Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
3.2 Metoda Penelitian
Metoda yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling adalah “Purposive Random Sampling”. Ditentukan 4 stasiun pengamatan di daerah penelitian. Dibuat 3
transek pada setiap stasiun pengamatan dengan ukuran 50 x 4 meter sejajar garis pantai. Jarak setiap transek 10 meter, sedangkan jarak setiap stasiun adalah 300 meter.
Metoda yang digunakan dalam pengamatan sample adalah Foto dan Visual Sensus,
dimana pengamatan sampel dengan cara merenang snorkling dan menyelam diving sepanjang transek yang sudah ditentukan. Waktu yang dibutuhkan untuk mengamati
setiap transek kurang lebih 1 jam. Jenis Echinodermata yang diperoleh difoto, diamati bentuk morfologi tubuh, dihitung dan diidentifikasi.
3.3 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan
Faktor fisik kimia perairan yang diukur mencakup:
3.3.1 Suhu ºC
Suhu air diukur dengan menggunakan alat termometer. Diambil satu ember dari sampel air kemudian termometer dimasukkan kedalamnya. Lalu dibaca skala dari
termometer tersebut dan dicatat.
3.3.2 pH Derajat Keasaman
Pengkuran pH dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke dalam sampel air yang diambil dalam ember. Kemudian dibaca angka yang
tertera pada pH meter tersebut.
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
3.3.3 Salinitas ‰
Salinititas perairan diukur dengan menggunakan refraktometer yaitu dengan cara sampel air diambil dengan menggunakan pipet tetes. Pada permukaan dasar yang
telah dibersihkan diteteskan 1 tetes, ditutup dan dibaca skala penunjuk angka.
3.3.4 Oksigen Terlarut atau Disolved Oxygen DO mgl
Disolved Oxygen DO diukur dengan menggunakan metoda winkler. Sampel air diambil dari dasar perairan dan dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian
dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Dengan menggunakan reagen-reagen kimia yaitu MnSO
4
, KOHKI, H
2
SO
4
, Na
2
S
2
O
3,
dan amilum. Alur kerja DO dapat dilihat pada lampiran A.
3.3.5 BOD
5
Pengukuran BOD
5
dilakukan dengan menggunakan metoda winkler. Sampel air yang diambil dari dasar perairan dimasukkan ke dalam botol winkler. BOD
5
diukur dengan menggunakan reagen-reagen kimia yaitu MnSO
4
, KOHKI, H
2
SO
4
, Na
2
S
2
O
3,
dan amilum. Alur kerja BOD
5
dapat dilihat pada lampiran B.
3.3.6 Penetrasi cahaya cm
Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan dengan menggunakan keping secchi yang dimasukkan kedalam air hingga tidak nampak dari permukaan, kemudian diukur
panjang tali sebagai kedalaman penetrasi cahaya.
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
3.3.7 Kejenuhan Oksigen
Kejenuhan = 100
x t
DO u
DO Keterangan:
DO u = DO yang diukur di lapangan
DO t = DO yang ada pada
Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia berserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada tabel 3.1
Tabel 3.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik
Kimia Perairan
No. Parameter
Fisik – Kimia Satuan
Alat Tempat
Pengukuran 1
Suhu air C
Termometer In-situ
2 Penetrasi Cahaya
Cm Keping Seechi
In-situ 3
Intensitas Cahaya Candela Lux Meter
In-situ 4
pH air -
pH air In-situ
5 DO
Mgl Metoda Winkler
In-situ 6
Kejenuhan Oksigen
Tabel DO
In-situ 7
BOD
5
Mgl Metoda Winkler dan
Inkubasi Laboratorium
8 Salinitas
‰ Refraktometer
In-situ 9
Jenis substrat --
In-situ
3.4 Analisa Data
Data Fauna Echinodermata yang diperoleh dihitung nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Wienner, indeks
equitabilitas dan indeks similaritas dengan persamaan menurut Michael 1984 dan Krebs 1985 sebagai berikut:
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
3.4.1 Kepadatan Populasi K
K =
sampel n
pengambila area
Luas jenis
suatu individu
Jumlah
3.4.2 Kepadatan Relatif KR
KR = 100
x Spesies
suatu Ind
Jlh TotalK
dengan: ni = jumlah individu spesies 1
∑ N
= total individu seluruh spesies
3.4.3
Frekuensi Kehadiran FK
FK =
100 x
plot total
Jumlah jenis
suatu ditempati
yang plot
Jumlah
dimana nilai FK : 0 – 25
= sangat jarang 25 – 50
= jarang 50 – 75
= sering 75
= sangat sering
3.4.4 Indeks Diversitas Shannon – Wienner H’
H’= -
∑
pi ln
pi
dimana :H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner
pi = proporsi spesies ke-i
In = logaritma nature
pi =
Σ niN Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
dengan nilai H’: 0H’2,302
= keanekaragaman rendah 2,302H’6,907
= keanekaragaman sedang H’6,907
= keanekaragaman tinggi
3.4.5 Indeks Equitabilitas E
Indeks equitabilitas E =
max H
H
dimana :H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner
H maks = keanekaragaman spesies maksimum
= In S dimana S banyaknya spesies dengan nilai E berkisar antara 0-1
3.4.6 Indeks Similaritas IS
IS =
100 x
b a
2c +
dengan: a = jumlah spesies pada lokasi a b = jumlah spesies pada lokasi b
c = jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b Bila: IS = 75 – 100
: sangat mirip IS = 50 – 75
: mirip IS = 25 – 50
: tidak mirip IS =
≤ 25 : sangat tidak mirip
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Parameter Biotik
Hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat 13 spesies Echinoermata, terdiri dari: 1 filum, 4 kelas, 5 ordo, 7 famili, 11 genus dan 13 spesies.
