29
c. Aspek teknis dan teknologis
1. Bahan baku Bahan baku utama dalam industri gula merah di Kecamatan Kebonsari adalah
tanaman tebu. Sumber bahan baku tebu yang diproses menjadi gula merah tebu berasal dari hasil tanam sendiri, membeli, dan titip giling. Tebu yang berasal dari
hasil tanam sendiri terbagi menjadi dua kelompok yaitu tebu yang ditanam di lahan milik dan lahan sewa, sementara tebu yang dibeli berasal dari perkebunan
tebu rakyat bebas TRB yang berada di Kecamatan Kebonsari. Pada pengolahan gula merah titip giling, tebu berasal dari pemilik tebu baik tebu sendiri atau
pemborong tebu yang tidak memiliki pabrik gula merah tebu untuk kemudian diolah menjadi gula merah tebu. Sumber bahan baku tebu yang digunakan industri
gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Sumber bahan baku untuk industri gula merah Tebu rakyat bebas TRB yang dibeli pengusaha atau pemilik modal berasal
dari desa-desa di Kecamatan Kebonsari. Pembelian tebu umumnya dilakukan pada antara bulan Februari – April dimana tebu masih berusia 8 – 10 bulan.
Pemilihan tebu yang dibeli dari tebu rakyat bebas TRB dilakukan oleh pengusaha atau pemilik modal dengan memperhatikan pertumbuhan tanaman.
Tebu dipilih berdasarkan bentuk batang, kondisi perkebunan, dan umur tanaman. Berdasarkan bentuk batang tebu yang baik adalah tebu yang memiliki batang
besar dan lurus. Tebu bengkok atau ambruk, belum cukup umur, dan tidak memenuhi teknis pemeliharaan tanaman tebu akan menurunkan mutu produk gula
merah tebu yang dihasilkan.
30 Tabel 6. Harga tebu berdasarkan bulan tahun 2006
Bulan Harga kotak
Februari Rp 2.500.000 – 3.000.000
Maret Rp 2.750.000 – 3.100.000
April Rp 2.750.000 – 3.500.000
Mei Rp 2.900.000 – 3.500.000
Juni Rp 2.900.000 – 4.000.000
Sumber : Data Primer Sistem pembelian tebu yang dilakukan pengusaha industri gula merah di
Kecamatan Kebonsari adalah sistem borongan dimana tebu dijual tidak berdasarkan bobot melainkan per luas areal dalam terminologi responden adalah
kotak. Rata-rata luas per kotak adalah 0,143 Ha. Harga tebu yang dijual tergantung umur tebu, pada Tabel 6 dapat dilihat harga tanaman tebu tahun 2006.
Berdasarkan pengalaman petani tebu pada musim panen harga tebu akan terus meningkat sampai pada puncaknya antara bulan Agustus – September dan setelah
bulan tersebut harga tebu akan menurun. Penurunan harga tebu ini disebabkan umur tebu sudah terlalu tua dan sudah masuk musim penghujan sehingga
rendemen yang dihasilkan menurun.
PERSENTASE AREAL TANAMAN TEBU KABUPATEN MADIUN
12,41
9,71
11,56
8,81 10,10
47,41
Kebonsari Dolopo
Geger Jiwan
Balerejo Dagangan, Karee, Gemarang, Wungu, Madiun,
Mejay an, Saradan, Pil kenceng, Sawahan, W
i
Gambar 5. Grafik persentase areal tanaman tebu Kabupaten Madiun
31
LUAS AREAL TANAMAN TEBU KECAMATAN KEBONSARI
1.297 1.120
915 941
829 829
798 883
200 400
600 800
1.000 1.200
1.400
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003 2004
Tahun Ha
Gambar 6. Grafik luas areal tanaman tebu Kecamatan Kebonsari pada periode tahun 1997 – 2004
Gambar 6 menunjukkan rata-rata luas perkebunan tebu di Kecamatan Kebosari antara 1997 – 2004 adalah 952 Ha. Berdasarkan data dinas perkebunan
Kabupaten Madiun, antara tahun 1997 – 2003 luas area tanaman tebu di Kecamatan Kebonsari mengalami penurunan dan baru pada tahun 2004 terjadi
kenaikan. Hal tersebut disebabkan karena adanya pertimbangan mengalihkan usaha perkebunan tebu dengan tanaman alternatif. Menurut Soentoro et al., 1999
analisa kelayakan finansial usaha tani tebu dan usaha tani non-tebu di daerah sawah dan tegalan di Jawa Timur menunjukkan bahwa pendapatan bersih usaha
tani tebu di sawah secara keseluruhan tidak berbeda dengan tanaman alternatifnya.
