungsi ini menyatakan bahwa individu dengan


(38)

sikapnya berusaha untuk memaksimalkan hal-hal yang diinginkan dan meminimalkan hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan demikian, individu akan membentuk sikap positif terhadap hal-hal yang dirasakannya akan mendatangkan keuntungan dan membentuk sikap negatif terhadap hal-hal yang dirasanya akan merugikan dirinya. Karena itu fungsi ini disebut fungsi manfaat.

Dalam pergaulan sosial, sikap yang sesuai akan memungkinkan seseorang untuk memperoleh persetujuan sosial dari orang di sekitarnya. Pernyataan sikap tertentu akan dihargai oleh orang-orang yang dianggap penting seperti orang tua, atasan, teman akrab, dll. b. FungsiPertahanan Ego

Merupakan sikap yang diambil oleh seseorang demi mempertahankan egonya. Sewaktu individu mengalami hal yang tidak menyenangkan dan dirasa akan mengancam egonya atau sewaktu ia mengetahui fakta dan kebenaran yang tidak mengenakkan bagi dirinya maka sikapnya dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego yang akan melindunginya dari kepahitan kenyataan tersebut. Sikap, dalam hal ini merefleksikan problem kepribadian yang tidak terselesaikan.

c. FungsiPernyataan Nilai

Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai yang ada dalam dirinya. Dengan fungsi ini seseorang seringkali mengembangkan sikap


(39)

tertentu untuk memperoleh kepuasan dalam menyatakan nilai yang dianutnya yang sesuai dengan penilaian pribadi dan konsep dirinya. d. Fungsi Pengetahuan

Menurut fungsi ini menusia mempunyai dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk mencari penalaran, dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Adanya unsur-unsur pengalaman yang semula tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu akan disusun, ditata kembali, atau diubah sedemikian rupa sehingga tercapai suatu konsistensi. Jadi sikap berfungsi sebagai skema, yaitu suatu cara strukturalisasi agar di dunia sekitar tampak logis dan masuk akal. Sikap digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap fenomena luar yang ada dan mengorganisasikannya. Bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu objek, maka hal ini menunjukkan tentang pengetahuan orang tersebut terhadap obek sikap yang bersangkutan.

B. Tata krama Jawa 1. Pengertian

Tata krama berasal dari bahasa Jawa yang biasa diartikan dengan adat sopan santun atau dalam bahasa Jawa disebut dengan unggah-ungguh

yaitu adat istiadat yang berkaitan dengan interaksi sosial antar sesama manusia baik dalam keluarga ataupun lingkungan masyarakat (Darsono, dalam Ariani, dkk, 2002). Sedangkan oleh Taryati, dkk (1995), disebutkan


(40)

bahwa tata krama atau sopan santun adalah suatu tata cara atau aturan yang turun temurun telah berkembang dalam suatu budaya masyarakat, yang berguna dalam bergaul dengan orang lain agar terjalin hubungan yang akrab, saling pengertian hormat-menghormati menurut adat yang telah ditentukan.

Menurut Supajar (dalam Ariani, dkk, 2002) tata krama antara manusia dengan sesamanya dibedakan antara yang muda dengan yang lebih tua (anak-bapak, adik-kakak, murid-guru); bawahan–atasan (anak buah-pimpinan); suami - istri, teman akrab atau baru dan sebagainya. Ariani,dkk (2002) mengatakan adanya pengelompokan tatanan dalam berinteraksi tersebut mengharuskan orang Jawa untuk berperilaku atau berbicara sebagaimana seharusnya diwujudkan ketika berinteraksi dengan seseorang. Ketika berinteraksi dengan sesamanya tersebut orang Jawa harus melihat posisi yang diajak berinteraksi. Hal itu sangat penting untuk menentukan bagaimana seseorang harus bersikap. Sedangkan menurut Sukari, dkk (1992) tata krama adalah peraturan tidak tertulis yang merupakan tolok ukur tinggi rendahnya kesesusilaan seseorang dalam pergaulan sesamanya.

Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa tata krama Jawa adalah suatu tata cara atau aturan yang turun temurun telah berkembang dalam suatu budaya dan adat istiadat yang berkaitan dengan interaksi sosial antar sesama manusia baik dalam keluarga ataupun lingkungan masyarakat, yang berguna dalam bergaul dengan orang lain agar terjalin


(41)

hubungan yang akrab, saling pengertian hormat-menghormati menurut adat istiadat Jawa.

2. Tata Krama Jawa Dalam Menghormati Orang Tua

Melihat cakupan dari konsep tata krama Jawa yang sangat luas, peneliti memilih tata krama Jawa dalam menghormati orang tua sebagai objek dalam penelitian ini agar penelitian ini menjadi lebih spesifik. Berikut ini penjelasan mengenai objek tersebut.

Dalam keluarga, seorang anak mengalami proses penanaman nilai-nilai dari orang tuanya. Bagi anak tidak ada pemberian yang lebih baik dari orang tuanya, kecuali dengan pemberian pendidikan yang baik, menanamkan budi pekerti yang luhur, juga bimbingan untuk belajar mengucapkan kata-kata yang baik, dan diajarkan belajar untuk menghormati orang lain (Taryati, dkk., 1995). Peran orang tua sangat penting, karena di dalam keluarga anak dapat belajar bagaimana beretiket atau bertatakrama baik kepada sesama anggota keluarga ataupun dengan anggota masyarakat (Ariani, dkk., 2002).

Menurut Ariani, dkk (2002) tata krama menghormati orang tua di dalam keluarga ternyata sangat dipengaruhi oleh masa sosialisasi seseorang. Artinya, mereka mendapat tuntunan untuk menghormati orang tua yang ada di dalam keluarganya, termasuk disini menghormati kakek/nenek atau orang-orang yang dituakan dalam keluarga. Tata cara orang muda menghormati kerabat yang lebih tua dalam budaya Jawa


(42)

didasarkan kepada alur atau silsilah kekerabatannya. Di dalam budaya Jawa, sudah selayaknya bagi kerabat yang lebih muda untuk tetap dan selalu menghormati kepada kerabat yang lebih tua atau yang dituakan.

Segala sikap hormat tersebut ditunjukan melalui bahasa yang diucapkan dan bahasa tubuh. Dalam kehidupan sehari-hari rasa hormat dan patuh dari anak-anak kepada tatanan, partama-tama harus dinyatakan dengan tunduk, yaitu dengan cara yang terlihat mata mengangguk dan tunduk pada keinginan orang tuanya (Mulder, 1985). Sedangkan aktualisasi dalam menghormati orang tua juga ditunjukan melalui perilaku menuruti perintahnya, mendahulukan segala keperluannya, selalu menjalankan nasehatnya, selalu sopan dan tidak menyinggung perasaannya (Ariani, dkk., 2002).