Tabel 4.1 Klasifikasi dan Jenis Echinodermata yang didapat pada Stasiun Penelitian
Filum Kelas
Ordo Famili
Genus Spesies
1
Echinodermata Asteroidea
Spinulosida Acanthasteridae
Achantaster A. plancii
2 Valvatida
Ophidiasteridae Linkia
L. laevigata
3
Protoreaster P. nodosus
4 Oreasteridae
Culcita Culcita sp
5 Crinoidea
Comatulida Colobometridae
Colobometra Colobometra sp
6 Comasteridae
Comanthus Comanthus sp
7 Echinoidea
Cidaroidea Diadematoidae
Diadema Diadema sp
8 Echinometridae
Echinometra Echinometra sp
9 Holothuroidea
Aspidochirotida
Holothuroidae
Actinopyga A.lecanora
10 Holothuria
H. atra
11
H.edulis
12 Holothuria sp
13 Pearsonothuria
P. graffei
Deskripsi jenis Echinodermata yang ditemukan menurut Patrick L. C. Charles A.
1995 dan Nontji 1993 , seperti yang tertera dibawah ini:
a. Achantaster plancii kaki seribu
Hewan ini dari kelas Asteroidea atau sering disebut kaki seribu yang memiliki lengan banyak dan seluruh tubuhnya ditutupi oleh duri. Warna tubuh dominan biru
dan bagian tepi berwarna hitam Gambar 4.1.1 Achantaster plancii. Hewan ini ditemukan menempel di terumbu karang atau di bawah karang berbentuk meja.
Menurut Patrick L. C. Charles A. 1995, bintang laut berlengan banyak dan seluruh tubuhnya ditutupi oleh duri yang panjangnya kira-kira 2-4 cm. Permukaan
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
tubuh hewan ini kira-kira 20-30 cm. Lengannya berjumlah kira-kira 10-20 buah. Hewan ini memakan polip karang mati atau yang hidup.
Foto dilapangan Foto Patrick L. C. Charles A.
Gambar 4.1.1 Achantaster plancii
b. Culcita sp bantal raja
Jenis bintang laut yang tidak memiliki lengan, berbentuk seperti segi lima. Tubuh tebal seperti roti. Warna tubuh hewan ini kuning kecoklatan Gambar 4.1.2
Culcita sp. Menurut Patrick L. C. Charles A. 1995, pada saat muda memiliki bentuk tubuh yang berbeda yaitu pipih, setelah dewasa berbentuk seperti segi lima
dengan diameter kira-kira 20 cm. Hidup di terumbu karang, pasir dan padang lamun.
Gambar 4.1.2 Culcita sp Foto dilapangan
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
c. Linkia laevigata bintang laut Berbentuk bintang yang memiliki lengan lima dan warna sangat menjolok atau
kontras dengan lingkungan yaitu coklat muda, coklat tua, biru, jingga. Tiap lengan berbentuk memanjang dan langsing. Permukaan tubuh halus dan tidak terdapat
tonjolan-tonjolan Gambar 4.1.3 Linkia laevigata. Nontji 1993, tiap lengan berbentuk memanjang dan langsing sampai kira-kira 15 cm atau lebih, hidup di
terumbu karang, pasir dan padang lamun.
Gambar 4.1.3 Linkia laevigata Foto dilapangan
d. Protoreaster nodosus bintang laut
Berbentuk bintang lengan lima dan tergolong besar. Warna coklat kemarahan dan terdapat tonjolan-tonjolan berwarna hitam. Ujung setiap lengan berwarna hitam
Gambar 4.1.4 Protoreaster nodosus. Nontji 1993, diameter tubuhnya kira-kira 10 cm. Ukuran hewan ini lebih besar dibanding dengan Linkia laevigata. Hidup di
terumbu karang, pasir dan padang lamun.
Gambar 4.1.4 Protoreaster nodosus Foto Patrick L. C. Charles A.
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
e. Colobometra sp lili laut Memiliki bentuk tubuh yang indah apabila hewan ini berenang. Warna tubuh
hitam Gambar 4.1.5 Colobometra sp. Menurut Nontji 1993, memiliki lengan yang banyak kira-kira sebanyak 12 buah atau lebih. Hewan ini berpegang pada batu atau
tumbuhan dengan alat yang disebut dengan cirri dan hidup di terumbu karang, pasir dan padang lamun.
