khusus di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Analisis Hukum terhadap Pengelolaan Tata Ruang di Wilayah Pemerintah
Kabupaten Labuhan Batu” belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama.
Obyek penelitian yang dilakukan merupakan suatu kajian ilmiah dan belum pernah dianalisis secara komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah
sehingga penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan azas-azas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan transparan untuk kritikan yang bersifat membangun sesuai dengan topik, permasalahan dan lokasinya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Salah satu hal yang mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di era desentralisasi ini yaitu bagaimana memulihkan kepercayaan rakyat kepada
sistem pemerintah dan pelayanan birokrasi. Hal ini menyangkut keinginan politik pengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan accountable
kepada rakyat sebagai penerima pelayanan publik melaui Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang telah dibuat sebagai landasan kebijakan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 136 ayat 2 disebutkan: “Peraturan Daerah
dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi kabupaten
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
kota dan tugas pembantuan.” Selanjutnya pada ayat 3 disebutkan: “Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan
penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.”
Hal ini berarti juga bahwa setiap Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya dalam hierarki perundang-undangan.
Menurut Teori Hans Kelsen dalam politik hukum, kegiatan perundang- undangan di mulai dari penetapan garis policy-nya kemudian disusun legislasi
dan penerapan hukumnya mengenal dua pilihan untuk penerapannya yaitu secara mendasar grounded dan pragmatis.
20
Pada saat penerapannya, kedua pilihan itu mempunyai kelemahan dan kebaikan masing-masing.
21
Pembuatan Peraturan Daerah secara khusus menyangkut penataan ruang dan kebijakan lingkungan juga harus memperhatikan kaedah-kaedah hukum
yang bersifat imperative dan fakultatif. Isi kaedah hukum dihubungkan dengan sifatnya maka kaedah-kaedah hukum yang berisi suruhan dan larangan adalah
imperatif, sedangkan kaedah hukum yang berisikan kebolehan adalah
20
M. Solly Lubis, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Bandung: CV Mandar Maju, 2000 hal. 18 disebutkan secara mendasar atau grounded disebut juga secara dogmatic yakni sungguh-
sungguh dahulu diteliti ius constituendum apa yang berkembang sebagai embrio aturan hukum dalam masyarakat, yang biasa aspirasi masyarakat untuk di angkat menjadi aturan hukum; secara pragmatis
yaitu dibuat saja lebih dahulu berhubung situasi dan kondisi yang mendesak, atau karena ada kepentingan politik tertentu yang melatarbelakanginya untuk segera di undangkan tanpa menghiraukan
apakah produk legislatif itu kelak akan akseptabel oleh seluruh masyarakat secara merata.
21
Ibid, hal. 19; kebaikan secara mendasar ialah lebih aspiratif dan lebih akomodatif dan sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat tetapi kelemahannya processingnya sedangkan secara
pragmatis dapat segera tercipta aturan hukum itu dengan catatan kalau ada keberatannya akan dikaji ulang; kelemahannya sering dirasa tidak aspiratif dan tidak akomodatif menurut pendapat umum yang
berlaku common sense
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
fakultatif.
22
Setiap pembangunan diperkirakan akan menghasilkan dampak dari kegiatan yang dilakukan, sehingga perlu melakukan telaah berbagai kebijakan
lingkungan nasional dalam perspektif daerah otonom. Walaupun hal kebijakan lingkungan masih dalam tahap dini, akan tetapi
setiap larangan dan kewajiban yang harus dipenuhi dan diatur sepenuhnya dalam peraturan daerah ataupun peraturan kepala daerah dapat ditegakkan. Hal
ini merupakan suatu kebutuhan untuk mengurangi resiko dan juga mencegah adanya kerusakan kualitas lingkungan serta menjaga kelestariannya. UULH
sebagaimana telah digantikan dengan UUPLH merupakan pedoman atau acuan secara umum bagi pemerintahan di daerah sebagai pengendali setiap warganya
agar tetap berada dalam batas-batas yang sesuai dengan daya dukung lingkungan yaitu kemampuan lingkungan untuk mendukung peri kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya.
23
Syamsul Arifin menyebutkan kehadiran undang-undang ini merupakan awal pengembangan perangkat hukum sebagai
dasar pengelolaan lingkungan hidup Indonesia sebagai bagian integral upaya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.
24
Saat ini, kewenangan pengelolaan lingkungan hidup di daerah sebagaimana Pasal 12 UUPLH disebutkan :
22
Purnadi Purbacaraka dkk, Perihal kaedah hukum, Bandung: Alumni, 1979 hal 49
23
Siti Sundari Rangkuti, op.cit hal 115
24
Syamsul Arifin, Penegakan Hukum Lingkungan Menuju Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan, diucapkan pada pengukuhan guru besar tetap dalam Ilmu Hukum
Internasional pada Fakultas Hukum USU Medan : 5 Februari 2000, hal 3
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah berdasarkan
peraturan perundang-undangan dapat : a.
Melimpahkan wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup kepada perangkat di wilayah;
b. Mengikutsertakan peran pemerintah daerah untuk membantu pemerintah
pusat dalam pelaksanaan lingkungan hidup di daerah; Selanjutnya pada Pasal 13 dinyatakan:
“Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan kepada pemerintah daerah menjadi urusan rumah
tangganya.” Konsekuensi ketentuan tersebut di atas sebagaimana disebutkan pada
penjelasan Pasal 12 sebagai berikut :”. . . pemerintah pusat dapat menetapkan wewenang tertentu dengan memperhatikan situasi dan kondisi daerah baik
potensi alam maupun kemampuan daerah, kepada perangkat instansi pusat yang ada di daerah dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi.”
Pemerintahan kabupaten kota berperan dalam pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup sebagai tugas pembantuan maka
wewenang, pembiayaan, peralatan dan tanggung jawab berada pada pemerintah yang menugaskannya.
Perlunya keserasian dan kesinambungan dalam pengelolaan lingkungan hidup di daerah, maka sangat dibutuhkan peraturan-peraturan di daerah sebagai
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
penjabaran pemberian urusan pemerintah daerah yang pada gilirannya dapat menyelesaikan berbagai aspek administratif, perdata dan pidana apabila
muncul sengketa dalam lingkungan hidup. Semakin kompleksnya kepentingan- kepentingan dalam pembangunan sangat memungkinkan adanya benturan
bahkan menjadi suatu konflik dalam pengembangan wilayah, sehingga hal ini juga menjadi alasan perlunya penyusunan tata ruang yang berwawasan
lingkungan sekaligus menjadi landasan hukum di daerah dalam pelaksanaan visi dan misinya.
2. Kerangka Konsepsi