Tabel 7. Kebutuhan bahan baku dan areal perkebunan tebu industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari.
Responden Produksi Hari
Ton Tebu Lama Produksi
Hari Kebutuhan Areal
Ha
A 2,50 150 3,75 B 1,86 120 2,23
C 3,65 210 7,67 D 1,64 120 1,97
E 3,38 240 8,11 F 2,37 180 4,27
G 3,08 210 6,47
Rata-rata 2,64 176 4,92
32 Produktivitas tebu per luas area adalah 100 tonHa sehingga rata-rata dalam
setahun Kecamatan Kebonsari mampu memproduksi tebu sebanyak 952.000 ton tebu. Tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan produksi industri gula
merah tebu adalah 2,64 ton tebuhari. Kegiatan pengolahan gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari dilakukan pada musim panen tebu yaitu antara bulan Mei –
Oktober. Berdasarkan hasil pengamatan, kegiatan pengolahan gula merah tebu juga dilakukan sebelum musim panen tebu. Tebu yang diolah sebelum musim
panen merupakan tebu yang ditebang pada umur 8 – 10 bulan dimana pucuk tebu hasil tebangan digunakan sebagai bibit. Hal tersebut tentu saja dapat
mempengaruhi mutu dan rendemen yang dihasilkan. 2. Bahan tambahan pangan dan penunjang produksi
Bahan tambahan pangan adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke
dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk bahan pangan Himpunan Alumni Fateta, 2005. Bahan tambahan yang digunakan dalam industri gula
merah tebu di Kecamatan Kebonsari adalah larutan kapur laru, dan minyak kelapa Tabel 8.
Tabel 8. Penggunaan dan harga bahan tambahan pangan
Bahan Tambahan Dosis wajan
11 – 13 kg gula Harga
kg
Minyak Kelapa 20 gram
Rp 4.800 Kapur
100 gram Rp 350
Natrium Metabisulfit 10 gram
Rp 8.000
Sumber : Data Primer Menurut Goutara dan Wijandi 1985, larutan kapur telah digunakan sebagai
pengendap kotoran atau pemurnian nira sejak tahun 1685. Kapur tohor yang digunakan untuk proses pemurnian nira umumnya dilarutkan dahulu di dalam air
menjadi susu kapur CaOH
2
. Penambahan larutan kapur dapat menetralkan pH nira serta mengendapkan kotoran-kotoran yang terlarut dalam nira Dinas
Perkebunan Propinsi Jawa Timur, 1997. Menurut Dachlan 1984 minyak kelapa merupakan senyawa anti buih. Penambahan minyak kelapa dapat menurunkan
33 tegangan permukaan larutan nira sehingga memperlambat pembentukan buih
sehingga nira tidak meluap. Bahan tambahan lain yang digunakan oleh pengusaha gula merah tebu adalah
Natrium Metabisulfit. Natrium metabisulfit merupakan bahan pewarna tambahan yang digunakan untuk memberikan warna kuning pada gula merah tebu.