Gambar 4.1.5 Colobometra sp Foto dilapangan
f. Comanthus sp lili laut
Memiliki bentuh tubuh yang indah apabila hewan ini berenang. Warna kuning dan ujung cirrinya berwarna biru Gambar 4.1.6 Comanthus sp. Menurut Nontji
1993, memiliki lengan yang banyak kira-kira sebanyak 12 buah atau lebih. Hewan ini berpegang pada batu atau tumbuhan dengan alat yang disebut dengan cirri. Hidup
menempel pada terumbu karang, tumbuhan, pasir dan padang lamun.
Gambar 4.1.6 Comanthus sp Foto dilapangan
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
g. Diadema sp bulu babi
Bulu babi Diadema sp, tubuh berwarna hitam dan ada juga berwarna putih. Seluruh tubuhnya ditutupi dur i yang tajam, lancip dan sangat rapuh Gambar 4.1.7
Diadema sp. Hidup berkelompok, satu kelompok dapat terdiri atas 20-40 individu atau lebih. Nontji 1993, seluruh tubuhnya ditutupi duri yang berukuran kira-kira
mencapai 10 cm. Makanannya alga dan partikel organik atau detritus. Biasanya hidup berkelompok untuk dapat saling melindungi terhadap ancaman musuh-musuhnya dan
mungkin juga untuk lebih memudahkan terjadinya fertilisasi. Ada juga beberapa ikan kecil yang senang hidup untuk berlindung disela duri-duri bulu babi.
Foto dilapangan
Foto Patrick L. C. Charles A. Gambar 4.1.7 Diadema sp
h. Echinometra sp bulu babi
Foto dilapangan Foto Patrick L. C. Charles A.
Gambar 4.1.8 Echinometra sp
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
Echinometra sp mirip dengan Diadema sp, bedanya hewan ini memiliki duri lebih pendek, gemuk dan pendek dibanding Diadema sp. Tubuh berwarna hitam dan
duri berwarna putih Gambar 4.1.8 Echinometra sp. Menurut Patrick L. C. Charles A. 1995, makanannya alga dan partikel organik atau detritus. Hidup di terumbu
karang, karang mati dan batu. i. Holothuria atra teripang
Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris, dengan mulut pada salah satu ujungnya dan dubur pada salah satu ujungnya. Terdapat tentakel-tentakel bercabang
yang mengelilingi mulut. Warna hitam Gambar 4.1.9 Holothuria atra. Menurut Patrick L. C. Charles A. 1995, tubuh berotot tebal, lembek atau licin, kulitnya
halus. Sering dijumpai membenamkan diri dalam pasir atau dipermukaan pasir, panjang tubuh kira-kira sekitar 10-30 cm.
Gambar 4.1.9 Holothuria atra Foto Patrick L. C. Charles A. j. Holothuria edulis teripang pasir
Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris, dengan mulut pada salah satu ujungnya
dan dubur pada salah satu ujungnya. Warna tubuh bagian atas warna hitam sedangkan bagian bawah warna merah Gambar 4.1.10 Holothuria edulis. Menurut Patrick L.
C. Charles A. 1995, terdapat tentakel-tentakel bercabang yang mengelilingi mulut. Tubuh berotot tebal, lembek atau licin, kulitnya halus. Sering dijumpai membenamkan
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
diri dalam pasir, dipermukaan pasir padang lamun dan terumbu karang dan panjangnya kira-kira sekitar 10-30 cm.
Gambar 4.1.10 Holothuria edulis Foto dilapangan k. Actinopyga lecanora teripang
Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris, dengan mulut pada salah satu ujungnya dan dubur pada salah satu ujungnya. Terdapat tentakel-tentakel bercabang
yang mengelilingi mulut. Warna coklat dan terdapat bercak-bercak hitam Gambar 4.1.11 Actinopyga lecanora. Nontji 1993, tubuh berotot tebal, lembek dan
permukaan kulit kasar dan panjangnya kira-kira sekitar 10-30 cm. Sering dijumpai membenamkan diri dalam pasir dan dipermukaan pasir padang lamun dan terumbu
karang.
Gambar 4.1.11 Actinopyga lecanora Foto Patrick L. C. Charles A. l. Holothuria sp teripang
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris dan terdapat mulut pada salah satu ujungnya dan dubur pada salah satu ujungnya. Tubuh berotot tebal, lembek atau
licin, kulitnya halus. Warna abu-abu dan memiliki garis di punggung atau sisinya berwarna hitam Gambar 4.1.12 Holothuria sp. Menurut Patrick L. C. Charles A.
1995, terdapat tentakel-tentakel bercabang yang mengelilingi mulut dan panjangnya kira-kira sekitar 10-30 cm. Sering dijumpai membenamkan diri dalam pasir atau
dipermukaan pasir.
Gambar 4.1.12 Holothuria sp Foto dilapangan
m. Pearsonothuria graffei Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris dan berotot tebal, permukaan
tubuh kasar. Warna abu-abu kekuningan dan bulat-bulat berwarna coklat Gambar 4.1.13 Pearsonothuria graffei. Menurut Patrick L. C. Charles A. 1995,
Dengan mulut pada salah satu ujungnya dan dubur pada salah satu ujungnya. Terdapat tentakel-tentakel bercabang yang mengelilingi mulut. Sering dijumpai membenamkan
diri dalam pasir, dipermukaan pasir padang lamun dan terumbu karang. Panjangn kira- kira sekitar 10-30 cm.