Alasan peneliti menggunakan tata krama Jawa dalam menghormati orang tua adalah karena orang tua merupakan tempat pembelajaran nilai-nilai yang pertama kali bagi seseorang. Dalam proses sosialisasi di lingkungan keluarga peranan orang tua menjadi amat penting, sebab melalui anak-anak mereka nilai-nilai budaya dan gagasan utama manjadi perwujudan kebudayaan masyarakatnya (Taryati, Dkk., 1995). Maka dari itu tata krama Jawa dalam menghormati orang tua merupakan awal pembelajaran tata krama sehingga mendasari tata krama terhadap anggota keluarga yang lain atau terhadap masyarakat.


(43)

3. Aspek Tata Krama Jawa

Pendidikan Jawa yang ditanamkan pada anak-anak suku Jawa adalah bahwa manusia harus berbudaya dan beradab. Mereka sadar sebagai mahluk sosial mereka mengetahui tatanan dan memperhatikan tingkah laku yang sopan, mengucapkan kata-kata yang pantas dan mempertahankan tatanan yang ada di masyarakat (Mulder, 1985).

Pernyataan diatas menunjukkan bahwa tata krama suku bangsa Jawa tidak hanya tampak pada tatanan bahasa yang digunakan, tetapi juga pada gerakan tubuh atau badan. Dari isyarat gerakan tubuh maupun tatanan bahasa yang digunakan tersebut dapat diketahui seseorang itu sedang berhadapan dengan siapa (Ariani, dkk., 2002). Dari penjelasan diatas nampak bahwa aspek tata krama terdiri dari dua macam, yaitu:

a) Tatanan Bahasa

Tatanan bahasa dalam kaitannya dengan tata krama Jawa (unggah

ungguhing basa) merupakan pernyataan rasa menghargai atau

menghormati orang yang diajak bicara. Unggah-ungguhing basa

merupakan alat untuk menciptakan jarak sosial, namun disisi lain

Unggah-ungguhing basa juga merupakan produk dari kehidupan sosial.

Bahasa yang mengenal Unggah-ungguhing basa merupakan pantulan dari struktur masyarakat yang mengenal tingkatan-tingkatan sosial atau stratifikasi sosial. Unggah-ungguhing basa pada dasarnya dibagi menjadi tiga: Basa Krama, Basa Madya, Basa Ngoko (Purwadi, 2005).


(44)

berbicara kepada orang yang sangat dihormati, basa madya tidak sehalus basa krama dan biasanya digunakan oleh pedagang, sedangkan

basa ngoko adalah bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang sudah akrab sekali dalam pergaulan (Taryati, dkk.,1995).

b) Gerakan Tubuh atau Badan

Rasa penghormatan terhadap orang lain dalam tata krama Jawa juga dapat dilihat pada gerakan tubuh. Misalnya anggukan kepala, kedua tangan ditelungkupkan kedepan (ngapurancang) dan sebagainya. Cara orang Jawa berjalan dengan membungkuk, gerak isyarat penunjukkan arah dengan selalu menggunakan ibu jari yang dibengkokkan, berbicara dengan suara yang pelan di hadapan orang yang dihormati, menunjukkan rasa estetika yang halus. Sebaliknya orang yang berjalan tegap (petentengan) di hadapan orang yang dihormati dianggap sangat kasar (Ariani, dkk., 2002).

C. Sikap Terhadap Tata Krama Jawa Dalam Menghormati Orang Tua

Sikap merupakan salah satu topik dari ilmu psikologi yang dianggap cukup menarik untuk diteliti. Hal ini dikarenakan manusia dari hari ke hari selalu dihadapkan pada suatu situasi, objek, maupun orang lain dan karena interaksi itulah akan memunculkan berbagai macam sikap. Sikap itu sendiri bisa bernilai positif ataupun negatif (Gerungan, 1988). Maksud nilai positif ini adalah orang yang bersangkutan menyetujui atau sependapat dengan objek,


(45)

situasi atau orang lain dan sebaliknya bersifat negatif manakala orang menolak atau tidak setuju dengan situasi, objek ataupun orang lain.

Sikap antara orang satu dengan yang lain dapat berbeda, meskipun objek, situasi yang dihadapinya sama. Hal ini disebabkan karena sikap sendiri merupakan suatu bentuk pandangan dan tiap-tiap individu mempunyai skema tersendiri atas sesuatu. Begitu pula ketika dihadapkan pada objek tertentu. Jika dikaitkan dengan penelitian ini objeknya adalah tata krama Jawa dalam menghormati orang tua, maka sikap antara orang yang satu dengan lainnya tentu akan berlainan.

Tata krama Jawa adalah suatu tata cara atau aturan yang turun temurun telah berkembang dalam suatu budaya masyarakat Jawa, yang berguna dalam bergaul dengan orang lain agar terjalin hubungan yang akrab, saling pengertian hormat-menghormati menurut adat yang telah ditentukan. Sikap seseorang terhadap objek dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Demikian pula dengan sikap seseorang terhadap tata krama dalam menghormati orang tua dipengaruhi oleh adanya faktor eksternal seperti lingkungan, budaya, keluarga, media masa, kelompok sebaya, dan kelompok yang meliputi lembaga-lembaga, maupun internal seperti pengalaman pribadi dan faktor emosional. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi bagaimana seseorang menentukan respon evaluatif ke dalam bentuk memihak atau tidak memihak terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua.

Sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua meiliki tiga komponen yaitu kognisi, afeksi dan konasi. Aspek kognisi meliputi


(46)

pengetahuan dan keyakinan individu terhadap peran, nilai dan praktek tata krama Jawa dalam menghormati orang tua. Aspek afeksi meliputi perasaan individu terhadap peran, nilai dan praktek tata krama Jawa dalam menghormati orang tua. Aspek konasi meliputi kecenderungan individu untuk melakukan praktek yang berhubungan dengan tata krama Jawa dalam menghormati orang tua.

Dengan demikian sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua adalah respon evaluatif ke dalam bentuk memihak atau tidak memihak pada tata cara atau aturan dalam pergaulan yang turun temurun telah berkembang dalam suatu budaya masyarakat dan praktek yang berhubungan dengan tata cara atau aturan tersebut.

