Kapasitas tetap perubahan mutu Pola I Kapasitas meningkat dan perubahan mutu Pola I

69 Analisa finansial rancang ulang industri gula merah tebu dilakukan berdasarkan sumber bahan baku, perubahan persentase mutu, dan peningkatan kapasitas wajan. Lampiran 10 menunjukkan laporan laba rugi usaha gula merah tebu dimana kegiatan produksi dilakukan selama 240 hari atau 8 bulan per tahun. Biaya pembelian peralatan produksi sebesar Rp 355.000 dihitung sebagai biaya tetap yang dikeluarkan per tahun. Pada kondisi kapasitas wajan tetap dan perubahan persentase mutu, laba bersih per tahun pada Pola I adalah Rp 139.286.860, Pola II adalah Rp 106.043.740, Pola III adalah Rp 68.009.260, dan Pola IV adalah Rp 40.956.940. Laba bersih per tahun pada kondisi kapasitas wajan meningkat dan perubahan persentase mutu Pola I adalah Rp 166.011.580, Pola II adalah Rp 127.193.740, Pola III adalah Rp 82.243.660, dan Pola IV adalah Rp 50.215.180. Arus kas industri gula merah tebu dapat dilihat pada Lampiran 11. Pada kasus ini, sumber dana yang digunakan untuk investasi rancang ulang merupakan dana hibah dimana pengusaha tidak memiliki kewajiban untuk mengembalikan dana tersebut, sedangkan biaya operasional biaya tetap dan biaya variabel merupakan modal sendiri. Tabel 17. Analisa kelayakan finansial rancang ulang

A. Kapasitas tetap perubahan mutu Pola I

Pola II Pola III Pola IV NPV Rp 653.460.258 Rp 492.788.697 Rp 308.959.403 Rp 178.209.387 IRR 309 234 148 87 PBP 0,27 tahun 0,35 tahun 0,53 tahun 0,85 tahun

B. Kapasitas meningkat dan perubahan mutu Pola I

Pola II Pola III Pola IV NPV Rp 782.626.909 Rp 595.011.458 Rp 377.757.496 Rp 222.956.567 IRR 369 282 180 108 PBP 0,23 tahun 0,29 tahun 0,44 tahun 0,71 tahun Kriteria kelayakan usaha dilakukan dengan melihat nilai NPV, IRR, dan PBP masing-masing pola. Analisa kelayakan dilakukan dengan umur proyek selama 10 tahun dan tingkat suku bunga 16. Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa investasi rancang ulang menggunakan keempat pola usaha gula merah tebu pada kedua 70 kondisi karena memberikan nilai NPV yang positif, IRR diatas tingkat suku bunga yang ditetapkan, dan PBP kurang dari umur proyek. Pada kondisi kapasitas wajan tetap dan perubahan persentase mutu, nilai NPV pada Pola I adalah Rp 653.460.258, Pola II adalah Rp 492.788.697, Pola III adalah Rp 308.959.403, dan Pola IV adalah Rp 178.209.387. Nilai IRR pada Pola I adalah 309, Pola II adalah 234, Pola III adalah 148, dan Pola IV adalah 87. Nilai PBP pada Pola I adalah 0,27 tahun, Pola II adalah 0,35 tahun, Pola III adalah 0,53 tahun, dan Pola IV adalah 0,85 tahun. Pada kondisi kapasitas wajan meningkat dan perubahan persentase mutu, nilai NPV pada Pola I adalah Rp 782.626.909, Pola II adalah Rp 595.011.458, Pola III adalah Rp 377.757.496, dan Pola IV adalah Rp 222.956.567. Nilai IRR pada Pola I adalah 369, Pola II adalah 282, Pola III adalah 180, dan Pola IV adalah 108. Nilai PBP pada Pola I adalah 0,23 tahun, Pola II adalah 0,29 tahun, Pola III adalah 0,44 tahun, dan Pola IV adalah 0,71 tahun. 70

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan analisa karakteristik wilayah, Kecamatan Kebonsari merupakan daerah penghasil tanaman tebu terbesar di Kabupaten Madiun sehingga industri gula merah tebu tidak mengalami kendala ketersediaan bahan baku. Pada tahun 2005 luas areal perkebunan tebu di Kecamatan Kebonsari adalah 1.127 Ha dengan hasil produksi tebu sebanyak 112.700.000 ton. Selain ketersediaan bahan baku, industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari juga didukung dengan ketersediaan tenaga kerja dan sarana prasarana pendukungnya. Industri gula merah tebu yang berada di Kecamatan Kebonsari termasuk kelompok industri rumah tangga skala kecil non formal. Usaha ini dilakukan secara perorangan. Bahan baku tebu yang diproses menjadi gula merah tebu berasal dari hasil tanam sendiri dilahan milik, lahan sewa, beli tebu, dan titip giling. Kegiatan produksi gula merah tebu dilakukan pada musim panen tebu antara bulan Mei – Oktober dengan rata-rata kemampuan mengolah tebu 2,64 tonhari. Rendahnya teknologi, pengawasan mutu, dan sanitasi pada proses pengolahan gula merah tebu menyebabkan mutu produk yang dihasilkan tidak seragam. Penetapan mutu produk dilakukan secara subjektif oleh pengusaha berdasarkan kriteria warna dan kekerasan yang diklasifikasikan menjadi mutu baik, sedang, dan jelek. Produk gula merah tebu memiliki potensi pasar yang luas mengingat masih terjadi defisit antara tingkat produksi dengan konsumsi gula secara nasional. Kuatnya dominasi pedagang pengumpul menyebabkan pemasaran produk gula merah tebu terbatas. Pemasaran dilakukan melalui pedagang pengumpul pengecer, pedagang pengumpul besar, dan konsumen industri langsung. Modal kerja yang dimiliki oleh pengusaha sebagai sumber pembiayaan usaha pengolahan gula merah tebu juga terbatas karena berasal modal sendiri dan pinjaman ke institusi non bank . Hasil analisa profititabilitas menunjukkan bahwa usaha ini memberikan keuntungan yang berbeda-beda tergantung kombinasi sumber bahan baku, jumlah produksi, jumlah tenaga kerja, dan hari kerja.