Gambar 4.1.13 Pearsonothuria graffei Foto dilapangan
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
4.1.1 Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran Echinodermata.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh nilai Kepadatan Populasi ind.m
2
, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran pada setiap stasiun penelitian pada Tabel 4.2 berikut:
Tabel 4.2 Nilai Kepadatan Populasi ind.m
2
, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran pada setiap stasiun penelitian
NO Spesies
Stasiun 1 Stasiun 2
Stasiun 3 Stasiun 4
K KR
FK K
KR FK
K KR
FK K
KR FK
I Asteroidae
1 Achantaster plancii
0,011 1,694
66,66 0,011
1,940 66,66
0,015 3,198
66,66 -
- -
2 Culcita sp
- -
- 0,015
2,645 66,66
0,005
1,066 33,33
- -
- 3
Linkia laevigata 0,066
10,169 100
0,144 24,691
100 0,111
21,321 100
0,075 10,638
100 4
Protoreaster nodosus
0,005
0,847 33,33
0,011 1,940
66,66 -
- -
- -
- II
Crinoidae
5 Colobometra sp
0,033 5,084
100 0,033
5,291 100
0,025 5,330
100 0,025
3,546 66,66
6 Comanthus sp
0,115 19,491
100 29,100
0,165
100 30,916
0,145
100 0,155
21,985 100
III Echinodae
7 Diadema sp
42,372
0,255
100 0,085
14,991 100
0,099 21,108
100 41,134
0,299
100 8
Echinometra sp 0,045
7,627 100
0,011 1,763
33,33 -
- -
0,055 7,801
100
IV Holothuroidae
9 Actinopyga
lecanora
0,005
0,847 33,33
0,005
0,881 33,33
0,005
1,066 33,33
0,005
0,709 33,33
10 Holothuria atra
- -
- 0,015
2,645 66,66
0,011 2,132
66,66 0,011
1,418 66,66
11 Holothuria edulis
0,005
0,847 33,33
0,015 2,645
66,66
0,005
1,066 33,33
0,011 1,418
33,33 12
Holothuria sp 0,022
3,389 66,66
0,015 2,645
66,66 0,015
3,198 66,66
0,022 2,833
66,66 13
Pearsonothuria graffei
0,045 7,627
100 0,055
8,818 100
0,045 9,594
100 0,066
8,510 100
Ket: Stasiun 1: Daerah terkena tsunami Stasiun 2: Daerah kontrol.
Stasiun 3: Daerah tempat wisata Stasiun 4: Daerah terkena tsunami dan dekat pemukiman masyarakat
Hasil perhitungan pada stasiun 1 mendapatkan bahwa spesies Diadema sp memiliki nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi
sebesar 0,255 indm
2
K, 42,372 KR dan 100 FK. Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran yang terendah pada 3 spesies yaitu Protoreaster
nodosus, Actinopyga lecanora dan Holothuria edulis yaitu sebesar 0,005 indm
2
K, 0,847 KR dan 33,33 FK. Tingginya nilai kepadatan Diadema sp pada stasiun
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
ini, karena hewan ini menyukai terumbu karang yang rusak atau mati dan batuan. Menurut Romimohtarto Juwana 2001, habitat hewan ini adalah koloni karang
mati, pasir, batu dan terumbu karang. Pada stasiun ini tidak ada ditemukan Culcita sp dan Holothuria atra, hal ini karena rendahnya persen tutupan karang pada stasiun ini,
selain itu hewan ini sering hidup pada substrat yang berupa rumput laut atau padang lamun sedangkan substrat di tempat ini berupa batu, pasir, koloni karang. Kondisi
lingkungan di stasiun ini memiliki terumbu karang yang rusak karena pengaruh dari tsunami yang terjadi pada tahun 2004, tidak terdapat aktivitas masyarakat atau bahan
pencemar yang merusak kondisi lingkungannya. Kondisi faktor fisik kimia perairan masih tergolong alami dan tidak terdapat bahan-bahan pencemar yang merusak
lingkungan. Hasil pada stasiun 2 mendapatkan bahwa spesies Comanthus sp memiliki nilai
Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi sebesar 0,165 indm
2
K, 29,100 KR dan 100 FK. Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran yang terendah pada spesies Actinopyga lecanora, sebesar 0,005
indm
2
K, 0,881 KR dan 33,33 FK. Kondisi lingkungan stasiun ini merupakan kontrol, dimana tidak terdapat aktivitas masyarakat atau bahan pencemar
yang merusak kondisi lingkungannya dan memiliki terumbu karang yang baik. Kondisi faktor fisik kimia perairan Tabel 4.6 pada daerah ini masih tergolong alami
dan cocok untuk pertumbuhan Echinodermata dan tidak ditemukan bahan-bahan pencemar yang mempengaruhi perairan ini. Rendahnya Actinopyga lecanora
ditemukan pada stasiun ini karena penelitian dilakukan pada siang padahal hewan ini aktif pada malam hari. Menurut Brotowidjoyo 1994, teripang Actinopyga lecanora
ini jarak ditemukan karena memiliki sifat bergerakmerayap lambat sekali, biasanya bersembunyi dalam lubang atau celah batu atau menanamkan diri dalam lumpur atau
pasir laut dan hanya bagian posteriornya saja yang nampak. Umumnya hewan ini aktif pada malam hari berkeliaran pada mencari makan.