D. Remaja

1. Pengertian Remaja

Remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1994). Remaja merupakan salah satu masa perkembangan yang harus dilewati setiap individu. Di bawah ini adalah definisi remaja yang dikemukakan oleh para ahli.

Remaja dimaksudkan sebagai periode transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa. Batasan usianya tidak ditentukan dengan jelas, tetapi kira-kira berawal dari usia 12 sampai akhir usia belasan, saat pertumbuhan fisik hampir lengkap. Selama periode ini, orang muda membentuk


(47)

maturitas seksual dan menegakkan identitas sebagai individu yang terpisah dari keluarga (Atkinson, dkk., 2001).

Menurut Monks (1999) remaja atau adolescent adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja ini berada diantara masa kanak-kanak dan masa dewasa bukan termasuk golongan anak, tetapi juga bukan termasuk golongan dewasa. Masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau peralihan karena masa remaja belum memperoleh status dewasa tetapi tidak lagi memiliki status anak-anak (Calon dalam Monks, 1999).

Menurut Gunarsa (1982) masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak kemasa dewasa yang ditandai oleh berbagai macam perubahan psikis dan fisik. Ia menyebutkan usia 12-22 tahun sebagai masa remaja.

Monks (1999) mengungkapkan bahwa rentang umur pada remaja dibagi lagi menjadi tiga yaitu: 12-15 tahun adalah masa remaja awal, usia 15-18 tahun adalah remaja pertegahan, sedangkan umur 18-21 adalah masa remaja akhir.

Kesimpulannya adalah, masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang berkisar antara 12 sampai dengan 21 tahun. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja pertegahan yang berumur 15-18 tahun.


(48)

2. Perkembangan Sosial Remaja

Masa remaja merupakan masa yang paling banyak mengalami perubahan dalam segi sosial. Dalam perkembangan sosial remaja dapat dilihat adanya dua macam gerak yaitu, pertama memisahkan diri dari orang tua. Kedua menuju ke arah teman-teman sebaya. Kedua gerak tersebut erat kaitannya karena apabila gerak pertama tanpa adanya gerak kedua akan menyebabkan rasa kesepian. Kedua gerak ini merupakan suatu reaksi terhadap status interim (posisi yang sebagian diberikan oleh orang tua dan sebagian diperoleh dengan usaha sendiri) anak muda (Monks, 1999).

Remaja banyak bergaul dengan teman sebaya sebagai kelompok, maka pengaruh teman sebaya sangat besar. Pengaruh tersebut meliputi sikap, pembicaraan, minat, penampilan, sampai pada perilaku. Pengaruh teman sebaya terhadap perilaku lebih besar daripada pengaruh yang diberikan keluarga (Hurlock, 1994).

Disisi lain, remaja mudah dipengaruhi oleh lingkungan. Umumnya, remaja lebih peka terhadap reaksi-reaksi lingkungan yang ada disekitarnya. Baik itu dari media massa, televisi, film atau orang-orang disekitarnya (Herdiyani, 2004). Informasi-informasi baru selalu menarik perhatian remaja dan atau teman sebayanya.

Dari uraian diatas dapat dapat diketahui bahwa remaja sangat dipengaruhi oleh teman sebayanya dan disisi lain remaja juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Maka dengan kata lain remaja dalam menentukan


(49)

sikapnya terhadap sesuatu dapat dipengaruhi oleh lingkungannya baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu melalui teman sebayanya.

E. Pengertian Kota dan Desa

Lingkungan tempat tinggal dapat mempengaruhi karakteristik remaja. Dalam penelitian ini lingkungan yang digunakan adalah kota dan desa. Di bawah ini merupakan uraian mengenai pengertian kedua lingkungan tersebut.

1. Pengertian Kota

Menurut Prof. Drs. R. Bintarto kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan corak kehidupan yang materialistik (www.organisasi.org).

Max Weber (Nas, 1984) menjelaskan bahwa kota adalah suatu tempat yang mempunyai sifat kosmopolitan. Di sana terdapat berbagai struktur sosial yang menimbulkan bermacam-macam gaya hidup. Di kota ada dorongan membentuk suatu kepribadian sosial dan mengadakan perubahan, kota merupakan sarana untuk perubahan sosial.

Simmel (Nas, 1984) menganggap bahwa kehidupan dalam kota membawa peningkatan rangsangan syaraf. Dalam kota metropolitan orang mendapat bermacam-macam kesan yang tak terduga, dan orang harus bereaksi dengan otaknya, bukan dengan hatinya seperti dalam masyarakat pedesaan.


(50)

Kota merupakan pusat kegiatan yang beraneka ragam, seiring dengan tuntutan kehidupan penduduknya yang semakin kompleks. Selain sebagai tempat tinggal, kota juga berfungsi antara lain sebagai pusat pemerintahan, perindustrian, perdagangan perbankan, transportasi, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, olahraga rekreasi dan hiburan (geografi untuk SMU kelas II, 2001), dengan ciri-ciri sebagai berikut:

a. Masyarakat yang heterogen

b. Bersifat individualistis dan materialistis c. Mata pencaharian masyarakat kota non agraris d. Hubungan kekerabatan mulai pudar

e. Adanya kesenjangan sosial antara golongan masyarakat kaya dan miskin.

f. Norma-norma keagamaan tidak begitu ketat g. Pandangan hidup lebih rasional

Daljoeni (1997) mengungkapkan ciri-ciri sosial kota sebagai berikut: a. Heterogenitas sosial

Kota merupakan melting pot bagi aneka suku ataupun ras. Kepadatan penduduk mendorong terjadinya persaingan dalam pemanfaatan ruang. Orang dalam bertindak memilih-milih mana yang paling menguntungkan baginya, sehingga akhirnya tercapai spesialisasi.


(51)

b. Hubungan sekunder

Jika hubungan antara penduduk di desa disebut primer, di kota disebut sekunder. Pengenalan dengan orang lain serba terbatas pada bidang hidup tertentu.

c. Kontrol (pengawasan) sekunder

Di kota orang tidak memperdulikan tingkah laku pribadi sesamanya. Meski ada kontrol sosial ini sifatnya non pribadi; asal tidak merugikan bagi umum, tindakan dapat ditoleransikan.

d. Toleransi sosial

Orang-orang kota secara fisik dapat berdekatan, tetapi secara sosial berjauhan. dapat saja di sini orang berpesta dan pada saat yang sama tetangga menangisi orang yang mati.

e. Mobilitas sosial

Yang dimaksudkan adalah perubahan status sosial seseorang. Orang menginginkan kenaikan dalam jenjang kemasyarakatan (social climbing). Dalam kehidupan kota segalanya di profesionalkan, dan melalui profesinya orang dapat naik posisinya.

f. Ikatan sukarela

Secara sukarela orang menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang disukainya, seperti sport, aneka grup musik, filateli, dan sebagainya. g. Individualisasi

Orang dapat memutuskan apa saja secara pribadi, merencanakan kariernya tanpa desakan orang lain.