Penambahan Natrium metabisulfit pada proses pemasakan bertujuan untuk mengurangi proses pencoklatan agar warna gula yang dihasilkan menjadi lebih
kuning dan cerah. Menurut Buckle 1987 adanya sulfit pada Natrium metabisulfit dapat menurunkan pH dan mampu menghalangi beraksinya gugus karbon gula
pereduksi agar tidak bereaksi dengan asam amino sehingga warna coklat kehitaman tidak terbentuk.
Bahan penunjang yang digunakan pada proses produksi gula merah tebu antara lain bahan bakar diesel, oli, dan aspal padat. Bahan bakar diesel berfungsi
untuk menjalankan diesel penggerak mesin giling. Oli berfungsi untuk melumaskan gigi gear pada mesin giling. Aspal padat berfungsi untuk membuat
sabuk transmisi belt yang menghubungkan mesin giling dan diesel tidak licin dan mudah lepas. Untuk mengolah 25 – 35 kw tebuhari, rata-rata bahan bakar
diesel dan oli yang digunakan adalah 8 liter dan 0,45 liter. Sebuah aspal padat dapat digunakan selama ± 2 – 3 bulan. Bahan penunjang produksi lain yang
digunakan pada industri gula merah tebu adalah bahan bakar untuk kendaraan. Penggunaan bahan bakar untuk kendaraan pengangkut tebu tergantung pada jarak
antara kebun dan pabrik, semakin jauh jarak tersebut akan meningkatkan penggunaan bahan bakar kendaraan.
3. Mesin dan peralatan Mesin dan peralatan yang digunakan dalam industri gula merah tebu di
Kecamatan Kebonsari antara lain golok, mesin diesel, mesin penggiling tebu, bak nira, gerobak, selang dan pipa, tungku masak, penahan bumbung, serok, ebor,
pengaduk, cetakan gula, ember, dan keranjang. Mesin diesel digunakan sebagai sumber tenaga penggerak bagi mesin penggiling Gambar 7.
Mesin diesel termasuk kelompok mesin bakar dalam. Menurut Pratomo dan Kohar 1983 motor bakar dalam merubah tenaga yang berasal dari
pengembangan gas hasil ledakan campuran bahan bakar dengan udara menjadi
34 tenaga mekanis. Tenaga yang dihasilkan dari pembakaran mesin diesel akan
mengubah gerak torak yang bolak balik dalam arah lurus menjadi gerak putar. Besarnya tenaga mesin diesel yang dimiliki oleh pengusaha industri gula merah
tebu di Kecamatan Kebonsari berkisar antara 12 – 14 PK.
Gambar 7. Mesin diesel dan mesin penggiling tebu Putaran yang dihasilkan mesin diesel akan diteruskan ke roda gila pada mesin
penggiling dengan sabuk transmisi belt sebagai alat penyalur putaran. Pratomo dan Kohar 1983 menyatakan bahwa penggerak berbentuk sabuk transmisi belt
bekerja atas dasar gesekan. Tenaga disalurkan dengan cara persinggungan antara sabuk transmisi belt yang menghubungkan puli penggerak dan puli yang
digerakkan. Keuntungan penggunaan sabuk transmisi belt sebagai alat penyaluran tenaga antara lain mudah dirancang, mudah dipasang, menyerap
getaran, mudah dirawat, murah, dan memungkinkan penghentian tenaga dengan mudah. Beberapa kerugian penggunaan sabuk transmisi belt adalah tidak tahan
lama dibanding penggerak lain, tidak dapat meneruskan beban berat, dan tidak dapat digunakan bila diperlukan ketepatan waktu yang tinggi.
Pada Gambar 8 dapat dilihat mesin penggiling tebu memiliki 3 buah gilingan. Berdasarkan pengamatan, ukuran gilingan yang digunakan berkisar antara 14 – 18
inci dengan kapasitas 1 – 2 ton tebujam. Prinsip kerja mesin penggiling adalah tebu yang ditekan press antara gilingan 1 dan 2 menghasilkan nira dan ampas
tebu bagase. Ampas tebu bagase keluar antara gilingan 1 dan 3, sedangkan nira yang dihasilkan keluar dari sekat antara gilingan 2 dan 3. Salah satu cara
untuk meningkatkan jumlah nira adalah mengatur jarak antara ketiga gilingan.