Hasil perhitungan pada stasiun 3 diperoleh bahwa spesies Comanthus sp memiliki nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi
sebesar 0,145 indm
2
K, 30,916 KR dan 100 FK. Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran terendah didapatkan pada Culcita sp, Actinopyga
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
lecanora dan Holothuria edulis sebesar 0,005 indm
2
K, 1,066 KR dan 33,33 FK. Hal ini karena kondisi faktor fisik kimia perairan sesuai bagi pertumbuhan
Comanthus sp misalnya suhu, pH, Intensitas Cahaya dan substrat dasar perairan berupa pasir, batu dan koloni karang. Stasiun ini merupakan tempat wisata, terdapat
tempat penginapan dan tempat menyelam wisatawan. Daerah ini masih memiliki terumbu karang yang baik karena aktivitas masyarakat tidak terlalu berpengaruh
terhadap lingkungan. Menurut Koesbiono 1979, kadar organik pada substrat adalah satu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan makrozoobenthos, dimana kadar
organik ini adalah sebagai nutrisi bagi makrozoobenthos tersebut. Pada perairan yang kaya bahan organik, umumnya terjadi peningkatan populasi hewan benthos.
Di daerah ini tidak ditemukan Protoreaster nodosus dan Echinometra sp. Hal ini karena Protoreaster nodosus memiliki bentuk tubuh yang unik dan warna yamg
menarik sehingga banyak masyarakat yang mengambil. Selain itu hewan ini sering hidup pada substrat yang berupa rumput laut atau padang lamun sedangkan substrat di
tempat ini berupa batu, pasir, koloni karang. Romimohtarto Juwana 2001, menyatakan hewan ini peka terhadap lingkungan, tetapi mempunyai kemampuan
regenerasi tinggi sehingga dapat menyembuhkan diri jika ada luka.
Hasil perhitungan pada stasiun 4 mendapatkan bahwa spesies Diadema sp memiliki nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi,
sebesar 0,299 indm
2
K, 41,134 KR dan 100 FK. Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran yang terendah pada Actinopyga lecanora
sebesar 0,005 indm
2
K, 0,709 KR dan 33,33 FK. Jenis Achantaster plancii, Culcita sp dan Protoreaster nodosus tidak ada ditemukan pada lokasi ini karena
substrat yang dijumpai berupa karang mati, batu, pasir dan sedikit dijumpai karang hidup sedangkan habitat Echinodermata adalah terumbu karang. Kondisi lingkungan
pada stasiun ini, memiliki terumbu karang yang rusak kategori buruk. Rusaknya terumbu karang pada daerah ini bukan karena pengaruh Diadema sp yang banyak,
tetapi karena pengaruh dari tsunami yang terjadi pada tahun 2004 dan terdapat aktivitas masyarakat seperti pemukiman penduduk, keramba udang, penggunaan kapal
mesin sehingga membuat terumbu karang rusak. Menurut Wargadinata 1995, menyatakan beberapa genus benthos ada yang dapat mentolerir perubahan faktor
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
lingkungan yang besar dan drastis atau dapat mentolerir faktor lingkungan yang sangat ekstrim.
Hasil penelitian yang dilakukan bila dibandingkan dengan penelitian Eddy Y. 2003 yang berada di Aceh Selatan Nanggroe Aceh Darussalam maka diperoleh
keanekaragaman echinodermata di daerah ini lebih banyak dibanding perairan P. Rubiah. Daerah Aceh Selatan ditemukan sebanyak 20 spesies dari 5 kelas
Echinodermata sedangkan di P. Rubiah terdapat 13 spesies dari 4 kelas Echinodermata. Rendahnya Echinodermata di P. Rubiah karena pengaruh bencana
tsunami yang melanda tempat ini tahun 2004, dimana terjadi kerusakan terumbu karang sebagai habitat dari hewan ini sedangkan daerah Aceh Selatan memiliki
lingkungan yang masih baik untuk pertumbuhan Echinodermata. 4.1.2 Indeks Keanekaragaman H’, Indeks Keseragaman E dan Indeks Persen
Tutupan Karang r pada Setiap Stasiun Penelitian
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh nilai Indeks Keanekaragaman H’, Indeks Keseragaman E dan
Indeks Persen Tutupan Karang r pada setiap stasiun penelitian pada Tabel 4.3 berikut:
Tabel 4.3 Indeks Keanekaragaman H’, Indeks Keseragaman E dan Indeks Persen Tutupan Karang r pada Setiap Stasiun Penelitian
Indeks Stasiun 1
Stasiun 2 Stasiun 3
Stasiun 4 Keanekaragaman H
1,764 1,859
1,854 1,720
Persen Tutupan Karang r
50,82 73,10
59,68 16,28
Keseragaman E 0,709
0,748 0,773
0,692
Dari hasil perhitungan didapat Indeks Keanekaragaman H’ tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 1,859 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 1,720. Tingginya
nilai Indeks Keanekaragaman pada stasiun 2, karena daerah merupakan kontrol dan tidak ditemukan aktivitas masyarakat atau bahan pencemar dan memiliki terumbu
karang yang baik. Stasiun 4 memiliki terumbu karang yang rusak akibat dari bencana tsunami yang melanda tempat ini tahun 2004 dan merupakan daerah pemukiman
penduduk. Barus, 2004 menyatakan suatu komunitas dikatakan mempunyai
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies yang relatif merata. Dari nilai Indeks
Keanekaragaman yang diperoleh berkisar antara 1,720-1,859 dapat digolongkan bahwa pada daerah ini memiliki nilai keanekaragaman rendah.