(52)

h. Segregasi keruangan

Terjadi pemisahan berdasarkan ras atau kelompok tertentu. Misalnya ada wilayah kaum cina, arab, orang patuh beragama, kaum elit, kaum gelandangan, daerah operasi pelacuran, pencopetan, kegiatan olahraga, hiburan, pertokoan dan pasar, kompleks kepegawaian tertentu dan seterusnya.

Swalem (1987) mengatakan bahwa masyarakat kota adalah masyarakat yang bersifat perorangan, dinamis dan kritis, kehidupan serba tergesa-gesa, menyendiri, tegas, proses meniru sesuatu yang baru sangat cepat, pengawasan masyarakat terhadap sesuatu hal adalah tidak besar dan tidak terlalu berkesan, tingkat pendidikan masyarakat telah maju, lebih mengetahui waktu dan ruang beserta perincian kedua-duanya, rasional.

Uraian diatas menunjukkan gambaran mengenai kota bahwa kota merupakan pusat kegiatan yang beraneka ragam dengan penduduk yang padat dan heterogen serta memiliki karakter masyarakat yang bersifat individualistis, rasional, dinamis dan kritis.

2. Pengertian Desa

Pengertian desa memiliki sudut pandang yang berbeda-beda sesuai dengan pendapat dari para ahli. Berdasarkan undang-undang no.5/1979 tentang pemerintahan desa (Marbun, 1988) desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintah terendah langsung di bawah camat dan berhak


(53)

menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pengertian desa menurut Bintarto (www.organisasi.org) adalah suatu hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil perpaduan itu adalah suatu wujud atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang saling berinteraksi dan juga dalam hubungannya dengan daerah-daerah lain.

Desa dalam ensiklopedia nasional Indonesia (1997) dijelaskan sebagai suatu unit sosial, yaitu sekelompok manusia yang hidup bermukim secara menentap dalam wilayah tertentu, yang tidak selalu sama dengan wilayah administrasi setempat dan mencakup tanah pertanian yang kadang-kadang dikuasai secara bersama. Ciri-ciri desa secara umum adalah sebagai berikut, terletak sangat dekat dengan pusat wilayah usaha tani, pertanian merupakan kegiatan ekonomi yang dominan, faktor penguasaan tanah menentukan corak kehidupan masyarakatnya, populasi penduduk lebih bersifat “terganti dari dirinya sendiri”, kontrol sosial bersifat personal atau pribadi dalam bentuk tatap muka, ikatan sosial relatif lebih ketat daripada kota.

Bouman (Handayani, 2000) menjelaskan batasan desa sebagai suatu pergaulan hidup yang meliputi beberapa ribu jiwa, saling mengenal, dan terikat pada adat kebiasaan. Desa sering disebut sebagai face-to-face


(54)

group, karena orang desa hampir semuanya saling mengenal sekurang-kurangnya mengenal muka.

Faisal (1981) menyatakan bahwa desa merupakan masyarakat keluarga atau masyarakat paguyuban. Hal ini dikarenakan masyarakat desa memiliki ciri-ciri saling mengenal dengan baik antara yang satu dengan yang lainnya, memiliki keintiman yang tinggi di kalangan warganya, memiliki rasa persaudaraan dan persekutuan yang tinggi, memiliki jalinan emosional yang kuat di kalangan warganya dan saling bantu-membantu, tolong-menolong atas dasar kekeluargaan.

Menurut Swalem (1987) masyarakat desa merupakan masyarakat yang bersifat gotong-royong, statis, kehidupan tenang, proses meniru sesuatu yang baru lambat, pengawasan masyarakat terhadap sesuatu adalah cepat dan berkesan, tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat masih tebelakang, cenderung irasional, magis dan mistis.

Kesimpulan dari beberapa penjelasan diatas tersebut yaitu desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat. Desa juga membentuk masyarakat dengan komunitas kecil yang penduduknya terikat pada adat kebiasaan, mayoritas penduduknya bertani, kontrol sosial yang ada bersifat personal, memiliki ikatan kekeluargaan yang erat serta ikatan sosial lebih ketat dibanding kota.


(55)

F. Perbedaan Remaja Desa dan Remaja Kota

Perbedaan remaja desa dan remaja kota dalam penelitian ini ditujukan pada perbedaan karakter yang dipengaruhi oleh lingkungan dimana remaja tersebut tinggal dan dibesarkan. Remaja desa dapat diartikan sebagai remaja yang tinggal dan dibesarkan di desa, sedangkan remaja kota diartikan sebagai remaja yang tinggal dan dibesarkan di kota. Berikut ini perbedaan karakter remaja desa dan karakter remaja kota:

1. Karakter Remaja Desa

Karakter remaja desa dijelaskan oleh Susilawati (Handayani, 2000) adalah sebagai berikut, tidak suka menonjolkan diri, umumnya sering menunjukkan perasaan malu, lebih dapat mengekang diri, ada perasaan curiga terhadap orang lain, memiliki perasaan untuk mengekspresikan dirinya.

Sugiyanto (1981) menjelaskan mengenai karakteristik remaja desa yaitu mempunyai kesediaan untuk bekerjasama. Mau berkorban untuk kepentingan orang lain, perhatian terutama ditunjukkan pada kemanusiaan sehingga tindakannya banyak dikendalikan oleh kecintaan terhadap manusia, memiliki dorongan untuk mendapat bantuan dan simpati.

Karakteristik remaja desa di Indonesia adalah terikat pada nilai-nilai orang tua dan masyarakat sehingga mereka memiliki cara berpikir yang serupa dengan orang tua dan tergantung pada orang tua (Sugiyanto, 1981).


(56)

Pemuda desa memilih cara berpikir seperti orang tuanya. Hal itu dilakukan karena adanya sikap hormat kepada orang tua sehingga untuk berbeda pendapat pun dianggap suatu sikap yang kurang sopan. Oleh karena itu mereka memilih untuk bersikap sama dengan orang tuanya. Adanya sikap yang seperti itu akan berakibat kurangnya daya kritis pemuda padahal mereka merupakan tulang punggung masyarakat (Fakhrurrozi, 2000).