35 Pengaturan jarak yang tepat akan meningkatkan jumlah nira, dan bagase yang
dihasilkan tidak terlalu basah sehingga mempercepat penjemuran. Kesalahan pengaturan akan menurunkan jumlah nira, bagase terlalu basah, dan apabila jarak
antara ketiga gilingan terlalu rapat menyebabkan kerusakan pada mesin penggiling.
Gambar 8. Prinsip kerja mesin penggiling tebu Sebagian besar mesin diesel dan giling yang dimiliki pengusaha gula merah
tebu sudah tua dan mengalami banyak perbaikan. Mesin diesel dan giling yang digunakan biasanya dibeli bekas pakai atau dari tukang rongsok besi sehingga
harganya jauh lebih rendah dibandingkan membeli mesin baru. Hal tersebut menyebabkan mesin tidak efisien lagi untuk digunakan. Pengusaha gula merah
tebu lebih memperhatikan perawatan dan pengadaan suku cadang. Ketika tidak musim giling biasanya mesin diperbaiki service sehingga kondisinya baik ketika
akan digunakan. Apabila dalam kegiatan produksi terjadi kerusakan pada salah satu mesin biasanya digunakan suku cadang yang sudah dipersiapkan, sementara
bagian mesin yang rusak diperbaiki. Menurut Murdinah et al., 2002 perawatan mesin dan peralatan diperlukan
untuk menjamin kelancaran proses produksi. Perawatan perlu dilakukan secara periodik untuk mencegah terjadinya kerusakan fatal yang mendadak sehingga
dapat menghambat proses produksi. Perawatan juga berarti menyiapkan mesin dan peralatan pada kondisi puncak kerja dan memperpanjang umur ekonominya..
Tungku masak merupakan salah satu peralatan utama dalam proses pengolahan gula merah tebu. Tungku masak yang umumnya dimiliki pengusaha
industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari hanya menggunakan bahan bakar bagase. Selain bagase, sekam dapat digunakan sebagai bahan bakar tungku
masak. Penggunaan sekam biasanya hanya digunakan ketika cuaca tidak
36 mendukung untuk menjemur ampas tebu bagase sehingga terjadi kekurangan
bahan bakar ampas tebu bagase. Sebuah tungku masak terdiri dari tempat memasukkan bahan bakar, tempat
wajan pemasakan, tempat pengambilan abu, dan cerobong pembuangan asap. Wajan yang digunakan dalam sebuah tungku masak berjumlah 7 – 9 buah dengan
diameter 90 cm. Kapasitas wajan pemasakan adalah 68 liter nira dengan kemampuan menghasilkan 11 – 13 kg gula merah tebu. Desain tungku masak
seperti pada Gambar 9 dibuat miring agar uap panas lebih cepat dan merata. Bahan bakar ampas tebu bagase dan sekam yang dimasukkan ke tungku akan
dibakar. Api hasil pembakaran akan memanaskan wajan yang terdekat dengan sumber api, sedangkan wajan yang jauh hanya memanfaatkan uap panas hasil
pembakaran. Hal tersebut menyebabkan hanya wajan terdekat dengan sumber api yang digunakan untuk menurunkan nira yang sudak masak gulali.