Hasil penelitian Taripar N. Fitria M. 2009 di Pulau Rubiah diperoleh persen tutupan terumbu karang yang tertinggi diperoleh pada stasiun 2 sebesar 73,10
dan terendah pada stasiun 4 sebesar 16,28. Dari hasil penelitian diatas dapat dilihat hubungan keanekagaman Echinodermata dengan persen tutupan terumbu karang.
Persen tutupan karang yang tinggi akan memiliki keanekaragaman Echinodermata yang tinggi seperti pada stasiun 3. Pada stasiun 4 memiliki persen terumbu karang
yang rendah kategori buruk, memiliki keanekaragaman yang sedikit. Kondisi faktor fisik kimia perairan ini tergolong baik dan cocok untuk pertumbuhan terumbu karang,
misalnya suhu, pH, penetrasi cahaya, salinitas dan lain sebagainya Tabel 4.6. Rusaknya terumbu karang di daerah penelitian ini khususnya pada stasiun 1 dan 4
karena bencana alam Tsunami dan pengaruh aktifitas masyarakat. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001, terumbu karang di
kategorikan; buruk 0-24,9 , sedang 25-49,9 , baik 50-74,9 dan baik sekali 75- 100 .
Indeks keseragaman E yang diperoleh dari 4 stasiun penelitian berkisar 0,773 – 0,692 dengan indeks keseragaman E tertinggi pada stasiun 3 sebesar 0,773
dan terendah pada stasiun 4 sebesar 0,692. Rendahnya nilai keseragaman pada stasiun 4 karena ditemukan beberapa spesies yang mendominasi yaitu Diadema sp karena
memiliki terumbu karang yang rusak sehingga penyebaran tidak marata. Krebs 1985, menyatakan indeks keseragaman E berkisar 0 – 1. Indeks keseragaman yang tinggi
menunjukkan bahwa pembagian jumlah individu pada masing-masing spesies merata dan sebaliknya jika Indeks Keseragaman semakin kecil maka keseragaman suatu
populasi akan semakin kecil.
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
4.1.3 Indeks Similaritas
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh nilai indeks Similaritas IS seperti pada tabel berikut:
Tabel 4.4 Nilai Indeks Similaritas IS atau Kesamaan pada Stasiun Penelitian
Stasiun 1
2 3
4 1
- 91,66
81,81 90,00
2 -
- 91,66
90,90
3 -
- -
80,00
4 -
- -
-
Dari Tabel 4.4 dapat dilihat hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai indeks similaritas IS yang didapat pada stasiun penelitian bervariasi dan berkisar antara
81,81 - 91,66. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa empat stasiun memiliki nilai IS kriteria sangat mirip 75-100. Kemiripan ini karena faktor ekologis dan
faktor fisik kimia yang hampir sama antara stasiun sehingga menyebabkan terdapatnya kesamaan nilai spesies benthos pada stasiun tersebut.
4.2 Parameter Abiotik
Berdasarkan pengukuran faktor fisik kimia perairan pada masing-masing stasiun pengamatan di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam diperoleh
rata-rata seperti Tabel 4.6 dibawah ini:
Tabel 4.5 Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian di Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam.
No Faktor fisik kimia perairan
Satuan Stasiun
1 2
3 4
1 Suhu Air
°C 29
30 29
29 2
Penetrasi Cahaya m
4 5
4 3
3 Intensitas Cahaya
Candela 1383
1229 949
1047 4
pH air --
7,4 7,8
7,7 6,5
5 DO Oksigen terlarut
mgl 6,2
6,8 6,1
6,2 6
Kejenuhan Oksigen 81,17
88,589 79,842
80,77 7
BOD
5
mgl 1,2
1,1 1,8
2,4 8
Salinitas ‰
35 35
34 35
9 Jenis Substrat
Pasir, batu dan pecahan-pecahan karang
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
4.2.1 Suhu
Hasil pengukuran suhu pada 4 stasiun penelitian, berkisar 29-30 °C. Hal ini menunjukkan bahwa temperatur perairan P. Rubiah masih dalam kisaran normal untuk
perairan tropis. Ini disebabkan karena daerah penelitian ini masih tergolong alami dan dilindungi, belum terdapat banyak aktivitas masyarakat yang dapat menimbulkan
pencemaran. Menurut Wells 1954, suhu yang baik untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara 25- 29°C dan batas minimum suhu berkisar 16-17°C serta batas
maksimum 36°C. Menurut Nontji 1993, bahwa suhu permukaan di perairan Nusantara umunya berkisar antara 28-31°C. Menurut Romimohtarto Juwana
2001, bahwa suhu alami air laut berkisar antara suhu dibawah 0°C sampai 33°C dan perubahan suhu dapat memberi pengaruh besar terhadap sifat-sifat air laut dan
termasuk biota laut.