Dari pernyataan para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa karakter remaja desa adalah tidak suka menonjolkan diri, sering menunjukkan perasaan malu, lebih dapat mengekang diri, dan terikat pada nilai-nilai orang tua dan masyarakat. Dengan kata lain remaja desa cenderung terikat pada nilai-nilai orang tua dan masyarakat dalam menentukan sikapnya terhadap sesuatu.

2. KarakterRemaja Kota

Remaja kota memiliki karakter yang berbeda dengan remaja desa karena anak-anak muda di kota adalah kelompok yang memiliki akses paling terbuka ke sumber informasi. Mereka memungut informasi di mana saja, dari televisi, majalah, radio bahkan sobekan poster di pinggir jalan. Mereka punya kesempatan untuk memanfaatkan waktu luang di pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan dan ruang-ruang publik yang memungkinkan mereka untuk melakukan interaksi dan pertukaran informasi (Swastika, 2003).


(57)

Karakter yang menonjol dari remaja kota yaitu remaja kota selalu mengikuti perkembangan jaman terutama mengenai gaya hidup dan penampilan. Gaya hidup yang ditawarkan dalam majalah remaja maupun dalam sinetron adalah gaya hidup hedonis sebagai remaja kota besar yang tertular dari gaya hidup Barat (Herdiyani, 2004). Penampilan yang dimaksud bukan saja apa yang melekat pada tubuh semata, melainkan juga bagaimana keseluruhan "potensi" dalam diri yang memungkinkan mereka untuk menampilkan citra diri tertentu. Bahasa dianggap salah satu hal penting yang akan memberikan ciri khusus pada remaja kota. Cara, logat dan pilihan kata dalam berbicara, adalah salah satu dari usaha remaja kota untuk membentuk citra tertentu melalui penampilannya (Swastika, 2003).

Menurut Daldjoeni (1997) ada beberapa karakter remaja kota yaitu:

a.Berpikiran secara rasional dan menghindari perdebatan yang berlatar belakang mistis. Adanya kebiasaan untuk mengembangkan perbedaan dalam lingkungan keluarga telah menghasilkan pribadi-pribadi yang kreatif, inovatif, dan kritis.

b.Lebih peka dalam menangkap gejala perubahan sosial serta ingin terlibat aktif untuk menjadi pembaharu. Pengembangan aspek kognitif remaja kota melalui pendidikan formal telah menjadikan mereka sebagai remaja yang dinamis dan tidak menyukai keadaan yang statis.


(58)

c.Cenderung untuk senantiasa mengikuti perubahan jaman serta berusaha untuk dengan segera mengabulkan keinginan. Adanya gengsi yang tinggi pada diri mereka mengakibatkan mereka menjadi pribadi-pribadi yang mudah berubah pendirian asal mereka bisa mengikuti perubahan jaman dan mengungguli teman sebayanya. Remaja di kota selalu berusaha untuk terus memperbaharui penampilannya.

d.Remaja kota terlihat ingin mandiri dan ingin segera memisahkan diri dari tuanya. Karena sudah terbiasa berbeda dengan orang tuanya telah menjadikan mereka cepat mandiri. Mereka akan merasa bangga jika dengan cepat memisahkan diri dari orang tuanya untuk menghidupi dirinya sendiri.

e.Sektor-sektor industri perdagangan lebih menarik perhatian bagi mereka. Karena jauh dari lokasi pertanian dan kehidupan mereka berhubungan dengan masalah untung rugi, maka orientasi mereka pun lebih mengarah pada sektor-sektor yang bisa dengan cepat mendatangkan penghasilan berlipat ganda.

Dari uraian diatas, secara garis besar karakter remaja kota diantaranya adalah suka menonjolkan diri, peka terhadap perubahan, dan tidak ingin tergantung pada orang tua atau ingin mandiri. Dengan begitu remaja kota tidak tergantung pada orang tua, kritis, dan berpikir rasional dalam menentukan sikapnya.


(59)

G. Perbedaan Sikap Remaja Kota Dan Remaja Desa Terhadap Tata Krama Jawa dalam menghormati Orang Tua

Perbedaan sikap remaja kota dan desa terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua merupakan perbedaan penghayatan antara remaja desa dan remaja kota terhadap tata krama Jawa terhadap orang tua yang mengandung komponen kognitif, afektif dan konatif.

Sikap remaja desa dan kota terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua dapat bersifat positif dan negatif. Kedua sifat ini akan berpengaruh berbeda terhadap kelangsungan nilai-nilai budaya Jawa khususnya tata krama dalam menghormati orang tua. Jika remaja bersikap positif terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua berarti tata krama tersebut masih di hayati dan di yakini sebagai pedoman dalam pergaulan mereka, sementara sikap negatif dari remaja terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua menandakan bahwa bagi remaja, tata krama Jawa dalam menghormati orang tua tidak lagi relevan dengan kehidupan mereka saat ini.

Remaja desa dan remaja kota memiliki karakter berbeda. Karakter remaja desa umumnya tidak suka menonjolkan diri, sering menunjukkan perasaan malu, lebih dapat mengekang diri, dan terikat pada nilai-nilai orang tua dan masyarakat. Selain itu, remaja desa tinggal dalam lingkungan yang masih kental dengan adat-istiadatnya. Sedangkan, karakter remaja kota diantaranya adalah suka menonjolkan diri, peka terhadap perubahan, mudah terpengaruh budaya asing dan memiliki keinginan untuk mandiri.


(60)

Perbedaan karakter remaja desa dan remaja kota disebabkan oleh lingkungan mereka yang berbeda, salah satunya yaitu desa memiliki akses yang lebih terbatas terhadap informasi daripada di kota (Swastika, 2003). Perbedaan tersebut menentukan perbedaan remaja desa dan kota dalam mengambil sikap terhadap sesuatu. Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita (Azwar, 2005). Hal ini sejalan dengan pernyataan Sears (1991) bahwa orang yang tinggal di kota besar jauh lebih mau menolong orang yang tidak mematuhi norma sosial. Kalimat diatas dapat diartikan bahwa orang kota lebih longgar terhadap sanksi pelanggaran dalam pelaksanaan norma sosial khususnya terkait dengan penelitian ini yaitu tata krama. Berbeda dengan di desa dimana pelaksanaan tata krama lebih ketat karena desa memiliki pengawasan masyarakat atau kontrol sosial yang tinggi (Swalem, 1987).

H. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan keterangan yang telah dijelaskan pada bagian kajian teoritis di depan, peneliti mengajukan hipotesa sebagai berikut:

“Ada perbedaan sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua pada remaja desa dan remaja kota”.


(61)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian komparatif yang bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan apakah terdapat perbedaan sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua antara remaja desa dan remaja kota.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel bebas : remaja desa dan remaja kota

Variabel tergantung : sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua

C. Definisi Operasional

Terdapat dua faktor yangdidefinisikan secara operasional, yakni:

1. Remaja

Remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1994). Remaja merupakan salah satu masa perkembangan yang harus dilewati setiap individu. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang berkisar antara 12 sampai dengan 21 tahun. Monks (1999) mengungkapkan bahwa rentang umur pada remaja dibagi lagi menjadi tiga


(62)

yaitu: 12-15 tahun adalah masa remaja awal, usia 15-18 tahun adalah remaja pertegahan, sedangkan umur 18-21 adalah masa remaja akhir. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja pertegahan yang berumur 15-18 tahun.

Tipe remaja yang digunakan dalam penelitian ini yaitu remaja desa dan remaja kota.

a. Remaja Desa

Remaja desa dapat diartikan sebagai remaja yang tinggal dan dibesarkan di desa. Ciri dari desa adalah masyarakatnya yang bersifat gotong-royong, statis, kehidupan tenang, proses meniru sesuatu yang baru lambat, pengawasan masyarakat terhadap sesuatu adalah cepat dan berkesan, tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat masih terbelakang, cenderung irasional, magis dan mistis (Swalem, 1987). Sedangkan remaja desa itu sendiri memiliki karakter tidak suka menonjolkan diri, sering menunjukkan perasaan malu, lebih dapat mengekang diri, dan terikat pada nilai-nilai orang tua dan masyarakat. b. Remaja Kota

Remaja kota diartikan sebagai remaja yang tinggal dan dibesarkan di kota. Ciri–ciri masyarakat kota adalah bersifat perorangan, dinamis dan kritis, kehidupan serba tergesa-gesa, menyendiri, tegas, proses meniru sesuatu yang baru sangat cepat, pengawasan masyarakat terhadap sesuatu hal adalah tidak besar dan tidak terlalu berkesan, tingkat pendidikan masyarakat telah maju, lebih mengetahui waktu


(63)

dan ruang beserta perincian kedua-duanya dan cenderung rasional (Swalem 1987). Sehingga dapat dikatakan bahwa karakter remaja kota adalah suka menonjolkan diri, peka terhadap perubahan, dan tidak ingin tergantung pada orang tua atau ingin mandiri.

2. Sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua

Sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua adalah sikap memihak (favorable) atau sikap tidak memihak (unfavorable) terhadap pentingnya tata krama Jawa termasuk praktek-praktek yang berhubungan dengan tata krama tersebut. Secara operasional variabel diungkap melalui skala. Skala sikap terhadap tata krama Jawa ini disusun berdasarkan teori-teori yang telah diungkap peneliti pada bab sebelumnya.

Sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua meliputi perasaan evaluasi ke dalam bentuk positif dan negatif terhadap pentingnya tata krama Jawa. Skala yang tinggi pada skala sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua menunjukkan sikap yang positif (mendukung) terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua dan skala yang rendah pada skala sikap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua menunjukkan sikap yang negatif (menolak) terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua.

Sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua memiliki tiga komponen yaitu:


(64)

a. Aspek kognisi (pengetahuan dan keyakinan individu terhadap peran, nilai dan praktek tata krama Jawa dalam menghormati orang tua) b. Aspek afeksi (perasaan individu terhadap peran, nilai dan praktek tata

krama Jawa dalam menghormati orang tua)

c. Aspek konasi (kecenderungan individu untuk melakukan praktek yang berhubungan dengan tata krama Jawa dalam menghormati orang tua)

Sedangkan aspek tata krama Jawa itu sendiri terdiri dari dua macam aspek, yaitu:

a) Tatanan Bahasa

Tatanan bahasa dalam kaitannya dengan tata krama Jawa (unggah

ungguhing basa) merupakan pernyataan rasa menghargai atau

menghormati orang yang diajak bicara. Unggah-ungguhing basa pada dasarnya dibagi menjadi tiga: Basa Krama, Basa Madya, Basa Ngoko

(Purwadi, 2005). Basa Krama merupakan bahasa yang paling halus digunakan untuk berbicara kepada orang yang sangat dihormati, basa

madya tidak sehalus basa krama dan biasanya digunakan oleh

pedagang, sedangkan basa ngoko adalah bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang sudah akrab sekali dalam pergaulan (Taryati, dkk.,1995).

b) Gerakan Tubuh atau Badan

Rasa penghormatan terhadap orang lain dalam tata krama Jawa juga dapat dilihat pada gerakan tubuh. Misalnya anggukan kepala, kedua tangan ditelungkupkan kedepan (ngapurancang) dan sebagainya.


(65)

Cara orang Jawa berjalan dengan membungkuk, gerak isyarat penunjukkan arah dengan selalu menggunakan ibu jari yang dibengkokkan, berbicara dengan suara yang pelan di hadapan orang yang dihormati, menunjukkan rasa estetika yang halus. Sebaliknya orang yang berjalan tegap (petentengan) di hadapan orang yang dihormati dianggap sangat kasar (Ariani, dkk., 2002).

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini akan dibedakan dalam dua kelompok yaitu remaja desa dan remaja kota. Subjek yang digunakan dinilai sangat relevan dengan penelitian ini karena subjek dalam penelitian ini adalah remaja pertengahan yang berusia 15-18 tahun dimana biasanya remaja pada usia tersebut masih tergantung pada orang tua tetapi rentan terhadap pengaruh budaya asing. Subjek merupakan remaja yang tinggal di Yogyakarta dengan ciri-ciri sebagai berikut.

Ciri-ciri subjek remaja desa: 1. Berusia antara 15-18th

2. Merupakan keturunan suku Jawa 3. Dibesarkan di lingkungan desa

Ciri-ciri subjek remaja kota: 1. Berusia antara 15-18th

2. Merupakan keturunan suku Jawa 3. Dibesarkan di lingkungan kota


(66)

E. Prosedur Penelitian

1. Mempersiapkan skala sikap 2. Melakukan pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan alat ukur berupa kuesioner yang berisi skala sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua.