Gambar 9. Desain tungku pemasakan gula merah tebu 4. Proses Produksi
Secara umum kegiatan proses produksi gula merah tebu di Kecamatan Tebu masih dilakukan berdasarkan aturan dan cara yang sudah diterapkan secara turun
temurun. Faktor utama yang digunakan untuk membedakan tingkat mutu dan kualitas produk gula merah tebu yang dihasilkan adalah warna dan kekerasan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurlela 2002 pembentukan warna gula pada dasarnya sangat bergantung pada dua hal, yaitu kondisi bahan
baku dan proses pengolahan gula merah. Kondisi bahan baku meliputi komposisi kimia nira kadar air, protein, asam organik, dan lemak, dan kondisi kesegaran
nira pH awal sebelum proses pemasakan. Kondisi proses pengolahan meliputi
37 suhu proses, pengadukan selama pemasakan, serta kondisi kebersihan proses dan
alat-alat yang digunakan. Selama ini kegiatan pengawasan mutu belum dilakukan secara optimal oleh pengusaha industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari
sehingga menyebabkan kualitas dan mutu produk gula merah tebu yang dihasilkan rendah.
Berdasarkan hasil observasi, pengamatan, dan wawancara diketahui bahwa tahapan dalam proses produksi gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari terdiri
dari penggilingan, pemasakan, pengentalan, pencetakan, pengemasan, dan penyimpanan. Diagram alir proses produksi pembuatan gula merah tebu dapat
dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Diagram alir proses gula merah tebu
38 a Penggilingan
Proses penggilingan adalah proses penghancuran batang tebu untuk mengekstraksi nira semaksimal mungkin Gambar 11. Sejak tahun 1975, proses
penggilingan tebu dilakukan menggunakan mesin giling yang digerakkan oleh mesin diesel dan dihubungkan dengan sabuk transmisi belt. Tebu sebagai bahan
baku gula merah dipilih yang sudah masak, agar diperoleh hasil gula yang tinggi. Berdasarkan wawancara dengan para pengusaha, umumnya tebu yang digunakan
industri gula merah tebu adalah tebu yang telah berumur minimal 11 – 12 bulan dengan rendemen rata-rata 10.
Gambar 11. Tahapan Proses Penggilingan Menurut Goutara dan Wijardi 1985 tebu dianggap siap panen jika bunganya
sudah habis, hanya tinggal tangkainya dan ruas batang dibagian pucuk sudah sangat pendek umur 11 – 14 bulan. Nira yang diperoleh memiliki kadar gula
yang berbeda, tergantung kandungan gula dalam tebu dan tingkat ekstraksi yang dilakukan. Kandungan gula dalam nira tebu tergantung pada faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan tebu meliputi curah hujan, jenis tanah, udara, suhu, dan pupuk yang dgunakan.
Dalam keadaan segar, nira mempunyai rasa manis, berbau harum, dan tidak berwarna. Nira yang digunakan haruslah bermutu tinggi agar dihasilkan gula
dengan mutu baik. Mutu nira ditentukan oleh kadar gula pereduksi dan keasamannya. Kadar gula pereduksinya harus lebih kecil atau sama dengan 8,
sedangkan tingkat keasaman atau pH yang baik adalah pH 6 – 7. Kondisi asam pH rendah pada nira menyebabkan terjadi kerusakan sakarosa inversi,
39 sedangkan kondisi basa pH tinggi menyebabkan terbentuknya gula reduksi. Gula
reduksi dalam nira terutama adalah heksosa, glukosa, fruktosa, dan manosa dalam jumlah sedikit.