4.2.2 Penetrasi Cahaya
Penetrasi cahaya yang diperoleh pada 4 stasiun penelitian ini sama yaitu 4-5 meter. Tingginya penetrasi cahaya ini disebabkan karena kondisi perairan di P.
Rubiah masih tergolong baik. Menurut Sastrawijaya 1991, cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut tinggi,
akibatnya akan mempengaruhi proses fotosintesis di dalam perairan tersebut. Berkurangnya cahaya matahari disebabkan karena banyak faktor antara lain adanya
bahan yang tidak larut seperti debu, tanah liat maupun mikroorganisme air yang mengakibatkan air menjadi kotor tidak jernih.
4.2.3
Intensitas Cahaya
Intensitas cahaya yang tertinggi diperoleh pada stasiun 1 sebesar 1383 Candela dan terendah pada stasiun 3 sebesar 949 Candela. Rendahnya intensitas
cahaya pada stasiun 3 disebabkan karena pada saat pengukuran dilakukan pada pagi hari, sedangkan pada stasiun 1 dilakukan siang hari, selain ini terdapat banyak pohon
ditepi perairan ini. Menurut Barus 2004, vegetasi yang ada di sepanjang aliran
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
sungai dapat mempengaruhi intensitas cahaya, karena tumbuh-tumbuhan tersebut mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya matahari. Bagi organisme air,
intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Faktor cahaya matahari yang masuk dalam
perairan akan mempengaruhi sifat optis air, sebagian cahaya itu akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air.
4.2.4 pH air
Derajat keasaman atau kebasaan pH tertinggi pada stasiun 2 yaitu 7,8 sedangkan yang paling rendah pada stasiun 4 yaitu 6,5. Rendahnya pH pada stasiun 4
berpengaruh terhadap jenis Echinodermata yang ditemukan, dimana nilai H’, E dan r rendah. Namun demikian secara keseluruhan nilai pH pada lokasi penelitian masih
dapat mendukung kehidupan makrozoobenthos. Sutrisno 1987, menyatakan pH optimum untuk spesies makrozoobenthos berkisar 6,0 – 8,0 sedangkan Barus 2004
menyatakan nilai ideal pH bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 - 8,5. Kondisi perairan yang sangat basa akan membahayakan organisme
karena akan mengganggu metabolisme dan respirasi, disamping itu nilai pH yang asam akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion
Aluminium.
4.2.5 Oksigen terlarut DO Dissolved Oxygen
Nilai DO yang diperoleh dari 4 stasiun penelitian ini berkisar 6,1-6,8 mgl. Nilai DO yang tertinggi pada stasiun 2 yaitu 6,8 mgl sedangkan terendah pada stasiun
1 sebesar 6,1 mgl. Menurut Suin 2002, menyatakan bahwa, suhu memiliki peranan yang besar terhadap kelarutan oksigen galam air, apabila temperatur air naik maka
kelarutan oksigen dalam air menurun. Bersamaan dengan peningkatan aktivitas metabolisme akuatik, sehingga kebutuhan akan oksigen juga meningkat. Sastrawijaya
1991, bahwa temperatur mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika suhu naik maka oksigen di dalam air akan menurun.
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
4.2.6 Kejenuhan Oksigen
Kejenuhan oksigen yang diperoleh dari 4 stasiun penelitian berkisar antara 79,84 – 89,00. Menurut Barus 2004, menyatakan bahwa disamping pengukuran
konsentrasi biasanya dilakukan pengukuran terhadap tingkat kejenuhan oksigen dalam air. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah nilai maksimum atau tidak. Untuk
dapat mengukur tingkat kejenuhan oksigen air, maka diperlukan pengukuran temperatur dari ekosistem air tersebut. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada
oksigen terlarut minimum sebanyak 4 mgl, selebihnya tergantung pada ketahanan organisme, derajat keaktifan, kehadiran pencemar, temperatur air dan sebagainya
4.2.7 BOD
5
Biologycal Oxygen Demand
Hasil BOD
5
yang diperoleh di perairan P. Rubiah berkisar antara 1,1- 2,4 mgl. Nilai BOD
5
yang tertinggi pada stasiun 4 yaitu sebesar 2,4 mgl sedangkan terendah pada stasiun 3 sebesar 1,1 mgl. Menurut Barus 2002, bahwa nilai BOD menyatakan
jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada suhu 20°C. Pengukuran BOD
didasarkan pada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terhadap senyawa yang mudah diuraikan secara biologis seperti
senyawa yang umumnya terdapat dalam limbah rumah tangga. Brower et al., 1990, bahwa apabila konsumsi oksigen selama 5 hari berkisar 5 mgl O
2
, maka perairan tersebut tergolong baik. Sebaliknya apabila konsumsi oksigen antara 10-20 mgl O
2
menunjukkan bahwa tingkat pencemaran oleh senyawa organik tinggi.