3. Melakukan uji validitas dan reliabilitas 4. Analisis data

Data yang terkumpul di analisis dengan uji-t untuk mengetahui perbedaan sikap antara remaja desa dan kota.

5. Hasil dan pembahasan

F. Metode Pengumpulan Data

Alat ukur yang dipakai untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini berupa skala. Skala berupa daftar pernyataan yang akan dikenakan pada subjek penelitian. Aitem-aitem dalam skala berupa pernyataan favorable dan

unfavorable. Aitem favorable merupakan pernyataan yang mendukung,

memihak, atau menunjukkan ciri adanya atribut yang diukur. Sebaliknya, aitem tak favorable berupa pernyataan tidak mendukung atau tidak menggambarkan ciri atribut yang diukur. Metode penskalaan yang digunakan sebagai dasar penelitian nilai skala adalah metode summated rating, yang lebih dikenal dengan skala likert.


(67)

1. Penyusunan aitem

Alat yang digunakan dalam mengumpulkan data penelitian ini adalah skala sikap yang disusun berdasarkan teori-teori yang telah diungkapkan dalam bab II meliputi sikap dengan aspek kognitif, afektif dan konatif serta tata krama Jawa dalam menghormati orang tua dengan aspeknya yaitu tatanan bahasa dan gerakan tubuh.

Untuk lebih jelasnya berikut disertakan tabel-tabel spesifikasi sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua. Skala ini terdiri dari pertanyaan yang favorable dan unfavorable dengan empat pilihan Jawaban yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).

Tabel.1

Spesifikasi sikap terhadap Tata Krama Jawa Aspek sikap

Kognitif Afektif Konatif

Aspek tata

krama favorable Unfavo-

rabel favorable Unfavo- rabel favorable Unfavo rabel Jum lah Tatanan bahasa

1, 5, 18, 19, 30

40, 42, 44, 47,

50

2, 4, 12, 25, 29

60, 55, 51, 41,

33

7, 13, 17, 22, 28 54, 48, 43, 37, 34 30 Gerak tubuh

16, 20, 21, 23, 35

6, 9, 11, 14, 27 32, 24, 38, 39, 45 58, 57, 53, 49, 46

3, 8, 10, 15, 36

26,31, 52,56,

59

30

2. Pemberian skor skala sikap

Tabel.2

Pemberian skor terhadap skala sikap terhadap tata krama Jawa

Favorable Unfavorable

Sangat setuju (SS) 4 1

Setuju (S) 3 2

Tidak setuju (TS) 2 3


(68)

G. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas

Validitas berasal dari kata validity yang berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu alat ukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut mampu menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang tepat dan akurat sesuai dengan maksud dikenakannya tes tersebut. Suatu tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan diadakannya pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah (Azwar, 2004).

Validitas yang digunakan dalam alat ukur penelitian ini adalah validitas isi yang menunjuk pada sejauh mana aitem-aitem dalam alat ukur mencakup ke seluruh kawasan isi objek yang hendak diukur yang akan diperoleh melalui analisis rasional dan profesional judgement (Azwar, 2004). Penentuan validitas skala penelitian ini dilakukan lewat pengujian terhadap isi tes oleh dosen pembimbing skripsi melalui analisis rasional atau profesional judgement seperti yang telah disebutkan diatas.

Lebih lanjut, validitas isi dibedakan menjadi dua tipe, yaitu face validity (validitas muka) dan logical validity (validitas logik). Validitas muka tes dilakukan peneliti dengan membuat format tampilan tes yang disesuaikan dengan kondisi subjek yang memiliki tingkat pemahaman berbeda-beda. Penyesuaian tersebut seperti instruksi yang jelas dan singkat, pertanyaan dengan kalimat dan bahasa yang mudah dipahami,


(69)

serta huruf yang relatif besar dan mudah dibaca. Dengan demikian diharapkan dapat mencegah terjadinya kesalahan pengerjaan tes karena subjek tidak memahami tes.

Sedangkan untuk memperoleh validitas logik yang tinggi suatu tes harus dirancang sedemikian rupa sehingga benar-benar hanya berisi aitem yang relevan dan perlu menjadi bagian tes secara keseluruhan (Azwar, 2004). Jadi tes haruslah dibatasi lebih dahulu kawasan perilakunya secara seksama dan kongkret. Hal ini dapat dilakukan dengan menyusun blue

print (Tabel.1), karena dengan menyusun blue print akan diperoleh

gambaran mengenai isi skala, yang selanjutnya menjadi acuan serta pedoman bagi penulis untuk tetap dalam lingkup ukur yang benar (Azwar, 2004).

2. Uji Kesahihan Aitem

Selanjutnya peneliti melakukan analisis dan seleksi aitem untuk menemukan sejumlah aitem yang berkualitas serta patut digunakan. Parameter yang paling penting dalam seleksi aitem adalah daya diskriminasi aitem, yang menunjukan sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2004). Oleh karena skala dalam penelitian ini disusun untuk mengungkap sikap remaja terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua, maka aitem yang berdaya beda tinggi adalah aitem yang mampu menunjukan mana remaja yang memiliki


(70)

sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua yang positif dan mana sikap yang negatif.

Analisis aitem dilakukan dengan bantuan SPSS 13.0 dengan melihat korelasi aitem-total (corrected item-total correlation) sebagai kriteria pemilihan aitem biasanya dengan batasan rix≥ 0,30. semua aitem yang

mencapai koefisien korelasi minimal 0,30 memiliki daya beda yang memuaskan, sedangkan aitem yang memiliki nilai dibawah 0,30 dapat diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya diskriminasi rendah (Azwar, 2005). Akan tetapi, apabila jumlah aitem yang lolos ternyata masih tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, kita dapat mempertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria 0,30 sehingga jumlah aitem yang diinginkan tercapai (Azwar, 2000).

3. Reliabilitas

Reliabilitas artinya adalah tingkat keterpercayaan hasil suatu pengukuran. Pengukuran yang memiliki reliabilitas yang tinggi, yaitu yang mampu memberikan hasil ukur yang terpercaya, disebut sebagai reliabel (Azwar, 2004).

Reliabilitas hasil pengukuran dalam penelitian ini akan dilihat dengan menggunakan pendekatan konsistensi internal, dimana hanya memerlukan satu kali pengukuran (single trial administration) kepada sekelompok subjek penelitian. Estimasi terhadap reliabilitas akan dihitung menggunakan koefisien alpha (α). Penggunaan koefisien alpha dari


(71)

cronbach dengan alasan pendekatan alpha memiliki nilai praktis dan efisiensi yang tinggi karena hanya dilakukan satu kali pengukuran pada kelompok subjek (Azwar, 2004).