Kerusakan nira ditandai dengan rasanya yang asam, berbuih, dan berlendir. Kerusakan ini terjadi karena aktivitas mikroba kontaminan yang menyebabkan
terjadinya fermentasi gula yang terdapat pada nira. Penghambatan kerusakan nira dapat dilakukan dengan cara memasukkan larutan kapur ke dalam bak penampung
nira dan memanaskan nira segera mungkin setelah digiling. Kemampuan menggiling industri gula merah tebu yang berada di Kecamatan
Kebonsari berkisar antara 2 – 4 ton tebuhari sehingga dalam sehari biasanya hanya dilakukan sekali pengangkutan. Tebu ditempatkan di sekitar mesin
penggiling untuk memudahkan dan mempercepat kegiatan penggilingan atau pemerahan nira. Tebu dimasukkan dalam mesin penggiling secara bertahap sesuai
dengan kemampuan mesin. Hasil tebangan tebu yang dilakukan termasuk tebangan bersih karena sebelum masuk penggilingan, kotoran berupa daun kering
tebu dan tanah sudah dibersihkan. Hasil pemerahan nira dari mesin penggiling akan ditampung dalam bak
penampung nira. Bak penampung yang digunakan terdiri dari bak penampung pertama dan kedua. Bak pertama berfungsi untuk menampung dan menyaring nira
dari kotoran-kotoran kasar, sedangkan bak kedua hanya berfungsi untuk menampung nira. Bak penampung kedua ditempatkan dekat tungku masak agar
memudahkan pemindahan nira dari bak penampung menuju wajan-wajan pemasakan.
b Pemasakan Menurut Abbas dan Nirawan 1980 proses pembuatan gula merah pada
prinsipnya adalah proses penguapan nira dengan cara pemanasan sampai nira mencapai kekentalan tertentu kemudian mencetaknya menjadi bentuk yang
diinginkan. Nira yang sudah ditampung kemudian dialirkan ke wajan pemasakan untuk segera dimasak. Menurut keterangan pengusaha gula merah tebu, nira harus
segera dimasak untuk menghindari kebusukan yang mengakibatkan gula menjadi hitam, pahit, dan bahkan tidak bisa mengeras.
40 Penambahan larutan kapur dilakukan ketika nira dialirkan ke wajan
pemasakan untuk mengendapkan kotoran pada nira. Kotoran yang dihasilkan biasa disebut untuk. Pada awal pemasakan untuk akan mengapung dibagian atas
nira bersama-sama dengan buih nira yang kemudian harus dibuang Gambar 12.a. Kegiatan penyaringan ini harus dilakukan secara cepat dan berkali-kali
sampai bersih karena apabila nira sudah hampir matang dan untuk tidak dibuang atau terlambat dibuang akan menyebabkan gula merah yang dihasilkan menjadi
berwarna hitam.
a b
Gambar 12. Tahapan proses pemasakan Seiring dengan peningkatan suhu dan lamanya pemasakan menyebabkan nira
menjadi masak dan menghasilkan banyak buih Gambar 12.b. Untuk menghindari meluapnya buih yang berlebihan maka wajan ditutup dengan
penahan bumbung yang terbuat dari anyaman bambu, selain itu penggunaan penahan bumbung juga bertujuan untuk menghindari bercampurnya buih nira
dari satu wajan ke wajan yang lain. Pengolahan gula merah tebu dengan pemanasan menyebabkan produk
memiliki warna yang bervariasi dari kuning hingga coklat tua, tetapi pada umumnya berwarna coklat kemerahan. Menurut Nengah 1990 warna merah
yang terbentuk karena adanya reaksi pencoklatan browning selama proses pemasakan. Suhu awal pemasakan nira berkisar antara 60 – 70
C dan semakin lama suhu akan meningkat sampai 110 – 120
C. Pengaturan suhu pemasakan tidak dilakukan secara langsung melainkan secara intuisi feeling oleh pekerja
pengatur api. Pengaturan suhu bertujuan untuk mengurangi terjadinya reaksi
41 pencoklatan browning karena suhu pemasakan terlalu tinggi. Tingginya suhu
pemasakan dan terlalu lama dalam memasak nira dapat menyebabkan produk gula yang dihasilkan gosong dan berwarna hitam.
