Hipotesis Statistik Metodologi Penelitian
38
Pondok pesantren Nadwatul Ummah juga menerapkan kelas musyawarah bahsul matsail yang menjadi ciri khas pesantren-pesantren salafi dalam mencari
solusi dari sebuah permasalahan agama. Kelas musyawarah di pesantren Nadwatul Ummah dikenal dengan istilah MMU Majlis Musyawarah Umum,
dimana para santri ditugaskan mencari jawaban dari pertanyaan yang dimusyawarahkan di dalam kitab kuning. Ketika musyawarah dimulai para santri
diperbolehkan mengutarakan jawabannya dan santri juga diperbolehkan untuk mendebat pernyataan santri lain yang tidak sepaham hingga ditemukannya solusi
yang terbaik. Pelaksanaan MMU di pesantren dipimpin langsung oleh kiyai atau guru di pesantren yang bertugas menyimpulkan hasil musyawarah.
Pondok pesantren Nadwatul Ummah sejak didirikan oleh KH. Muhammad Anis
Fu‗ad Hasyim Alm. pada tahun 1971 memang selalu mempertahankan tradisi tradisional baik dalam sistem pembelajarannya maupun
sistem sosialnya. Namun setelah anak pertama dari KH. Muhammad Anis Fu‗ad
Hasyim Alm. yaitu DR. KH. Luthfi El-Hakim ditunjuk sebagai pegasuh pesantren, semua sistem yang telah berlaku dirubah, mulai dari sistem
pembelajaran hingga sistem sosial di pesantren. Sistem pembelajaran yang
tadinya hanya menggunakan metode wetonan ataupun sorogan, kini dimodifikasi dengan menggunakan sistem madrasah namun tetap tidak meninggalkan metode
wetonan ataupun sorogan sebagai cirikhas dari tradisi pesantren salafi, dan kitab- kitab yang diajarkanpun tetap kitab-kitab kuning klasik. Sistem madrasah
diberlakukan untuk mempermudah metode sorogan yang diterapkan di pesantren. Hal ini sejalan dengan pendapat Zamakhsyari Dhofier ketika menjelaskan
kategorisasi pesantren yang dikelompokan menjadi 2 kelompok besar yaitu : 1. Tipe lama klasik, yang inti pendidikannya mengajarkan kitab-kitab Islam
klasik. Walaupun
sistem madrasah
diterapkan, tujuannya
untuk mempermudah sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga
pengajian bentuk lama. 2. Tipe baru modern yaitu mendirikan sekolah-sekolah umum dan
madrasah-madrassah yang
mayoritas mata
pelajaran yang
39
dikembangkannya bukan kitab-kitab Islam klasik. Sekalipun kitab-kitaab klasik tetap dipertahankan namun porsi pengajarannya tidak memadai.
49
Selain sistem
pembelajaran yang
dirubah, sistem
sosial yang
diberlakukanpun dirubah. Pesantren Nadwatul Ummah yang sebelumnya terlihat bebas karena tidak ada peraturan yang mengikat santri sehingga santri terlihat
bebas dalam mengikuti program di pesantren. Dan hal semacam itu dinilai tidak tepat dalam proses pendidikan di pesantren, karena pada dasarnya santri haruslah
beretika baik sehingga dapat mengikuti program di pesantren dengan baik dan tertib.
Sehingga menurut DR. KH. Luthfi El-Hakim sistem tersebut perlu di rubah demi menciptakan suasana pesantren yang islami, sehingga para santri
dapat beretika sesuai dengan apa yang telah mereka pelajari melalui kitab-kitab klasik yang diajarkan kiyai atau guru di pesantren. Sebagaimana yang telah
diungkapkan oleh Zamakhsyari Dhofier : Secara umum, tingkah laku yang benar secara Islam dinyatakan dalam
contoh-contoh seperti yang dikerjakan para kiyai melalui lembaga-lembaga pesantren dan amalan-amalan beragama yang lain, seperti mengikuti sembahyang
dan khutbah jum‗at mengajarkan kepada anggota-anggota masyarakat tingkah
laku Islam yang ideal, pola pikiran dan perasaan yang ideal, simbol-simbol dan amalan-amalan Islam.
50
Menurut DR. KH. Luthfi El-Hakim seorang santri haruslah menunjukan etikaakhlak yang sesuai dengan gelarnya yaitu santripencari ilmu, dimana
seorang santri haruslah memulyakan gurunya sebagai landasan awal berakhlak yang baik. Karena akhlak merupakan pondasi daam mencari ilmu tanpa akhlak
yang baik seorang santri tidak akan mendapatkan manfa‗at dari ilmu yang telah
dipelajari, hal ini sesuai dengan maqolah yang mengatakan : ِبدَ اأَْ تبهَهَا اأعبلأمَ تَعَلبمب ۞ ِبدَ اأَْ ََْبيأعَ اأعبلأمب ََ باَا ايَ
͞
wahai pencari „ilmu junjung tinggilah adabakhlak, tuntutlah ilmu dengan memprioritaskan adabakhlak”.
51
49
Dhofir, op. cit., h. 76
50
Dhofir, op. cit., h. 42
51
Muhammad bin ahmad Nubhan, Surabaya,tt. p, 1980 h. 4