H. Analisis Data

Oleh karena penelitian ini mengkaji hipotesis tentang adanya perbedaan sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua diantara remaja desa dan remaja kota, maka dipergunakan analisis uji-t. Semua proses analisis data penelitian ini menggunakan pertolongan program SPSS for Windows versi 13.0.


(72)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian pada remaja desa dilakukan pada tanggal 7-10 November 2007 di SMK Diponegoro, kampung Sembego, desa Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta. Subjek penelitian terdiri dari 61 orang siswa sekolah tersebut dan telah mencakup siswa dan siswi kelas satu, dua dan tiga. Sedangkan penelitian terhadap remaja kota dilakukan pada tanggal 23 November 2007 di SMA Marsudi Luhur di Jalan Bintaran Kidul 2, kelurahan Bintaran Kidul, Yogyakarta yang terletak di pusat kota. Penentuan subjek penelitian dari sekolah tersebut dilakukan dengan mengambil 61 siswa dan siswi dari kelas satu, dua dan tiga. Skala terdiri dari 60 aitem yang disusun berdasarkan blue print yang tertera pada tabel 1. Selain itu, deskripsi data menyangkut distribusi subjek penelitian remaja desa dan remaja kota tercantum dalam tabel berikut ini.

Tabel. 3

Distribusi usia kelompok remaja desa dan remaja kota Kelompok subjek Usia Jumlah Persentase

15 13 10,65% 16 26 21,31% 17 18 14,75% Remaja Desa

18 4 3,28%

15 13 10,65% 16 21 17,21% 17 20 16,39% Remaja Kota

18 7 5,73%


(73)

B. Hasil Penelitian 1. Ujivaliditas

Penelitian ini menggunakan validitas isi, karena pengujian terhadap isi penelitian tersebut dicapai dengan analisis rasional atau professional

judgement. Hal ini terutama dilakukan terutama dilakukan dengan cara

membandingkan antara isi aitem dengan indikator. Oleh karena itu peneliti harus membuat skala berdasarkan blue print, yang selanjutnya dikonsultasikan dengan dosen pembimbing.

2. Daya Diskriminasi Aitem

Aitem dalam skala yang tidak memperlihatkan kualitas yang baik harus disingkirkan sebelum menjadi bagian dari skala. Suatu aitem memiliki kualitas yang baik apabila memiliki koefisien korelasi aitem total (rix) ≥ 0,30. Dari 60 aitem yang diujicobakan terdapat 22 aitem yang gugur

karena manggunakan rix < 0,30, sehingga jumlah aitem yang sahih menjadi

hanya 38 aitem. Hal ini tidak sesuai dengan harapan peneliti karena terlalu banyak aitem yang gugur. Apabila jumlah aitem yang lolos ternyata masih tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, kita dapat mempertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria 0,30 –menjadi 0,25 misalnya- sehingga jumlah aitem yang diinginkan tercapai (Azwar, 2000). Menurunkan batasan rix di bawah 0,20 sangat tidak disarankan, menurut

Thorndike, indeks kurang dari 0,20 dapat langsung dibuang, ahli lain, yaitu Ebel menyatakan indeks kurang dari 0,20 termasuk jelek dan harus


(1)

No. Aitem SS S TS STS

32 Bangga rasanya jika saya bisa menunjukkan rasa hormat dengan tidak berbicara keras-keras

terhadap orang tua

33 Saya merasa kurang akrab dengan orang tua ketika menggunakan bahasa krama 34 Saya tidak menggunakan bahasa krama kepada orang tua saat meminta doa restu di hari raya 35 Menurut saya mengeluarkan bunyi kecap, sendawa, dentigan piring, dll, merupakan perbuatan

yang tidak boleh saya lakukan saat makan bersama orang tua 36 Saya tidak pernah berkacak pinggang (methenteng) saat menghadap orang tua 37 Saya tidak pernah berbahasa krama kepada orang tua saat mengutarakan pendapat 38 Saya tetap merasa nyaman saat harus membungkukkan badan ketika berjalan di depan orang

tua

39 Saya merasa sungkan bila berkacak pinggang (methenteng) ketika berhadapan dgn orang tua 40 Saya tidak perlu menggunakan bahasa krama kepada orang tua saya 41 Saya tetap merasa nyaman berbahasa ngoko kepada orang tua saya 42 Menghormati orang tua tidak harus menggunakan bahasa krama 43 Saya jarang sekali menjawab dengan bahasa krama ketika dipanggil orang tua 44 Seorang anak yang menggunakan bahasa krama pada orang tuanya belum tentu anak yang

berbakti

45 Kurang sreg (nyaman) rasanya jika membelakangi orang tua saat berbicara dengan mereka 46 Saya merasa nyaman-nyaman saja meski sering membelakangi orang tua saat berbicara dengan

mereka

47 Bahasa krama tidak perlu diajarkan dalam keluarga karena sudah ketinggalan jaman 48 Saya jarang menggunakan unggah-ungguh dalam berbahasa jawa


(2)

No. Aitem SS S TS STS

49 Saya tidak merasa sungkan berkacak pinggang (methenteng) ketika berhadapan dengan orang

tua

50 Menurut saya menghormati orang tua tidak perlu dengan berbahasa krama dengan ngoko pun

bisa

51 Saya tidak merasa beruntung jika orang tua saya mengajarkan bahasa krama, karena sangat

merepotkan

52 Saya jarang berbicara pelan di hadapan orang tua

53 Saya merasa malas saat harus membungkukan badan ketika berjalan di depan orang tua 54 Saya hampir tidak pernah berbahasa krama kepada orang tua saat bercengkrama 55 Saya tidak merasa malu meski tidak bisa berbahasa krama kepada orang tua 56 Saya sering mengeluarkan suara kecap, sendawa, dentingan piring, dll, saat makan bersama

orang tua

57 Saya tidak merasa menyesal jika berbicara keras-keras terhadap orang tua 58 Saya tidak merasa bangga meski bisa menunjukkan rasa hormat dengan tidak berbicara

keras-keras terhadap orang tua

59 Saya sering berkacak pinggang (methenteng) saat menghadap orang tua 60 Bisa berbahasa krama kepada orang tua tidak membuat saya merasa bangga


(3)

(4)

(5)

(6)