Proses pematangan nira berlangsung pada 2 – 3 wajan yang terdekat pada sumber api karena panas pada wajan-wajan tersebut lebih tinggi dibandingkan
dengan wajan yang jauh dari sumber api. Nira yang sudah hampir masak ditambahkan minyak kelapa dan Natrium Metabisulfit. Sebelum nira masak
dipindahkan ke tempat pengentalan biasanya diambil sedikit larutan gula gulali masak dan dicelupkan ke dalam air. Apabila larutan gula gulali tersebut
membentuk benang-benang gula atau dapat sedikit mengeras setelah dimasukkan dalam air maka larutan gula gulali siap dipindahkan ke tempat pengentalan.
c Pengentalan dan Pencetakan Proses pengentalan larutan gula gulali merupakan proses pendinginan dan
pengadukan dalam tempat pengentalan. Tempat pengentalan yang digunakan terbuat dari wajan dengan diameter 90 cm. Proses pengentalan larutan gula
gulali tidak membutuhkan sumber panas sehingga larutan gula gulali cukup diturunkan suhunya dengan pengadukan secara kontinu sampai cukup
kekentalannya Gambar 13.a. Pengadukan dilakukan selama 10 menit di dalam wajan pengentalan menggunakan pengaduk yang terbuat dari bambu yang bagian
atasnya diikat pada kayu bagian atap bangunan pabrik.
a b
Gambar 13. Tahapan proses pengentalan dan pencetakan
42 Pada proses pembuatan gula merah, proses penggumpalan larutan gula
merupakan proses pembesaran kristal, yatu penempelan sakarosa pada inti kristal yang ada setelah proses pemasakan. Pendinginan dan pengadukan yang dilakukan
akan menurunkan suhu larutan gula gulali yang mengakibatkan naiknya koefisien kejenuhan. Naiknya koefisien kejenuhan ini mengakibatkan terjadinya
penempelan sakarosa pada inti kristal yang ada sebelumnya. Pengadukan yang terus menerus akan menyebabkan larutan gula gulali menjadi padat.
Larutan gula gulali yang mulai dingin dan sedikit mengeras kemudian dicetak menggunakan cetakan lemper Gambar 13.b. Cetakan lemper yang
digunakan berbentuk piring berdiameter 18 cm dan terbuat dari tanah liat. Gula merah tebu yang sudah dicetak disimpan selama 5 – 10 menit untuk
mendinginkan dan mengeraskan gula merah tebu. Gula merah tebu yang telah dingin dan keras kemudian dilepaskan dari cetakan dan disusun kedalam
keranjang bambu. d Pengemasan dan Penyimpanan
Tahap terakhir proses produksi gula merah tebu adalah pengemasan dan penyimpanan. Pengemasan dan penyimpanan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari proses produksi, khususnya untuk pengawetan bahan pangan, baik untuk konsumsi sendiri maupun untuk dijual pada masa yang akan datang.
Pengemasan diperlukan untuk memperpanjang umur simpan dan mencegah terjadinya penurunan mutu produk gula akibat penyerapan air. Bahan kemasan
produk gula yang digunakan adalah plastik dan dikemas antara 5 – 6 kgkemasan.
a b
Gambar 14. Tahapan proses pengemasan dan penyimpanan
43 Kegiatan pengemasan tidak dilakukan oleh semua pengusaha industri gula
merah tebu yang ada di Kecamatan Kebonsari karena memerlukan biaya tambahan untuk membeli plastik. Gula merah tebu hanya disimpan dalam
keranjang bambu, dimasukkan dalam karung, ditutupi plastik besar, dan hanya disimpan di dalam keranjang.
Kegiatan penyimpanan biasanya hanya dilakukan pengusaha pada masa akhir giling atau ketika harga produk gula merah tebu rendah. Tujuan penyimpanan
gula adalah sebagai tabungan yang akan dijual pada waktu tidak giling. Gula yang disimpan biasanya berasal dari tebu sendiri yang dimiliki pengusaha baik melalui
pengolahan lahan sewa atau tanah sendiri. Penyimpanan jarang dilakukan terhadap gula yang dihasilkan dari proses pengolahan dengan tebu yang dibeli dari
Tebu Rakyat Bebas TRB karena biasanya uang hasil penjualan produk langsung digunakan lagi untuk modal kerja. Kendala rendahnya kepemilikan modal kerja
yang dimiliki pengusaha menyebabkan kegiatan penyimpanan produk gula merah tebu tidak dilakukan untuk jangka waktu lama.
5. Penanganan Limbah dan Sanitasi Limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan gula merah tebu adalah daun
tebu, ampas tebu bagase, kotoran hasil pemasakan untuk, abu dan asap hasil pembakaran bahan bakar bagase dan sekam. Ampas tebu bagase yang dihasikan
dari proses penggilingan merupakan bahan bakar utama tungku pemasakan selain daun tebu kering dan sekam. Ampas tebu bagase yang masih basah disimpan 1 –
2 hari di ruang bahan bakar sehingga tidak terlalu basah, kemudian ampas tebu bagase tersebut dijemur sebentar lalu dipisahkan dan disimpan dekat tungku
pemasakan untuk digunakan sebagai bahan bakar. Limbah abu dan untuk yang dihasilkan pada proses pemasakan belum
dikelola dan dimanfaatkan oleh pengusaha gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari. Selama ini limbah abu hanya digunakan untuk menimbun tanah-tanah
yang rendah, sedangkan limbah untuk hanya dibuang dalam kolam atau disekitar pabrik. Keterbatasan pengetahuan dan alasan praktis menyebabkan pengusaha
tidak memanfaatkan limbah abu dan untuk yang dihasilkan. Menurut Silitonga 1985 pakan ternak masih menggantungkan sebagian
besar hijauan limbah pertanian jerami dan limbah perkebunan daun tebu serta
44 rumput alam sebagai sumber makanan pokok. Rochiman 1985 menambahkan
pucuk tebu sebagai pakan ternak telah digunakan oleh peternak dan sangat mudah diperoleh pada saat musim tebu tanpa memerlukan biaya. Penggunaan pucuk tebu
diberikan pada ternak dalam bentuk segar dengan membuang tulang daunnya memberikan hasil yang baik terhadap pertumbuhan ternak.
Secara umum kegiatan sanitasi yang dilakukan dalam industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari belum terlaksana dengan baik. Kegiatan sanitasi
hanya dilakukan terhadap peralatan produksi, sedangkan sanitasi terhadap pekerja belum diterapkan. Pada kegiatan sanitasi rutin yang dilakukan setiap hari,
pembersihan mesin penggiling tebu, tungku masak, dan alat-alat produksi seperti serok, ebor, penahan, dan cetakan lemper belum optimal dan bahkan tidak
dilakukan. Selama proses produksi tungku masak hanya dibersihkan satu kali yaitu pada saat awal musim giling. Pembersihan dilakukan dengan cara
mengambil abu hasil pembakaran selama satu musim, kemudian tungku dibakar sampai membara dan dibiarkan dingin. Setelah dingin tungku masak dibersihkan
dengan air sampai bersih dan siap digunakan untuk memasak nira tebu. Pada kegiatan produksi para pekerja biasanya hanya mengenakan pakaian
kerja yang sudah kotor dan dipakai berhari-hari. Keringan dan kotoran lain pada badan pekerja yang mengolah gula merah tebu merupakan sumber kontaminasi
yang sangat besar bagi nira tebu maupun terhadap produk gula merah tebu yang dihasilkan. Kegiatan sanitasi terhadap mesin dan peralatan produksi seperti mesin
giling, tungku pemasakan, serok, ebor, penahan, dan cetakan lemper sebaiknya selalu dibersihkan setiap hari atau setelah proses produksi. Salah satu alternatif
penyelesaian masalah santasi pekerja adalah sebaiknya pekerja menggunakan pakaian kerja yang bersih dan selalu mengganti pakaian kerja setiap hari.
Kegiatan sanitasi yang baik akan mengurangi resiko kontaminasi kotoran terhadap bahan baku nira tebu dan produk gula merah tebu yang dihasilkan.
d. Aspek Pemasaran