Latar Belakang Analisis Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah Berdasarkan Lingkungan di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga Tahun 2015
2013 semua provinsi di Indonesia terkecuali DKI Jakarta masih merupakan daerah endemis malaria. Di Pulau Jawa endemisitas malaria terdapat di tiga
provinsi yaitu Jawa Tengah, D.I Yogyakarta dan Banten dengan API tertinggi berada di Jawa Tengah yaitu 0,04 per 1000 penduduk.
Annual Parasite Insidence API malaria di Jawa Tengah setiap tahunnya masih fluktuatif. Berdasarkan laporan Kemenkes RI, API malaria berturut-turut
periode 2005-2013 di Jawa Tengah adalah 0,06; 0,13; 0,12; 0,07; 0,08; 0,10; 0,01; 0,03 dan 0,04 per 1.000 penduduk. Kejadian malaria di Jawa Tengah
memang cenderung turun namun masih berpotensi mengalami kenaikan setiap tahunnya. Sehingga sampai saat ini penyakit malaria masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di Jawa Tengah. Kabupaten Purbalingga merupakan salah satu daerah endemis malaria di
Jawa Tengah. Berdasarkan laporan Dinkes Kabupaten Purbalingga 2014 pada tahun 2003 dan 2010 terjadi Kejadian Luar Biasa KLB malaria di Purbalingga.
Nilai API pada tahun 2003 dan 2010 ini adalah 1,08 dan 4,51 per 1.000 penduduk. Pada tahun 2014 API ini turun menjadi 0,42 per 1000 penduduk
namun wilayah Purbalingga masih merupakan daerah endemis malaria sehingga peluang ditemukannya kasus setiap tahunnya masih besar.
Menurut Widiarti dkk 2014 Purbalingga termasuk daerah terdapat vektor reseptif malaria, dimana kondisi lingkungannya memang mendukung
untuk hidupnya nyamuk Anopheles. Di Kabupaten ini terdapat tempat potensial perkembangbiakan dan habitat Anopheles berupa 28 sawah, 6 kebun, 21
tegalan, 14 hutan dan 130 mata air yang mengalir pada 66 sungai. Purbalingga
juga beriklim tropis relatif basah dengan kelembaban 74,6 -87,6 dan suhu 26
C – 31 C. Kondisi lingkungan seperti ini efektif untuk hidupnya nyamuk
Anopheles sehingga malaria masih menjadi masalah cukup serius di Purbalingga. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian malaria. Faktor
tersebut berasal dari perubahan kondisi lingkungan itu sendiri. Menurut Wibowo 2014 malaria memang ditularkan oleh nyamuk Anopheles namun termasuk
penyakit ekologis yaitu penyakit yang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang memungkinkan nyamuk berkembang biak dan kontak dengan
manusia. Kondisi lingkungan mempengaruhi kepadatan Anopheles sp di dalam rumah yang kontak dengan manusia. Menurut Anies 2006 kondisi tersebut
berupa suhu udara. Suhu udara yang hangat akan mempercepat siklus hidup nyamuk sehingga meningkatkan kepadatan nyamuk di dalam rumah. Besarnya
kepadatan nyamuk per orang per jam akan meningkatkan frekuensi kontak antara vektor dan manusia Dhewantara dkk, 2013.
Kelembaban udara juga mempengaruhi kepadatan Anopheles sp di dalam rumah. Menurut Pratama 2015 kelembaban udara merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi kepadatan Anopheles. Kelembaban udara terlalu rendah dibawah 60 dapat memperpendek umur nyamuk sehingga menurunkan
kepadatannya sementara kelembaban udara sedikit lebih tinggi mendukung hidup nyamuk dan menyebabkan nyamuk lebih aktif dan sering menggigit yang
akhirnya mempengaruhi transmisi malaria Datau, 2000. Keberadaan ikan pemakan larva
juga mempengaruhi kepadatan Anopheles sp di dalam rumah. Menurut Natadisastra 2009 penggunaan ikan
pemangsa larva nyamuk dapat menyebabkan vektor mati yang akhirnya menurunkan populasinya. Ikan tersebut berupa Panchac panchac ikan kepala
timah, Lebistus recticularis guppy dan Gambusia affinis ikan gabus. Kondisi lingkungan lain yang juga berpengaruh adalah keberadaan kandang ternak besar
yang ditempatkan dekat dengan pemukiman Hakim, 2010. Penempatan kandang ternak besar seperti sapi di sekitar rumah berperan
sebagai cattle barrier malaria yang pada akhirnya berpotensi untuk menurunkan kejadian malaria. Penelitian Mulyono dkk 2013 menunjukkan bahwa
penempatan kandang ternak besar seperti sapi berhubungan dengan kasus malaria dimana persentase malaria pada mereka yang memelihara ternak ini lebih kecil
dari pada yang memelihara ternak kecil dan yang tidak memelihara ternak. Hal ini disebabkan karena darah ternak besar seperti sapi lebih disukai oleh nyamuk
Anopheles. Hal ini diperkuat dengan penelitian Erdinal dkk 2006 dimana pemeliharaan ternak besar berhubungan dengan kejadiaan malaria dan
merupakan faktor yang dominan berpengaruh. Mereka yang tidak memelihara ternak besar di sekitar tempat tinggalnya berisiko 3,2 kali terkena malaria
sehingga penempatan kandang ternak besar seperti sapi di sekitar tempat tinggal diperlukan sebagai cattle barrier agar sebelum nyamuk menggigit manusia dia
terlebih dahulu mengigit binatang. Menurut Kementerian Pertanian RI 2010, penempatan kandang ternak
tetap harus terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimal 10 m. Tentunya hal ini untuk menghindari pemilik rumah agar tidak terkena penyakit sesuai dengan
penelitian Ramadhani 2004 yang menunjukkan bahwa mereka yang memiliki
kandang ternak yang ditempatkan di dalam rumah atau kurang dari 10 meter berisiko terkena malaria 5,49 kali lebih besar dibandingkan yang menempatkan
kandang ternaknya terpisah. Hal ini sejalan dengan penelitian Hadi dkk 2005 dimana kepadatan
Anopheles sp dengan letak kandang ternak di dalam rumah dan menempel 0,78 dan 0,34 per orang per jam lebih tinggi dibandingkan pada rumah yang berjarak
10-20 m dari kandang ternak yang mengindikasikan penempatan kandang ternak berjarak kurang dari 10 m meningkatkan kepadatan Anopheles sp dalam rumah.
Dalam penelitian ini juga disebutkan penempatan kandang ternak harus terpisah dari rumah dengan jarak 10-20 m karena letak kandang ternak berpengaruh pada
kepadatan Anopheles sp dalam rumah. Sarwoko dkk 2010 juga menyimpulkan adanya perbedaan kepadatan Anopheles sp dalam rumah berdasarkan keberadaan
kandang ternak sapi. Kepadatan tertinggi ditemukan pada rumah yang berjarak kurang dari 10 m dari kandang ternak. Berdasarkan penelitian di atas dapat
disimpulkan kepadatan Anopheles sp dalam rumah berbeda berdasarkan jarak penempatan kandang ternaknya.
Penelitian Djati dkk 2014 menemukan An. balabacensis sebagai spesies tersangka vektor di Kabupaten Purbalingga. Spesies ini menurut Natadisastra
2009 selain bersifat antropofilik juga bersifat zoofilik. Sehingga dengan adanya sifat ini penempatan kandang ternak sapi berpotensi menghalangi kontak antara
nyamuk dengan manusia cattle barrier tentunya yang ditempatkan dengan jarak yang tepat.
Kecamatan Kaligondang merupakan kecamatan di Purbalingga dengan jumlah ternak sapi yang cukup tinggi. Menurut data Dinas Perikanan dan
Peternakan Kabupaten Purbalingga jumlah ternak sapi pada kecamatan ini meningkat dari 388 pada tahun 2011 menjadi 478 pada tahun 2013. Selain itu,
kasus malaria tertinggi di Purbalingga hingga tahun 2014 juga terdapat pada kecamatan ini dibandingkan dengan kecamatan endemis lain seperti Pengadegan,
Karangmoncol dan Rembang. Berdasarkan data Puskesmas Kecamatan
Kaligondang, kasus malaria di daerah ini masih fluktuatif setiap tahunnya yaitu 87 kasus pada tahun 2010, 47 kasus tahun 2011, 25 kasus tahun 2012, 33 kasus
tahun 2013 dan meningkat kembali menjadi 105 kasus tahun 2014. Berdasarkan data sekunder juga didapatkan bahwa pada tahun 2014 Desa
Sidareja merupakan desa di Kecamatan Kaligondang dengan kejadian malaria yang tinggi dengan API 3,56 per 1000 penduduk dan jumlah pemelihara sapi
yang cukup tinggi mencapai 11 orang. Pada desa ini jarak penempatan kandang ternak sapi ditemukan bervariasi mulai kurang dari 10 m hingga lebih dari 20 m
dari rumah. Berdasarkan penelitian dan data di atas, maka dalam penyusunan
penelitian ini penulis ingin mengetahui kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah berdasarkan lingkungan di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang,
Kabupaten Purbalingga.