4.2.6 Salinitas ‰
Nilai Salinitas yang diperoleh pada 4 stasiun penelitian ini sama yaitu berkisar 34 - 35‰. Nilai salinitas di perairan ini masih tergolong normal seperti yang
dinyatakan oleh Nontji 1986, bahwa, di Samudra umumnya salinitas berkisar antara 34-35 ‰. Zat padat terlarut meliputi garam-garam anorganik, senyawa-senyawa
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
organik yang berasal dari organisme hidup, dan gas-gas terlarut. Ini disebabkan karena didalam air laut terlarut garam-garam yang paling utama adalah natrum klorida NaCl
yang sering disebut garam dapur. Selain NaCl, di dalam air laut terdapat pula MgCl2, kalium, kalsium dan sebagainya. Salinitas adalah jumlah berat semua garam dalam
gram yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan ‰ permil, gram per liter, sedangkan menurut Brotowidjojo et al., 1995 menyatakan organisme
lautan sejati tidak dapat bertahan pada salinitas laut normal 32-35‰. Kinsman 1964, Salinitas air laut di daerah tropis rata-rata sekitar 35‰, dan binatang karang
hidup subur pada kisaran salinitas 34-35‰.
4.2.8 Jenis Subtrat
Jenis substart yang umum dihuni oleh Echinodermata pada stasiun penelitian ini berupa pasir, batu, pecahan karang, rumput laut, koloni karang. Hewan ini
biasanya hidup melekat sesil pada substrat. Kehidupan organisme air ada juga ketergantungannya dengan bahan dan ukuran partikel dasar badan air. Dengan
mengetahui bahan dasar dan ukuran partikel dasar perairan akan didapat informasi yang mungkin dapat menunjukkan tipe fauna yang terdapat di substrat badan air
Suin, 2002.
4.3 Nilai Analisis Korelasi Pearson Metode Komputerisasi SPSS Ver. 13.00
Nilai uji analisis korelasi keanekaragaman Echinodermatadengan faktor fisik kimia perairan yang didapatkan pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 7
berikut ini:
Tabel 4.6 Nilai Analisis Korelasi Keanekaragaman Echinodermata dengan Faktor Fisik Kimia Perairan
Suhu °C
Penetrasi m
I. Cahaya pH
DO mgl
K.Oksigen BOD
5
mgl Salinitas
H’ +0,555
+0,818 -0,166
+0,922 +0,433
+0,457 -0,548
-0,555
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
Keterangan: Nilai +
= Arah Korelasi Searah Nilai -
= Arah Korelasi Berlawanan
Dari Tabel 4.6 menunjukkan bahwa hasil uji analisis korelasi pearson antara faktor fisik kimia perairan dengan indeks keanekaragaman H’ berbeda tingkat
korelasi dan arah korelasinya. Nilai + menunjukkan korelasi yang searah antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai Indeks Keanekaragaman H’, yaitu suhu,
penetrasi cahaya, pH, DO dan kejenuhan oksigen. Berkorelasi searah dengan Indeks Keanekaragaman H’, artinya semakin besar nilai salah satu faktor fisik kimia maka
nilai Indeks Keanekaragaman akan semakin besar pula. Nilai - menunjukkan korelasi yang berlawanan yaitu Intensitas cahaya, BOD dan Salinitas berkorelasi
berlawanan dengan Indeks Keanekaragaman H’, artinya semakin besar nilai faktor fisik kimia perairan tersebut maka nilai H’ akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya,
jika semakin kecil nilai faktor fisik kimia perairan maka nilai H’ akan semakin besar. Menurut Sokal James 1992 koefisien dapat berkisar dari +1 untuk hubungan
positif sempurna sampai -1 untuk hubungan negatif sempurna.
Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson pada Tabel 4.7, dapat dilihat bahwa faktor fisik kimia yang berkorelasi searah adalah suhu, penetrasi cahaya, pH, DO dan
kejenuhan oksigen, sedangkan yang berkorelasi berlawanan adalah Intensitas cahaya, BOD dan Salinitas. Menurut Sugiono 2005 koefisien korelasi dapat dibagi menjadi
beberapa tingkatan, yaitu:
Table 4. 7 Nilai Koefisien Korelasi
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199 Sangat Rendah
0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,00 Sangat Kuat
Berdasarkan Tabel 4.7 diatas, dapat diketahui bahwa korelasi antara faktor fisik kimia dengan indeks keanekaragaman H’ memiliki hubungan yang sangat
rendah, sedang dan sangat kuat. Hubungan yang sangat rendah adalah intensitas
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
cahaya, tingkat hubungan yang sedang adalah suhu, kejenuhan oksigen, DO, BOD, salinitas. Hubungan yang sangat kuat terdiri dari penetrasi cahaya dan pH
Oksigen terlarut berkorelasi searah terhadap keanekaragaman makrozoobentos dimana semakin tinggi nilai DO maka tingkat keanekaragaman juga semakin tinggi.
Menurut Sastrawijaya 1991, untuk mempertahankan hidupnya mahkluk yang tinggal di air, baik tanaman maupun hewan bergantung pada oksigen terlarut.
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan